Manakala mimpi buruk itu berulang dan berulang lagi, hampir setiap malam. Mimpi itu bukan saja membuat Riana ketakutan dan sempat demam akibat kurang tidur. Dia pun tidak lagi yakin pada diri sendiri bahwa apa yang dialaminya tak lebih dari bunga-bunga tidur belaka. Ini adalah pertanda. Apalagi para tetangga sudah mulai bergunjing, hingga ia akhirnya tak kuasa juga menahan maksud untuk pergi bertanya pada dukun.
“Ke dukun?” hanya itu yang dapat kukatakan saat Riana mengajakku, seminggu setelah acara ultah putri Cecil. Dia mengangguk lirih. “Saya tahu ini bertentangan dengan agama. Tapi, saya nggak tahu lagi harus berbuat apa, Pak!”
“Mungkin kamu bisa menyelidiki dulu, siapa tahu itu hanya rumor,” aku menasihatkan. Riana menggeleng. “Ada salah satu tetangga yang membawa foto Mas Ilham sedang memeluk perempuan lain.”
“Mungkin itu teman bisnisnya,”
“Suamiku hanya tukang batu, Pak. Dia nggak punya teman bisnis!”
Aku terdiam. Di depanku, Riana mulai menangis tersedu. Aku jadi tak tega—atau lebih tepatnya tak mau—menolak ajakannya. “Apa kamu yakin
dukun ini benar-benar bisa membantu?”
Dia mengangguk. “Mbak Selvi,” Dia menyebut salah satu tetangga kami.
“suaminya juga pernah selingkuh. Setelah dibawa ke dukun ini, suaminya langsung balik dan rumah tangga mereka harmonis sampai saat ini. Saya tahu dukun ini juga dari Mbak Selvi.”
“Hmm, ya. Mungkin memang ampuh. Tapi setiap dukun biasanya ada syaratnya.”
“Memang ada syaratnya,” Riana berkata, berbisik. Takut didengar oleh ibu-ibu lain.
“Apa?”
“Saya harus berangkat berdua ke dukun itu. Harus membawa teman lelaki, tetapi tidak boleh bertalian darah.”
“Lho, kenapa?”
“Saya nggak tahu. Pokoknya syaratnya begitu.”
“Kamu percaya?”
“Mbak Selvi sudah membuktikan. Segala perkataan dukun itu telah terbukti.”
“Dulu si Selvi pergi sama siapa?” Riana menggeleng. “Dia nggak cerita. Mungkin sama sopirnya, sekalian ada yang ngantar.”
“Dan kamu, ingin mengajakku?” tanyaku memastikan.
“Itu kalau Pak Bakri setuju,” Riana menatapku penuh harap. “Saya nggak tahu lagi harus minta tolong kepada siapa!”
Aku terdiam sejenak, pura-pura berpikir. “Baiklah, kapan kita berangkat?” Riana tersenyum, senang dan lega. “Saya tahu Bapak pasti mau. Rencanaku, minggu kita ke sana, saat sekolah libur.”
“Boleh, aku juga banyak waktu luang kalau minggu.”
“Nanti anakku biar kutitipkan kepada neneknya,” Riana berkata. Jukardi nama dukun itu, atau biasa dipanggil Ki Kardi. Karena profesinya, dan karena usianya yang sudah lanjut, mendekati tiga perempat abad. Termasuk penduduk asli daerah itu, dan ia adalah sedikit orang tua-tua yang masih tersisa selama pertempuran-pertempuran melawan penjajahan. Mata tua Jukardi berbinar-binar waktu melihat Riana. Dia bersila di depan tempat kemenyan yang berasap tipis. Lalu memejamkan mata dan komat-kamit sebentar. Setelah jeda yang agak lama, baru ia berkata, “Ada keinginan apa, sehingga Mbak datang ke sini?”
Riana menjawab, “Begini, Ki. Saya sudah menikah dan memiliki suami. Tetapi akhir-akhir ini sepertinya suami saya itu selingkuh. Saya sudah melakukan segalanya untuk memperbaiki rumah tangga, tapi selalu gagal. Nah, menurut teman saya yang pernah kemari, Aki ini katanya pintar sekali dan manjur. Maka saya ke sini minta bantuan Aki agar rumah tangga saya kembali
harmonis.”
Dukun itu manggut-manggut. Setelah terdiam lagi beberapa saat, ia berkata, “Bisa. Bisa. Tapi, syarat untuk mencapai keinginan ini berat sekali.
Kamu yakin mau melakukannya?”
“Syarat apa itu, Ki? Kalau mampu, maka saya pasti akan melakukannya,” kata Riana penuh tekad. Jukardi tampak buru-buru menutup diri. Melamun sejenak, dengan wajah keruh. Murung. Lalu menambahkan, “Syarat ini tidak perlu membunuh, tidak akan menyakiti orang lain, malahan akan memberikan kebaikan pada diri
sendiri.” Riana menatapku dan bertanya, “Bagaimana, Pak?” tanyanya, tersedak.
“Yah terserah Mbak aja. Saya di sini kan cuma mengantar.”
Akhirnya Riana mengangguk setuju. Dan ritual pun dilakukan. Jukardi merapal mantera-mantera yang tak jelas, sambil mengawasi permukaan air di baskom. Aku tak melihat apa-apa, kecuali permukaan air yang sebening kaca, dengan aneka ragam rempah dan biji-bijian tergenang di dasarnya. Tetapi lain halnya dengan Jukardi. Matanya hampir tak mengerdip mengawasi isi baskom, sebelum kemudian ia berujar dalam bisikan. “Syaratnya adalah kau harus melakukan ritual sebanyak sebulan tiga kali,” katanya pada Riana. “Untuk membuat jin-jin membantu merebut kembali suamimu.” Sang dukun berdehem dan kemudian melanjutkan pembicaraan,
“Ritual ini adalah ritual seks.”
“A-APA?!” Kami berdua kaget setengah mati. Ritual seks? Antara aku dan Riana? Betapa beruntungnya aku. Namun sepertinya Riana tidak berpikir sama. “Tapi, Ki. Kami kan bukan suami istri!” teriaknya keras.
9825Please respect copyright.PENANAvcGvu9JLCQ
“Justru di situlah kuncinya.” Jukardi tersenyum. “Selama ini, aku menganjurkan ritual dengan lelaki yang bukan suami. Berselingkuh dengan lelaki lain membuat jin-jin milikku akan datang menonton dan bekerja kepada pasangan tidak sah itu. Semakin bergairah mereka melakukannya, dapat dipastikan jin-jin yang datang akan lebih banyak!” Riana masih tetap tak terima, mulai sadar kalau telah masuk ke dalam
perangkap. “T-tapi… Ki…” Sang Dukun memotong, “Boleh saja kau mengabaikannya. Tapi jangan minta bantuanku kalau rumah tanggamu benar-benar hancur. Sudah terlihat jelas di sini!” Jukardi kembali memandangi mangkoknya. Riana membelalakkan mata. Pergi ke dukun sudah parah, kini malah disuruh melakukan seks dengan laki-laki asing. Yaitu aku! Yuhuii. Rupanya dukun ini adalah dukun ilmu hitam. Ada rasa penyesalan yang terlihat di wajah cantik Riana. Beda denganku, yang terus berdoa dan berharap sedari tadi. Moga-moga Riana mau menerimanya. Bingung mau berkata apa, Riana akhirnya mengangguk. Hampir aku melompat karena saking senangnya.
“Untuk ritual pertama, kalian harus melakukannya di sini. Tepat di depanku.”
“Ki..!!” Riana kembali memekik tak percaya.
“Selama ritual, aku harus memasukkan mantera dan jampi-jampi kepadamu.” Jukardi berkata santai. “Itulah tujuannya. Dengan begitu, suamimu jadi tidak dapat berpaling darimu.” Riana tidak dapat membantah lagi. Sementara aku, bersorak dalam hati. Sungguh tak percaya aku mendengarnya. Mulai kubayangkan tubuh molek Riana yang sebentar lagi akan kusetubuhi, dan kontolku langsung ngaceng dibuatnya!
Jukardi minta waktu untuk mempersiapkan sesaji. Dia masuk ke kamar sebelah, meninggalkan aku dan Riana hanya berdua.
“Mbak tidak perlu melakukan ini,” aku berkata, pura-pura. “Mungkin masih ada cara lain.”
Riana terdiam, lalu berkata. “Tidak apa-apa, Pak. Aku rela, asal rumah tanggaku kembali seperti semula.”
“Dengan mengobankan tubuhmu?”
Dia tidak menjawab. Jukardi kembali tak lama kemudian. “Sesajinya sudah siap!”
Entah bagaimana caranya, dalam tempo singkat, ia sudah memperoleh sesaji yang dimaksud. Seekor ayam jantan yang serba putih: bulunya, paruhnya, kulitnya, taji, bahkan geIambirnya. Aku sampai tak percaya.
“Bagaimana, Mbak. sudah siap?” tanya sang Dukun. Dia tidak bertanya padaku karena tentu aku sangat siap. Riana mengangguk lirih, menunduk menatap lantai. Jukardi menghala napas panjang. Komat-kamit sebentar. Lalu sesaat sebelum Ritual dimulai, dilakukanlah upacara sesembahan. Ia menyembelih lalu mengucurkan darah ayam tadi ke tempat dimana aku dan Riana akan bersetubuh.
“Sebagai pemuas dahaga para Jin!” kata Jukardi.
Ayam langka kini sudah tinggal bangkai dengan leher terpenggal. Dan di bekas darah dikucurkan, tampak asap tipis mengepul dari tanah. Bahkan aku melihat dengan mata kepala sendiri, sisa tetes darah ayam bagaikan tersedot ke dalam tanah. Menyisakan noda hitam bagaikan hangus terbakar!
“Sesaji sudah diterima!” telingaku menangkap bisikan lirih Jukardi, “Ritual bisa kalian mulai sekarang!” Waktu sudah diberikan. Tapi antara aku dan Riana tidak ada yang berani bergerak. Riana tetap menunduk memandang lantai, sedangkan aku meliriknya penuh nafsu. Jukardi yang mengetahui kerikuhan kami, berbicara.
“Mmm, mungkin bisa kalian awali dengan saling memeluk!”
Aku dan Riana bertatapan. Kulihat wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Dia terlihat ringkih, tetapi tetap cantik dan menarik. Matanya mengisyaratkan permohonan. Kubalas dengan memasang muka sedih, kecewa, kaget dan lain-
lain. Namun hatiku berbunga-bunga. Dalam hati aku begitu bahagia hingga harus bersusah payah menahan senyum di wajah.
“Lakukan, Pak. Aku sudah siap.” Riana berkata, serak.
“Maafkan aku, Mbak.” Pelan aku merengkuh bahunya, dan dia hanya pasrah saja. Saat meraba pundak, bisa kurasakan tali beha yang ia kenakan. Riana mendehem, gugup. “Kita lakukan ritual ini selama sebulan, Pak. Terus kita lihat apakah ada hasilnya? Bila nggak ada, maka saya mohon agar Bapak melupakan semua ini dan memaafkan kekhilafan saya.”
“Bila ada perubahan dan suami Mbak kembali?”
Riana menggeleng, “Tentunya kita harus mengakhirinya. Gimana, Bapak setuju?”
“Jadi, berhasil tidak berhasil… kita tetap melakukannya selama sebulan, sebanyak tiga kali?”
“Kenapa, Bapak keberatan?”
“Siapa bilang!” Semakin erat aku memeluk tubuhnya, deg-degan sekali. Dan kaget saat Riana dengan tiba-tiba mengurai celanaku hingga terlepas.
“Oh, Pak!” tatapnya kagum pada batang penisku.
“Kenapa?” aku pura-pura tak tahu.
Tidak menjawab, Riana terus memandangi. Tak berkedip ia melihat kontolku yang sudah tegak berdiri akibat pembicaraan ini. Terlihat di raut mukanya bahwa ia kaget. Mungkin tak menyangka kalau aku yang tua renta bisa memiliki kontol sedahsyat ini.
“Kita nggak harus telanjang kan, Ki?” tanyanya pada Sang Dukun.
“Ya,” Jukardi manggut-manggut. “Asal alat kelamin kalian saling menempel, dan pejuhnya keluar di dalam memekmu!” Riana berjengit, merasa risih mendengar kata-kata vulgar itu. “Baik, Pak.”
9825Please respect copyright.PENANAqnp7Ev4tn4
Dia akhirnya berbisik kepadaku. “Jadi kita tidak perlu ciuman, buka seluruh pakaian, dan lain-lain seperti sepasang suami istri. Saya tetap akan pakai baju. Dan Bapak nggak boleh pegang-pegang tubuh saya. Biar saya di atas saja. QPak Bakri diam di bawah.”
Maka aku berbaring diam. Menunggu. Kuperhatikan Riana yang melepas
kain celana dalamnya, lalu mengangkat baju gamisnya hingga ke pinggang, memperlihatkan sepasang kaki jenjang yang putih mulus, juga bulatan paha dan pantat yang menggairahkan sekali. Jembut di selangkangannya lumayan lebat, aku jadi tak bisa melihat bentuk kemaluannya. Tak apa, yang penting aku bisa merasakannya. Riana mulai naik ke atas tubuhku. Lalu menekan kontolku sampai menempel di selangkangannya dengan tangan kiri, dan kemudian mendudukinya. Bisa kurasakan bibir memeknya yang berusaha untuk menelan, tapi tidak bisa. Entah karena miliknya yang terlalu sempit, atau punyaku yang terlalu besar.
“Kemaluanku harus basah dulu, Mbak.” aku berkata. “Ini masih sangat kering.”
Riana mengangguk mengerti. Jadi pelan, dia mulai menggesek-gesekkannya ke bibir kemaluan, sampai kontolku jadi ikutan basah. Lalu kembali menekan, melanjutkan ritual. Saat itulah aku baru sadar; memeknya sudah basah, berarti Riana mupeng juga selama pembicaraan itu? hahaha… asyik!
Aku dapat merasakan bibir memeknya membuka dan kontolku kini dijepit bibir itu, sementara bagian ujung batang kontolku menekan bagian dalam liang memek Riana, tepat di dinding di mana labium minoranya terletak.
“Ughh…” kami sama-sama melenguh. Entah Riana merasakan apa, tapi yang jelas aku merasa nikmat sekali. Pertama-tama lingkar luar lubang vaginanya dilewati oleh kepala kontolku dengan susah payah. Untuk beberapa saat ujung penisku tidak berhasil masuk lubang kecil itu, lalu plop! Tiba-tiba kepala kontolku sudah masuk ke dalam liang senggama Riana. Lubang memek itu sempit sekali, kepala kontolku bagai sedang dijepit tabung silinder mungil. Riana mendesah bagai sedang makan cabai. Lalu perlahan menurunkan tubuhnya lagi sampai tiga perempat kontolku menggeleser lebih jauh ke dalam lubang kencingnya. Namun, tiba-tiba saja gerakannya berhenti karena kontolku menancap di lingkaran lubang masuk ke rahim miliknya.
“P-punya Bapak b-besar dan panjang. B-belum masuk semua, t-tapi sudah ada di ujung r-rahim saya,” kata Riana dengan nafas tersengal. Sementara itu, memeknya berdenyut-denyut, dan menjepit kontolku dengan begitu kuat. Aku
merasa linu di lutut dan aku mengerang nikmat walaupun kontolku berasa sedikit sakit karena sempitnya memek perempuan berjilbab itu.
Desahan Riana semakin jelas, lalu tiba-tiba ia menghempaskan tubuhnya ke bawah sehingga kini kontolku ambles ke dalam liang persenggamaan miliknya. Seluruhnya! Aku dapat merasakan kepala kontolku melewati lubang masuk rahim Riana dan kini kepala kontolku serta sedikit bagian batang sudah ada di dalam lorong rahimnya.
Riana melenguh kecil, “Uuuuuuuh… Belum pernah ada yang masuk sampai sejauh ini. Punya Bapak memang…” Matanya terpejam erat. Wajahnya
meringis. Nafasnya memburu.
9825Please respect copyright.PENANAN1dDTrNbn4
Sementara itu, aku menjadi serba salah. Ingin rasanya kupeluk dia lalu kuentoti dengan buas, namun aku takut dimarahi. Kepalaku jadi pusing menahan birahi. Dinding vagina Riana yang halus dan basah itu begitu kuat menjepit batang kontolku, seakan ingin mengenyotnya. Lubang itu membuka dan menutup seiring irama nafas Riana yang mulai cepat. Dia terus terdiam, dengan alat kelaminku berada di kedalaman liang memeknya. Kukira kami akan terus begitu sampai pejuhku muncrat—yang mana itu bisa saja terjadi karena empotan memek Riana memang sungguh luar biasa—tapi,
beberapa saat kemudian, kurasakan Riana mulai bergerak menaik-turunkan pantatnya. Dia mulai mengentotiku dengan perlahan-lahan. Riana menopang tubuhnya dengan memegang dadaku, kemudian ia menurunkan kembali kain bajunya hingga jatuh menutupi kaki, menghalangi pandanganku terhadap alat kelamin kami yang sudah bertaut erat. Tak apa, meski tidak bisa melihat, yang penting tetap bisa kurasakan lorong memeknya yang menggesek di batang kontolku. Sempit, ketat, hangat, dan juga lembab
sekali. Selama proses ini, Riana memejamkan matanya. Duh, cantik sekali. Pengalaman ini akan terus kuingat sepanjang hidupku. Walaupun dia tidak membuka pakaian, namun aku merasakan sensualitas yang sangat tinggi. Lebih daripada saat aku menyetubuhi perempuan dengan tubuh telanjang. Dapat kucium bau badan Riana yang perlahan menguar; wangi sabun dan juga wangi kemaluannya tercampur di udara, memasuki hidungku. Membuatku jadi
makin ngaceng lagi. Kedua tanganku meremas baju, sementara mataku berusaha melihat selangkangan kami berdua, namun baju Riana menghalangi. Kupandangi wajahnya yang cantik itu. Dahi Riana mengerut seakan menahan sakit dan matanya terpejam rapat. Nafasnya yang mulai memburu mengeluarkan suara desahan yang tertahan. Semakin lama nafasnya menjadi semakin cepat dan hembusannya makin terasa di wajahku. Nafas Riana tercium begitu segar.
Selama memeknya mengocoki burungku, selama itu pula Sang Dukun melihat. Dia komat-kamit membaca mantera sambil berkali-kali meniup air di dalam mangkok. Air yang tadinya bening, mulai berubah jadi kekuningan, lalu coklat, dan akhirnya merah gelap seperti darah. Perubahan selanjutnya tidak lagi kuperhatikan karena selangkanganku kini sudah basah oleh lendir vagina Riana. Bau yang menguar dari dalam kemaluannya menjadi semakin kuat, mengalahkan wangi sabun yang merebak sedari tadi. Itu bau tubuh Riana yang sedang birahi, bau yang belum pernah kucium sebelumnya, karena selama ini Riana tidak pernah birahi di dekatku.
Beda denganku, yang senantiasa ngaceng kalau berdekatan dengannya. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kontolku yang tadinya hanya bisa memimpikan hal ini, kini sudah benar-benar merasakannya. Kunikmati bagaimana memek Riana yang menyedot-nyedot batangku, mengirimkan sensasi sensual yang menjalar dari burung hingga keseluruh tubuh. Aku setuju bahwa ngentot itu adalah pekerjaan yang paling enak dilakukan, apalagi bila dilakukan dengan perempuan secantik Riana.
Makin lama pantat Riana makin cepat bergoyang. Selangkangannya menumbuki selangkanganku dengan bunyi yang terdengar keras. Mulut Riana mulai membuka dan desahannya mulai berubah menjadi erangan.
9825Please respect copyright.PENANAPDYAzSwrXb
“Aaahhhhhhhhhhhh… aaaaaaaaarhhhhh… aaaaaaaaaaahhh…”
Tiba-tiba Riana merebahkan diri di tubuhku dengan mata masih terpejam. Kedua tangannya memeluk pundakku dari luar kedua tangan, menjepit kedua tanganku di samping tubuh dengan telapak tangan mengarah ke depan,sehingga ia memegang pundakku dari belakang. Dapat kurasakan kedua payudaranya yang lumayan besar menekan dadaku dari balik baju dan jilbab yang ia kenakan. Aku tidak tahu kekenyalannya karena masih ada beha yang menghalangi. Namun yang jelas, sensasi himpitan itu membuat birahiku kian membumbung tinggi. Bau tubuh Riana yang begitu erotis dan sensual membuatku gila. Ingin
sekali aku merengkuh tubuhnya dan balas mengentotinya dengan liar. Aku pikir karena dia sudah memeluk, maka aku pun tak apa memeluknya. Oleh karena itu, kupeluk dia dengan telapak tanganku memegangi pantatnya.
Ketika aku mulai meremasi pantat sekal itu, Riana kurasakan kaget karena menarik nafas tiba-tiba. Kupikir ia akan marah, namun ternyata ia melanjutkan erangannya. “Yaaaaaaaaaaah… aaaaaaaaaaaaaahhhhh… hhhhhhhhhhhh…”
Pipi kami berdua kini menempel. Pelukan Riana semakin erat saja, dan selangkangan kami kini sudah basah kuyup oleh cairan vaginanya. Suara
selangkangan kami yang beradu dengan begitu cepat dan keras terdengar memenuhi ruangan kamar.
“Plok-plok-plok-plok-plok…” Ditingkahi erangan Riana yang terus menerus mengatakan ‘yah’ dan ‘ah’ secara berulang-ulang. Aku jadi ikut terbawa suasana. Kuberanikan diri mengerang perlahan,
“Aaaaaahhhhhh… ahhhhhhhhhhhhhhh… Mbaak! Aaaaaaaaaaaahhhhhh…
Mbak Rianaa…”
Sengaja kupanggil dia disela-sela eranganku karena hal ini membuatku semakin bernafsu. Dengan memanggil namanya, maka tersirat bahwa aku menyadari bahwa sedang bersetubuh dengannya, dan aku menyukainya. Entah apakah Riana menyadari… aku tak perduli.Reaksi Riana hanya terus mengerang, namun pipinya kini diusap-usapkan ke pipiku. Sementara pelukannya kurasakan kian mengerat. Pantatnya pun kini digerakkan naik turun dengan begitu cepat dan keras, membuatku merasa sedikit sakit karena harus berbaring di lantai kamar yang dingin. Tiba-tiba Riana menekan pantatnya dalam-dalam sambil memelukku erat.
9825Please respect copyright.PENANA6n9MeDvxrH
Pipinya pun ditekan keras-keras di pipiku. Dan kini dia tidak mengerang, melainkan berteriak keras-keras, “Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh…”
Kurasakan selangkangannya dan terutama dinding memeknya bergetar bagaikan tubuh orang yang sedang kedinginan, sambil menjepit kontolku kuat-kuat. Kejadian berikutnya berlangsung begitu cepat. Aku tak kuasa menahan birahi yang sedari tadi coba kutahan-tahan. Rasanya begitu nikmat dijepit memek yang hangat dan licin itu. Entah bagaimana, naluriku yang mengambil alih. Aku lepas kedua tangan dari pantat Riana, lalu kupeluk tubuhnya erat-erat, kemudian aku memutar badan bagaikan pegulat professional sehingga kini aku
yang berada di atas. Riana masih orgasme namun membalas dengan merangkulku; satu tangan mendekap di belakang kepala, sementara satu tangannya yang lain memeluk bahuku. Kedua kakinya juga turut melingkar, merangkul bagian bawah tubuhku dengan kedua tumit ditekan ke pantatku. Setelah kutindih, dengan secepat mungkin dan sekuat tenaga, kukocok
lubang memeknya. Kusedot pula pipi halus Riana. Bibirnya sengaja tidak kusentuh—meski aku sangat ingin sekali—sebelum dia yang mengajak. Riana mengerang semakin keras dan memelukku erat-erat. Kulitnya terasa begitu halus di mulutku. Kupagut seluruh wajah cantiknya, kuciumi tanpa pernah bosan. Sementara memek Riana yang sempit itu kuhujami berkali-kali, sekuat-kuatnya. Hingga akhirnya aku sampai juga.
“Crooot… crooott… crooottt…” Kutumpahkan air maniku di dalam rahim perempuan cantik itu. Hangat dan kental, juga banyak sekali. Kami terdiam beberapa lama. Lalu tanpa bicara, Riana mendorong tubuhku sehingga tak lagi menindihnya, lalu ia bangkit untuk membenahi bajunya yang awut-awutan. Jukardi tersenyum menatap kami berdua. Air di dalam baskom sudah berubah menjadi hitam. Dia mengambilnya sesendok dan menyuruh Riana agar meminumnya.
9825Please respect copyright.PENANAJlmK9JgZhv
“Para jin senang dengan pertunjukan kalian,” Jukardi terkekeh. “Mereka menerima persembahanmu!”
Riana menatap air di sendok dengan curiga, namun akhirnya tetap meminumnya. Mungkin rasanya agak pahit karena kuperhatikan dia agak sedikit mengernyit. Aku kembali mengenakan celana, tidak berkata apa-apa sebelum Riana yang bertanya. Jukardi mengatakan kalau ritual sudah selesai dan kami diperbolehkan pulang.
“Ingat, ulangi dua kali lagi sebelum bulan ini berakhir.” pesannya saat kami keluar.
Aku mengangguk, sementara Riana tidak berkata apa-apa. Sensasi persetubuhan itu, dan juga bayangan Riana yang ternyata juga menikmati, mengiringi hari-hariku selanjutnya. Berkali-kali aku ingin mendekati Riana, sekedar ingin mengajaknya berbincang, tapi dia seperti menjauh. Mungkin malu. Atau baru sadar kalau perbuatan kami salah. Hingga aku akhirnya menyerah. Biarlah dia yang memutuskan. Kalau memang ingin lanjut, aku selalu siap.
9825Please respect copyright.PENANA0kmBBRD7lR