Pagi itu di kantor, saat rutinitas kerja mulai terasa monoton, ponselku berdering. Nama Sofya muncul di layar. Jantungku tiba-tiba berdetak sedikit lebih cepat, meskipun aku tahu dia mungkin hanya ingin bicara soal keluarga.
“Halo, Kak Hendra?” suaranya lembut di ujung telepon, membuat suasana di ruang kerjaku seolah berubah menjadi lebih hangat.
“Iya, ada apa, Sofya?” tanyaku, mencoba menahan nada yang terlalu antusias.
“Sebenarnya aku mau bicara sama Mbak Anin. Nomor dia nggak aktif. Kakak tahu nggak, dia punya nomor lain?” tanyanya.
“Oh, kayaknya nomor yang biasa itu aja. Mungkin sinyalnya lagi jelek kali?”
“Oh, ya udah, aku coba lagi nanti ya, Kak. Makasih,” katanya, seakan siap menutup telepon.
Tapi sebelum percakapan berakhir, aku merasa seperti ada dorongan kecil untuk mencoba lebih dekat dengannya. Setengah bercanda, setengah ragu, aku bilang, “Eh, Sofya… ada yang mau aku bilang sebenarnya.”
“Eh, apaan tuh, Kak? Mau bilang apa?” tanya Sofya, terdengar penasaran.
“Ah, nggak jadi deh, nanti kamu marah,” kataku mencoba berkelit, seolah sedang memberi sedikit tantangan untuk menarik perhatiannya.
“Apaan sih? Masak aku marah? Ah, udah terlanjur penasaran. Ayolah, bilang aja, Kak. Aku nggak akan marah kok, janji!” suaranya sedikit menggodaku, terdengar lembut dan manis.
Aku menarik napas dalam-dalam, dan akhirnya memberanikan diri. “Hmm, aku cuma mau bilang… kamu itu cantik banget, Sofya.”
Terdengar suara tawa lembut di ujung sana, membuatku terdiam sejenak, merasa sedikit malu sekaligus takjub pada keberanian isengku.
“Wah, Kak Hendra, papanya Haikal ini udah berani merayu. ini bisa bahaya, nih!” katanya, sambil tetap tertawa. “Kalau aku kasih tahu Mbak Anin, bisa-bisa Kakak kena ceramah agama seharian penuh! Mau?”
Aku ikut tertawa, merasa suasana jadi ringan dan menyenangkan. “Kalau dengar ceramah dari kamu sih, mungkin aku masih berani,” godaku pelan.
“Yah, Kak Hendra,” ucapnya dengan nada yang terdengar menggoda, “hati-hati, lho. Biarpun aku nggak se-alim Mbak Anin, aku tetap bisa ceramah sambil ngomel-ngomel juga?”
“Mau dong diceramahi dan diomelin kamu.”
“Hayo aku aduin mbak Anin!”
“Aduh, jangan dong. Kalau gitu, ini rahasia kita aja ya?” jawabku sambil tersenyum, meskipun dia tak bisa melihatnya.
Dia hanya tertawa lagi, dan aku bisa membayangkan wajahnya yang manis sedikit merah karena percakapan ini. Rasanya seperti ada momen kecil yang diam-diam kami bagi bersama. Setelah menutup telepon, aku tersenyum sendiri, masih bisa merasakan sisa-sisa percakapan tadi.
Sejak percakapan itu, pikiranku makin sering berkhayal tentang Sofya, berharap ada lagi momen seperti tadi—momen yang terasa begitu sederhana tapi berhasil menyisakan getaran kecil yang bertahan lebih lama dari biasanya.
Sejak percakapan telepon itu, entah kenapa aku merasa ada keberanian baru untuk sedikit menggoda Sofya. Setiap kali aku ingin menghubunginya, aku pastikan dulu Arman, suaminya, sedang kerja. Aku pun iseng mengirim pesan WA ke Sofya, memulai dengan basa-basi, memastikan semuanya aman sebelum menyelipkan satu dua kalimat yang agak nakal.
Pesan pertamaku biasanya sederhana,
“Lagi sibuk nggak, Sofya?”
“Nggak, Kak. Lagi santai aja di rumah,” balasnya.
Kata “di rumah” itu saja sudah cukup membuat imajinasiku bekerja. Aku bisa membayangkan sosoknya sedang duduk di ruang tamu atau di balkon, menikmati waktu sendirinya dengan santai. Sering kali, aku jadi berani menambahkan godaan kecil di pesan selanjutnya.
“Nggak ada selfie terbaru nih? Kayaknya aku jarang lihat update-an kamu akhir-akhir ini,” tulisku, pura-pura iseng.
“Hahaha, biasa aja, Kak Hendra. Itu sih ada di FB, Kakak aja yang jarang lihat kali,” balasnya, disertai emoji senyum.
Tentu saja, aku justru makin sering melihat profil Facebook-nya, memeriksa setiap foto yang diunggahnya. Sofya memang tipe perempuan yang senang selfie, dan hasilnya memang luar biasa. Entah dengan pose anggun, manis, atau saat tersenyum sambil memiringkan kepala, semua fotonya berhasil membuat jantungku berdebar. Kulitnya yang eksotis, senyumnya yang memikat, dan mata yang seakan mengajak berbicara membuatku makin kagum padanya. Setiap fotonya tampak begitu hidup, memancarkan pesona yang sulit diabaikan.
Terkadang, aku memberanikan diri mengirim komentar di WA, setelah melihat foto terbaru di FB. “Sofya, yang di foto tadi kamu kelihatan cantik banget. Beruntung banget Arman punya istri kayak kamu.”
“Duh, Kak Hendra, gombalnya kebangetan! Ntar aku kasih tahu Mbak Anin beneran, lho!” balasnya, tapi tetap diiringi emoji tertawa, membuatku yakin dia menikmati percakapan ini.
Semakin lama, semakin aku merasa terobsesi. Setiap kali ada waktu luang, tanpa sadar aku membuka lagi FB Sofya, mencari-cari foto atau cerita terbaru darinya. Di satu sisi, aku tahu ini berisiko, tapi di sisi lain, rasanya seperti kecanduan pada pesonanya yang makin membuatku penasaran.
***
Malam ini malam jumat, seperti biasa kami selalu melakukan hubungan suami istri tiap malam jumat. Saat kami berdua di kamar dan suasana terasa hangat, aku berusaha untuk menikmati momen bersama Anindya.
Aku menelanjangi istriku yang cantik itu. Kemudian kami saling berciuman dan meraba tubuh pasangan. Aku remas payudaranya kemudian aku kecup putingnya.
“Shhhhhh…” Anindya mendesah.
Kemudian aku mulai mencumbu bagian perutnya dan turun ke selangkangan.
“Mas jangan dicium gak boleh!” Ujar istriku saat aku mau menjilat memeknya.
“Kenapa mah?”
“Aku baca itu ternyata gak boleh kata ustadz.”
Aku jadi kesal dengan ustadz yang mengatakan itu tapi aku lanjutkan dengan langsung memasukan kontolku ke memek istriku. Aku menggenjotnya sambil tiba-tiba terlintas wajah Sofya dan Syahnaz kedua iparku yang molek. Genjotanku makin liar karena membayangkan tubuh bahaenol mereka saat telanjang dan kuentot.
Namun, di tengah-tengah keintiman, dia tiba-tiba menahanku saat aku mau membuat Anindya menungging.
“Mas, jangan posisi itu,” bisiknya, suaranya terdengar agak canggung.
Aku menatapnya bingung. “Kenapa? Kan sebelumnya nggak pernah ada masalah?”
Dia menarik napas dalam-dalam, matanya sedikit menghindar dari tatapanku. “Aku baru dengar dari ceramah ustadz kemarin, katanya posisi itu… nggak boleh, Mas. Katanya, itu meniru cara binatang dan nggak sopan dalam Islam.”
Aku terdiam, berusaha mencerna kata-katanya. Sejujurnya, posisi itu adalah salah satu yang membuat momen kami menjadi lebih hangat dan dekat. Kami biasa melakukannya, dan sebelumnya dia juga tak pernah keberatan, bahkan menikmatinya/ Karena itu juga posisi favorit dia juga. Tapi malam ini, dia seakan berubah, dengan alasan baru yang didapatnya dari ceramah agama. Padahal ada ustadz lain yang bilang itu boleh. Dan ada dalilinya. Tapi istriku ikut pendapat ustadz online dia yang entah punya dasar pendidikan agama atau tidak.
“Anin.” kataku pelan, mencoba meredam kekesalanku, “kita sudah sering melakukan itu. Selama ini, kamu juga nggak keberatan, kan?”
Dia hanya menggeleng, masih tampak ragu. “Mas, aku cuma mau kita melakukan ini dengan benar sesuai ajaran yang baik. Kalau sudah tahu bahwa ini tidak boleh jangan dilakukan lagi.”
Kata-katanya seperti menjadi tembok penghalang yang tak bisa kutembus. Aku mencoba mengerti niat baiknya, tetapi tak bisa dipungkiri, rasa kecewa dan kehilangan gairah mulai merayap masuk. Suasana yang tadinya penuh kehangatan berubah dingin, terbungkus dalam keheningan yang canggung. Rasa kesalku semakin nyata. Mungkin untuk Anindya, ini adalah perubahan yang baik, namun bagiku, batas-batas ini mulai terasa menyesakkan.
Aku berbaring, mencoba meredam kekecewaan dan berusaha mengatur napas, tapi rasanya tetap tak sama. Gairah yang tadinya ada hilang begitu saja, berganti dengan rasa hampa.
Bersambung
ns 15.158.61.50da2