Mendengar rencana kedua orang tuanya, Sinta hanya terdiam. Wajahnya memancarkan keraguan. Tidak ada sedikit pun keinginan dalam dirinya untuk menjalin hubungan dengan siapa pun ditambah dengan dirinya yang masih terbayang trauma masa lalu nya sial percintaan, luka di hatinya masih membekas, dan ia merasa belum siap untuk membuka kembali pintu yang sudah lama ia tutup rapat.
"Ibu, Ayah," Sinta memulai dengan lembut
"Sinta menghargai niat baik ayah dan ibu, tapi sinta masih belum yakin ini waktu yang tepat buat sinta. Sinta masih ingin fokus pada pekerjaan dan klinik kecil yang sinta masih rintis."
Ibunya menatap Sinta dengan penuh kasih, sementara ayahnya menghela napas panjang.
"Sinta" ucap sang ayah bijak
"ayah dan ibu tidak memaksa. Hanya saja, kami ingin melihatmu bahagia dan memiliki pendamping yang dapat mendukung perjuanganmu. Panji adalah anak yang baik dan sudah sangant mapan, dan kami percaya dia bisa menjadi pasangan yang seimbang untukmu."
Malam itu Sinta tidak memberikan jawaban pasti. Ia meminta waktu untuk merenung. Baginya, pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan begitu saja, apalagi dengan trauma masa lalunya. Namun, di dalam hatinya, ia juga tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang telah mendukungnya tanpa syarat selama ini.
Hari berganti minggu, dan Sinta memutuskan untuk bertemu Panji. Ia ingin mengenal pria itu lebih jauh sebelum mengambil keputusan. Pertemuan diatur di rumah keluarga Sinta, suasananya santai namun tetap formal.
Ketika Panji datang, Sinta terkejut. Pria itu bukan hanya sopan dan ramah, tetapi juga memiliki aura ketulusan yang sulit diabaikan. Ia tidak mencoba memaksakan diri untuk membuat Sinta terkesan. Sebaliknya, ia lebih banyak mendengar cerita Sinta tentang klinik dan pengalamannya sebagai dokter.
"Aku kagum dengan apa yang sudah kamu lakukan, Sinta," ujar Panji.
"Aku rasa, orang-orang yang datang ke klinikmu sangat beruntung memiliki dokter sebaik kamu. Kalau aku bisa, aku ingin membantu sedikit. Mungkin dengan donasi atau mendukung fasilitas yang kamu butuhkan."
Kata-kata Panji mengejutkan Sinta. Biasanya, pria yang ditemuinya selalu mencoba mengesankan dengan pencapaian mereka sendiri, tetapi Panji justru menunjukkan minat pada apa yang penting bagi Sinta.
Hari demi hari, Sinta dan Panji mulai saling mengenal lebih dalam. Panji tidak terburu-buru, ia menghormati batasan yang Sinta tetapkan. Di sisi lain, perlahan-lahan, Sinta mulai menyadari bahwa tidak semua pria sama. Ada orang orang baik yang mampu menyembuhkan luka masa lalu tanpa tergesa gesa.
Namun, di balik itu semua, Sinta masih menghadapi pertanyaan besar dalam hatinya apakah ia benar-benar siap untuk membuka lembaran baru? Atau akankah ia tetap memilih menjalani hidupnya sendiri?.
V
V
V
Setelah beberapa bulan saling mengenal, Sinta akhirnya merasa yakin. Panji menunjukkan bahwa dirinya adalah pria yang tidak hanya baik dan tulus, tetapi juga menghormati prinsip-prinsip hidup Sinta. Ia tidak pernah memaksa atau menghakimi masa lalu Sinta, bahkan justru memberikan dukungan penuh atas semua yang telah Sinta lalui.
Suatu malam, setelah merenung panjang dan berkonsultasi dengan kedua orang tuanya, Sinta akhirnya berkata.
"Ayah, Ibu, jika kalian yakin bahwa Panji adalah yang terbaik untuk sinta, sinta juga akan berusaha membuka hati. Bismillah sinta siap menikah dengan mas panji."
Kedua orang tua Sinta tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan mereka. Dalam waktu singkat, keluarga Sinta dan keluarga Panji mulai mempersiapkan pernikahan yang sederhana tetapi penuh makna. Sinta, yang biasanya tidak terlalu memikirkan pesta besar, setuju bahwa pernikahan mereka akan menjadi momen sakral yang hanya dihadiri oleh keluarga terdekat dan sahabat.
V
V
V
Di sebuah aula kecil yang dihiasi bunga putih dan hijau, Sinta duduk dalam balutan kebaya putih sederhana dengan jilbab di kepalanya yang di hiasi beberapa rangkai bunga melati menggantung. wajahnya memancarkan ketenangan yang bercampur haru. Panji, dengan jas hitam dan peci, tampak gagah menanti di depan penghulu. Suasana begitu khidmat ketika ayah Sinta sendiri yang menikahkan Sinta semata wayangnya.
“Panji bin Supri Gramokson, saya nikahkan engkau dengan Sinta saya, Raysinta Rahayu binti Sarif duatak, dengan mas kawin berupa emas 10 gram dan seperangkat alat salat, dibayar tunai,” suara ayah Sinta tegas.
Dengan lancar, Panji mengucapkan ijab kabul. Saat kata “sah” bergema dari para saksi, air mata menetes di pipi Sinta. Ini adalah babak baru dalam hidupnya, babak yang sebelumnya ia pikir tidak mungkin lagi ia jalani.
V
V
Kehidupan pernikahan mereka dimulai dengan sederhana, tetapi penuh kehangatan. Panji, yang kini menjadi suaminya, mendukung penuh semua aktivitas Sinta. Ia bahkan membantu mengembangkan klinik Sinta agar lebih banyak masyarakat yang terbantu. Dengan pengalamannya di bidang bisnis, Panji membantu mengelola keuangan klinik sehingga Sinta tidak lagi perlu mengeluarkan terlalu banyak uang pribadinya.
Meski sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Panji dan Sinta selalu meluangkan waktu bersama. Mereka sering berbincang panjang di malam hari, saling berbagi cerita, dan berdoa bersama. Bagi Sinta, Panji bukan hanya seorang suami, tetapi juga partner hidup yang mampu mengisi kekosongan di hatinya.
Namun, pernikahan mereka tidak selalu berjalan mulus. Ada kalanya Sinta masih dihantui oleh bayangan masa lalu, terutama saat ia merasa ragu apakah dirinya cukup layak untuk cinta Panji. Suatu malam, Sinta dengan penuh kejujuran menceritakan segalanya kepada Panji, termasuk trauma yang pernah ia alami.
Juga ada sesuatu yang dirasa kurang oleh sinta, panji memang sosok suami yang baik dan bisa memenuhi semua kebutuhan materil sinta, tapi panji memiliki kekurangan yaitu pada urusan ranjang, untuk ukuran pengantin baru panji terbilang tidak agresif untuk soal ini.
sinta merasa panji tidak memprioritaskan untuk soal sex, dia menganngap sex hanyalah sebagai bumbu dalam pernikahan, panji jarang sekali berhubungan suami istri dengan sinta, sinta yang selalu berusaha menjadi seorang istri yang baik bahkan selalu ”menggoda” suaminya untuk menunaikan kewajiban nya memberi nafkah batin kepada sinta.
Panji memang menunaikan tugas nya menafkahi sinta, tapi setiap mereka berhubungan hanya panji lah yang mendapatkan puncak, setelah itu panji akan langsung tidur. Sinta yang merasa belum mendapat kepuasan hanya bisa menerima nya dan sebagai istri yang baik dia tidak pernah memprotes hal itu.
Namun demikian, pernikahan Sinta dan Panji berjalan harmonis seiring waktu. Setelah melewati masa-masa adaptasi, Panji membuktikan bahwa dirinya adalah pasangan yang penuh perhatian dan dukungan. Meskipun kesibukan pekerjaan sering memisahkan waktu mereka, Panji selalu memastikan bahwa ia meluangkan waktu untuk Sinta. Begitu pula Sinta, yang tetap sibuk dengan kliniknya tetapi selalu menyisihkan waktu untuk keluarga kecilnya.
Sinta merasa hidupnya kini lebih bermakna. Bersama Panji, ia belajar bahwa pernikahan adalah tentang saling mendukung dan tumbuh bersama. Kebahagiaan mereka terasa sempurna ketika Panji membawa kabar besar suatu malam.
"Sayang," ujar Panji sambil duduk di sebelah Sinta yang sedang membaca buku.
"Aku dapat tawaran besar dari konsorsium pengusaha. Mereka ingin aku memimpin proyek pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di Papua."
Sinta menatap suaminya dengan mata berbinar.
"Papua?jauh sekali mas... itu papua bagian mananya mas? Di tengah hutan? Terus apa kita harus tinggal disana. Lagipula apa masih kurang mas dengan bisnis mas dan yang sudah ada sekarang.?”
Panji mengangguk. "Iya, di bagian timur papua dekat perbatasan ini kesempatan besar untuk kita, memang yang sudah kita jalani sekarang sudah lebih dari cukup, tapi ada satu hal lagi. Aku juga berpikir, kalau kamu bersedia, kita bisa pergi bersama. Kamu bisa membuka klinik kecil di sana dan membantu orang2 di daerah yang masih sangat terpencil itu, dan aku yakin banyak yang membutuhkan tenaga medis disana, jadi selain aku bisa melebarkan bisnisku, kita juga sambil beribadah membantu orang-orang disana yang membutuhkan jangkauan medis"
”terus, klinik yang disini gimana mas?”
”itu akan tetap berjalan seperti sekarang, kamu tenang saja, jadi, selain bisnis mas yang bertambah, area pengabdianmu juga bertambah kan.” panji tersenyum kepada sinta.
Sinta tertegun. Ide itu terdengar menarik, tetapi juga penuh tantangan. Selama ini, ia sudah nyaman dengan kehidupannya di kota. Namun, Sinta selalu memiliki jiwa petualang dan keinginan untuk beribadah membantu orang orang di pedalaman papua sana. Setelah berdiskusi panjang dengan Panji, Sinta akhirnya setuju.
"Bismillah, Mas," ujar Sinta sambil menggenggam tangan Panji. "Kalau ini yang terbaik, aku siap mendukungmu."
V
V
V
Singkat cerita beberapa bulan kemudian, Sinta dan Panji berangkat ke Papua. Perjalanan ke lokasi yang akan dijadikan perkebunan bukanlah hal yang mudah. Mereka dan tim harus melewati hutan lebat, sungai yang deras, dan jalanan yang belum sepenuhnya layak. Namun, Sinta justru merasa tertantang. Ia melihat ini sebagai kesempatan untuk memperluas pelayanannya sebagai dokter.
Di Papua, mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang dibangun di dekat area proyek. Panji sibuk mengelola tim yang bertugas membuka lahan, sementara Sinta yang dibantu oleh para pekerja proyek yang ditugaskan oleh panji mulai mendirikan klinik darurat untuk melayani masyarakat sekitar.
Sinta segera menyadari bahwa banyak penduduk lokal yang membutuhkan bantuan medis. Ia merawat pasien dengan berbagai keluhan, mulai dari malaria, infeksi kulit, hingga kekurangan gizi. Sinta merasa bahagia karena bisa membantu mereka, sementara Panji mendukungnya dengan membeli perlengkapan medis dan obat obatan.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Di tengah hutan yang menjadi area proyek perkebunan, adalah zona merah separatis dari sebuah kelompok bersenjata yang menginginkan kemerdekaan dan lepas dari negara ini.
Mereka adalah OKEM (Organisasi Kemerdekaan Melanesia), kelompok bersenjata yang memang sedang gencar diperangi oleh militer negara karena selain melanggar undang udang mereka juga kerap kali meresahkan warga sipil di desa desa untuk memenuhi kebutuhan mereka saat berada di hutan untuk bersembunyi.
Oleh karena itu lah di lokasi proyek pembukaan lahan perkebunan sawit yang panji dan konsorsium nya garap, lokasi tersebut di jaga oleh aparat kemanan yang bersenjata lengkap baik itu yang memang ditugaskan untuk menetap di lokasi proyek ataupun yang berpatroli dari kota kecil terdekat dari lokasi.
Kota kecil yang untuk ukuran di daerah lain lebih mirip sebagai desa yang cukup luas dengan pasar. Di kota kecil yang bernama atap jaya inilah pemenuhan kebutuhan pekerja proyek didapatkan, jarak dari kota kecil ini ke lokasi proyek memang tidak terlalu jauh, tetapi medan yang sulit dengan jalan yang masih berupa tanah merah dan hutan lebat di kiri dan kanan membuat jarak yang dekat seolah menjadi sangat jauh.
Kabar tentang proyek pembukaan lahan dan klinik medis yang di bangun di proyek itu rupanya cukup mengganggu para pimpinan OKEM, para pemimpin OKEM takut warga sekitar lokasi proyek akan berkurang simpati nya kepada perjuangan OKEM akibat klinik yang melayani warga sekitar dengan gratis itu.
OKEM pun mulai bertindak, mereka dalam beberapa minggu terakhir OKEM selalu mengganggu jalan nya pekerjaan proyek, bahkan sudah beberapa kali terjadi kontak senjata antara aparat yang ditugaskan untuk mengamankan proyek dengan geriliawan OKEM, sudah beberapa nyawa melayang baik dari pihak OKEM maupun dari pihak aparat keamanan.
Panji yang merasa khawatir akan keamanan sinta setelah beberapa minggu tinggal di lokasi proyek akhirnya berbicara dengan sinta, panji memutuskan agar sinta tinggal di atap jaya dan untuk klinik darurat yang sudah ada disini akan di tutup untuk kemudian dipindahkan di atap jaya, hal ini semua panji lakukan demi keamanan sinta.
”mas sudah sewa ruko bertingkat disana, jadi kamu tinggal di lantai 2 dan dibawahnya untuk klinik kamu, ruko itu salah satu dari 5 bangungan bertingkat yang ada di tengah pusat keramaian atap jaya, jadi kamu pasti aman disana, pokoknya kamu tinggal disana ya, disini mas takut dengan keamanan mu.” panji berbicara kepada sinta.
”tapi mas, mas juga ikut tinggal disana kan mas..?”
”mas tetap disini toh disini juga ada aparat keamanan bersenjata, dan lagi kalau mas harus bolak balik dari sana ke sini kan medan nya berat dan justru malah rawan di sergap di tengah jalan, jadi mas lebih aman kalau ada di dalam lokasi proyek.”
”maaaasss.. tapi sinta tetep takut mas kenapa kenapa disini”
”kamu tenang saja.. justru kalau kamu masih disini mas malah akan terus khawatir,”
Sinta yang mendengar penjelasan panji, walaupun dengan berat hati akhirnya sinta mengangguk dan segera berkemas untuk menjalankan rencana panji suaminya.
Keesokan harinya sinta meninggalkan lokasi proyek dengan beberapa mobil yang membawa semua peralatan medis dan suply obat yang ada di klinik darurat proyek. Dengan di kawal beberapa personil keamanan bersenjata lengkap.
V
V
V
Singkat cerita, 2 minggu sudah semenjak sinta meninggalkan lokasi proyek dan tinggal di atap jaya, di ruko berlantai dua itu sinta mulai menjalankan lagi kliniknya, selain membayar orang untuk menjaga keamanan sinta dia juga membayar seorang ART untuk membantu sinta menjalankan klinik nya.
Klinik sinta selalu ramai di datangi warga lokal yang membutuhkan pertolongan medis, sinta melayani mereka dengan sepenuh hati, dan dengan semua pertolongan yang diberikan sinta untuk warga sekitar menjadikan warga sekitar menaruh simpati kepada sinta.
Kabar tentang sinta yang melayani kebutuhan medis warga atap jaya itupun disampaikan oleh mata mata dari separatis OKEM kepada pimpinan nya, simpati warga atap jaya kepada OKEM kian terus berkurang semenjak sinta membuka klinik gratis di atap jaya.
Hal ini membuat pimpinan OKEM khawatir kalau ini terus berlanjut maka suply kebutuhan yang biasa di dapat dari warga yang simpati kepada perjuangan OKEM akan habis.
”Ini tidak bisa dibiarkan, kemarin kita sudah hajar di proyek itu, tapi ternyata justru malah semakin buruk, kita harus bertindak, kita harus bunuh dokter perempuan itu” ucap salah satu pemimpin OKEM.
”betul, setuju,..” ucap beberapa anggota OKEM
”Baik, besok kita ke atap jaya kita habisi dokter perempuan itu dan bakar kliniknya” ucap Pemimpin OKEM
”tunggu, jangan lakukan itu, menurutku itu malah akan membuat simpati kepada kita menurun..” salah satu pimpinan OKEM menyanggah.
”lalu bagaimana menurutmu , ini tidak bisa dibiarkan, kita harus bertindak,”
adalah salah satu pimpinan yang disegani oleh anggota separatis OKEM, sebelum berjuang bersama OKEM adalah seorang yang terpelajar, dia adalah lulusan dari sebuah universitas ternama yang ada di ibukota negara. Perawakan yang berkulit hitam tinggi besar dan berotot, bisa membuat siapa saja takut kepadanya.
”kalau kita bunuh dokter itu kita justru akan lebih banyak mendapat kerugian, menurutku lebih baik kita culik saja dokter itu lalu kita jadikan sandra dan meminta tebusan kepada suaminya yang menjalankan proyek lahan sawit itu, dan aku yakin dia dan teman reman pengusaha nya pasti akan menebus dokter itu.”
”tapi, kalau kita culik dokter itu pasti aparat akan menurunkan pasukan untuk membebaskan nya”
”kau takut..? hmmm.. kau tidak usah takut.. aku sudah punya rencana untuk itu.”
”hmmm.. kurasa ide lebih baik, baiklah, kalau begitu kami setuju dengan ide , kita culik dokter perempuan itu.
”baik, kita lakukan besok malam saat. Aku sudah memikirkan caranya”
V
V
Di malam itu setelah sinta menutup pintu rolling door kliniknya dan mengunci pintu itu dari dalam, sinta berjalan menaiki tangga menuju ke lantai 2. Namun saat di baru saja selesai menapaki tangga dan menginjakan kakinya di lantai dua sinta mendengar ketukan di rolling door.
”DOOK...DOOK..DOOKK.. permisi..” suara ketikan terdengar bersamaan dengan suara panggilan dari seorang pria diluar.
”adduuhhh.. siapa ya malam gini.. mana udah sepi lagi diluar” rutuk wanita canti berjilbab itu sambil kembali menuruni tangga untuk kemudian berjalan ke arah rolling door depan.
”DOOK..DOK..DOOOKK.. permisiii,,,”
”Iyaaa.. sebentaarr...” ucap sinta sambil membuka kecil yang ditutup yang berfunsi sebagai lubang intip untuk melihat siapa yang ada di luar.
”Permisi kaka dokter...” ucap seorang pria muda yang berdiri diluar dan melihat ke arah lubang intip yang kini terbuka.
”oohhh.. adik piter, ada apa..? tunggu sebentar kaka buka dulu pintu nya ya..” ucap sinta yang sudah mengetahui siapa yang ada diluar sambil kemudian dia membuka pintu rolling door ruko kliniknya.
”eh adik piter ada apa malam malam ini e..? kaka kira siapa..?”
”hehe.. iya kaka dokter, maaf saya mengganggu kaka dokter, saya mau mengantarkan ini paket kaka dokter yang baru datang tadi siang di kantor pos.. saya pikir sekalian saja saya pulang ini saya antar, dan sekalian saya mau berterima kasih pada kaka dokter kemarin sudah periksa mama saya kaka dokter..” ucap piter yang memang bekerja di kantor pos kecil yang ada di atap jaya.
”oohhh.. sudah sampai ya paket nya kaka.. eh kaka jadi tidak enak sudah bikin repot adik piter.. terima kasih ya adik.. oh iya bagaimana mama sudah kah sehat..?” sinta bertanya sambil mengambil kotak kardus paket cukup besar dan berat yang di antarkan oleh piter.
”puji tuhan sudah sehat kaka.. terima kasih ya kaka dokter sudah mengobati mama saya..”
”oohhh..iya adik piter.. bukan saya yang menyembuhkan mama adik piter, tapi tuhan.. adik piter mau mampir dulu biar kaka buatkan minuman ya...”
”ah tidak usah kaka.. saya langsung pulang saja.. mama sudah tunggu dirumah.. biar saya bantu kakak bawakan paket nya kedalam, biar kaka dokter tidak berat..”
”eh.. tidak usah adik piter, biar kaka sendiri saja gampang kalau Cuma segini.. hehheh...”
”ya sudah kalau begitu kaka saya langsung permisi saja ya kaka..sekali lagi terima kasih e kaka sudah kasih obat mama saya”
”iya, kaka dokter juga terima kasih ya sudah di bantu bawakan paketnya..”
Piter meninggalkan sinta dengan rolling door yang masih terbuka, setelah terlihat piter sudah menjauh sinta baru menyadari betapa sepinya suasana atap jaya malam ini, kabut pegunungan yang memang biasa menyelimuti atap jaya di kala malam seolah menutupi jarak pandang sinta ke area sekitar ruko nya.
Meskipun berada di pusat atap jaya, tapi sinta tidak melihat adanya aktifitas sama sekali di jalan yang berada di depan ruko kliniknya, jangankan kendaraan bermotor lewat, pejalan kaki pun sama sekali tak ada satupun yang melintas. Hal ini membuat sinta cukup ketakutan dan segera mengangkat paket dan berjalan kedalam ruko, sinta berniat menaruh dulu paket itu di sudut ruangan baru kemudian dia akan menutup pintu rolling door. Namun tanpa sinta sadari, inilah kesalahan yang sudah dia buat.
Ketika Sinta baru saja mengangkat paket yang cukup berat itu untuk membawanya ke sudut ruangan di lantai satu, ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Udara malam terasa lebih sunyi dari biasanya, dan langkah-langkah kakinya menggema di dalam ruko. Saat sinta berjalan sambil mengangkat paket itu, tiba tiba ada suara berderit di belakangnya. Sebelum sempat berbalik, kain tebal dengan bau menyengat menutup wajahnya.
Sinta berusaha meronta, tetapi paket yang berat di tangannya membuatnya kehilangan keseimbangan. Sebuah suara rendah terdengar di dekat telinganya yang tertutup jilbab lebar.
"Jangan melawan kalau ingin tetap hidup." Ucap pria yang membekap wajah sinta
Napasnya tersengal karena rasa takut bercampur dengan pengaruh zat yang ada pada kain tersebut. Dalam hitungan detik, tubuhnya melemah dan pandangannya mengabur.
Beberapa pria menyerbu masuk ke dalam ruko, bergerak dengan cepat dan efisien. Salah satu dari mereka memeriksa sekeliling untuk memastikan situasi aman, sementara dua lainnya mengangkat tubuh Sinta yang sudah tak berdaya.
”kalian bertiga segera bawa dokter itu ke arah hutan, yang lain ikut aku untuk membawa beberapa barang yang mungkin dibutuhkan oleh dokter ini, dan kita bisa mengambil beberapa suplai makanan dan obat untuk kita.” memerintahkan anak buahnya untuk segera membawa sinta dan mengambil bahan makanan dan obat sebagai jarahan.
1035Please respect copyright.PENANATq0S2ZSHzi
Next
ns 15.158.61.20da2