Gaby Selepas petang, aku melamun sendirian di ruang tamu. Aku bimbang. Aku berencana untuk memenuhi keinginan busuk Cakra, demi keselamatan Mas Hendra. Tapi, aku juga belum siap. Aku tidak rela Cakra menyetubuhiku lagi. Lagipula aku juga tidak berani pergi ke rumahnya malam-malam tanpa pakaian. Itu adalah hal gila yang sungguh tidak layak dilakukan oleh perempuan baik-baik sepertiku. Aku coba meminta kepada Cakra untuk membatalkan niatnya itu. Barangkali ia masih punya hati untuk mendengar permintaanku. Segera aku raih ponselku, lalu meneleponnya. Setelah beberapa kali terdengar nada sambung, teleponku diangkat. “Halo,” kata Cakra di ujung telepon sana. “Halo Mas Cakra, ini aku, Gaby,” ucapku, dengan nada agak gemetar. “Mas, aku tidak bisa menuruti kemauan Mas Cakra. Tapi aku mohon dengan sangat, Mas, jangan celakakan Mas Hendra....” “Ketentuanku sudah jelas! Kalau kamu nggak mau, tanggung sendiri akibatnya!” bentak Cakra. Seketika rasa takut mendera hatiku. “Aku mohon, Mas. Aku nggak bisa melakukan hal itu. Tolong, Mas...,” aku mulai terisak. “Masa bodoh! Besok pagi saat Hendra berangkat kerja, aku dan teman-temanku akan menculiknya! Kamu siap-siap saja mendengar kabar duka tentang Hendra,” kata Cakra, tajam. Aku menutup mulutku, tidak sanggup membayangkan hal-hal buruk yang bakalan menimpa Mas Hendra jika aku tidak mau memenuhi keinginan Cakra. Tubuhku lemas. Pikiranku pun kacau. Tiba-tiba, Cakra menutup teleponnya. Aku panik, lalu segera meneleponnya lagi. “Mas... Mas... baiklah, nanti malam aku akan datang ke rumah Mas Cakra. Tapi tolong, izinkan aku memakai pakaian. Kali ini tolong kabulkan permintaanku, Mas. Aku akan melakukan apa pun yang Mas Cakra mau. Apa pun. Tapi aku mohon biarkan aku memakai pakaian saat ke rumah Mas Cakra nanti,” aku berucap dengan hati-hati supaya Cakra tidak kehilangan kesabaran. “Kemauanku sudah jelas. Nggak bisa ditawar lagi,” Cakra berkata dengan singkat, lalu menutup teleponnya. Aku langsung terduduk lemas. **** Mas Hendra baru pulang pada jam 9 malam. Ia kelihatan sangat lelah. Aku merasa kasihan sekali. Ia telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kami, dan tentu saja menabung. Kami bermimpi untuk membeli rumah sehingga tidak perlu mengontrak lagi. “Mas, langsung mandi, ya. Aku akan memanaskan makanan, lalu kita makan bersama-sama,” kataku kepada Mas Hendra. “Lho, kamu belum makan?” “Belum, Mas. Aku sengaja menunggu Mas Hendra,” ujarku, lembut. Mas Hendra tersenyum, lalu bergegas ke kamar mandi. Mas Hendra terlihat lebih segar setelah mandi. Kami pun segera makan malam. Mas Hendra makan dengan lahap. Rupanya ia benar-benar kelaparan. Tenaganya terkuras untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya yang menumpuk. Setelah makan, kami langsung masuk ke kamar. “Sayang, aku capek banget. Aku tidur duluan, ya,” ujar Mas Hendra, lantas memejamkan matanya. Aku tersenyum, lalu mengecup keningnya. Tidak berapa lama kemudian, ia tampak tertidur dengan pulas, sementara aku masih terjaga karena gelisah. Sebenarnya aku bersyukur Mas Hendra pulang dalam keadaan lelah. Kalau sudah begitu, biasanya ia akan tidur sampai pagi tanpa terbangun sama sekali. Jadi sepertinya nanti aku bisa pergi ke rumah Cakra dengan tenang. Aku mencoba tidur, dan sudah memasang alarm pukul setengah satu dini hari. Lumayan jika aku bisa tidur selama satu atau dua jam. Tapi, mataku tidak kunjung terpejam. Aku terlalu gelisah. Aku sudah coba membaca buku, tapi tetap saja rasa rasa kantuk tidak kunjung datang. Hingga akhirnya tanpa terasa waktu yang ditentukan telah tiba. Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul satu kurang lima belas menit. Aku beranjak dari tempat tidur dengan perlahan, lalu keluar kamar. Sesaat sebelum menutup pintu, aku memandang Mas Hendra yang sedang tidur nyenyak. “Mas, maafkan aku...,”ujarku, lirih, nyaris terisak. Untuk berjaga-jaga, aku mengunci pintu kamar dari luar. Aku berpindah ke kamar tidur tamu, berdiri di depan cermin besar di sana. Aku mulai melucuti dasterku hingga tinggal mengenakan pakaian dalam saja. Aku merapikan rambutku, lalu menjepitnya dengan jepitan rambut. Saat lenganku terangkat, tampak ketiakku yang halus dan mulus. Tadi siang aku memang baru saja mencukurnya. Aku melepas BH-ku perlahan hingga tersingkaplah dadaku yang bulat dan indah. Kemudian aku melepas celana dalam. Aku memandang tubuhku dari depan cermin. Daerah kewanitaanku tampak memesona dengan bulu-bulu hitam yang tercukur rapi, kontras dengan pahaku yang putih dan berisi. Dalam hati, aku kagum pada tubuhku sendiri, begitu sintal dan mulus. Padahal, aku tidak pernah melakukan perawatan tubuh secara khusus. Aku segera menuju pintu belakang. Tak kusangka, rupanya Cakra sudah menunggu di pintu belakang rumahnya sambil merokok. Aku memandang sekeliling dengan berdebar-debar, takut ada orang yang melihatku. Setelah menarik napas, aku langsung melangkah menuju rumah Cakra. Ya, tanpa pakaian sehelaipun! Benar-benar telanjang! Aku berjalan dengan napas memburu. Aku sangat takut bila sampai ketahuan orang. Aku langsung menghampiri Cakra. Ia tampak terpukau sejenak, melihat tubuhku dari atas ke bawah dengan pandangan penuh kekaguman. Aku merasa risih, lalu memaksa masuk ke dalam rumahnya. Cakra membawaku ke kamarnya. Aku langsung duduk di tempat tidurnya sambil berusaha menutupi dada dan kemaluanku, sementara ia keluar sebentar untuk menutup pintu belakang. Setelah masuk kamar, ia langsung mengunci pintunya, lalu membuka kausnya. Lagi-lagi aku terpesona dengan dadanya yang bidang dan perutnya yang sixpack, tubuh yang menjadi objek khayalanku saat aku bermasturbasi beberapa hari yang lalu. “Gaby, terima kasih sudah datang,” ujarnya sambil terkekeh. Aku hanya membuang mukaku, sembari menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Cakra menghampiriku, lalu berusaha menciumku. “Ayo Gaby, layaniku aku lagi,” ujarnya. Kata-katanya benar-benar kurang ajar, seolah-olah aku adalah pelacur yang bisa dinikmatinya kapan saja. Aku berusaha menghindar. Namun, upayaku kalah oleh tangan Cakra yang kekar. Ia berhasil menarik wajahku, lalu mencium bibirku dengan penuh nafsu. Aku gelagapan menerima ciumannya. Lidahnya bermain-main di dalam mulutku, sementara tangannya meremas-remas dadaku. Aku benci mengakuinya, tapi gairahku perlahan mulai bangkit. Tanpa aku sadari, aku membalas ciuman Cakra tidak kalah panasnya. Kami berciuman selama beberapa saat. Kemudian, Cakra menurunkan ciumannya ke arah leherku, lantas turun lagi hingga dadaku. Ia menjilat-jilat payudaraku, dan sesekali mencupangnya. Aku hanya bisa pasrah menerima cumbuan yang begitu nikmat itu. Gairahku semakin terbakar saat Cakra mengangkat tanganku, lalu melumat ketiakku. “Ssshhh... ssshhh...,” aku melenguh keenakan. Cakra berhenti sejenak, lalu mengambil tali di samping tempat tidur. Sepertinya ia sudah menyiapkan tali tersebut. “Mau buat apa, Mas?” tanyaku dengan napas tertahan, takut Cakra akan bertindak macam-macam. “Sudah, kamu diam saja. Sini tanganmu!” bentak Cakra. Aku tidak berkata apa-apa lagi, lalu menyerahkan kedua tanganku kepadanya, pasrah. Dia mengikat tanganku dengan erat, lalu mengangkatnya dan mengikatnya ke tiang tempat tidur. Kini tubuhku telentang dengan kedua tangan terangkat dan terikat. Cakra terkekeh, lalu mulai menjilati dan mencupang dadaku. Aku mendesah-desah tak karuan. Kemudian, Cakra membuka pahaku. Tanpa banyak kata, ia langsung menjilat vaginaku. Aku semakin belingsatan. Aku menahan gairah dengan merapatkan pahaku hingga kepala Cakra tertekan. Cakra memainkan lidahnya di liang vaginaku pintarnya. Desahanku semakin keras. Namun, aku berusaha menahannya ketika teringat bahwa di rumah itu juga ada nenek Cakra. Aku tidak mau dia tiba-tiba terbangun, lalu melihatku sedang digauli oleh Cakra di rumahnya. Mau taruh di mana mukaku? Kenikmatan yang aku rasakan semakin hebat seiring dengan jilatan Cakra yang semakin cepat. Lidahnya benar-benar lincah. Aku dibuatnya melayang. Tubuhku menggeliat-geliat, namun tanganku tidak bisa apa-apa karena terikat kuat. Setelah puas mengoralku, Cakra melepaskan ikatanku. Ia membuka celananya dengan cepat, lalu menyodorkan penisnya yang sudah tegak itu ke mukaku. Aku tidak kuasa menolaknya, lalu langsung mengulumnya dengan perlahan. Penis Cakra berbau anyir, namun entah kenapa bau tersebut malah semakin meningkatkan nafsuku. Kini sudah tidak ada lagi Gaby sang istri setia. Yang ada hanya Gaby yang sedang diperbudak nafsunya sendiri. Cakra melenguh keenakan sambil memejamkan matanya. Ia tampak begitu menghayati kulumanku. Ia meremas-remas kepalaku, menimbulkan sensasi tersendiri dalam diriku. Aku pun semakin semangat mengoral penis Cakra yang semakin lama semakin keras itu. Penis Cakra membuatku terkagum-kagum. Sangat keras, tegak, dan perkasa. Aaah, aku ingin kembali merasakan penis yang luar biasa itu....Seolah-olah bisa membaca pikiranku, Cakra menghentikan kulumanku, lalu merebahkanku. Aku memandangnya dengan pandangan sayu karena nafsu. Dadaku turun naik seiring dengan napasku yang memburu. Cakra menaikkan kedua kakiku, lalu menggesek-gesekkan penisnya di vaginaku. “Aaah... Aaah...,” aku hanya bisa mendesah, menahan rasa gatal yang luar biasa di vaginaku. “Mas... jangan, Mas...” ujarku, lirih. Tanganku menahan perut Cakra yang kotak-kotak itu, bermaksud mencegahnya. Meskipun aku sangat menginginkan penis Cakra, namun rupanya sebagian diriku masih ingat bahwa aku adalah istri orang. Istri Mas Hendra, pria baik hati dan pekerja keras. Cakra tidak peduli dengan upayaku yang sia-sia itu. Pelan-pelan ia mulai memasukkan penisnya. “Jangan, Mas... Ooouuuuuh...,” aku melenguh panjang saat penis Cakra masuk dengan leluasa ke dalam liang kenikmatanku yang sudah basah itu. Lantas Cakra mulai menyetubuhiku. Ia menggenjotku hingga ranjang yang menjadi saksi kenikmatan kami berdua berderit-derit. “Bagaimana rasanya, Gaby... enak, kan... enak, kan...,” ujar Cakra sambil menyeringai. Sungguh sebuah pertanyaan yang kurang ajar. Namun, aku benar-benar telah dikuasai nafsu. Aku malah menjawab, “Iya, Mas... terus, Mas... terus....” Desahanku sepertinya membuat nafsu Cakra semakin memuncak. Ia memegang kepalaku, lalu melumat bibirku dengan ganasnya, sambil tetap menggenjot dengan kuat. Setelah beberapa lama, dia berhenti menggenjot, lalu menyuruhku menungging. Aku menuruti kemauannya dengan pasrah. Cakra meremas belahan pantatku yang padat itu. Sepertinya ia sangat gemas. Ia menjilat-jilatnya, dan bahkan menggigit-gigitnya. Ia tidak peduli meskipun aku mengaduh kesakitan. Ia tetap memainkan bongkahan pantatku itu dengan kasar. Setelah puas, Cakra lantas memasukkan penisnya. Mataku langsung terpejam merasakan sensasi saat penis Cakra yang keras itu masuk ke vaginaku. Cakra mulai menggenjot lagi sambil mencengkeram belahan pantatku dengan kuatnya. “Plok... plok... plok...,” begitu suara yang muncul saat paha Cakra beradu dengan pantatku. Oooh, nikmat sekali rasanya. “Terus, Mas... setubuhiku aku... perlakukan aku semaumu... terus, Mas...,” aku mulai meracau tak jelas. Tanganku memegang tiang tempat tidur dengan erat. Aku benar-benar telah diperbudak oleh nafsu. Vaginaku pasti sudah basah sekali. Saat penghuni rumah yang lain tertidur lelap, aku dan Cakra memadu kasih dengan panasnya. Seorang istri yang cantik namun tak berdaya, digauli oleh seorang preman bertubuh kekar. Preman itu telah memberiku kenikmatan yang tidak aku dapatkan dari suami yang sangat aku cintai. Tidak lama kemudian, Cakra berhenti menggenjot. Ia berpindah posisi ke bawahku. Rupanya ia menginginkan posisi woman on top. Aku secara spontan naik ke atas tubuhnya, lalu mengarahkan vaginaku ke penis Cakra. Perlahan-lahan kuturunkan tubuhku hingga penis Cakra melesak masuk memenuhi rongga senggamaku. Aku menggigit bibir sambil mendesah. Pada posisi itu, Cakra tidak menggenjot sama sekali. Terpaksa aku menaik-turunkan tubuhku untuk mendapatkan kenikmatan kembali. Kali ini aku yang bergerak aktif. Tanganku meraba-raba dada Cakra yang bidang. Aku menggoyang-goyangkan pinggul dengan mata terpejam sambil mengahayati rasa nikmat yang mendera tubuhku. Saat aku membuka mata, aku lihat Cakra sedang memandangiku sambil terkekeh. Tangannya berada di belakang, menyangka kepalanya dengan santai. Aku merasa malu sekali. Aku seperti seorang pelacur binal yang sedang mendaki puncak kenikmatan bersama seorang berandal. Tiba-tiba, Cakra merengkuh tubuhku, lalu melumat bibirku. Salah satu tangannya memainkan dadaku yang putih dan padat itu dengan kasar. Aku membalas ciumannya dengan tidak kalah ganas pula. Aku mengisap-isap lidah Cakra, lalu menelan ludahnya yang masuk ke dalam mulutku. Sementara itu, Cakra menggenjotku dalam gerakan yang cepat. “Oouh... ouhh... aku mau keluar, Mas,” kataku di sela-sela ciuman panas yang kami lakukan. Cakra membalas ucapanku dengan mempercepat gerakannya. Vaginaku terasa seperti mau meledak. Tubuhku menegang kuat. Kedua tanganku memeluk Cakra dengan erat, seolah tidak mau lepas. Aku sudah benar-benar lupa bahwa dia adalah preman yang kerap berlaku kasar kepada suamiku. Tidak lama kemudian.... “AAAaaaaaah...,” aku menjerit tertahan. Kepalaku mendongak ke atas, dan mataku sayu. Aku serasa terbang ke awang-awang. Waktu seolah-olah berhenti. Aku telah mencapai orgasme dalam posisi woman on top. Aku telah meraih kenikmatan yang luar biasa! Cakra terlihat memperlambat genjotannya. Sepertinya ia memberiku kesempatan untuk menikmati orgasme tersebut. Setelah beberapa detik, aku langsung mencium bibir Cakra dan memeluknya dengan erat, seperti berterima kasih kepadanya karena telah memberiku kenikmatan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Cakra Cakra hendak menuntaskan semuanya. Ia kembali menggenjot dengan cepat sambil mencengkeram pantatku. Napasnya terasa memburu. Kali ini aku membantunya dengan memainkan kedua putingnya dan mengulum telinganya. Aku melakukannya secara spontan. Aku benar-benar sudah seperti seorang pelacur. Leher Cakra terlihat tegang, dan kemudian... “Aaaaaah... Aahh....” ia telah mencapai orgasmenya. Aku merasakan spermanya menyembur di dalam vaginaku. Untuk kedua kalinya, rahimku terisi oleh cairan kelelakiannya. Setelah itu kami terdiam, tetap dalam posisi semula. Napas kami tersengal-sengal. Peluh menghiasi tubuhku dan tubuh Cakra. Aku merasa lemas sekali, juga mengantuk. Kalau saja itu adalah rumahku, maka aku akan langsung tertidur. Tapi, aku harus pulang. Aku segera beranjak dari tempat tidur, melepas penis Cakra dari vaginaku. “Mas, aku pamit pulang. Keburu pagi,” ujarku sambil merapikan rambut. Cakra masih terbaring lemas di ranjang. Ia hanya menyahut singkat. “Ya, pulanglah. Terima kasih untuk malam ini.” “Rupanya preman begundal ini bisa juga berterima kasih,” batinku, heran. Aku teringat, dulu ia juga pernah berterima kasih kepadaku saat menurunkanku di depan rumah setelah aku melayaninya. Sepertinya ia merasa puas sekali hingga bisa berucap terima kasih seperti itu. Aku segera keluar dari kamarnya, menuju pintu belakang. Setelah celingak-celinguk dan memastikan tidak ada orang di sekitar sana, aku langsung melangkah dengan cepat menuju rumah, tentu saja masih dalam keadaan telanjang. Namun, sekarang kondisiku lebih kacau. Rambut acak-acakan, tubuh berkeringat, dan vagina terasa lengket. Setelah tiba di dalam rumah, aku bergegas mengunci pintu, lalu membersihkan diri sekenanya di kamar mandi. Aku sangat lelah dan mengantuk. Seusai mengenakan pakaian, aku masuk ke dalam kamar. Aku lihat Mas Hendra masih tertidur dengan pulas. Ia tidak tahu kejadian apa yang baru saja dialami oleh istrinya. Aku merapikan selimut yang tersingkap dari tubuh Mas Hendra, lalu mengecup kening suamiku itu. Lagi-lagi aku sedih saat teringat bahwa aku mau saja melayani nafsu bejat Cakra, dan bahkan turut menikmatinya. Aku benar-benar merasa bersalah. “Mas Hendra, mohon maafkan aku...,” ucapku dalam hati. Tak terasa, air mataku mengalir. Meskipun sedih, namun tubuhku terasa nyaman dan lega setelah meraih puncak kenikmatan bersama Cakra tadi. Tidak lama kemudian, aku pun tertidur saking lelahnya. ------------------------------- Tak terasa, seminggu sudah sejak peristiwa gila itu terjadi. Sudah seminggu ini pula Cakra tidak terlihat di rumahnya. Mungkin ia sedang “bertugas” bersama teman-temannya, membajak truk-truk yang melewati daerah kekuasaan mereka. Peristiwa malam itu benar-benar membuatku geleng-geleng kepala. Aku hampir tidak percaya telah melakukannya, meninggalkan suamiku pada tengah malam buta, lalu berjalan ke rumah Cakra dalam keadaan telanjang bulat. Kejadian itu masih saja terbayang-bayang. Sensasinya begitu luar biasa. Oooh... mengingatnya membuatku bergairah. Jantungku berdebar-debar. Harus aku akui, nafsu seksku rasanya semakin meningkat saja. Namun, sayang seribu sayang, Mas Hendra tidak bisa mengimbanginya. Aku sudah sering memancing-mancingnya, tapi ia seperti tidak paham sama sekali. Akhirnya aku pun memilih untuk bermasturbasi demi memuaskan hasratku yang semakin tinggi ini. Sensasi yang aku rasakan ketika berjalan ke rumah Cakra tanpa sehelai benang pun sungguh tak terlupakan. Kadang aku ingin mengulang lagi sensasi itu. Seperti yang aku lakukan dua hari yang lalu. Saat itu aku sudah tidak kuat lagi menahan nafsuku. Setelah suamiku tidur, aku berjalan kaki ke sawah di dekat rumah dengan mengenakan daster dan membawa senter. Sesampainya di sana, aku nekat melepaskan seluruh pakaianku. Kemudian aku bermasturbasi di sana, duduk di pinggir sungai di bawah langit malam yang begitu cerah. Aku meremas-remas payudaraku sendiri serta menggesek-gesekkan vaginaku. Ah, rasanya nikmat sekali. Sensasi bertelanjang bulat di ruang terbuka meningkatkan gairahku. Saat itu tidak tebersit sedikitpun dalam pikiranku bahwa bisa saja ada orang yang melewati sawah itu. Aku sudah tidak peduli. Yang aku cari hanyalah kenikmatan. Seiring gairah yang semakin meninggi, aku membaringkan tubuhku di tanah sambil terus memainkan vaginaku. Tentu saja tubuhku menjadi kotor, namun aku tidak peduli. Aku terus bermasturbasi, sambil membayangkan diri diperkosa oleh Cakra. Aku melenguh menahan kenikmatan yang semakin lama semakin naik ke ubun-ubun. Suara desahanku berpadu dengan suara gemericik sungai. Lama-kelamaan vaginaku seperti mau meledak. Aku berusaha menahannya sekuat mungkin. Kedua belahan pahaku merapat, menekan tanganku yang sedang memainkan vaginaku. Aku tahan... aku tahan... aku tahan... hingga akhirnya...Oooohhh.... tiba-tiba saja sejumlah air bening memancar kuat dari vaginaku. Aku mendesah panjang. Mataku terpejam. Tangan kananku meremas daun-daun yang berserakan di tanah. Tubuhku bergetar hebat. Aku benar-benar terbang ke awang-awang. Aaah, rasanya sungguh tiada tara. Baru kali ini aku bermasturbasi sampai “muncrat” seperti itu. Malam itu aku berhasil mencapai puncak kenikmatan yang begitu luar biasa, sendirian tanpa pasangan. Kemudian aku segera memakai kembali pakaianku. Sekadarnya saja tanpa celana dalam, sebab tubuhku kotor terkena debu. Sesampai di rumah, aku pun segera mandi, lalu tidur nyenyak sekali. **** Pagi ini entah kenapa gairahku meningkat lagi. Padahal aku harus segera berangkat ke pasar dan berbelanja. Tiba-tiba, sebuah ide gila tebersit di kepalaku, yakni pergi ke pasar dengan pakaian yang minim tanpa mengenakan celana dalam. Aku kaget sendiri kenapa bisa sampai mendapatkan ide seperti itu. Tentu saja aku tidak mau melakukannya. Pagi-pagi seperti ini banyak juga tetanggaku yang datang ke pasar, dan aku tidak mau mereka melihatku tampil seksi di tempat umum. Meskipun aku sudah mati-matian menolak ide gila itu, tapi entah kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku seperti menantang diri sendiri untuk melakukannya. Aku benar-benar dibuat frustasi. Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikuti kata hatiku. Memutuskan untuk melakukan hal gila tersebut.... **** Aku berkaca di kamar. Aku terlihat begitu seksi, hanya memakai baju terusan mini yang biasa aku pakai untuk tidur. Baju itu memperlihatkan pundak dan sedikit belahan dadaku. Panjang roknya satu jengkal di atas lututku sehingga pahaku yang padat dan putih mulus itu bisa terlihat jelas. Aku merasa semakin seksi saat setelah mengikat rambut panjangku ke atas hingga tengkukku yang bersih dan mulus tersingkap. Aku memutuskan untuk pergi ke pasar yang agak jauh supaya tidak bertemu dengan tetanggaku. Butuh waktu setengah menuju ke sana. Aku harus ke terminal dahulu dengan angkot, lalu naik bus besar sampai di depan pasar yang aku maksud. Aku berangkat dari rumah dengan memakai jaket untuk menutupi bagian atasku. Bagaimanapun aku harus tetap berpakaian dengan sopan saat masih berada di sekitar rumahku. Syukurlah perjalanan cukup lancar. Hingga tidak terasa sampailah aku di tempat tujuan, sebuah pasar tradisional yang cukup besar. Setelah turun dari bus, aku langsung menuju toilet dengan langkah cepat. Jantungku berdebar-debar. Di dalam toilet, aku mengatur napasku sejenak. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku siap untuk melakukan hal ini. Aku mulai melepas jaket sambil menarik napas. Kemudian aku melepas BH-ku perlahan-lahan. Samar-samar puting susuku tampak dari balik baju. Kemudian aku pun menanggalkan celana dalamku. Kini tubuh sintalku hanya terbungkus selembar baju terusan yang relatif mini. Sementara jaket, BH, dan celana dalam segera aku masukkan ke dalam tas. Sesaat aku sempat ragu, apakah aku akan tetap meneruskan rencanaku ini, berkeliling pasar tradisional dengan hanya memakain baju seksi tanpa celana dalam. Tapi aku berpikir, semuanya sudah terjadi sampai sejauh ini. Jika dibatalkan, maka pasti aku akan menyesal. Aku membuka pintu toilet dengan hati mantap, kemudian menuju kotak pembayaran kebersihan yang dijaga oleh seorang lelaki muda. Ia sedang membaca koran. Setelah aku memasukkan uang ke dalam kotak, aku mengucapkan terima kasih kepada lelaki tersebut. Ia mendongakkan kepalanya untuk membalas ucapanku itu. Aku lihat ia terperangah saat melihatku yang tampak begitu seksi. Entah apa reaksi apa yang bakal ditunjukkannya bila ia tahu bahwa aku tidak mengenakan pakaian dalam sama sekali. Aku mulai berkeliling. Dadaku berdesir merasakan sensasi yang luar biasa ini. Pertama-tama aku menghampiri lapak buah yang dijaga oleh seorang pria paruh baya. Aku pura-pura melihat-lihat buah yang ada di sana, padahal sebenarnya hendak memperlihatkan keseksian tubuhku kepada pria tersebut. Aku sengaja memeriksa buah pisang yang menggantung di atas dengan mengangkat lenganku. Ketiakku yang mulus pun terlihat jelas. Tak hanya itu, payudaraku juga tampak lebih menantang. Baju terusan yang aku pakai juga terangkat (bagian roknya) sehingga pahaku yang putih mulus itu tersingkap. Sekilas aku melirik kepada si pedagang buah. Ada sensasi yang luar biasa ketika melihat pedagang buah itu terpaku melihatku, menikmati setiap lekuk tubuhku dengan matanya. Saat melakukan hal tersebut, jantungku benar-benar berdegup kencang. Malah tanganku agak gemetar. Mungkin saking gugupnya. Atau mungkin saking bergairahnya. Dalam hati aku mengutuk Cakra yang telah membuatku menjadi perempuan yang punya pikiran aneh-aneh seperti ini. Puas melihat-lihat aneka buah di lapak tersebut —lebih tepatnya puas memamerkan keindahan tubuhku kepada si pedagang buah, lantas aku beranjak dari situ. Aku berjalan menyusuri pasar. Dengan baju yang relatif mini dan seksi seperti itu, aku pun menjadi pusat perhatian para lelaki di sana. Ada yang terang-terangan memandangku, ada pula yang malu-malu. Sesekali memandangku, lalu beberapa detik kemudian berpaling ke arah lain. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah mereka tahu bahwa aku tidak memakai BH dan celana dalam? Memikirkan hal itu, tubuhku terasa dialiri listrik. Gairahku meninggi. Sepertinya vaginaku mulai basah....Selama di pasar, aku tidak hanya berjalan-jalan saja, tapi juga berbelanja beberapa kebutuhan, seperti beras, telur, sayur-sayuran, dan beberapa mi instan. Setelah tidak ada lagi yang ingin kubeli, aku pun memutuskan untuk pulang. Bila saat awal datang tadi aku hanya membawa tas kecil, maka kini aku harus membawa sebuah plastik besar berisi barang belanjaan. Sebelum pergi dari pasar, sebenarnya aku berencana pergi ke toilet lagi untuk memakai BH dan celana dalamku kembali, sekaligus memakai jaket yang aku simpan di dalam tas. Tapi, lagi-lagi sebuah ide gila terbetik di benakku. Aku menantang diri untuk pulang ke rumah tetap dalam keadaan seperti itu —tidak memakai jaket, dan tidak memakai BH serta celana dalam! Entah apa yang terjadi dengan diriku ini. Tidak henti-hentinya aku menantang diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang perempuan baik-baik. Yang lebih tidak aku mengerti lagi, aku mau melakukan ide konyol itu! Akhirnya aku pun tidak jadi pergi ke toilet. Aku langsung menuju ke halte bus depan pasar. Aku menunggu selama beberapa lama, sebab bus jurusanku tidak kunjung datang. Saat itu angin berembus kencang. Aku berusaha keras menahan rokku yang agak lebar itu supaya tidak beterbangan ke mana-mana. Bagaimanapun aku tidak mau orang-orang tahu bahwa aku tidak memakai celana dalam. Namun sekeras apa pun aku menahan rok, tetap saja aku tidak bisa mengalahkan angin. Terpaksa aku merelakan sebagian paha mulusku yang tersingkap dipandangi oleh beberapa pedagang asongan dan pedagang koran yang sedang berada di sekitar situ. Beruntung bus yang aku tunggu segera datang. Jadi, aku bisa menyelamatkan diri dari pandangan mesum para pedagang asongan itu. Namun, lagi-lagi masalah menghampiriku. Bus itu penuh sekali. Aku harus berpikir cepat, mau tetap naik bus tersebut atau menunggu bus lagi. Kernet bus terburu-buru mengajakku masuk, sebab bus jurusan lain di belakangnya juga sudah menunggu untuk mengambil penumpang di halte. Akhirnya tanpa berpikir lagi aku langsung masuk ke dalam bus tersebut. Di dalam bus, aku harus berdiri dan berdesakan dengan orang lain yang kebanyakan pria. Tangan kananku berpegangan pada bagian atap bus supaya tidak terjatuh, sementara tangan kiriku memegang kantong belanjaan. Kedua tanganku sama-sama sibuk. Berhubung tubuhku tidak terlalu tinggi, maka aku harus mengangkat tanganku tinggi-tinggi supaya bisa menggapai pegangan di atap bus. Kontan saja ketiakku terpapar dengan jelas. Untung saja akhir-akhir ini aku merawatnya sehingga terlihat bersih, putih, dan mulus. Jadi, aku tidak terlalu malu. Meskipun demikian, tetap saja aku merasa risih. Para lelaki di bus itu melirik-lirikku. Bahkan seorang bapak separuh baya yang tepat berada di sebelah kananku, entah kenapa seperti sengaja mengarahkan mukanya ke lenganku yang terangkat, sambil memandang ketiakku, dan sesekali mengintip belahan dadaku dari atas. Mungkinkah dia tahu bahwa aku tidak memakai BH? Bisa jadi, sebab puting susuku terlihat samar dan menonjol dari balik baju terusanku. Ingin rasanya aku menurunkan lengan. Tapi, itu tidak mungkin, sebab nanti aku bisa terjatuh. Yah, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Terpaksa aku biarkan bapak kurang ajar itu memandangi tubuhku. Setelah beberapa menit perjalanan, tiba-tiba aku merasa ada sebuah tonjolan keras yang menekah pantatku. Aku benar-benar kaget. Aku melirik ke belakang, dan di sana ada seorang pemuda berwajah kasar. Tonjolan itu menggesek-gesek pantatku. Astaga, tampaknya itu adalah penis si pemuda tersebut! Aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa untuk menghindari pelecehan tersebut. Bapak di sebelah kananku masih terus memandangi ketiakku, dan sesekali mengintip ke belahan dadaku. Bahkan kini aksinya semakin berani, yakni mencium-cium lenganku. Sementara pemuda di belakangku tak henti-hentinya menggesek-gesekkan penisnya ke belahan pantatku. Aku sadar bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah dan menerima perlakuan itu. Ya sudah, aku biarkan saja kedua orang itu berbuat semau mereka. Dalam hati aku terus berdoa supaya aku segera sampai. Kejadian berikutnya benar-benar membuatku tersentak. Pemuda di belakangku menyusup ke balik rok, lantas meraba-raba pahaku! Bukannya marah, aku malah semakin bergairah. Aku benar-benar mengutuk diriku sendiri yang mau saja diraba-raba seperti itu oleh orang yang tidak dikenal. Gawatnya, tangan si pemuda semakin lama semakin naik ke atas. Oh, tidak. Apa yang aku takutkan terjadi. Tangan si pemuda telah sampai di bagian tubuhku yang paling sensitif. Aku mendengar suara sentakan dari mulut si pemuda. Sepertinya ia kaget saat mengetahui aku tidak memakai celana dalam. Aku rasakan bulu-bulu kemaluanku ditarik-tarik oleh si pemuda. Ia juga mencium-cium tengkukku. Aku hanya bisa menggigit-gigit bibirku. Vaginaku semakin basah. Aku melenguh pelan saat si pemuda memainkan vaginaku. Aku berharap para penumpang di sekitarku tidak mendengarnya, meskipun itu agak mustahil. Aku merapatkan pahaku, menahan gairah yang mulai mendekapku. Semakin lama gesekan-gesekan penis si pemuda di pantatku semakin cepat. Begitu pula dengan tangannya yang memainkan vaginaku, gerakannya lebih cepat daripada sebelumnya. Hal ini membuatku belingsatan. Aku berusaha menunduk, menyembunyikan kepalaku agar orang-orang tidak melihat wajahku yang memerah karena menahan gairah. Pemuda itu pintar sekali memainkan vaginaku. Ia tahu titik-titik sensitif di liang kehormatanku itu. Aku semakin menundukkan kepala. Dalam keadaan seperti itu, bapak separuh baya di sebelahku malah semakin bertindak kurang ajar. Ia berani meraba-raba dadaku dan melingkarkan jari-jarinya di putingku. Aku semakin tidak karuan menerima serangan-serangan itu. Lagi-lagi aku merasakannya lagi. Seperti ada sesuatu yang mau meledak dari vaginaku. Rasanya seperti ingin pipis, tapi yang ini sangat nikmat. Aku berusaha menahannya sekuat tenaga. Tapi permainan tangan si pemuda dan rabaan si bapak menggagalkan upayaku itu. Susah payah aku menahan diri, tapi akhirnya menyerah juga. Aku telah sampai di puncak kenikmatan. Sejumlah cairan bening tumpah dari vaginaku, membasahi tangan si pemuda. Aku memekik tertahan. Aku berharap suara mesin bus yang berisik itu bisa mengaburkan suara pekikanku. Oooh... begitu nikmat rasanya “keluar” dalam keadaan berdiri seperti itu. Aku mempererat peganganku pada bagian atas bus supaya tidak ambruk, sebab aku agak lunglai. Si pemuda masih menggesek-gesekkan penisnya. Dan tidak lama kemudian ia berhenti sambil menekan penisnya. Aku merasakan kedutan-kedutan pada penis yang keras itu. Rupanya ia telah “keluar”. Sementara itu, si bapak masih saja meraba-raba dadaku. Beruntung aku sudah hampir tiba di halte tujuan. Aku pun segera meminta kernet menghentikan bus. Aku cepat-cepat turun, sambil menundukkan wajah karena malu. Aku khawatir para penumpang tahu bahwa aku baru saja digarap oleh si bapak dan pemuda. Setelah turun dari bus, aku buru-buru memakai jaket. Aku tidak mau tampil seksi di daerah rumahku, takut ketahuan para tetangga. Tidak lama kemudian, angkot yang aku tunggu datang, dan aku segera menaikinya. Aku termenung di dalam angkot, memikirkan hal yang baru saja terjadi pada pagi itu. Setengah diriku mengutuk diriku sendiri karena mau saja dilecehkan oleh orang yang tidak dikenal. Tapi, setengah diriku yang lain merasa sangat puas karena aku berhasil melakukan tantangan yang aku buat sendiri, serta mendapatkan kepuasan atas pelecehan itu. Ah, aku benar-benar bingung. Sesampainya di rumah, aku segera mandi, lalu masak, mengolah bahan-bahan yang aku beli di pasar tadi. Memasak untuk orang yang aku sayangi, suamiku Mas Hendra. Ya, saat ini dialah orang yang aku cintai, meskipun mungkin aku telah mengkhianatinya.... **** Malam ini Mas Hendra pulang sekitar jam tujuh malam. Aku sudah memasak makanan yang istimewa untuknya, makanan kesukaannya. Omong-omong, sudah 7 hari ini kami tidak bersetubuh, dan aku rasa hal ini tidak baik untuk tubuh dan jiwa Mas Hendra. Selama ini aku meyakini bahwa seks merupakan sarana ampuh untuk menyeimbangkan hidup, menghilangkan stres, dan menenangkan pikiran. Aku yakin Mas Hendra sedang sangat membutuhkan seks. Karena itulah malam ini aku ingin memanjakankannya. Saat menunggu kepulangan Mas Hendra, aku memakai lingerie yang sudah lama sekali tidak aku pakai. Lingerie ini membuatku terlihat sangat seksi. Bagian dadanya longgar, dan bagian roknya sangat pendek. Jika aku membungkuk, maka dadaku akan terlihat jelas. Kalau dilihat dari belakang, maka celana dalamku akan tampak, sebab roknya terangkat. Aku harap lingerie ini bisa memancing gairah Mas Hendra. Malam ini aku akan berusaha memuaskannya. Saat sedang melamun itu, tiba-tiba aku mendengar suara Mas Hendra mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Aha, dia sudah pulang! Aku berdebar-debar membayangkan tanggapan Mas Hendra saat melihatku berpenampilan seperti ini. Dengan hati riang, aku pun segera membuka pintu. Aku tersenyum lebar kepadanya. Namun, senyum lebarku langsung berhenti seketika saat melihat Cakra berada di belakang Mas Hendra. Aku lihat Mas Hendra dan Cakra sama-sama terperangah saat memandangku dengan pakaian yang sangat seksi. Menyadari ada Cakra −orang yang tidak berhak melihatku dalam keadaan seperti itu, aku buru-buru berlindung di balik pintu. Tapi, sepertinya semuanya sudah terlambat. Cakra nyengir, lalu langsung masuk ke dalam rumah, dan duduk di ruang tamu. Aku memandang Mas Hendra, meminta penjelasan atas semua ini. “Sayang, tadi aku berpapasan sama Mas Cakra,” kata Mas Hendra, mulai menjelaskan. “Katanya ia mau ke warung makan untuk makan malam. Aku menawarinya makan di rumah kita. Tentunya masakanmu lebih enak daripada masakan di warung makan,” lanjut Mas Hendra, sambil tersenyum lembut tanpa dosa. Dalam hati aku mengutuk keras perbuatan Mas Hendra itu. Untuk apa ia mengundang bajingan seperti Cakra untuk makan malam? Kalau Mas Hendra tahu bahwa istrinya ini sudah pernah disetubuhi dan “dibuahi” oleh preman itu, pasti ia tidak akan sudi mengundangnya! Namun, memang begitulah Mas Hendra. Kalau sudah takut dengan seseorang, ia akan bersikap baik kepada orang itu, bahkan terkadang berlebihan. Ia tidak berani membalas setiap tekanan, pelecehan, dan kekerasan dari orang yang ia takuti. Sebaliknya, ia malah menunjukkan sikap yang baik kepadanya. Entah karena ia memang baik atau karena tidak berdaya menghadapinya. Aku benar-benar kecewa, sebab sepertinya rencanaku untuk memanjakan Mas Hendra gagal total. Ya sudah, aku ikuti saja kondisi itu. “Kalau begitu Mas Hendra dan Mas Cakra langsung ke meja makan saja, ya,” ujarku, berusaha lembut meskipun sedang kecewa berat. “Aku sudah menyiapkan semua makanan di meja. Kalian makan duluan saja, aku mau ke kamar dulu.” “Ngapain kamu ke kamar? Ayo kita makan bareng-bareng!” ujar Cakra sambil memandangiku. Aku merasa risih dipandangi seperti itu. “Iya Mas, aku ikut makan kok. Tapi, aku mau ganti baju dulu sebentar,” kataku sambil menahan malu. Aku perhatikan Mas Hendra diam saja. “Sudah, nggak perlu ganti! Ayo makan, aku sudah lapar!” seru Cakra, lantas menggamit lenganku dan menarikku menuju meja makan. “Ta... tapi, Mas...,” aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku, tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya terpaksa aku mengikuti tarikan Cakra, sementara Mas Hendra mengikuti dari belakang. Aku memakan makanan di meja makan dengan canggung dalam diam. Maklumlah, saat itu aku sedang memakai lingerie yang sangat seksi, padahal ada orang lain di situ, yakni Cakra. Bagaimanapun aku tetap memikirkan perasaan Mas Hendra. Aku tidak mau ia sakit hati. Dalam hati aku memaki-maki kenapa kejadiannya bisa seperti ini. Mas Hendra dan Cakra mengobrol-obrol. Cara berbicara Mas Hendra kepada Cakra seperti seorang pelayan saja. Sepertinya ia benar-benar tidak ingin mengecewakan atau membuat Cakra tersinggung, mungkin karena takut. Aku buru-buru menghabiskan makananku yang porsinya hanya sedikit itu. Kalau makan malam sudah selesai, aku harap Cakra segera pulang. “Aaaah... kenyang... enak sekali masakanmu, Gab,” puji Cakra. Aku hanya tersenyum kaku. “Badanku pegal-pegal, nih. Tolong pijitin aku ya, Gab. Ayo pindah ke kamarmu.” Bagai mendengar suara petir di siang bolong, permintaan Cakra benar-benar membuatku tersentak. Berani-beraninya ia memintaku untuk memijatnya di kamarku dan Mas Hendra. Baru saja aku hendak menolak, tapi Cakra memelototiku. Aku pun merunduk, takut. “Hendra, pergilah ke pos ronda, gantikan aku ronda sebentar sampai aku selesai dipijit,” perintah Cakra. “Nanti kalau sudah selesai, aku akan langsung ke pos ronda. Tapi ingat, sebelum aku datang, kamu nggak boleh pulang!” serunya dengan nada tinggi. Aku lihat Mas Hendra seperti hendak menyampaikan sesuatu, tapi tidak jadi. Akhirnya ia hanya berucap, “Baik Mas Cakra, aku pergi sekarang,” ia pun melangkah ke pintu. “Tunggu Mas Hendra!” aku berseru. “Ganti baju dulu, Mas! Mas Hendra masih pakai baju kantor!” “Nggak apa-apa, Sayang. Nggak masalah. Ya sudah, aku pergi dulu, ya,” ujarnya sambil tersenyum lembut. Aku langsung lemas seketika. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Selepas Mas Hendra pergi, Cakra menutup dan mengunci pintu, lalu menutup korden. “Ayo Gaby...,” ujar Cakra sambil tersenyum lebar, lantas berjalan menuju kamarku dan Mas Hendra. Seperti dihipnotis, aku pun mengikuti langkahnya dari belakang dengan takut-takut...
ns 15.158.61.21da2