Bagian 2
Tiga tahun lebih berlalu setelah kematian Pak Idrus, pegawai toko kami, yang menjadi pasangan selingkuh pertamaku. Semua skandal itu terkubur dan aku menikmati waktuku sebagai ibu bagi dua anak kembarku, Jeni dan Jena serta istri bagi Martin. Aku berjanji untuk tidak akan melakukan perselingkuhan lagi untuk menjadi ibu dan istri yang baik. Apalagi selama itu memang aku sangat sibuk mengasuh dua anak sekaligus, nyaris tidak terpikir untuk nakal-nakalan lagi. Namun fantasi liar dan birahiku mulai terusik lagi setelah berkenalan dengan Viona, seorang wanita sebayaku lewat Facebook, ia sudah menikah tiga tahun namun masih menunda punya anak. Tadinya aku hanya membeli pakaian dan mainan anak yang dijual olehnya secara online, dari situ kami mulai banyak ngobrol lewat WA. Pembelian berikutnya ia mengatar sendiri barangnya ke rumah, sekalian lewat katanya. Waktu itu, sebelum si kembar sekolah, aku memang tidak punya banyak teman, dan Viona inilah yang sering jadi teman ngobrolku lewat chatting WA dan kami juga dua kali ngopi bareng. Kami cocok menjadi teman ngobrol berbagi suka-duka kehidupan pernikahan sampai lebih dalam ke masalah esek-esek. Pada Viona lah aku akhirnya curhat masalah diriku yang kadang berfantasi liar dan hasrat seks yang tinggi hingga akhirnya pernah berselingkuh dengan Pak Idrus. Viona nampak antusias mendengar penuturanku itu dan terdiam beberapa saat setelah aku selesai bercerita hingga sebuah senyum mengembang di wajahnya, ia menyeruput minumannya lalu berkata… “Vi… kayanya kita emang cocok masalah ginian, soalnya bukan lu aja yang pernah ngalami” “Maksudnya… lu juga pernah?” tanyaku yang dijawab dengan anggukan kepala, “selingkuh?” lanjutku memelankan suara. “Sebenarnya gak bisa dibilang selingkuh juga yah, karena ya… gua sama hubby ya sama-sama tau soal ini dan kita sangat open soal seks ini…” Kali ini giliranku yang dibuatnya terhenyak dengan ceritanya, sekaligus mengubah pandanganku tentang seks. POV Viona Namaku Viona (28 tahun), berpostur sedang dan langsing karena rutin berolah-raga, berkulit putih mulus seperti keturunan Chinese pada umumnya. Aku dan suamiku, Ryan sudah menikah tiga tahun, namun masih menunda untuk memiliki buah hati, selain karena Ryan masih sibuk dengan karirnya, aku sendiri pun belum terlalu siap untuk itu. Hubungan kami sebagai suami istri terbilang unik karena kami sama-sama petualang seks. Aku pertama kali mengenal seks di kelas tiga SMA ketika keperawananku hilang dengan mantan pacarku yang putus tidak lama setelah lulus karena ia meneruskan studi ke luar negeri. Pada masa kuliah, kehidupanku mulai liar, aku terlibat ML dengan banyak pria, teman kuliah, teman dugem, hingga jongos di rumah dan penjaga vila keluargaku. Pada tahun kedua kuliah, aku dikenalkan kepada Ryan di tempat dugem oleh seorang temanku yang juga pernah bercinta dengannya. Kami yang tadinya hanya teman ML saja mulai timbul benih-benih cinta, entah mengapa, sulit untuk dijelaskan. Mungkin dimulai dari banyak curhat dan terbuka di antara kami, ia blak-blakan menuturkan kehidupan seksnya yang liar, pemikiran dan pergumulan hidup lainnya, kemudian aku pun juga terbuka menceritakan tentang diriku, yang ternyata banyak kesamaan dengannya. “Kita sama-sama nakal, jadi kayanya kita cocok yah!” begitu katanya saat itu. Kami jadian sebagai pacar dua bulan setelah aku mengenalnya, lalu putus setelah setahun kurang, jadian, putus lagi hingga aku lulus dan selama itu sempat dekat dengan beberapa pria lain. Namun yang namanya jodoh memang aneh, Ryan menghubungiku lagi sepulangnya dari belajar bahasa di China, kami banyak bercerita dan kembali berpacaran. Setahun setelahnya ia melamarku, aku tidak pernah menyangka, hubungan kami yang aneh ini sampai juga ke pelaminan. Karena masing-masing memiliki libido tinggi, kami membuat kesepakatan untuk melegalkan hubungan seks dengan orang di luar pasangan sah, hanya untuk variasi dan have fun saja. Kami menjalani kehidupan seks yang tidak lazim di negeri ini, termasuk beberapa kali melakukan swinger/ tukar pasangan. Karena masing-masing sudah sepakat, sejauh ini hubungan kami baik-baik saja, bahkan semakin panas bila saling cerita mengenai petualangan seks masing-masing. Terlalu banyak bila kuceritakan pengalaman seks kami selama ini, aku hanya akan menceritakannya beberapa yang menurutku berkesan saja. ######## Cerita yang ini terjadi pada hari kedua liburan pertama kami sejak menikah, di Afrika Selatan. Pagi itu, jam sepuluh kurang seusai breakfast dan mandi, aku segera membukakan pintu setelah bel berbunyi. “Room service!” kata pemuda negro itu agak terpana melihatku membukakan pintu dengan kimono dan rambut masih basah karena baru selesai mandi. “Ooh… come in please!” aku mempersilakannya masuk. Petugas room service itu mulai dengan merapikan ranjang kami, sementara aku di kamar mandi mengeringkan rambutku dengan hair dryer. Setelah selesai mengeringkan rambutku, aku membuka kimono. Tubuh telanjangku terlihat di cermin karena aku tidak memakai apa-apa lagi di baliknya. Ketika membalik ke samping. “Aahh!!” aku menjerit kecil dan refleks menutupi ketelanjanganku dengan tangan melihat si room service negro itu sedang bengong memandangiku, entah sejak kapan dia ada di situ. “So… sorry… really sorry mam!” pemuda itu meminta maaf terbata-bata, “I don’t mean it… because the door is not closed!” Aku tersenyum dalam hati melihat reaksi si room service yang usianya paling awal dua puluhan itu. Kudekati si room service itu yang memutar tubuhnya ke samping agar tidak melihatku lagi. Kutepuk bahunya “Hei, it’s all right, it is my fault not shutting the door!” kataku. “Oke mam, i don’t see you… i don’t see!” katanya masih memalingkan wajah ke samping. “I forgive you, but can you do me a favor?” tanyaku sambil tersenyum nakal. Selanjutnya aku sudah berlutut di depannya, menjilati dan mengocok penis hitamnya yang sudah kukeluarkan dari balik celananya. Pemuda itu bersandar di dinding sebelah pintu kamar mandi, mulutnya melenguh nikmat merasakan sapuan-sapuan lidahku pada kepala penisnya. Pertama kalinya aku melakukannya dengan negro, penis itu begitu panjang dan hitam, lebih panjang dari milik Ryan. Selama kurang dari sepuluh menit kuoral penisnya lalu kuajak dia ke ranjang. Setelah kupasangkan kondom pada penisnya, aku menungging mengajaknya doggie style. Ooohh… penis negro itu sungguh perkasa hingga membuatku menceracau tak karuan. Batang hitam itu merojok-rojok vaginaku dengan kecepatan makin naik, tangannya meraih dua payudaraku yang menggantung dan meremas-remasnya dengan gemas. Tak lama kemudian ia sudah membuatku orgasme, sedahsyat ini ternyata bercinta dengan negro. Kusuruh room service itu berbaring telentang dan kulepas kondomnya, kembali kuoral sambil kukocoki penisnya sampai akhirnya ia melenguh-lenguh dan crrot… crroott… cairan putih kental dalam jumlah yang sangat banyak bercipratan membasahi wajahku, kutelan cairan yang masuk ke mulutku lalu kuhisap penisnya hingga tetes terakhir dan menyusut di mulutku. Aku tersenyum melihat pemuda negro itu menggelinjang karena hisapanku. Dari pengakuannya ia pernah bercinta dengan pacarnya, tapi baru pertama kalinya dengan wanita Chinese dan ia akui sangat berkesan. Setelah kuantar dia keluar dari kamar, aku membuka pintu lemari. “Wow! Damn amazing!” kata Ryan yang tangannya sudah belepotan sperma, ia sejak tadi mengintip adegan yang sudah kami rencanakan itu. Kami mandi bersama, itu adalah mandi kedua di pagi itu karena tubuhku sudah berkeringat dan wajahku penuh cipratan sperma. ######### Pengalaman seru lainnya adalah ketika berlibur di Bali. Kami menginap di sebuah cottage dengan private beach yang indah. Siang itu di cottage kami, pintu kaca dibiarkan terbuka mengarah ke lautan luas di depannya, udara dan aroma pantai terasa sekali masuk ke dalam. Tubuh telanjangku terbaring di tengah ranjang queen size di kamar kami. “Ssllrrp… muah!” nafasku memburu ketika si beach boy bernama Marto itu melepas ciuman dari mulutku. Ia berlutut di sebelah kanan kepalaku, tanpa diminta tanganku meraih penis bersunatnya yang sudah tegang dan kujilati mulai dari zakar hingga batangnya. Di sebelah kiriku seorang beach boy lain bernama Awang tengah melumat payudaraku, bergantian kiri dan kanan tidak lepas dari mulut dan tangannya meninggalkan bekas liur dan cupangan memerah. Sementara di antara kedua pahaku yang terbuka, Djaja, juga seorang beach boy sedang menjilati, menghisap, serta mencucuk-cucukkan jarinya ke vaginaku. Tubuhku didera kenikmatan yang amat sangat diserang dari segala penjuru seperti ini. “Uuughh… mantap cik sepongannya!” desah Marto yang kepala penis cendawannya itu tengah kusapu-sapu dengan lidahku, kadang menyentuh lubang kencingnya. Di saat yang sama, tubuhku mengejang akibat jilatan Djaja pada vaginaku sejak tadi. Teknik oralnya sungguh mahir sampai membuat pertahananku akhirnya bobol. “Sssrrllpp… ssrrphh!!” beach boy gondrong itu menghisapi cairan kewanitaanku dengan rakus sementara tubuhku menggelinjang nikmat. “Wuih banjir banget!” kata Djaja mengangkat wajahnya dari selangkanganku setelah melahap habis semua cairanku, “cik mau sama siapa dulu?” tanyanya. Aku bingung harus memilih yang mana antara tiga pria berkulit gelap dengan penis yang telah mengacung tegak ini. “Kamu aja! Kan udah dibasahin!” kataku pada Marto. “Siap cik!” beach boy itu langsung menggantikan posisi Djaja di antara pahaku. Marto menempelkan kepala penisnya pada bibir vaginaku lalu menekannya. Aku mendesah dan menggeliat saat benda itu menyeruak masuk ke dalam vaginaku. “Uuuh… seret yah cik!!” komentarnya Sebentar kemudian, Marto sudah menggenjot vaginaku. Awang dan Djaja berlutut di kanan dan kiriku, secara bergantian aku mengoral dan mengocok penis mereka. Tangan-tangan mereka tentunya aktif menggerayangi tubuhku. Tak lama, Marto klimaks dan spermanya tertumpah di dalam kondom. Aku meminta Awang berbaring, kupasang kondom pada penisnya lalu naik ke sana dan memicu tubuhku naik-turun. Djaja berlutut di samping dan mengenyoti payudaraku. Mulutku mendesah-desah tak karuan merasakan kenikmatan liar ini. Sebentar saja, setelah minum, Marto sudah maju lagi dan menyodorkan penisnya yang setengah ereksi dan basah itu ke mulutku. Aku langsung meraih dan mengulum benda itu, aku dapat merasakan cairanku sendiri di sana, perlahan benda itu mengeras lagi di mulutku. Sekitar lima belas menitan aku dan Awang mencapai puncak berbarengan, rintihan orgasme kami memenuhi kamar ini bercampur dengan suara semilir angin pantai di luar. Tubuhku sudah sangat berkeringat dan vaginaku sudah sangat banjir. Tiga beach boy itu juga sudah basah oleh keringat membuat mereka terlihat lebih macho. “Masih sanggup say?” tanya Ryan yang sejak tadi mensyuting kami dengan kamera. “Minum dulu ah!” pintaku merasa tenggorokan kering karena mendesah terus. Setelah minum dan merasa segar, aku pun siap untuk lanjut. Kali ini Djaja menyodokku dari belakang dalam posisi doggie, sementara aku mengoral penis Marto yang berlutut di depanku. Lumayan lama juga aku bergumul dengan tiga beach boy yang kami sewa untuk membuat film bokep pribadi itu. Di akhir, aku terkapar dengan bersimbah peluh dan cipratan sperma. Tiga beach boy itu juga lemas kehabisan tenaga. “Wow… amazing, gak kalah sama JAV!” kata Ryan melihat hasil rekamannya. POV Vivi Aku menyeruput minumanku setelah Viona menyelesaikan dua ceritanya dari petualangan seks yang pernah ia lakukan bersama suaminya. Tak terasa aku merasakan vaginaku gatal dan celana dalamku basah. Walau kuakui diriku memiliki sisi nakal dan juga sudah terlibat perselingkuhan dengan pegawaiku dulu, namun untuk jadi seliar Viona rasanya aku tak berani, Martin tidak mungkin rela untuk itu. Namun cerita Viona mendorongku untuk bermain-main api lagi. ############## Di kompleks tempat tinggal kami ada seorang pengantar air galonan bernama Afif, usianya kira-kira empat puluhan. Sudah setahun terakhir ini kami berlangganan air dari depotnya, ia rutin mengantar air baik ke rumah maupun ke toko. Orangnya sopan, kadang mengajak ngobrol setelah menerima pembayaran, di tengah obrolan beberapa kali ia menyelipkan pujian atas kecantikanku yang membuatku tersanjung, selain itu Pak Afif juga ringan tangan bila diminta tolong seperti memindahkan barang berat, membuangkan bangkai tikus di halaman, dan beberapa pekerjaan ringan lainnya. Sama seperti Pak Idrus dulu, aku juga terkadang merasakan ia sedang memperhatikanku bila aku memakai pakaian yang memamerkan lekuk tubuh. Aku sudah bukan wanita yang hijau lagi soal beginian, aku yakin 99 persen, di balik sikap sopannya itu, Pak Afif memendam hasrat untuk menikmati tubuhku. Sejak aku banyak berbagi dengan Viona, hasrat liarku yang sudah terkubur lebih dari tiga tahun lamanya mulai bangkit lagi. Aku berpikir untuk menggoda si pengantar air galon itu, wajahnya memang tidak tampan, kulitnya pun gelap kasar, namun badannya lebih berisi dibanding Pak Idrus yang kurus itu, taksiranku pastilah stamina bercintanya kuat. Dari obrolan ketika ia datang, kuketahui ia sudah lama menduda, entah apa alasannya, bukan urusanku. Dengan kondisi seperti itu ia pasti butuh pemuasan biologis. Aku hanya perlu memberi lampu hijau padanya untuk menggarapku habis-habisan seperti Pak Idrus dulu. Namun untuk orang yang baru/ belum lama kenal, aku tidak berani terang-terangan meminta atau menggodanya untuk memuaskan nafsuku. Aku memulai dengan tampil seksi setiap kali Pak Afif mengantar air ke rumah, baik dengan tank top, kaos ketat, pakaian berpotongan dada rendah, celana pendek, bahkan hotpants. Tentunya disertai gesture-gesture menggoda namun tetap terlihat alami, tidak dibuat-buat yang malah terlihat murahan. Aku dapat merasakan pandangan matanya setiap kali tampil menggoda, setiap obrolan ringan lagi-lagi terselip rayuan dan pujian yang membuat darahku berdesir. Pernah aku memakai gaun pendek dan sengaja duduk di sofa menyilangkan kaki sambil membalas chat WA yang masuk. Walau menatap layar smartphone, aku menangkap curi-curi pandang pria itu ke pahaku ketika lewat membawa galon. Ketika di toko aku juga pernah membungkuk ketika mengambil dus barang dagangan saat ia sedang melintas, alhasil ia pasti melihat belahan dadaku yang memakai pakaian berpotongan rendah. Aku tahu ia pasti menahan nafsunya mati-matian dengan tetap bersikap sopan padaku. Semua ini berlangsung selama dua bulanan, setiap ia mengantar air hingga akhirnya suatu pagi, aku pun menuai godaan yang kutabur selama ini. Pagi itu jam sembilan lebih, seperti biasanya anak-anak sedang di sekolah dan suamiku sedang di toko. Aku sendiri saat itu sedang sibuk di dapur mempersiapkan makanan untuk suami dan anak-anak. Tanganku sibuk memotong-motong wortel untuk dibuat tumisan ketika terdengar bel berbunyi. Oh, pasti Pak Afif karena kemarin malam aku sudah memesan air padanya lewat WA. Birahiku mulai bangkit membayangkan aku akan menggodanya lagi. Hari itu aku memakai gaun pink lengan pendek bermotif floral dan berbahan sifon yang sejak tadi kupakai mengantar anak ke sekolah. Karena malas ganti baju lagi, aku melepaskan celana dalamku lalu kubuka resleting gaun di punggung untuk melepaskan bra sebelum kupakai kembali gaunku. Kemudian aku segera ke depan membukakan pintu dan pagar tanpa mengenakan dalaman. Sebelumnya aku sudah dua kali melakukan seperti ini ketika pria itu datang, sensasinya sungguh mendebarkan hingga kini. “Eh pak! Ayo masuk!” sapaku sambil membukakan pagar agar ia bisa memasukkan gerobak motornya. “Pagi cik!” sapanya sambil memarkirkan kendaraannya di pekarangan, “tiga yah?” “Iyah!” jawabku Duh aku baru sadar, gaun ini bahan ini memperlihatkan putingku bila dilihat baik-baik. Entah pria ini menyadarinya atau tidak karena dia bersikap biasa saja , yang pasti aku jadi berdebar-debar dan putingku menegang. Aku kembali menyelesaikan pekerjaanku di dapur sementara ia meletakkan galon-galon baru di sudut dapur. “Udah cik!” sahutnya setelah mengganti semua galon kosong di dapur. “Oh iya, ntar yah pak, tanggung ini!” aku mempercepat memotongku. “Masak apa cik hari ini?’ tanyanya menghampiriku. “Tumisan, sayur sama daging sapi” jawabku “Wah cik ini udah cantik, pinter masak juga, beruntung yang si engkoh!” kata pria itu. Aku merasakan tubuhnya di samping belakangku makin mendekat, lalu tiba-tiba tangannya tanpa permisi mengelus lengan kiriku. “Bapak! Apa sih pegang-pegang?” kugerakkan lenganku menepisnya. “Ah, kan cik yang selama ini sengaja godain saya, hari ini cik gak pakai dalaman kan? Putingnya sampai keliatan gitu!” Deg… aku terpaku hingga terdiam mematung, tanganku yang sedang memotong sayur mendadak berhenti mendengar kata-katanya. Aku terlalu naif menganggapnya seorang pria setengah baya yang sopan, ternyata ia sudah menyadarinya selama ini, dan ia juga tahu aku tidak pakai dalaman. Saat itu ia menempelkan tubuhnya di belakang, kedua tangannya mengelus lenganku, tangan satu merambat ke mengelusi punggungku turun ke pantatku yang diremasnya lembut. Aku masih mematung, antara kaget, malu dan tidak tahu harus bagaimana, pisau yang kupegang pun terlepas jatuh di talenan. “Hehehe… bener kan cik gak pakai dalaman” katanya dekat telingaku sehingga hembusan nafasnya terasa menggelitik. Lengan kokohnya kini mendekapku dari belakang lalu tangannya meraih payudara kananku dan meremasnya, jemarinya menangkap putingku dari luar pakaianku dan memilin-milinnya. Aku juga dapat merasakan penisnya menggesek belahan pantatku di balik pakaian kami. “Ohhh pak! Jangan!” aku meronta, namun hanya setengah hati. “Saya ngerti kok keadaan cik, sangat ngerti! Cik butuh lebih tapi si engkoh sibuk melulu jadi cik sering kesepian, benar kan?” katanya masih di telingaku sambil memencet puting kiriku hingga tubuhku seperti kesetrum. “Jangan sembarangan pak!” walau bersikap menolak, namun mataku merem-melek menikmati jamahan tangannya pada payudara dan tubuhku, “ini gak pantas! Lepasin atau saya teriak!” lagi-lagi aku meronta setengah hati. “Kalau cik gak mau, saya juga gak akan maksa kok” habis berkata ia melonggarkan dekapannya, “saya bukan pemerkosa, kalau cik ga mau nerusin, saya minta maaf, anggaplah khilaf, cik boleh teriak atau tampar saya!” Dengan dekapan yang sudah longgar ini, aku memang dengan mudah melawan tapi aku sungguh salah menilai pria ini. Ia sungguh ahli membuai dan mempermainkanku, setelah dilemparnya aku ke pusaran birahi dan tidak bisa lepas barulah ia bersikap seolah melepaskanku. Melihat reaksiku yang pasrah, tangannya turun ke bawah menyingkap rokku. Darahku berdesir makin cepat saat tangannya yang kasar itu mengelus naik paha mulusku. “Jangan pak! Please berenti! Ssshh!!” desahku ketika tangan itu sampai ke selangkanganku dan mulai membelai-belainya. “Bener mau berenti? Kok kaya enak gitu? Gak sayang?” godanya. Tangan satunya yang meremas payudaraku kini membuka resleting di punggung, lalu kaitnya. Aku masih terdiam membiarkan ketika ia menurunkan bagian bahuku hingga gaun itu meluncur jatuh ke bawah kakiku. Ini bukan selingkuh pertama, namun setelah lewat tiga tahun lebih, aku pun merasa tegang telanjang di depan orang lain seperti ini. Diputarnya tubuhku menghadapnya, tanganku langsung refleks menutupi dada dan selangkanganku. Wajahku memerah dan tidak berani menatap langsung pria itu yang sedang memandang nanar tubuh polosku. “Sempurna! Benar-benar sempurna!” pujinya, “cik udah punya anak tapi badannya masih bagus, cantik lagi!” ia menarik lenganku yang menutupi bagian terlarang. Tangan kasar itu mengelus tubuhku mulai dari paha, pinggul ke selangkangan meremas vaginaku sehingga aku mendesis, naik terus hingga telapak tangannya menangkup payudaraku. “Ga usah malu cik, kita sama-sama cari seneng aja kan!” ia mengangkat daguku, matanya bertemu mataku yang sayu. Bibirnya lalu melumat bibirku, kami berciuman sambil berdiri, ia memeluk tubuhku membuatku merasa hangat dalam pelukannya sehingga aku juga balas memeluknya. Suara kecipak bibir kami beradu terdengar, lidah kami saling menari-nari dan membelit. Tangan Pak Afif meremas-remas payudara, pantat dan mengelus punggungku. Puas menciumiku, Pak Afif menaikkan tubuhku hingga berbaring di atas meja dapur setelah menyingkirkan bahan dan peralatan masak yang sedang kupakai tadi ke sudut lain dari meja dapur berbentuk huruf L ini. Aku merasakan dingin pada punggungku yang bersentuhan dengan permukaan meja yang terbuat dari marmer. Ia terkagum-kagum mengamati dan mengelus tubuhku sehingga membuatku merasa seperti hidangan yang akan dilahapnya. “Mulus… bening… ga ada cacatnya!” katanya dengan tangan merabai pahaku dan tangan satunya meremas paudaraku. Ia lalu menunduk dan kembali memagut bibirku, namun tidak lama, bibirnya merambat turun menciumi leher, pundak, ketiakku yang bersih sehingga menimbulkan rasa geli yang nikmat lalu mencaplok payudaraku. Ia membuka mulut lebar-lebar dan memasukkan payudara kananku ke mulutnya, lalu menghisap, mengemut, kadang menggigit kecil putingnya sehingga membuatku menggelinjang. Rangsangan itu kian bertambah saat tangannya yang tadinya merabai paha dan pantat kini tiba di vaginaku dan mengelusi bibir vaginaku. Tanpa bisa kutahan, aku mendesah dan menggeliat di atas meja dapur. Puas dengan payudara kanan, mulutnya pindah ke yang kiri, sementara jemarinya terus mengais-ngais liang senggamaku. Kadang jenggot di dagunya itu menggesek kulitku menimbulkan sensasi geli. Tidak lama kemudian, lidahnya turun ke perutku, bermain sebentar di seputar perut lalu turun menjilati pahaku. Posisinya pun pindah ke ujung meja dan tangannya memegang kedua belah pahaku. Ia membungkuk dan memandangi vaginaku. “Memek cik Vivi bagus, masih rapat, wangi!” perkataan itu seakan memberi suntikan gairah padaku, pujian karena aku rajin merawat organ intimku. “Ayo pak… jangan diliatin aja!!” kataku lirih. Maka langsung dibenamkannya bibirnya ke selangkanganku, hidungnya mengenai klitorisku sehingga badanku langsung melenting ke atas dalam deraan nikmat. Dijulurkannya lidahnya menyapu bagian dalam vaginaku, sehingga aku merasa seperti ada yang menggelitiki vaginaku. “Ooohhh… terus pak…. !” rintihku tanpa sungkan lagi Aku meremas kedua payudaraku sendiri melampiaskan kenikmatan yang menjalar dari selangkanganku. Badai kenikmatan terus menggelora di dalam diriku sampai akhirnya saat bibir pria itu menghisap klitorisku lebih dalam. Aku tersentak sedemikian hebatnya sambil menjerit “Aaakkhhhh… ooohhh!!” kujepit kepala pria itu sambil kuangkat pinggulku tinggi-tinggi, tanganku menjambak rambutnya. Pak Afif tak henti-hentinya mengais vaginaku dengan lidahnya sembari memutarkan kepalanya, dihisap dan dijilatinnya hingga habis cairan yang keluar meleleh dari vaginaku, aku dibuatnya serasa terbang di awan-awan. Seiring surutnya gelombang orgasme, tubuhku pun terkulai lemas di meja dapur. Pria ini telah memberiku awal yang luar biasa dan kini ia akan segera melambungkanku ke surga tingkat berikutnya yang lebih nikmat. Aku tertegun saat ia membuka celananya, memperlihatkan selangkangannya yang berbulu dengan batang penis yang sudah mengacung tegak dan kepalanya bersunat. Aku tidak melihatnya dari dekat, namun kuperkirakan lebih besar sedikit baik dari milik Martin maupun Pak Idrus. “Siap yah cik! Saya gak akan ngecewain!” kata pria itu. “Jangan kasar yah pak!” kataku lirih. “Nggak dong, mana tega saya ngasarin wanita secantik cik” Kini permainan yang sebenarnya akan dimulai oleh si pengantar air galonan. Ia menempelkan kepala penisnya pada bibir vaginaku, mengambil nafas sejenak dan… mulai mendorong… Perlahan batang tersebut menyibakkan bibir vaginaku yang sudah basah, terus meluncur merasakan setiap mili dinding dalam kewanitaanku yang berlendir dan siap menerima hingga terbenamlah seluruhnya di dalam vaginaku “Ahh…” aku pun merintih tanpa tertahankan, terasa olehku betapa batang tersebut begitu hangat dan kaku, menyebarkan panas pada dinding kewanitaannya. “Sorry Tin, ini terjadi lagi, bagaimanapun ini cuma hubungan badan, yang kucintai tetap kamu!” ucapku dalam hati dengan perasaan bersalah. Pak Afif diam sejenak memberi kesempatan padaku untuk beradaptasi. Naluriah kedua kakiku memeluk pinggang pria itu. Pria itu mulai menarik perlahan batang penisnya. Aku menahan napas saat tarikan itu terjadi. Gesekan yang timbul oleh batang penisnya terasa menggerus setiap mili dinding bergerinjal di dalam kewanitaanku, memijit setiap tombol syaraf rangsanganku. Kemudian kembali ia mendorong dengan perlahan, meluncurkan kembali batang penisnya menusuk masuk. Mataku terbeliak-beliak dengan mulut mendesah-desah, gairahku bangkit lagi bersama dengan kekuatan yang mulai pulih setelah orgasme tadi. Gerakan Pak Afif perlahan tapi secara bertahap makin cepat. Mulutku meracau tak karuan merasakan nikmatnya hujaman-hujaman penis Pak Afif. Peluh-peluh birahi mulai membasahi tubuh kami. Desahan kami sahut-menyahut di dapurku mewarnai pergumulan kami. Menit demi menit berlalu, dan penis pria itu terus menebar kenikmatan yang menjalari tubuhku sampai akhirnya aku tak mampu bertahan lagi. “Pak… oohh… keluar nih… terus sodok!!” desahku dengan tubuh tersentak-sentak. Pak Afif menekan penisnya hingga mentok sehingga dapat merasakan semburan cairanku membanjiri relung-relung batang penisnya. Beberapa menit kemudian pria itu mulai lagi menggenjotku, ditambah remasan pada payudaraku, dengan cepat membangkitkan lagi birahiku. Ia sudah membuatku dua kali orgasme sementara penisnya masih gagah menggarapku, aku harus mengakui keperkasaannya. “Ganti gaya cik! Yuk turun dulu!” ia membantuku turun dari meja dapur. Kini aku berdiri menungging sambil menumpukan tanganku di meja. Kurasakan bibir vaginaku digesek-gesek oleh kepala kejantanan Pak Afif dari arah belakang. Tubuhku bergetar hebat, apalagi saat batang penis itu dengan perlahan mulai menyeruak masuk, menembus bibir vaginaku hingga terbenam seluruhnnya. Kini Pak Afif mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur menghujam-hujamkan penisnya. Plok…plak… plok… suara kelamin kami beradu. Tangannya meraih kedua payudaraku dan tak pernah absen menggerayangi dan memilin-milin putingnya. Ini luar biasa nikmatnya, membuat mataku kadang melotot, kadang terpejam, di tengah arus nikmatnya hubungan terlarang dengan tukang air galon. Tampaknya pria itu sudah berpengalaman menciptakan kenikmatan demi kenikmatan buatku. Dengan penuh semangat aku pun menanggapinya itu dengan goyangan pinggulku yang sudah terlatih yang sering membuat suamiku keluar duluan. Dan ketika kenikmatan ini semakin menjalar di sekujur tubuhku, rintihan-rintihan histeris pun berlontaran begitu saja dari mulutku tanpa dapat kukendalikan. Ada mungkin dua puluh menitan kami dalam posisi ini hingga akhirnya gelombang orgasme sudah akan menerpaku lagi. “Oohh… pak… dapet lagi nihhh!!” desahku dilanda orgasme “Iyah cik… saya juga udah mau, mau buang dimana?” katanya terengah-engah. “Luar pak!!” jawabku karena hari ini aku sedang subur. Orgasme ini membuat tubuhku mengejang, rasanya sungguh luar biasa. Dari belakang Pak Afif tetap menggenjot penisnya berusaha menyusulku ke puncak. Aku hanya bisa membiarkannya sambil memejamkan mataku meresapi nilai puncak nikmat yang baru saja kucapai. Akhirnya pria itu menggeram dan menarik lepas penisnya dari vaginaku. Cairan hangat bercipratan pada pantatku, ia memenuhi janjinya untuk membuang spermanya di luar. Sejak hari itu aku rutin berhubungan gelap dengan Pak Afif setiap seminggu hingga sepuluh hari sekali saat ia mengantar galon ke rumah. Biasanya pagi atau siang di saat suamiku di toko atau anak-anak di sekolah. Pria itu cukup pengertian karena ia tidak pernah memaksa minta jatah kalau aku sedang tamu bulanan atau ada orang lain di rumah, ia bersikap biasa dan menjaga jarak denganku. Ia juga tidak ember dan bisa dipercaya untuk jaga rahasia. “Jadi bapak juga ada main sama perempuan lain di kompleks ini?” pernah satu ketika aku bertanya ketika ia agak keceplosan. “Ya sama-sama butuh lah, kaya saya sama cik aja dan ada yang mereka yang minta kok, bukan saya yang mulai” jawabnya. “Siapa aja emang pak?” aku penasaran dan terus mencecarnya. “Wah, kalau itu, saya gak bisa omong cik, soalnya bocor dikit aja bahaya, bukannya gak percaya, tapi kan mulut perempuan kadang ga sengaja bocor, kan gawat kalau sampe gitu, saya bisa ngerusak rumah tangga orang. Yang pasti cik, saya ini bukan penjahat kelamin, semua suka sama suka, kaya hubungan kita aja cik, cuma sama-sama cari enak, ya gak?” Aku pun berhenti mencecarnya dan tenang dengan caranya jaga sikap dan rahasia. Ada memang rasa penasaran siapa saja wanita yang sudah jadi ‘mangsa’nya, jangan-jangan bosnya yang cantik, Lisa salah satunya; Maya si wanita genit yang langganan toko kami (aku agak sebal kalau ia ngobrol terlalu banyak dengan suamiku), hhmm… kemungkinan besar; Imelda, si istri pendeta yang beda beberapa rumah denganku itu, kelihatannya tidak mungkin, tapi ya gak tau juga…, sudahlah bukan urusanku, aku bukan type tukang gosip juga. Suatu pagi 8. 14 Dari sekolah setelah mengantar si kembar, aku menyetir mobilku dua puluh menitan hingga tiba di alamat yang dituju. Sebuah rumah berlantai dua yang pagarnya berlapis fiber putih. Kuambil smartphoneku dan kuhubungi nomornya. “Na! Gua udah di depan nih! Nomer 25 kan?” “Iya bener, bentar gua bukain!” jawab Viona Beberapa detik kemudian, gerbang membuka secara mekanis dan aku pun memasukkan mobilku ke pekarangan. Viona menyambutku di pintu depan. “Gimana susah ga ke sini?” tanyanya “Nggak, gampang kok” jawabku yang baru pertama ke rumahnya ini. Viona mempersilakanku masuk ke rumahnya dan duduk di ruang tamu. Kupandang sekeliling, rumahnya lumayan besar juga, kurang lebih seukuran rumah kami. Sepi, tidak ada pembantu, Viona bilang belum butuh, masih bisa ditangani sendiri atau berdua bareng suami, nanti saja kalau sudah ada anak. Suaminya, Ryan, juga sedang di Surabaya. “Duh ga usah repot-repot Na!” kataku ketika ia membawakan nampan dengan piring berisi kue-kue dan minuman. “Ayolah kan harus ada tenaga buat nanti, hihihi!” ia meletakkan nampan itu di meja kaca. Aku ke sini awalnya dari chatting WA membicarakan tentang pijat pas kebetulan aku ingin pijat agar rileks di tengah kesibukan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. “Kalau massage aja, sama Wandi aja, enak kok, dijamin ketagihan deh” katanya di WA “Sapa tuh? Terapis langganan?” “Bukan terapis profesional, tapi kalau buat massage aja bisalah” “Bukan terapis? Ketagihan? Jangan2… brondong lu yah?” aku menduga-duga Ia membalas dengan emoticon tersenyum “Gimana pernah cobain cowok muda 19th ga?” lanjutnya Aku berpikir masih hijau banget, cowok 19 tahun, masih kuliah, memangnya sanggup memuaskanku? “Kuat emang? Atau baru lima menit langsung tepar?” tanyaku penasaran. “Kalau ngecewain gitu masa gua rekomendasiin ke lu?” Hhhmm.. kelihatannya patut dicoba juga nih pikirku, aku ingin tahu perbandingannya dengan suamiku dan Pak Afif, karena aku juga belum pernah mencoba dengan pria muda. Sudah telanjur melakukan hubungan gelap dengan Pak Idrus dan Pak Afif, apa salahnya tambah satu lagi, lagian hanya hubungan badan saja, prinsip ini kian menguasai diriku. Aku pun mengiyakan ajakannya dan mengatur waktunya yang jatuh pada hari ini. “Lagi di jalan katanya!” sahut Viona setelah melihat smartphonenya lalu duduk di sebelah, “gimana kabar? Hubby? Children?” “Yea, all fine!” jawabku sambil mengambil sebuah kue dari piring dan menggigitnya. “Si tukang air gimana?” tanyanya tersenyum nakal. “Dasar lu yah! biasalah kalau pas anter galon aja” “Kapan-kapan ajak gua jajal dia juga dong hihhihi!!” katanya. “Gatelan banget nih cewek” “Yee… emang lu nggak gatel? hihihi!” Kami ngobrol dan bercanda vulgar sambil tertawa-tawa sampai terdengar suara bel musik. “Ah, ini dia, siap-siap yah!” kata Viona bangkit berdiri Aku meneguk tehku dan deg-degan menunggu brondong yang dijanjikan Viona akan memijatku itu. Tidak sampai semenit, temanku itu sudah kembali ke sini diikuti seorang pemuda tegap berkulit putih, Chinese seperti kami, rambutnya berpotongan rapi, sikapnya sopan dan ramah. “Vi, ini kenalin, Wandi!” Viona memperkenalkan pemuda itu padaku “Pagi tante!” pemuda itu menjabat tanganku, keras dan tegas memberi kesan macho di awal, “saya Wandi” Kurasakan suatu desiran aneh dalam diriku, seperti adrenalin yang bergejolak, membuatku darahku bergolak, dan aku pun terbuai dalam lamunanku sendiri. Viona mempersilakan pemuda itu duduk, lalu ia ke belakang menyiapkan minuman. Kami mulai ngobrol saling mengenal dulu, dari situ kuketahui Wandi kuliah di salah satu universitas swasta di Bandung, hobynya fitness sehingga tidak heran tubuhnya berisi, ia baru mengenal dan berhubungan dengan Viona selama empat bulan. Tidak lama, Viona kembali membawakan teh untuk Wandi. Pemuda itu nampak santai di depan kami, dua wanita dewasa, ia pandai membawa obrolan sehingga suasananya cair. “Oke jadi mau kapan mulai massagenya?” tanya Viona setelah melihat antara aku dan Wandi sudah tidak kaku, “sekarang” tanyanya menengok ke arahku. Aku tidak bisa terlalu lama karena harus jemput anak sehingga aku mengangguk mengiyakan. Viona lalu mengajakku ke kamarnya untuk bersiap. “Body lu masih bagus yah, padahal anak udah dua!” puji Viona memandangku ketika aku membuka pakaianku. “Ah, olah raga rutin aja kok, lu juga badannya bagus Na, abis punya anak pasti susut lagi” Viona menyodorkan sarung batik padaku setelah membuka semua pakaian menyisakan celana dalam hitam saja. “Ga buka semua aja? Tanggung, gua biasa buka semua kok” tanya Viona. “Malu ah, baru pertama juga” kataku sambil mengikat rambutku ke belakang. Setelahnya Viona menggandengku ke sebuah kamar yang ternyata adalah home theatre. Di dalamnya ada sebuah televisi layar lebar sofa dan sofabed, Wandi juga telah menunggu di sana. “Berbaring di situ Vi!” kata Viona menunjuk ke sofabed berlapis kulit merah wine, “mau sambil nonton atau musik aja?” “Eerr… musik aja deh” jawabku Agak gugup aku membaringkan diriku telungkup di sofabed karena baru kali ini aku massage dengan pria. Viona menyetel musik dan lagu instrumental yang slow pun mengalun merdu. “Oke gua mau keluar beli makan dulu yah, jadi kalian berdua aja, jadi lebih private!” “Sip tante!” kata Wandi. Sepeninggal Viona, tinggalah aku dan pemuda itu, mmebuatku semakin berdebar-debar. Ia menghampiriku dan ikut naik ke sofa bed. “Kita mulai aja yah tante!” kata Wandi, aku mengangguk Pemuda itu memulai pijatannya dari pundak, kadang ke leher juga. Pijatan lembut namun bertenaga, enak juga walau bukan terapis profesional. “Terlalu keras ga tante?” tanyanya. “Gak, pas kok, gitu terus, mmmhhh!” aku mulai merasa nyaman, “kamu gak kuliah nih hari emang?” “Siang tante, cuma ada jam satu nanti!” Wandi melanjutan pijatan ke punggungku, ia turunkan sarung batik pembungkus tubuhku sehingga melihat punggungku yang telanjang. Kombinasi remasan jari, siku dan telapak tangannya pada punggungku sungguh nikmat di tengah alunan musik yang membuai sampai aku memejamkan mata dan beberapa kali mendesah, birahiku pun naik perlahan. “Enak tante?” tanyanya memastikan “Eeemm” gumamku sambil mengangguk. “Sarungnya dibuka aja ya tante, biar ga nanggung, abis ini mau pijat paha juga kan!” katanya Sekali lagi aku mengangguk dan ia pun melepaskan sarung batik itu perlahan, kini ia dapat melihat pantatku walau masih tertutup celana dalam. Tangannya kini memijat paha dalamku, vaginaku beberapa kali tersentuh. Uuhh… bulu kudukku terasa berdiri merasakan belaian dan pijatannya, vaginaku mulai basah dan gatal. “Tante!” katanya dekat telingaku, “terlentang yah! sekarang depan” katanya setelah memjiati paha hingga telapak kakiku. Sungguh enak pijatan tadi, aku nyaris tertidur dibuatnya, belum lagi musik yang begitu syahdu. Aku membalik tubuhku, otomatis payudaraku pun terlihat olehnya. Aku sudah tidak terlalu risih setelah terlibat dalam hubungan gelap, apalagi pesona Wandi membuatku rela dijamah olehnya. “Tante cantik sekali, gak kalah sama gadis-gadis di kampus” pujinya sambil memijat dadaku “Ah kamu, tante mah udah tua, masa dibandingin sama temen kuliah kamu, kalahlah!” kataku Tangannya terus memjiat dadaku, namun tidak menyentuh putingnya, padahal aku menginginkannya tapi gengsi untuk meminta dan agaknya ia memang sengaja mempermainkan nafsuku. “Bener tante, saya gak lagi ngegombal, wanita dewasa kadang lebih wah daripada gadis muda” Aku hanya tersenyum menikmati pijatan-pijatannya. Akhirnya ia menyentuh putingku sehingga membuatku mendesah dan menggeliat, sungguh nikmat sekali pijat erotis ini. Tiba-tiba bibirku dipagutnya, ciuman yang lembut dan membuai, yang membuatku tak kuasa menolak, aku pun menyambut pagutannya dan memeluk kepalanya, lidah kami segera saling belit dan hisap. Permainan yang sesungguhnya baru akan dimulai sekarang. Tangannya mulai menyelusuri punggungku dan pantatku tak luput dari belaian. Tangan yang lain menarik celana dalamku yang kubantu dengan menggerakkan kakiku hingga penutup tubuh terakhir itu lepas dari tubuhku. Tanganku juga bergerak menarik kaosnya dan melepaskannya dari tubuhnya. Kami kembali berciuman sebentar sebelum bibirnya turun menciumi leher dan pundakku, hingga melumat payudaraku. Aku mendesah sambil memeluk kepalanya merasakan putingku digigit-gigit kecil disertai hisapan, belum lagi tangannya yang satu merambahi selangkanganku. Jemarinya mengais-ngais liang senggamaku yang sudah basah membuat tubuhku bergetar-getar menahan nikmat. Tidak kusangka anak muda jaman sekarang sudah begitu lihai bercinta, aku saat seusianya jaman kuliah dulu masih sangat polos masalah ini. Ciuman Wandi terus turun hingga selangkanganku. “Aahhh!!” aku mendesah hebat saat lidahnya yang panas masuk menjalari dinding vaginaku Sssrrrllp… sssrrppp… suara hisapannya rakus terhadap vaginaku. Aku tidak kuat, kurasakan vaginaku semakin membanjir akibat jilatan dan hisapannya. Tiba-tiba pemuda itu menarik mulutnya dari selangkangan “Bentar tante!” katanya sambil membuka celana dan dalamannya mengeluarkan penisnya yang sudah ereksi penuh. Seakan terhipnotis oleh penis tak bersunatnya yang gagah, aku menegakkan badan dan menggesernya ke dekatnya. Kugenggam batang penisnya, ukurannya memang standar, kurang lebih mirip punya suamiku, kukocok lembut dan kurasakan kekerasan batang itu dan uratnya yang agak menonjol. Wandi memandangku dengan tersenyum. Aku mengerti apa yang diinginkannya, kudekatkan wajahku dan kukecup benda itu. “Mmmhh… enak tante!” desah Wandi merasakan lidahku menjilati batangnya. Perlahan kumasukkan seluruh batag penisnya ke dalam mulutku, lalu mulailah aku mengulumnya. Oral seks yang kuberikan membuat lutut pemuda itu gemetar dan mengerang-ngerang. Sementara tanganku yang satunya mengelus-elus vaginaku sendiri yang terasa makin gatal. “Sekarang aja tante!!” kata Wandi menarik penisnya dari mulutku, “tante juga kayanya udah kepengen kan!” Aku pun pasrah ketika ia menunggingkan tubuhku. Sesaat kemudian terasa penis Wandi sudah melesak masuk ke dalam liang kewanitaanku, tidak terlalu sulit karena kelamin kami sudah basah. Wandi pun mulai menggenjot vaginaku, membuatku terpejam-pejam dalam nikmat dan mendesah-desah. Makin lama makin terasa betapa nikmatnya gesekan penis Wandi yang masih sangat muda itu. Tangannya tak henti-henti meggerayangi kedua payudaraku atau sesekali meremas pantatku menambah rasa nikmatnya. Tak kusangka Wandi yang muda dan perkasa mampu membuatku serasa terbang melayang seperti ini. “Udah enjoy banget Vi?” tiba-tiba aku dikejutkan oleh kemunculan Viona dari samping. Saking terhanyutnya aku dalam pergumulan ini, aku tidak tahu kapan dia masuk. Aku merasa risih dilihat orang ketiga ketika ML seperti ini, tapi mau berhenti pun nanggung, sementara Viona tersenyum melihat kami. “Kita main bertiga yah!” katanya sambil melepas pakaian satu persatu. Sambil mendesah-desah akibat sodokan Wandi kuperhatikan tubuh Viona ternyata bagus juga, payudaranya sedikit lebih kecil dari milikku tapi bulat dan kencang dengan puting merah, bulu-bulu kewanitaannya dicukur rapi memanjang. Setelah menelanjangi dirinya, ia naik ke sofa bed menghampiri Wandi. Aku menengok ke belakang melihat pemuda itu langsung mendekap tubuhnya dan mereka berpagutan penuh nafsu. Sambil terus menggerakkan pinggulnya menggenjotku, tangan Wandi meraih payudara Viona dan meremasinya. Aku sungguh terhanyut dalam pergumulan yang menjadi threesome pertamaku ini. Tak lama kemudian aku mencapai orgasme, mulutku mengerang tak karuan, tanganku meremasi sofa sambil memaju-mundurkan pantatku menyambut gelombang nikmat itu. Wajahku akhirnya mendongak dengan lenguhan panjang. Bersamaan dengan itu, Wandi menghentakkan pinggulnya dengan keras sembari mencengkeram pantatku. Tubuhku bergetar hebat, cairanku meleleh dari vaginaku membasahi selangkangan dan paha dalamku. Aku pun akhirnya ambruk lemas dan nafasku terengah-engah. “Gimana Vi?” tanya Viona membelai rambutku, “puas gak?” Aku hanya mengangguk dan berusaha memulihkan nafasku. “Break aja dulu, sekarang giliran gua” katanya, “Di yuk, sekarang sama tante, sana berbaring!” perintahnya pada pemuda itu. Kulihat Viona naik ke selangkangan Wandi kini berbaring telentang sesuai yang dimintanya, digenggamnya penis yang masih tegak itu dan ia arahkan ke vaginanya. Pelan-pelan Viona menurunkan pantatnya sehingga penis Wandi masuk menembus liang senggamanya diiringi desahan mereka. Mulailah Viona bergerak naik-turun atau sesekali memutar bokongnya, mengulek-ulek penis Wandi yang menancap dalam di kewanitaannya. Wandi mendesah-desah penuh nikmat saat menerimanya. ”Oughh… tante… empotan memeknya… aah… mantapphh…” desahnya sambil meremas kedua belah payudara temanku itu. Melihat adegan mereka, birahiku mulai naik lagi, tenagaku juga mulai pulih. Kugerakkan tubuhku dan mendekati mereka. “Ayo tante! Ronde dua!” panggil pemuda itu. Aku pun menaiki wajahnya berhadapan dengan Viona, tanpa harus disuruh Wandi segera melahap vaginaku yang masih basah setelah orgasme tadi. Lidahnya menyapu-nyapu paha dalam, wilayah selangkangan dan vaginaku membersihkan lelehan cairanku. Aku pun dibuatnya mendesah nikmat. “Uuhh Vi… gila enak bangetthh!!” desah Viona. Ia lalu memeluk tubuhku sambil terus bergerak naik-turun. Aku juga balas memeluk tubuhnya, kami berdua sudah basah berkeringat. Tiba-tiba ia mencium bibirku membuatku terhenyak. Aku bukan lesbian atau biseks, belum pernah aku mencium sesama wanita sebelumnya, namun dalam kondisi terangsang berat seperti sekarang aku tak kuasa menolaknya dan aku juga butuh pelampiasan dari kenikmatan akibat jilatan Wandi pada vaginaku. Aku pun membalas pagutan Viona dan mengeluarkan lidah saling beradu dengannya. Hhhmm… asyik juga sebagai bagian dari variasi seks, namun kalau disuruh main dengan sesama wanita secara khusus, kelihatannya aku tidak bersedia. Gerakan naik-turun Viona semakin cepat saja. Sementara di bawah sana, Wandi bukan saja menjilat dan menghisap vaginaku, jarinya juga ikut bermain mencucuk-cucuk, sesekali ia membuka bibir vaginaku agar bisa menjilat lebih dalam. “Vi… gua udah mau nih!!” desahnya lirih sambil terus memutar pinggulnya. “Oughh… Di, tante udah gak tahan… arghhh…!!” Viona menjerit dan tubuh sintalnya mengejang, ia telah mencapai orgasme Timbul bunyi berdecak dari gerak naik-turunnya beradu dengan kelamin Wandi. Setelahnya, aku dan Viona mengerjai penis Wandi yang masih belum orgasme itu. Secara bergantian kami mengulum dan menjilati batang itu yang sudah berlumuran cairan vagina kami. Ketika Viona mengulum batangnya, kukulum buah zakarnya. ”Tanteee… saya mau keluar nih…. uuuhh!!” erang Wandi Kami tak menghiraukan dan kini aku yang mengulum kepalanya dan Viona menjilat batangnya. Tiba-tiba creeeet… creeet… kurasakan semprotan kuat dari penis pemuda itu yang asin gurih, cairan dengan aroma tajam yang familiar itu muncrat di dalam mulutku. Viona merebut penis itu dariku dan crett… sebuah semprotan yang sudah lemah mendarat di hidungnya, seakan tak mau kehabisan, Viona memasukkan penis itu ke mulutnya dan menghisapnya. Nampak Wandi terkejang-kejang tak karuan karena hisapan dan kocokan kami. Viona menghisap sampai pipinya kempot hingga akhirnya mengeluarkan penis pemuda itu yang sudah mulai loyo. Aku harus mengakui keperkasaan Wandi yang mampu membuat dua wanita dewasa orgasme sebelum akhirnya dia sendiri orgasme setelah kami keroyok berdua. Setelah memulihkan tenaga dan berbenah diri, kami makan makanan yang telah disiapkan Viona sambil ngobrol kesan-kesan pergumulan kami tadi. Bagiku percintaan dengan setiap pria yang pernah kucoba masing-masing meninggalkan kesan tersendiri, tidak ada yang paling baik ataupun paling buruk. Kesanku dengan pemuda ini, gayanya gentle dan membuai, aku sangat menikmatinya. Itu adalah awal hubungan gelapku dengan Wandi, aku memang jarang berhubungan dengannya, tidak serutin dengan Pak Afif. Salah satu alasan adalah karena harus keluar uang untuk pelayanan dan kadang mentraktir ini itu, aku termasuk orang yang memperhatikan keuangan sehingga tidak terlalu suka keluar uang untuk masalah seks.
ns 15.158.61.12da2