******
Bab 2 :
Undangan dari Monyet
******
19Please respect copyright.PENANATcSLje37pB
GAVIN turun dari mobil dan mengunci pintu mobilnya menggunakan remote control yang ia genggam di tangan kanannya. Ia berjalan dari parkiran restoran bebek lesehan yang tidak terlalu luas itu, lalu mulai masuk ke dalam restoran. Ia diikuti oleh anggota-anggotanya dari Direksi Pengembangan. Mereka datang beramai-ramai, beriringan dengan Gavin. Ada yang memakai kendaraan sendiri, ada yang nebeng di mobil sesama rekan kerja, tetapi sayangnya nggak ada yang berani nebeng di mobil Gavin. Bukan, bukan gara-gara Gavin galak. Mereka respect aja sama Gavin. Maureen langsung berjalan cepat dan mengambil posisi berjalan di sebelah Gavin, selaku sekretarisnya.
“Ayo, Pak,” ajak Maureen dengan sopan. Gavin menoleh sebentar ke arahnya, lalu tersenyum tipis dan mengangguk. “Oh, ya.”
“VIIINN!!! SINII!!” teriak Revan di ujung sana, suaranya kontan membuat Gavin langsung mengangkat kepalanya dan menoleh ke depan. Di sana ia melihat Revan, Si Monyet Swasembada, telah duduk lesehan bersama anggota-anggotanya dari Direksi Pemasaran. Mereka sudah sampai duluan; mereka menunggu Gavin beserta timnya di sana seraya mengamankan tempat duduk.
Gavin mengangkat sebelah tangannya, tertawa, dan menyahut, “OTW!”
Revan pun ngakak. Anggota-anggota timnya Revan ikutan tertawa, begitu juga anggota-anggota tim Gavin yang berjalan mengikuti Gavin. Sejujurnya, mereka senang sekali menjadi anggota Direksi Pengembangan dan Direksi Pemasaran, soalnya bosnya agak sableng. Bukan hanya sableng, bos-bos mereka itu juga sahabatan. Mereka bos-bos yang baik dan suka mengapresiasi hasil kerja mereka.
Setelah sampai di area di mana rombongan Revan duduk, Gavin beserta timnya pun mulai mengambil posisi. Mereka semua sibuk menyapa, mengobrol, tertawa, dan bersalaman. Gavin, yang baru mau duduk di seberang Revan, langsung tersenyum jail dan berbicara pada Revan, “Nyet, kayaknya senggang banget lo, yak, sampe-sampe ngajakin makan bareng gini.”
Orang-orang yang mendengarkan sapaan Gavin itu pun tertawa. Bos-bos mereka ini nggak berubah, terus saja memanggil satu sama lain dengan sapaan Monyet.
Revan jadi ngakak. “Bukan senggang, Nyet. Kan dah gue bilang tadi pagi, ada hal seru yang mau gue kasih tau ke elo.”
“Awas aja lo gantungin gue lagi, ya,” ancam Gavin seraya nyengir. Pria itu pun duduk di seberang Revan, lalu dia mendengar Revan tertawa lagi. Gavin pun kembali berbicara, “Udah mesen belum kalian?”
“Oh, udah, Pak, udah,” jawab anggotanya Revan. Revan pun menimpali, “Udah, Nyet, punya kalian juga udah kita pesenin.”
“Beh, baik banget lo, ya,” ujar Gavin. Pria itu pun menaikkan sebelah alisnya, lalu dia mulai menyindir Revan, “Rada nggak enak, nih, perasaan gue.”
Sontak orang-orang di sana pun tertawa ngakak, begitu pula Revan. Revan tertawa keras. Ya memang pasti ada apa-apanya, nih, haha.
“Percaya dikit sama gue ngapa, sih, Nyet,” ujar Revan. “Lo kok kalo ke gue bawaannya sensi mulu, dah.”
Gavin hanya terkikik. Ia lalu melihat ke sekeliling dan mendapati bahwa anggota-anggota mereka ada yang duduk terpisah meja. Jadi, ada sekitar empat meja panjang yang terisi oleh anggota-anggota mereka dan semuanya berbaur. Suasana makan bersama sore itu terasa seru seakan-akan sedang berbuka puasa bersama.
Lantas, Revan pun memanjangkan lehernya dan melihat ke arah semua anggota mereka, lalu berseru, “Oh ya, kalian kalau mau tambah pesanan atau mau ngambil minum, kerupuk, atau apa, ambil aja, ya!”
“Oke, Pak!” jawab mereka semua seraya tersenyum gembira, ada juga yang mengacungkan jempolnya pada Revan. Gavin pun tersenyum tatkala melihat itu semua.
Setelah mengangguk dan mengacungkan jempolnya di depan seluruh anggota, Revan pun menoleh ke arah Gavin. Dia menatap sohibnya itu dengan antusias, lalu tersenyum miring. “Nah, ini yang mau gue kasih tau ke elo, Nyet.”
Gavin mengernyitkan dahi. Tepat setelah mengatakan itu, Revan lantas memanjangkan lehernya lagi, lalu memanggil salah satu anggota yang duduk di meja sebelah, maksudnya meja yang ada di sebelah meja mereka. Seorang cewek. Itu pasti anggota Revan, soalnya Gavin nggak kenal.
“Nadine!!” panggil Revan, lalu cewek itu mulai menoleh ke arah Revan. Anehnya, Gavin tadi melihat kalau sebelum menoleh ke arah Revan, cewek itu sudah melihat ke arah Gavin duluan. Sepertinya, cewek itu sudah sejak tadi melihat ke arah Gavin dengan mata bulatnya. Mata bulatnya itu menatap Gavin dengan kagum, tidak berkedip.
“Y—ya, Pak?” jawab cewek yang dipanggil Nadine itu, lalu Revan mengangkat sebelah tangannya, membuat gestur untuk mengajak Nadine mendekat.
“Sini, Din!!” panggil Revan antusias. Sebuah cengiran sudah menghiasi wajah tampannya. Agaknya dia sedang bersemangat sekali. “Sini, katanya mau kenalan??”
Nadine, cewek yang dipanggil oleh Revan itu, matanya mulai berbinar. Ekspresinya langsung menyala, wajahnya jadi seakan bercahaya. Dia tersenyum semringah dan langsung mengangguk cepat, sangat antusias, lalu menjawab, “He-em!! Baik, Pak!!”
Tatkala cewek itu berdiri, orang-orang yang ada di sana mulai bereaksi. Ada yang tertawa sambil bilang, “Yuhuu!”, ada juga yang bilang, “Cie cieee!”, dan ada yang berdeham-deham tak jelas. Ada yang bertepuk tangan dan tertawa serta ada juga yang senyum-senyum.
Namun, Nadine tak memedulikan semua itu. Dia langsung tembak lurus; dia langsung datang ke meja di mana ada Revan dan Gavin, lalu tatkala ia melihat Revan memberikan spasi untuknya duduk—orang yang duduk di sebelah Revan langsung peka dan bergeser—Nadine pun merunduk hormat pada Revan dan berterima kasih. Senyuman di wajahnya semakin melebar. Dia senang sekali.
Ketika Nadine baru saja duduk di sebelah Revan, Revan pun menepuk pundak Nadine seraya menatap ke arah Gavin. “Ini, Nyet, kenalin. Namanya Nadine Pramesti. Anak baru yang waktu itu gue interview.”
Gavin melihat ke arah Nadine, lalu mengangguk perlahan. Matanya agak melebar. Namun, Gavin tetap mengulurkan tangannya untuk menjabat Nadine. “Oh…halo.”
Nadine, yang melihat kalau Gavin mengulurkan tangan untuknya, kontan matanya langsung semakin berbinar. Dia langsung gembira dan meraih jemari Gavin, membalas jabatan tangan pria itu. “Halo, Bapak!! Nama saya Nadine!”
Gavin terperanjat melihat betapa semangatnya Nadine tatkala berkenalan dengannya. Well, Nadine ini orangnya cantik. Ceria. Kelihatan bubbly, cheery; dia seperti cewek-cewek riang yang tidak banyak merencanakan apa-apa dalam hidupnya. Dia seolah menerima apa yang terjadi tanpa merasa khawatir, atau dalam kata lain happy-go-lucky. Jujur, caranya melihat Gavin tampak seperti fans K-Pop yang sedang meet and greet dengan idolanya. Ia kelihatan begitu excited.
“A—“
“Pak, Bapak ganteng bangettt!!!” teriak Nadine, memotong perkataan Gavin. Revan dan orang-orang yang mendengar itu kontan tertawa. Bukan tertawa karena Gavin aslinya jelek, bukan. Mereka tertawa karena menyadari betapa berani dan to the point-nya Nadine ini. Soal tampang, Revan dan Gavin adalah dua bos yang ganteng di perusahaan mereka. Mereka adalah wajah atau sinarnya Ketua Direksi Abraham Groups.
Gavin kontan kaget bukan kepalang. “Ga—ganteng?”
Nadine mengangguk cepat. “He-emm!! Bapak ganteng banget!! Mirip Afgan Syahreza, lho, Pak!”
Revan ngakak membahana. “YAHAHAHAHA!!”
“Waduuuh,” ucap Gavin, mendadak memegangi dadanya sendiri, mulutnya menganga. “Berat, nih, kalau disamain sama Afgan. Dia artis ternama, sementara saya cuma butiran pasir.”
Orang-orang yang ada di sana kembali tertawa ngakak, tetapi Nadine menggeleng kencang. “Enggak kok, Pak!” bantahnya. “Bapak memang guantenggg!”
Setelah mengatakan itu, Nadine mendadak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu dengan malu-malu. “Hehehe. Maaf, ya, Pak, kalau nggak sopan. Soalnya nggak tahan banget, saya pengen bilang itu. Bapak ganteng banget, serius.” Nadine mengacungkan jempolnya pada Gavin dengan wajah serius. Terbakar semangat 45.
Gavin mendadak jadi bingung mau merespons bagaimana. Pria itu lantas hanya tertawa canggung dan menggeleng. Dia pura-pura menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu meminumnya. “Ada-ada aja kamu ini, ya.”
“Saya serius, Paaak!” ucap Nadine, matanya melebar. Bibirnya jadi manyun. Dia kayaknya nggak suka banget kalau pendapatnya soal Gavin itu ditepis. “Mirip sama Afgan bangett!”
“Iya, ‘kan?” timpal Revan, dia dan Nadine pun kini bertatapan. Pria itu tertawa dan menjawab Nadine dengan antusias. “Mirip banget, ‘kan?! Apalagi kacamatanya!”
“Ho-oh!! Benar, Pak!” ucap Nadine seraya mengangguk cepat, menyetujui Revan. Lah, Nadine ini anak baru, tetapi sudah akrab sekali dengan Revan. Mendengar apa yang diucapkan oleh Revan, Gavin pun jadi kesal.
“Ck! Jangan bawa-bawa kacamata, Nyet,” sahut Gavin. Revan pun menoleh ke arah Gavin dan tertawa terbahak-bahak.
“Lah, Nyet, emang bener, woy! Lu dipuji malah ngamuk!” balas Revan.
“Gue tau Afgan emang ganteng, tapi jangan bawa-bawa kacamata juga kali!” ucap Gavin dan sontak orang-orang yang ada di sana tertawa lagi.
Gavin pun menggeleng. Dia mendadak melihat ke arah Revan dan menaikkan sebelah alisnya.
Dia sedang memberikan kode pada Revan. Lewat gerakan kecil dari alis matanya itu, dia seolah mengatakan, ‘Jangan-jangan ini, nih, yang lo maksud dengan hal seru tadi?’
Melihat kode dari Gavin, Revan yang memahami maksudnya pun kontan langsung nyengir lebar, mengacungkan jempol, seraya mengedipkan sebelah matanya. ‘Yoi, Bosque.’
“Si Monyet,” ucap Gavin langsung. Revan tertawa kesetanan. Jadi, dia mengadakan acara makan-makan seperti ini hanya untuk mempertemukan Nadine dan Gavin. Nih anak kamvret banget, dah, pikir Gavin. Bukan apa-apa, Gavin jadi merasa dicomblangin di depan orang-orang banyak. Gavin emang jomblo dari orok, tapi nggak gini juga kali cara ngejodohinnya!
Ya walau Nadine emang orangnya cantik, sih.
Baru kali ini ada yang sekagum dan seantusias itu saat ngelihat Gavin. Gavin sendiri nggak habis pikir. Ini Nadine habis disihir sama Revan apa begimane dah? Kok bisa kagum banget sama Gavin yang baru ditemuinya.
“Yaelah, Nyet, kan seru kalo kayak gini,” ujar Revan. “Nadine ini kagum banget sama lo, tau. Dia baru masuk kerja dan langsung naksir sama lo.”
Gavin melebarkan matanya kaget. “Naksir?”
Gavin langsung melihat ke arah Nadine dan dilihatnya cewek itu sedang tertunduk seraya melipat bibirnya. Wajahnya bersemu merah. Dia kelihatan malu.
Gavin sontak tambah kaget.
Revan kembali berbicara, “Yoi. Dia naksir sama lo waktu pertama kali lihat lo jalan bareng gue pas datang ke kantor pagi-pagi. Kita, kan…hampir tiap hari datang barengan.”
Gavin langsung melihat ke arah Revan dan dari mimik wajahnya, pria itu benar-benar terlihat tak menyangka. “Kok lo bisa tau?”
“Ya tau, lah!” Revan tertawa. “Orang Nadine-nya waktu itu berusaha untuk nanyain soal lo ke gue, haha! Ya walau dengan malu-malu, sih.”
Gavin menganga.
Tiba-tiba, Nadine pun membuka suara. Dengan pipi yang merona, dia pun berkata, “I—itu… Saya masih baru, Pak, tapi saya pengen banget tau nama Bapak. Bapak kelihatan dekat sama Pak Revan, jadi—jadi saya pelan-pelan beraniin diri saya untuk ngomong sama Pak Revan. Saya akhirnya bisa berani ngomong ke Pak Revan setelah beberapa hari mempersiapkan diri. Soalnya, kan, gimanapun juga… Pak Revan itu atasan saya…”
Wah, setelah Gavin lihat-lihat, Nadine ini cukup berani, untuk ukuran cewek. Biasanya cewek akan diam-diam atau salting-salting saja ketika berhadapan dengan orang yang mereka suka. Namun, Nadine ini cukup berani untuk mengambil tindakan, apalagi Revan dan Gavin adalah Ketua Direksi di sini dan Nadine ini anak baru.
Orang-orang di sana pun sampai berdecak kagum.
Gavin hanya diam, dia bingung minta ampun. Dia nggak tau harus jawab apa.
Nadine pun tampak kembali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu menatap Gavin seraya tertawa canggung. “E—hehe. Maaf, ya, Pak, kalau bikin Bapak kaget.”
“Ah—ng…nggak, kok. Nggak…” Gavin menggeleng, tetapi wajahnya blank. Sumpah, dia bingung bukan kepalang saat ini. Sebenarnya, dia kaget banget.
Jadi, gini. Mari kita ringkas kejadiannya. Ini ada anak baru. Anggota Revan. Naksir sama Gavin sejak pandangan pertama. Naksir waktu ngelihat Gavin jalan sama Revan pagi-pagi ke kantor. Terus anak ini blak-blakan ngomong ke Gavin, memuji Gavin, to the point menunjukkan gelagat naksirnya, di depan semua orang. Ini sebenernya mimpi apa kenyataan??!! Dari dulu, Gavin mana pernah ditaksir sama cewek sampai se-blak-blakan ini!
(Poin pertama di mana nggak ada yang naksir sama Gavin itu salah, by the way. Ada yang mau sama Gavin, tetapi akibat sifat Gavin yang terlalu oblivious, akhirnya cewek-cewek itu pun cuma bisa menyukainya secara diam-diam. Gara-gara itu, Gavin jadi jomblo sampai usianya berkepala tiga, deh.)
Pantes aja Revan sampai ngadain pesta gini. Perayaan besar-besaran, kayaknya, buat sohibnya yang nggak pernah merasakan kehangatan wanita.
Gavin pun refleks menuangkan air putih lagi ke gelasnya dan minum. Ia agaknya kelimpungan menghadapi situasi seperti ini. Namun, tatkala melihat gelagat Gavin itu, Nadine tiba-tiba melebarkan mata. “Bapak haus, yaa? Saya ambilin minuman dingin, ya, Pak!”
Hampir saja Gavin menyemburkan minuman yang ada di dalam mulutnya. Revan, Si Monyet itu, malah tertawa keras ketika melihat reaksi Gavin. Ah, sial, Gavin nggak haus, woy! Dia bingung doang!!
Sementara itu, Nadine langsung berdiri dan cepat-cepat pergi ke depan sana, ke showcase chiller, berinisiatif untuk mengambilkan Gavin minuman dingin.
Sompret, Gavin malu banget. Kentara banget dia gugup kalo kayak gini. Revan, itu anak jadi semakin merajalela mengejeknya.
Sekitar tiga detik setelah itu, pesanan mereka sampai. Diantarkan oleh beberapa waiter dan waitress. Pesanannya banyak dan para pegawai restoran itu kelihatan bolak-balik. Anggota-anggota tim Revan dan Gavin mulai berdecak gembira ketika melihat makanan dan minuman mereka sudah sampai.
Nadine kini sedang memilihkan minuman untuk Gavin. Cewek yang rambutnya sebagian besar diurai—tetapi ada sedikit kuncir dua di atas kepalanya—itu tampak berpikir di depan showcase chiller itu, menaruh jemarinya di depan dagu.
Pak Gavin sukanya yang manis atau gimana, ya? Atau air putih dingin biasa aja? Atau minuman isotonik?
Dia nggak boleh salah pilih, meskipun hanya menebak-nebak, soalnya ini pertama kalinya dia benar-benar berbicara sama Pak Gavin!
Nadine terkekeh sendiri saat mengingat betapa lucunya Pak Gavin. Orangnya baik banget. Sifatnya yang cenderung sederhana, nggak banyak omong (tetapi masih bisa bercanda), dan lurus-lurus aja itu ngegemesin banget bagi Nadine. Selain itu, Nadine kagum banget dengan betapa kerennya Pak Gavin. Dia itu ganteng, tapi dia sendiri nggak nyadar. Dia simpel, pemimpin yang baik, dan laki-laki yang gentle. Ahh, ganteng banget pokoknya. Nadine sukaaaa!
Cinta pandangan pertama itu indah banget. Nadine sampai bahagia banget kayak gini. Salah tingkah dan malu, sih, ada. Namun, demi Doi, Nadine harus berusaha! Harus gencar, nih, hehe. Kalau nggak, nanti Pak Gavin keburu diambil sama cewek lain. Ntar Nadine jadi galau bertahun-tahun, deh.
Akhirnya, setelah Nadine memutuskan untuk mengambil sebotol minuman dingin yang manis, Nadine pun menutup pintu showcase chiller itu. Namun, tepat ketika Nadine baru saja menutupnya, tiba-tiba Nadine mendengar ada sebuah suara yang muncul dari samping kanannya, tengah memanggil namanya.
“Bu Nadine?”
Nadine menoleh ke samping kanannya dan menemukan seorang wanita di sana. Kalau tidak salah…ini adalah sekretarisnya Pak Gavin. Iya, Nadine kenal, soalnya Nadine suka nyari-nyari tahu soal Pak Gavin karena naksir berat.
“Iya, Bu?” jawab Nadine, kedua mata Nadine terlihat agak melebar. Tangan kanannya masih memegang minuman untuk Gavin.
Maureen, sekretaris Gavin, kini berdiri di depan Nadine. Wanita itu melihat ke arah tangan Nadine yang tengah menggenggam satu botol minuman dingin untuk Gavin.
“Ikut saya sebentar ke luar, yuk. Bisa?” ucap Maureen seraya memiringkan kepalanya. Nadine pun menyatukan alis.
Namun, tidak mau berpikir lebih jauh, Nadine pun tersenyum dan mengangguk. “Baik, Bu.”
Maureen tersenyum simpul. Akhirnya, Maureen pun berjalan mendahului Nadine menuju ke luar restoran dan Nadine mengikutinya dari belakang.
Setelah sampai di area luar restoran, Maureen yang berjalan di depan Nadine pun berhenti melangkah. Nadine lantas ikut menghentikan langkahnya, lalu menunggu dengan kedua matanya yang membulat polos. Mata bulatnya itu terlihat begitu jernih.
Setelah itu, Maureen pun berbalik. Ia kini berdiri berhadapan dengan Nadine.
Tiga detik berlalu. Nadine hampir saja mau membuka mulutnya tatkala tiba-tiba, Maureen mulai berbicara.
“Bu Nadine, Ibu kenal saya?”
Nadine diam sebentar, lalu mengangguk. “Iya, Bu. Bu Maureen Shenina, ‘kan, bu? Sekretarisnya Pak Gavin.”
Maureen mengangguk.
“Bu Nadine, maaf karena sudah mengajak Ibu ke sini,” ujar Maureen. Wanita itu kini menatap Nadine dengan ekspresi serius. “tapi saya cuma mau bilang kalau menurut saya, apa yang sudah Ibu lakukan tadi itu tidak sopan.”
Mata Nadine terbelalak.
Nadine lalu sedikit tertunduk dan menggigit bibirnya. Dia mengangguk pelan. “Iya, Bu, saya tau soal itu. Saya kemarin ada bilang sama Pak Revan kalau saya mau kenalan sama Pak Gavin, tapi saya nggak nyangka kalau Pak Revan berencana untuk mempertemukan saya dan Pak Gavin melalui acara makan-makan kayak gini, Bu. Saya tau kalau omongan atau kelakuan saya tadi mungkin kurang baik, Bu, tapi saya tadi…kelewat senang, jadi…”
“Tetap aja nggak sopan, Bu,” potong Maureen, wanita itu menghela napas. “Bu, Pak Gavin itu seorang ketua direksi. Sama seperti atasan Ibu, Pak Revan Aditya, Pak Gavin itu juga ketua direksi. Jabatan dia tinggi, Bu, di perusahaan kita. Dia membawahi banyak orang. Saya rasa apa yang Ibu lakukan tadi kurang beretika, kurang pantas, meskipun kita sedang berada di luar jam kerja.”
Nadine tertunduk. Dia diam sejenak.
“Maafkan saya, Bu,” ujar Nadine penuh penyesalan. “Saya tau kalau seharusnya saya nggak se-blak-blakan itu, walaupun saya suka banget sama Pak Gavin. Tapi serius, Bu, saya…nge-fans sama beliau. Saya kagum dan…suka…sama Pak Gavin. Jadi, malah kebablasan…”
“Jangan diulangi lagi, ya, Bu,” peringat Maureen. “Saya hanya ingin martabat beliau, image beliau, terjaga. Beliau orangnya suka bercanda, terutama sama Pak Revan, tapi jangan gara-gara itu kita jadi nggak sopan sama beliau.”
“T—tapi, Bu, saya nggak berniat untuk nggak sopan atau menjatuhkan martabat Pak Gavin sama sekali, Bu,” ujar Nadine, dia mengklarifikasinya dengan cepat karena merasa bahwa dia harus menjelaskan situasinya lebih dalam pada Maureen. “Saya benar-benar suka sama Pak Gavin, Bu, meskipun mungkin bagi Ibu ini terdengar konyol atau nggak masuk akal.”
Maureen mendengkus. “Intinya jangan sampai diulangi lagi, ya, Bu. Saya memperingati Ibu begini karena saya adalah orang yang bekerja dengan beliau sejak lama. Saya sudah lama berada di dekatnya dan saya sangat menghormatinya.”
Nadine tertunduk. Dia pun mengangguk perlahan, tatapan matanya berubah menjadi sendu.
“Baik, Bu,” jawab Nadine kemudian.
Maureen mengangguk. “Oke, saya cuma mau bilang itu. Ayo kita masuk lagi. Tadi pesanannya sudah datang.”
Nadine pun menatap ke arah Maureen lagi, lalu mengangguk. “Baik, Bu.”
Nadine mengikuti langkah Maureen seraya menghela napasnya sedih. Bibirnya moncong ke depan karena sedih dan bingung. Huaaa, gimana ini? Dia nggak boleh bersikap nggak sopan gitu sama Pak Gavin, sementara…hatinya sudah nggak tahan lagi. Dia naksir berat, nih, sama Pak Gavin. Masa iya dia nyerah sampai di sini, padahal dia baru aja ngenalin diri ke pujaan hatinya? Pak Gavin itu crush-nya, huhu.
Nadine mau nangis, rasanya. Ada cara lain, nggak, ya? Habisnya berat banget ntar hari-harinya kalau nggak dihiasi dengan muka gantengnya Pak Gavin.
19Please respect copyright.PENANA8DBFzNyHys
******
19Please respect copyright.PENANAQt9ZsHlIlp
Ketika acara makan-makan itu selesai, hari sudah senja. Gavin keluar dari restoran bebek itu bersama Revan, mereka ngobrol-ngobrol seraya tertawa renyah. Sementara itu, anggota-anggota mereka juga mulai berjalan menghampiri kendaraan mereka masing-masing—atau ke kendaraan yang tadi mereka tumpangi—seraya berpamitan pada Revan dan Gavin. Gavin menjawab mereka dengan: “Oke, hati-hati, ya!”
Namun, ketika Revan dan Gavin baru saja ingin berpisah menuju ke mobil mereka masing-masing, tiba-tiba mereka berdua mendengar sebuah panggilan kencang dari arah belakang.
“Pak Gaviiiiinn!!!!”
Kontan saja Revan dan Gavin menoleh ke belakang. Di sana tampaklah Nadine yang tengah berlari menghampiri mereka berdua, lalu berhenti tepat di depan mereka sambil ngos-ngosan.
Revan yang melihat situasi itu kontan menahan senyuman jailnya. Aseek, bakal ada sesuatu yang terjadi, nih! Cihuy!
Gavin menatap ke arah Nadine dengan mata yang melebar. Pria itu lalu menjawab, “Ya?”
Nadine lalu berdiri tegap. Dia tersenyum lega karena masih bisa mengejar Gavin. Setelah itu, cewek itu merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan ponselnya dari sana. Ia pun mengulurkan tangannya ke depan, menunjukkan ponselnya itu kepada Gavin sembari berkata, “Pak, saya boleh nggak, minta nomor Bapak?”
Sontak saja Revan jadi bersemangat. Pria itu bersiul kencang. “ASEEEEKKK! KAPALKU BERLAYAR!!”
Terdengar banyak siulan, ledekan, dan juga tawa. Banyak juga omongan sejenis ekheeeemm!, cieee!, dan uhuk-uhuuuk! terdengar di halaman depan restoran itu karena rupanya, semua rekan kerja mereka memang masih ada di sana!! Mereka belum pulang; mereka baru saja bersiap-siap mau pulang. Namun, melihat adegan seperti ini, siapa, sih, yang mau pulang duluan? Lagi seru-serunya, nih!! Ada benih-benih cinta yang mau berkembang di kantor mereka, hahaha!
Gavin yang melihat Nadine mengatakan hal itu, spontan mematung. Ia shock. Wajahnya blank, matanya melebar, dan mulutnya sedikit terbuka. Napasnya agak tertahan. Nyawanya sempat melayang dikit.
Buset dah, ini beneran ada cewek yang mintain nomor HP-nya? Alamak, agak ngagetin juga, ya. Dia udah kepala tiga, bro, dan harusnya yang kayak ginian itu terjadi waktu zaman-zaman sekolah dulu ga, sih?
Ini jangan-jangan Nadine bener-bener dimantrain, nih, sama Si Revan.
Gavin ngerasa dirinya itu nggak asik dan ngebosenin, makanya mungkin cewek nggak suka sama dia. Apalagi dia adalah tipe cowok yang lurus-lurus aja, berkacamata, dan kebanyakan cuma bergaul sama Revan. Sekarang sifat kupernya itu udah nggak separah dulu, sih, tapi tetap aja kawan baiknya cuma Revan.
“Nggak, Bro, nggak gue apa-apain, kok, Nadine-nya,” ucap Revan tiba-tiba, seolah bisa membaca isi pikiran Gavin. “Aman. Dia emang naksir sama lo, Nyet.”
Sementara itu, Nadine yang berdiri di depan Gavin itu mulai tersenyum manis, menampakkan deretan giginya yang lucu. “Hehe… Boleh nggak, Pak?”
“O—oh..” Gavin agak linglung, tetapi kemudian pria itu bisa menguasai dirinya dan mengangguk. “Iya. Boleh.”
“Yesss!!” teriak Nadine gembira, lalu ponsel yang ada di dalam genggaman tangannya itu pun diambil oleh Gavin. Gavin mengetikkan nomornya di sana dan Nadine menunggunya dengan tak sabar. Jantunya berdegup kencang.
Horee, dapat nomor Pak Gavin!
Tak lama kemudian, Gavin pun mengembalikan ponsel itu kepada Nadine. Pria itu lantas tersenyum simpul pada Nadine. “Sudah saya ketik di HP kamu, ya.”
Mata Nadine langsung berbinar. Seluruh sel-sel di dalam tubuhnya seakan jadi ikut semangat 45. Hatinya berbunga-bunga. Seakan ada sesuatu yang mulai menyebar ke seluruh tubuhnya, menyebarkan titik-titik kebahagiaan yang tak terkira. Hormon dopaminnya meningkat maksimal.
“Makasih, Pak!” ucap Nadine, dia tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya sama sekali. Asik, dapat nomor Doi! “Makasih banget, ya, Pak!”
Gavin yang menyaksikan kebahagiaan Nadine itu lagi-lagi kelihatan agak bingung. Sumpah, bom ketertarikan yang dilemparkan oleh Nadine ini luar biasa kuat dan kencang. Dia jadi agak terbata-bata sendiri. Maklum, perjaka. Jomblo dari orok.
“A—ah, iya. Sama-sama,” jawab Gavin apa adanya. Matanya masih melebar, wajahnya kelihatan kaget bercampur bingung. Revan dari tadi menahan tawa, rasanya dia mau tertawa kencang, tapi takut Gavin jadi ngamuk. Ntar malah ngerusak suasana, lagi.
“Hehe, Bapak ganteng, deh,” puji Nadine setelah mendengar jawaban Gavin. Kontan saja Gavin terkesiap—kepalanya tersentak ke belakang karena kaget—dan matanya terbelalak penuh.
“Waduh,” ucap Gavin, refleks.
Sementara itu, tawa Revan yang sedari tadi ia tahan, sontak saja pecah tatkala mendengar Gavin yang refleks menanggapi Nadine dengan kata-kata ‘Waduh.’ sertadengan mata yang membulat karena kaget. Gila, Nadine ini kalau muji nggak pakai ba bi bu lagi, nggak pakai peringatan lagi. Langsung gas aja.
Namun, kalau dari sisi Gavin, jelas pria itu keheranan setengah mati. Ya mau gimana lagi, astaga. Gavin betul-betul dibuat kelimpungan banget dengan betapa blak-blakannya Nadine mengejar dan memujinya hari ini. Rasanya kayak tiba-tiba dapat durian runtuh dari atas langit.
Sementara itu, dari kejauhan, Maureen memperhatikan seluruh adegan tersebut dengan mulut yang terkatup rapat. Dahinya berkerut.
Maureen tidak menyukai apa yang baru saja terjadi. Itu terasa tidak benar di benaknya. Seperti tidak natural. Dia tidak paham dan tidak menyetujuinya sama sekali.
19Please respect copyright.PENANA0o4fP75v4n
******
19Please respect copyright.PENANAiRiCxYADkr
Hari sudah malam ketika Gavin sampai di rumahnya. Di belakangnya ia mendengar suara pintu mobil tertutup, lalu ia menoleh dan melihat Revan mulai berjalan mendekatinya.
“Lo ngapain ke rumah gue, Nyet? Pulang sana lo, ngerusuh aja,” kata Gavin seraya berdecak.
Revan memasang muka sok tersakiti. Dia melebarkan mata dan memegangi dadanya sendiri, pura-pura shock. “Kok lo tega banget, sih, Nyet? Gue ini sahabat terbaik lo, ‘kan? Nggak habis pikir gue, ternyata lo selama ini—”
“Bacot, Tai,” potong Gavin. Revan pun tertawa terbahak-bahak.
Namun, setelah mengatakan itu, Gavin pun berjalan mendahului Revan dan menggeleng seraya tersenyum. Ya mau gimana, Revan memang sering datang ke rumahnya. Anak itu sudah dianggap seperti anak sendiri oleh orangtuanya Gavin. Revan sering menghabiskan waktu untuk bersarang di kamar Gavin, entah itu karena cuma iseng-iseng mau nginap atau karena mau main PS. Kadang-kadang alasannya adalah supaya bisa menghindar dari cewek-cewek yang datang ke rumahnya cuma buat nyariin dia. Biasalah, dia itu playboy yang suka bikin cewek jadi kebingungan. Revan tinggal sendirian, jadi dia nggak masalah bolak-balik ke rumah Gavin. Kampretnya, orangtua Gavin malah jadi sayang sama dia, kayak anak sendiri.
Oh ya, ngacauin kamar Gavin adalah salah satu kebiasaan Revan yang paling bikin Gavin kesal setengah mati. Namun, mau gimana lagi. Udah belasan tahun berkawan sama tuh anak, jadi Gavin udah nggak heran lagi.
Mamanya Gavin membukakan pintu rumah tatkala Gavin mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali seraya mengucapkan salam. Saat mamanya Gavin melihat Gavin pulang bersama Revan, sontak wanita paruh baya itu pun berdecak senang. Revan yang berdiri di belakang Gavin pun tampak melambaikan tangannya pada mamanya Gavin sambil nyengir.
“Eh, ada Revan. Masuk, Nak.” Mamanya Gavin membukakan pintu itu lebih lebar.
Gavin lalu masuk ke dalam rumah, begitu juga Revan. Akan tetapi, tatkala baru masuk ke dalam rumah, Revan langsung memeluk mamanya Gavin dengan dramatis. Dia terlihat manja dan memoncongkan bibirnya karena sedih, tetapi semuanya hanya dibuat-buat. “Maaaaa, kangeeeeeen!!!”
“Anjir, Van, berhenti nggak lo? Jijik gue kamvret!” teriak Gavin, dia langsung melempari Revan dengan bantal-bantal kecil yang ada di sofa ruang tamu, padahal di salah satu sofa itu ada papanya sedang duduk memperhatikan mereka sambil ngopi.
Revan masih memoncongkan bibirnya dan memeluk mamanya Gavin erat—tak menggubris Gavin—dan mamanya Gavin tampak tertawa terbahak-bahak. Astaga, mamanya jadi ngerasa kayak punya bayi. Bayi titan.
“Ahahahahaha!” Mamanya Gavin tergelak. “Ada-ada aja kalian ini, nggak tau dah Mama dulu waktu muda punya salah apaan.”
Kontan Revan yang masih memeluk mamanya Gavin itu tertawa kencang. Dia pun melepas pelukannya, lalu beralih merangkul mamanya Gavin dan membawa wanita paruh baya itu untuk duduk di sofa.
“Udah pada tua, tapi masih gelendotan sama Mama,” komentar papanya Gavin, pria paruh baya itu menggeleng-geleng sembari tersenyum. “Untung sudah cuci sempak sendiri.” Ayahnya Gavin pun kembali menyesap kopinya, sementara Gavin dan Revan jadi ngakak bukan main. Sial, sampai sempak pun dibawa-bawa. Ya kalau nggak cuci sendiri takutnya tertukar, habisnya sempak laki-laki, kan, warna dan motifnya gitu-gitu aja.
“Si Ita apa kabar, Ma?” tanya Revan. Ita adalah adiknya Gavin yang baru menikah dengan Dirut perusahaan mereka, Deon.
Mamanya Gavin tersenyum manis, lalu menepuk paha Revan. Revan masih merangkulnya.
“Baik, kok. Dia baru aja mampir ke sini sama Deon seminggu yang lalu. Masih sama gendhengnya, tapi makin bahagia,” ucap mamanya Gavin dan dihadiahi tawa riang oleh Revan.
“Oalah. Kangen gue sama Adek Ajaib gue itu,” ucap Revan. “Udah nggak pernah ketemu lagi sejak pesta pernikahannya.”
Papanya Gavin pun tersenyum. Pria paruh baya itu bersandar di sofa dan menyilangkan lengannya di depan dada. “Ya nanti kalau dia nginap ke sini, kita hubungi aja kamu biar kamu ikutan nginep di sini juga.”
“Seriusan, Pa?” Revan tampak excited. Pria itu pun mengacungkan jempolnya.“Oke siiip!!”
“Sama geblegnya kayak Ita, makanya cocok kalian,” komentar Gavin seraya memutar bola matanya. Jawaban itu sontak membuat Revan tertawa dan melempar bantalan sofa ke kepala Gavin dan Gavin langsung memelototinya.
“Eh, Ma, Pa, dengerin nih,” ucap Revan, tiba-tiba antusias. Dia melepaskan rangkulannya pada mama Gavin, lalu tubuhnya agak maju ke depan. Dia sekarang duduk tegap. “Ada berita terbaru!!”
Mata Gavin kontan terbelalak, dia langsung tahu apa yang mau Revan bicarakan. Kamvret nih anak, mau dicepuin nih gue pasti!!!
Gavin sontak berdiri dan melempar bantalan sofa ke kepala Revan. “DIAM LO, NYET!!”
Revan dan kedua orangtua Gavin lantas tertawa melihat reaksi Gavin, tetapi Revan tetap melanjutkan dengan antusias, meski sebelumnya Revan harus menangkis bantalan-bantalan sofa yang dilempar ke kepalanya. Gavin mulai mencak-mencak sendiri, tetapi Revan sudah terlalu excited untuk peduli dengan reaksi Gavin. “Tadi ada anak cewek, anggotaku, yang ngedeketin Gavin! Dia naksir sama Gavin, katanya!!”
Mamanya Gavin kontan terenyak, dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Hah, beneran?!!”
“Eh, iya, kah?” tanya papanya Gavin, matanya agak melebar. “Siapa namanya?”
Gavin duduk kembali dengan kesal, dia mulai pengin mengingsut ke sudut dinding aja. Dia mengusap rambutnya frustrasi, rasanya pengin menanam dirinya sendiri ke tanah dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia dalam bahasa Jepang.
Sial, Revan tai, cepu banget astaga! Awas aja dia ngatain reaksi gue tadi di depan Mama sama Papa. Abis lo, Bangsat!
“Nadine, Pa,” jawab Revan. Pria itu nyengir lebar, tampak begitu semangat untuk menggosip dengan mama dan papanya Gavin. Sialnya, mama dan papanya Gavin sekarang jadi beneran kepo sama gosip ter-hot ini, soalnya anaknya memang nggak pernah punya cewek dari dulu.
“Nadine ini baru masuk ke direksiku, Ma, Pa,” lanjut Revan. “Anaknya cantik. Dia Junior Analyst, baru direkrut. Waktu itu aku yang nge-interview dia. Waktu hari-hari pertama dia kerja, dia ngelihat aku jalan bareng Gavin dan langsung naksir sama Gavin pada pandangan pertama, hahaha. Awalnya, sih, aku heran kenapa dia kalau ngeliat aku selalu kayak ada yang mau diomongin gitu, tapi ujungnya pasti nggak jadi. Ada berapa hari gitu, deh, kalo ga salah, sampe akhirnya dia beneran beraniin dirinya buat nanyain soal Gavin ke aku. Ya abis itu aku jadi akur sama dia karena kami ngomongin Gavin terus. Anaknya asik, lucu, imut. Dia centil, tapi centilnya ke Gavin doang, hahaha!”
Gavin melihat ke samping, menyembunyikan wajahnya, tetapi pipinya terlihat sedikit bersemu merah. Aduh…ketahuan, deh, sama orangtua.
“Oalah, Si Abang!” ujar mamanya Gavin, langsung menoleh ke arah anaknya. Gavin kontan menoleh juga ke arah mamanya dan dilihatnya mata mamanya berbinar-binar. Mamanya itu tampak sangat gembira. “Akhirnya, Baaang! Akhirnya, ada yang naksir sama Abang!!”
Sontak saja Revan tertawa kesetanan. Dia memang berniat untuk mengejek Gavin habis-habisan, walaupun dia juga excited.
“Astaga, Ma! Berasa kayak buluk banget aku dibilang kayak gitu!!” teriak Gavin, lalu papanya Gavin ikutan ketawa.
“Bukan buluk,” sahut papanya Gavin. “tapi memang nggak ada cewek yang nempel sama kamu dari dulu, makanya ini kesempatan bagus. Mama kamu seneng, tuh.”
Gavin akhirnya menghela napas.
“Ya dilihat dulu, Ma,” ujar Gavin. “Aku juga belum dekat sama Nadine-nya. Masih liat situasi dulu.”
Mendengar jawaban Gavin, baik itu Revan, mamanya Gavin, dan papanya Gavin, semuanya tersenyum lembut.
“Gue dukung sampe halal, Bro! Asal jangan jebol sebelum halal!” ucap Revan dengan lantangnya seraya mengacungkan jempolnya pada Gavin. Gavin sontak berdiri dan mendekati Revan dengan langkah cepat, langsung memiting kepala Revan dengan kencang. “SI KAMPRET!! AMBIL PISAU LO SEKARANG! KITA SELESAIKAN SEKARANG!!”
“WOY AMPUN! AMPUN—VIN!! VIIIIIN!! MONYEEEETTT!!!” teriak Revan seraya merintih kesakitan. Sementara itu, Gavin mulai menarik kepalanya sampai dia jadi berdiri dan terseret ke dapur oleh Gavin, saking kuatnya Gavin memiting dan menarik kepalanya.
Melihat itu, papa Gavin jadi menggeleng geli, sementara mama Gavin mulai tertawa terbahak-bahak. Kayaknya dulu mereka memang punya salah, deh, makanya punya anak yang gebleg kayak gini semua.
19Please respect copyright.PENANABK7GViHCef
******
19Please respect copyright.PENANASakY0UmZZf
Revan masuk ke dalam kamar Gavin seraya mengusap rambutnya yang basah menggunakan handuk. Pria itu baru saja mandi, dia terlihat mengenakan pakaian milik Gavin. Ketika ia masuk dan menutup pintu kamar Gavin, ia melihat Gavin yang tengah duduk di atas kasurnya seraya menonton TV.
“Nyet, minjem charger,” ujar Revan, lalu langsung pergi menuju ke nakas tanpa menunggu persetujuan dari Gavin.
“Hm,” deham Gavin. Namun, tatkala Gavin sedang fokus menonton TV, tiba-tiba Gavin mendengar ada notifikasi dari ponselnya. Notifikasi pertanda bahwa ada chat terbaru yang masuk di aplikasi WhatsApp-nya.
Gavin mengernyitkan dahi, lalu ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur—di sampingnya—tersebut. Takutnya itu dari Maureen, masalah kerjaan.
Namun, tatkala Gavin membuka kunci ponselnya dan membuka notifikasi chat terbaru itu, Gavin sontak melebarkan mata.
Di sana, ia melihat ada sebuah chat dari nomor yang tidak dikenal, nomor yang belum pernah ia simpan di ponselnya sebelumnya. Gavin pun membuka chat tersebut.
19Please respect copyright.PENANAeZoDiGUegJ
+62 8XX-XXXX-XXXX
Met malem, Pak Gavin! Ini Nadine, Pak. Simpan nomor Nadine, ya, Pak.
Bapak lagi ngapain?
19Please respect copyright.PENANAsWKQN8SdxF
Wanjeeeeeer. Dia langsung di-WA sama Nadine, ternyata!
Waduh.
Mata Gavin melebar, mulutnya sedikit terbuka. Dia jadi terdiam, soalnya dia udah keburu nge-read WA itu dan bingung mau balas seperti apa. Ini bukan WA kerjaan, soalnya. Seumur-umur, Gavin nggak pernah dapat WA modelan kayak gini.
Sementara itu, Revan menatap ke arah Gavin dengan penuh tanda tanya. []
ns 15.158.61.11da2