Setiap pagi Gatot mengantar Murti terlebih dahulu ke madrasah, baru kemudian mengantar Pak Camat ke kantor dan siap siaga di kantor kecamatan menanti perintah Pak Camat. Jam satu siang, Gatot meninggalkan kantor sebentar untuk menjemput Murti dan mengantar Murti pulang, lalu balik lagi ke kecamatan sampai jam lima sore, waktu bagi Pak Camat pulang ke rumah. Tak terasa rutinitas seperti itu sudah berjalan selama hampir dua bulan. Seperempat gaji yang diterima Gatot dipotong oleh Pak Camat sebagai cicilan hutang yang sebesar enam juta tanpa bunga. Hari minggu Gatot diberi libur, tapi Gatot tak pernah mengambil jatah libur dan tetap bekerja di hari minggu karena Pak Camat menghitung sebagai lembur. Jadi kalau hari minggu, Gatot siap siaga di teras rumah Pak Camat, menunggu siapa saja yang minta diantar.
“Gatot, mau ikut bapak mancing?” ajak Pak Camat suatu ketika di hari minggu yang cerah.
“Mancing kemana, Pak?” tanya Gatot.
“Kolam Pakuan. Ikannya besar-besar di situ.”
“Baik, Pak. Saya pulang dulu ambil pancing.”
“Tidak usah. Ada pancing nganggur di dapur. Kamu pakai itu saja.”
Gatot mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sampai di dapur, ia bertemu dengan Murti yang sedang memasak. Murti agak kaget dengan kemunculan Gatot karena kalau memasak dia tidak pakai baju muslimah. Kalau memasak, Murti berpakaian biasa, pakai daster yang kainnya tipis, kalau tertiup angin kain itu berkibar kesana kemari. Untung saat itu tidak ada angin. Melihat Gatot berjalan sambil menunduk, Murti semakin tenang saja dan melanjutkan memasak.
“Maaf, Murti, dimana Pak Camat menyimpan pancingnya?”
“Itu di sudut dapur. Kamu mau ikut mancing?”
“Iya. Pak Camat yang ngajak.”
“Semoga dapat ikan banyak. Bisa buat makan nanti malam.”
Gatot memandang Murti yang kebetulan juga memandangnya dengan senyum yang sulit diartikan. Tak mau Pak Camat menunggu lama dan tak mau masakan Murti gosong, maka Gatot pun meninggalkan dapur. Sejurus kemudian terdengar mobil meninggalkan halaman rumah.
Dalam kesendiriannya Murti menghela napas, mengusir pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba datang. Hatinya terasa nyeri saat bertatapan dengan Gatot tadi. Entah kenapa dia harus tersenyum sedemikian rupa pada Gatot. Murti sadar kalau senyumannya tadi telah membuat Gatot terpana. Tapi Murti melihat Gatot telah mengalami perubahan nyata. Tatap mata Gatot tidak liar penuh nafsu. Gatot juga lebih sering menunduk bila bertemu atau bersamanya. Murti mulai merasa aman dengan keberadaan Gatot, tidak takut lagi seperti saat hari pertama Gatot menjadi sopir.
Dalam kesendiriannya itu juga Murti memikirkan perjalanan rumah tangganya. Selama tujuh tahun menjalani mahligai suci bernama perkawinan, hingga kini belum ada tanda-tanda akan hadirnya seorang anak. Murti kerap bertanya-tanya dalam hati apa gerangan penyebabnya. Dia dan Pak Camat sudah puluhan kali memeriksakan diri ke sejumlah dokter dan semuanya menyatakan kedua pihak subur. Setiap kali berhubungan intim, Murti selalu berharap itu bukan hubungan rutin biasa antara suami istri, tetapi juga hubungan yang bisa menghasilkan buah hati. Dia selalu berdo’a semoga setiap sperma yang masuk ke rahimnya bisa menemukan sel telur.
Tapi hingga kini semuanya seakan terbuang sia-sia. Tenaga dan keringat yang setiap malam selalu dia korbankan rasanya tiada arti. Rahimnya tetap kosong, seiring dengan hampanya suasana hidup tanpa tangisan seorang bayi. Dan di hari minggu ini Pak Camat, suaminya, malah pergi memancing, padahal dia sudah merasa siap dan dalam keadaan paling memungkinkan untuk menghasilkan telur yang bisa dibuahi. Murti merasakan hormonnya sedang dalam masa-masa paling subur. Dan dia berpakaian daster setipis ini juga demi memunculkan rangsangan pada suaminya. Tapi semua yang dia harapkan tidak terjadi dan Murti harus kembali pada kenyataan bahwa dia memang belum dipercaya memiliki anak.
Murti menata masakan yang sudah matang di meja makan, menarik kursi lalu duduk seorang diri sambil menyuapkan nasi ke mulut. Tidak ada selera sama sekali. Murti mengakhiri makannya dan merenung dalam kamar. Tidak banyak yang bisa dilakukanny selain bergelimpangan kesana kemari dengan gelisah. Tak lama kemudian Murti tertidur dengan pintu kamar terbuka, dengan daster yang tersingkap sampai batas paha. Murti tidur dengan lelah hati memikirkan berjuta-juta problema.
Sayup-sayup Murti mendengar pintu depan diketuk berkali-kali disertai salam dan teriakan seseorang memanggil namanya. Murti menganggap itu adalah mimpi di siang bolong yang menghiasi tidurnya. Semakin keras saja ketukan pintu sampai Murti sadar itu bukanlah mimpi. Terlebih ketika pintu itu berderit terbuka dan terdengar derap langkah halus mendekati kamar. Murti sudah yakin itu adalah Pak Camat, suaminya, karena yang memegang kunci serep cuma suaminya. Cuma Murti heran, tidak biasanya Pak Camat pulang secepat ini bila memancing. Pas orang itu berdiri di ambang pintu kamar yang masih terbuka, barulah Murti sadar bahwa yang datang memang bukanlah Pak Camat.
“Gatot!” ia memekik.
“Iya, Mur. Pak camat menyuruhku jemput kamu.” Gatot menunduk dengan muka memerah, matanya sempat menangkap kemulusan paha montok Murti.
“Jemput kemana?”
“Pak Camat bilang kamu harus pergi ke arisan Darma Wanita.”
Astaga, Murti menepuk keningnya penuh sesal. Dia lupa kalau hari minggu ini harus hadir untuk membuka arisan. Untung masih belum terlambat. Arisan dimulai jam empat sore, sedangkan ini baru setengah tiga. Berarti cukup lama juga dia tidur.
“Baiklah, Gatot. Tunggu sampai saya selesai ganti baju.” katanya kemudian.
“Saya tunggu di luar.”
Gatot sudah ingin berbalik dan melangkah pergi saat Murti berkata, “Tunggu saja disini, tapi jangan menghadap ke arahku.”
Murti sudah merasa kepalang tanggung. Dia sedari tadi bicara dengan berbaring, dengan daster tersingkap di sana-sini, dengan rasa malu yang hilang entah kemana. Keberadaan Gatot tidak menjadi masalah baginya untuk mengganti daster dengan gaun lain. Selama masa pergantian baju itu, selama itu juga waktu bagi Gatot untuk menahan mati-matian semua hasratnya. Gatot berjuang membunuh birahinya. Meskipun Murti memintanya membelakangi, namun tetap saja wujud bahenol itu terlihat nyata bagi Gatot yang berdiri menghadap cermin besar. Tubuh Murti terlihat lebih menggoda daripada saat ia mencicipinya dulu.
“Gatot, tolong pasangkan bagian belakang gaunku.” Murti meminta.
“Itu tidak boleh, Murti.” Gatot mengingatkan, tampaknya ia benar-benar sudah berubah sekarang.
“Aku membolehkan. Kamu cuma akan melihat punggungku saja, Gatot. Tolong agak cepat.” Murti terus memaksa.
Gatot merasakan hal yang pernah dirasakannya beberapa bulan silam begitu menyaksikan punggung polos Murti. Ketika jemarinya memasang satu persatu kancing gaun wanita cantik itu, maka satu persatu setan laknat coba menggoyahkan imannya. Gatot sudah kebal berhadapan dengan setan jenis apapun, tapi untuk setan manis seperti ini, hati dan birahi siapa yang akan tahan.
“Aku pernah memperkosamu, Mur. Tidakkah kamu takut hal itu akan terjadi lagi?” tanya Gatot.
“Aku tidak pernah merasa kamu perkosa, Gatot. Kejadian itu karena kita sama-sama tidak tahu. Sekarang kita sudah sama-sama mengerti kalau itu salah. Aku yakin kamu tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Aku percaya kepadamu, Gatot.” jelas Murti.
“Kalau aku melakukannya lagi, bagaimana?” tantang Gatot.
“Kamu mau melakukannya?” Murti menahan gerakannya.
“Kalau kau terus memancingku seperti ini.” jawab Gatot, pelan tangannya mulai menyusuri lekuk tubuh Murti.
Murti terdiam. Tubuhnya menegang. Ia menunggu hingga Gatot melingkaran tangan dan memeluknya, barulah ia berbisik. “Apa aku bisa menolak?” senyum tersungging di bibirnya yang tipis.
Gatot ikut tersenyum dan segera memajukan kepalanya, mengecup pipi Murti lembut. Murti mengeluh lirih dan merangkulnya erat sambil mulutnya bergeser mencari bibir Gatot. Mereka berpagutan cukup lama, Murti seakan sedang menumpahkan semua beban pikirannya kepada pagutan bibir mereka berdua. Gatot betul-betul terhanyut, tetapi masih dapat ’menjaga kesopanannya’ dengan hanya memegangi pipi Murti saja.
Tapi begitu serunya ciuman mereka, hingga tanpa sadar, tubuh montok Murti perlahan terdorong ke belakang dan akhirnya menjadi berbaring telentang di tempat tidur. Gatot menindihnya dari atas dengan bibir terus menempel erat. Tiba-tiba saja tangan Gatot sudah berpindah ke dada Murti yang membusung indah, ia meremas-remas dengan gemas daging bulat itu. Meski dari luar baju, tapi kekenyalan dan keempukannya sudah cukup terasa. Gatot sangat menyukainya, ia jadi merinding dibuatnya.
“Ehmm…” Murti melenguh, dengan tak sabar ia menurunkan baju gamisnya hingga ke perut agar Gatot bisa menyentuh payudaranya secara langsung.
Tak berkedip, Gatot memandangi gundukan daging yang masih tertutup BH itu. Itupun juga tidak lama karena Murti buru-buru menyingkap cup-nya hingga tonjolan buah dadanya yang besar benar-benar terburai keluar, dua-duanya. Mata Gatot makin melotot. Sejenak ia meneliti wanita di hadapannya ini. Leher Murti tampak putih berkeringat, anak-anak rambut yang menggerai di sekeliling lehernya membuat penis Gatot mengejang. Bahunya yang pualam menyangga mulutnya yang sedikit menganga dan mengeluarkan desisan lirih yang sedikit memburu. Mata Murti terpejam.
Gatot tak dapat lagi menahan diri. Segera ditubruknya payudara Murti yang membulat indah, dengan puting mungil kemerahan yang mengacung indah ke depan, benda itu tampak begitu sempurna. Gatot pun segera menggenggam dan meremas-remasnya dengan penuh nafsu, sambil bibirnya menelusuri leher Murti yang jenjang.
Murti menempelkan badannya erat-erat ke tubuh Gatot, ia menggelinjang ketika Gatot memutar-mutar telapak tangannya di kedua puncak payudaranya, memelintir-lintir putingnya, sambil sesekali memijit benda mungil itu dengan gemas. Gelinjangannya makin bertambah ketika tangan Gatot turun ke bawah, menyingkap baju gamisnya dan menyentuh sela-sela selangkangannya. Gatot menekan-nekan lembut disana sambil mulutnya mulai menjilati puting susu Murti. Dengan nakal tangan Gatot berusaha menurunkan celana dalam Murti, tetapi masih sulit.
“Egh!” Murti mendesis. Dia membalas dengan menerobos celah ritsleting celana Gatot dan mengelus-ngelus penis pemuda itu yang sudah menegang dahsyat dari luar celana dalamnya. Murti juga merengkuh kepala Gatot dan ditariknya ke arah puting susunya agar Gatot bisa menghisapnya dengan lebih nikmat. Sementara di bawah, tangannya beralih meraih tangan Gatot dan dibimbingnya untuk segera masuk ke dalam CD-nya. Sebagai istri yang baik, Murti sudah bertindak berlebihan.
Mendengus kesenangan, Gatot mengelus-elus bulu vagina Murti pelan-pelan. Terasa lebat sekali. Dari sekian banyak wanita yang pernah ditiduri Gatot, baru Murti ini yang memiliki rambut sedemikian lebat. Gatot terus mengelus-elusnya, bahkan kini tangannya bertindak lebih berani dengan menggelitik bibir vagina Murti, berusaha mencari lubangnya yang basah dan hangat. Dengan mudah Gatot menemukannya karena air nikmat Murti sudah begitu banyak keluar. Murti sendiri membantunya dengan menekan-nekan tangan Gatot yang ada di permukaan vaginanya agar menusuk lebih dalam lagi.
“Euuuhh… eeuuuhh…” Murti menggelinjang. Lalu tak sabar, segera diturunkannya CD yang ia pakai hingga ke paha. Telanjang bulatlah ia.
“Gila, putihnya!” batin Gatot dalam hati. Pantat Murti yang bulat, yang biasanya cuma bisa ia pandangi kalau Murti lagi bergelayut manja di lenganku, ternyata betul-betul indah. Pinggulnya apalagi. Penis Gatot langsung berdiri melihat semua itu. Ia pun segera menunduk dan menggosok-gosokkan ujung hidungnya ke pinggul Murti yang lebar, pelan-pelan Gatot menjilat memutar menuju ke pantat Murti yang indah. Gatot meremas-remas bulatan kembar itu, sambil terus menggesek-gesekkan ujung hidungnya ke lubang memek Murti. Harum baunya, harum sekali. Penis gatot yang tegang bergerak-gerak semakin liar .
Murti yang sudah tak sabar segera memegang tangan Gatot, dibimbingnya untuk kembali menusuk-nusuk lubang vaginanya. Ia sendiri seakan kesetanan menunggu lubang vaginanya dimasuki oleh jari-jari Gatot. Tetapi Gatot malah lebih tertarik pada puting susu Murti, ia berkonsentrasi disana. Gatot menjilat, mengelus-elus memakai lidah, menyedotnya pelan-pelan sampai Murti melenguh dan menggelinjang-gelinjang penuh kenikmatan. Wanita itu makin tidak tahan lagi, tangannya mulai menurunkan celana panjang Gatot, juga CD yang dikenakan oleh pemuda itu. Lalu dengan cepat tangan Murti menggenggam penis Gatot yang sudah menegang sempurna. “Besar, Tot.” gumam istri Pak Camat itu.
“Ehmm,” Gatot serasa melayang. Sebagai sopir pribadi, selama ini kalau Murti bergayut di lengannya saat dibantu masuk ke dalam mobil, ia sering membayangkan tangan putih dengan jari-jarinya yang panjang itu mengelus-elus batang penisnya. Gatot cuma berani membayangkannya, tanpa pernah mencoba untuk meminta. Dan sekarang, ternyata hal itu menjadi kenyataan.
Bahkan bukan cuma dipegang, di luar dugaan, Murti langsung membalik tubuhnya dan mengarahkan mulutnya ke arah penis Gatot. Lalu tanpa basa-basi dikulumnya penis itu. Gatot sendiri langsung meneroboskan mukanya ke arah vagina Murti. Tangannya memisahkan rambut-rambut keriting halus yang tumbuh disitu untuk melihat klitoris mungil Murti yang sudah menyembul keluar. Gatot menggosok-gosok perlahan permukaannya hingga membuat Murti menggelinjang keenakan. Dan istri Pak Camat itu makin suka saat Gatot mulai menjilat sambil menghisap-hisapnya penuh nafsu.
“Ouw… Tot, ouw! Gatot! Oughss…” lenguh Murti keras-keras, “Terus, Tot… teruuuss… ughhh!” lenguhnya makin kencang saat cairan bening mulai merembes dari lubang vaginanya. Semakin gatot menjilat, semakin banyak cairan itu meleleh keluar. Dan puncaknya, begitu Gatot menggigit klitorisnya, istri Pak Camat itupun menyemburkan cairan orgasmenya. Wajah Gatot tersiram cairan panas yang berbau sedikit pesing. Isapan Murti di penis Gatot jadi sedikit melemah. Ia lebih banyak diam menikmati sisa-sisa orgasme yang masih melanda tubuh sintalnya.
Gatot berpikir kalau Murti sudah selesai. Ia sudah akan beranjak saat tiba-tiba Murti membalikkan badan dan langsung duduk di atas perutnya. Murti memegang penis Gatot dan coba dimasukkan ke dalam liang vaginanya yang sudah sangat basah. Rasanya wow, sungguh luar biasa ketika kepala penis Gatot mulai menerobos masuk. Gatot yang kegelian sampai terpejam dan mengangkat kepala karena saking tak tahannya. Maklum, sudah dari dulu ia memendam hasrat ini. Dan sekarang, setelah mendapatkannya, ia jadi tak kuat menahan birahinya lama-lama. Murti yang melihat itu segera memberi Gatot payudaranya yang sebelah kiri. Melihat ada gumpalan daging kenyal putih menantang menggantung di depan matanya, Gatot langsung menyambar dan menghisap-hisapnya dengan penuh nafsu.
Di bawah, penisnya dengan mudah menembus memek basah Murti. Ia langsung merasa nikmat-nikmat nyeri karena vagina Murti ternyata begitu sempit dan ketat. Penis Gatot serasa dicekik dan dipijit kuat-kuat, tapi terasa sangat nikmat dan menggelikan sekali. Terasa ada yang mulai mengalir keluar dari ujung penisnya. “Gila, padahal belum digoyang, aku sudah mau keluar…” pikir Gatot heran.
Ditahan sekuat apapun, ia tetap tak tahan. Memek basah Murti betul-betul begitu nikmat. Dalam beberapa kali goyangan pendek, sambil memeluk tubuh montok Murti erat-erat, sperma Gatot menyembur keluar. Ia remas payudara Murti kuat-kuat saat cairan pejuh itu mengalir keluar. Murti memegangi pantatnya dan berbisik, “Masukkan semua, Tot… masukkan semua.”
Gatot menekan penisnya kuat-kuat ke dalam memek Murti, ia masukkan semua benih hidupnya ke dalam jaringan tubuh istri Pak Camat itu. Setelah tuntas semuanya, barulah Gatot menggulingkan tubuhnya hingga jepitan Murti terlepas. Masih terengah-engah, mereka berbaring bertindihan dengan kelamin masih meneteskan cairan masing-masing. Gatot menikmati saat-saat itu dengan mempermainkan payudara Murti dan menggesek-gesekkan ujung penisnya ke lubang memek Murti yang basah. Murti membalas dengan menciuminya sambil merangkul tubuhnya erat-erat.
Lima menit mereka berada dalam posisi seperti itu hingga Gatot teringat akan tugas dia yang sebenarnya. “Mur, arisanmu.” ia mengingatkan.
Murti menoleh ke jam di dinding dan tersenyum. “Masih ada waktu sepuluh menit lagi,” selesai berkata, ia menggoyang-goyangkan pantatnya hingga penis Gatot yang masih berada dalam jepitan pinggulnya, berdiri kembali.
“Kamu pengen lagi?” tanya Gatot mesra. Terasa bibir vagina Murti yang hangat memijat lembut batang penisnya. ughh… rasanya sungguh nikmat sekali.
Tak sabar, Murti segera membimbing penis Gatot agar segera memasuki liang vaginanya. “Aghhh…” mereka mengerang berbarengan dan mulai saling menggoyang.
10 menit kemudian, Murti dua kali mengalami orgasme. Sedangkan Gatot, menyusul tak lama kemudian dengan tembakan ringan di liang memek Murti. Mereka saling tersenyum dan berciuman. Ketika sudah tidak berdaya lagi, Gatot melihat jam. Hampir 30 menit berlalu sejak ia masuk ke kamar ini. Ia harus segera mengantar Murti pergi ke arisan kalau tidak ingin Pak Camat curiga. Jadi Gatot segera bangkit dan mulai memunguti pakaiannya yang terserak di sana-sini. Tercium bau sperma bercampur keringat yang sangat pekat di kamar itu. Murti segera membenahi pakaiannya dan menyemprotkan Bayfresh ke dinding-dinding kamar untuk mengurangi bau ‘mesum’ itu. Setelah mengenakan jilbabnya, ia pun mengajak Gatot agar cepat berangkat.
Sepanjang perjalanan, Gatot dan Murti tidak bicara sepatah kata pun. Bayang-bayang perselingkuhan mereka barusan membuat keduanya cuma bisa berbagi senyuman. Tidak ada kelanjutan dari senyum yang mengambang di udara sore itu, sampai tiba di kantor kecamatan tempat Murti arisan.
“Bilang ke Pak Camat agar menjemput jam setengah enam.” kata Murti.
“Baik, Mur. Selamat tinggal.”
Murti melangkah ke pendopo dimana para ibu-ibu sudah berkumpul. Bisik-bisik diantara para ibu langsung berhenti begitu Murti lewat. Murti bukannya tidak tahu dan tidak mendengar apa isi gunjingan para ibu. Telinganya cukup sehat untuk menyimak namanya disebut-sebut dalam gunjingan itu. Sudah kebiasaan para ibu untuk bergosip di setiap kesempatan. Apalagi Bu Marni, istri Pak Sekcam juga hadir. Murti seratus persen yakin gosip itu berawal dari mulut usil Bu Marni.
“Apa arisan sudah bisa dimulai, ibu-ibu?” tanyanya sesopan mungkin.
“Silahkan dibuka saja, Bu Murti.” jawab seorang ibu.
Seperti biasa, Murti memimpin para ibu menyanyikan lagu mars Darma Wanita. Setelah itu dia memberi beberapa sambutan dan pengumuman yang berhubungan dengan kegiatan Darma Wanita. Murti merasakan pandangan Bu Marni seperti menelanjangi dirinya. Tahu apa si Marni tentang diriku? bisik hati Murti sebal. Dia sudah merasa jemu dan kesal, namun sebagai pembina Darma Wanita tingkat kecamatan, dia harus mengikuti acara arisan sampai akhir.
“Bu Murti, bagaimana kalau pertemuan berikutnya kita bahas masalah poligami dan poliandri?” usul dari Bu Fatimah.
“Jeng Fatimah ada-ada saja. Kita kan sudah tahu kalau itu dilarang.” jawab Bu Marni menimpali.
“Ada baiknya juga usul Bu Fatimah itu. Biar kita para ibu ini lebih jelas dan paham gitu,” kata Bu Yati yang membuat Bu Marni merengut.
“Baiklah. Pertemuan bulan depan kita bahas itu. Nanti saya koordinasikan dengan ibu Bupati,” kata Murti memutuskan sekaligus menutup acara.
Arisan pun bubar, tetapi bisik-bisik para ibu tetap berlanjut. Murti segera meninggalkan pendopo karena melihat mobil dinas suaminya sudah menunggu di luar. Lagi-lagi cuma Gatot seorang diri yang ada dalam mobil.
“Mana Pak Camat, Tot?” tanya Murti.
“Masih di kolam pancing, Mur. Bapak minta saya jemput kamu.”
“Langsung pulang saja.”
Murti masuk ke mobil diikuti tatapan mata para ibu yang sedari tadi memang terus-terusan menggunjingnya. Hari minggu yang benar-benar menyebalkan bagi Murti. Tidak ada satu hal pun yang berpihak padanya hari ini. Semua menyudutkannya.
“Ada apa, Mur?” tanya Gatot.
“Tidak ada apa apa.”
“Kita ini bersama dari kecil, Mur. Aku tahu sesuatu telah membuatmu gelisah.”
“Dulu satu-satunya hal yang membuatku gelisah adalah ulah dan perbuatanmu. Sekarang ada banyak hal yang membuatku gelisah.”
“Terima kasih kamu masih mau memikirkan teman kecilmu yang sontoloyo ini.”
“Gatot, kuharap kamu tidak kembali ke jalan menyesatkan itu.” pinta Murti.
“Aku akan berusaha, Mur.” janji Gatot.
“Berusahalah demi hubungan kita.”
Murti dan Gatot berpisah di jalan depan rumah. Gatot sekali lagi harus bolak-balik antara rumah dan kolam pancing untuk memenuhi perintah majikannya. Sedangkan Murti sekali lagi harus kembali masuk ke dalam kamar sambil menunggu Pak Camat pulang. Dulu dimasa kecil, kamar ini menjadi tempatnya bermain bersama Gatot, dari permainan biasa seperti halma, dakon, main monopoli, sampai permainan luar biasa seperti saling kejar, saling bergulingan, saling piting sana-sini, dan saling tarik menarik ini-inu. Semua terjadi tanpa aturan, tanpa ada batas. Dan kini kamar itu menjadi saksi perselingkuhan antara dirinya dengan Gatot tadi siang.
Lamunan Murti terputus oleh derap langkah kaki Pak Camat dari luar. Murti sudah menghapalnya.
“Mur, lihat yang kubawa pulang.” kata Pak Camat menunjukkan hasil pancingannya.
“Banyak sekali, Mas. Jangan-jangan beli di pasar.”
“Ya ampun, Mur, ini hasil pancinganku dan pancingan si Gatot. Dia memberikan pada kita.”
“Lalu mana Gatot?”
“Langsung pulang. Kamu masak yang enak ya. Jangan lupa anterin sebagian ke rumah Gatot.”
“Mas Joko sajalah yang ngantar ke sana. Nggak enak dilihat tetangga.”
“Ya antar lewat belakang dong. Ternyata Gatot itu luar biasa, Mur, nyambung kalo diajak ngomong.”
“Ya sudah, Mas Joko mandi dulu. Baunya bikin eneg.”
Murti membawa ikan hasil tangkapan ke dapur. Butuh waktu hampir dua jam mengolah ikan-ikan itu sampai menjadi masakan yang lezat. Murti berusaha membuat masakannya senikmat mungkin karena bukan hanya akan dimakan keluarganya saja, tetapi juga akan dimakan oleh Gatot. Ada rasa ragu antara ya dan tidak untuk mengantar masakannya ke rumah Gatot. Ia takut kejadian tadi siang akan terulang, padahal Pak Camat lagi ada di rumah. Tapi pada akhirnya, Murti memutuskan untuk mengantar juga. Dibalik keremangan malam, dia pun mengendap-endap lewat belakang rumah, lalu melintasi tembok dan dalam sekejap sampai di dapur Gatot.
Murti meletakkan masakan di atas meja lalu merayap halus mendekati kamar Gatot. Matanya nanar melihat Gatot yang tidur meringkuk di atas kasur lusuh. Murti tak mau mengganggu, jadi ia kembali merayap ke belakang dan melintasi pagar sampai di dapurnya sendiri.
“Sudah kamu antar?” tanya Pak Camat.
“Sudah, Mas. Gatot lagi tidur, jadi kutaruh saja diatas mejanya.” jelas Murti.
“Bagaimana dengan arisan Darma Wanitanya, Murti?”
“Seperti itulah, Mas. Ibu-ibu berkumpul cuma untuk menggosip.” sahut Murti.
“Membicarakan tentang kita kan?” tebak suaminya.
“Kok Mas Joko tahu?” Murti heran.
“Telingaku ini masih bolong semua, Mur. Ke kamar yuk,” ajak suaminya.
“Masih juga jam segini. Nonton TV dulu ya, Mas.” Murti tahu apa yang diinginkan oleh laki-laki itu, tapi Murti masih lelah setelah main dengan Gatot tadi siang.
“Tapi nonton TV sambil anu ya?” Pak Camat terus menggoda.
Murti mesem dan Pak Camat langsung kesengsem. Tak ada rotan akarpun jadi. Tak ada tempat tidur, karpet pun jadi. Murti asyik menonton sex and the city, sementara Pak Camat sibuk sex bersama istri. Murti ngiler melihat tubuh seksi para artis luar negeri, sedangkan Pak Camat air liurnya sudah mengalir di sekujur tubuh seksi si Murti. Ketika film di TV sudah the end, namun Pak Camat masih pengen. TV sudah mati, tapi barang Pak Camat masih tegak berdiri. Sampai Murti menggoyangnya hingga benda itu terkulai lemas tak lama kemudian.
“Kita sudah berjuang sekeras ini, tapi belum ada hasilnya juga ya, Mur.” kata Pak Camat sambil mempermainkan memek basah Murti.
“Sabar, Mas. Semuanya Tuhan yang menentukan.” jawab Murti kalem.
“Yang penting kita sudah berusaha kan, Mur?” tanya Pak Camat lagi, mulutnya dengan nakal menciumi payudara Murti satu per satu.
Murti tersenyum, mencoba untuk berbesar hati. Semua memang butuh kesabaran karena orang sabar akan dapat imbalan yang setimpal. Seperti dirinya yang sabar menanti Gatot menyetubuhinya dan kini kesabaran itu membuahkan hasil.
8303Please respect copyright.PENANAVmgMau2VxQ