******
Chapter 2 :
Macrobian12Please respect copyright.PENANAYtxc0ri7AX
******
12Please respect copyright.PENANAhrHDSvBLrc
SUARA dedaunan kering yang ada di tanah hutan tersebut terdengar mengeluarkan bunyi gemerusuk tatkala Zoya berjalan di atasnya dengan sedikit terburu-buru. Bibir Zoya terkatup rapat, dahinya berkerut, dan kedua alisnya menyatu. Napasnya ia embuskan kuat-kuat. Di belakangnya ada Elias yang tengah mengikutinya tanpa mengatakan apa pun.
Zoya benar-benar merasa kacau. Ia heran, kesal, kecewa, dan tak habis pikir. Iya, dia memang masih memiliki perasaan pada Elias, perasaan yang sejujurnya tak mau ia akui. Dia juga masih menyimpan memori tentang Elias di dalam otaknya, tentu saja, soalnya mereka belum lama putus. Akan tetapi, mendengar Elias berbicara seperti itu padanya membuat pikirannya jadi semakin kalut. Mereka putus karena bertengkar, Goddammit! Kalau memang mereka harus bertemu karena kebetulan atau karena tidak punya pilihan lain, Zoya lebih memilih untuk bertengkar saja dengannya daripada tiba-tiba mendapatkan pengakuan cinta seperti ini. Ini seolah-olah Elias tak pernah menganggap kalau mereka sudah putus. Sial. Kalau Elias seperti itu, Zoya takut dia akan lupa permasalahan di antara mereka, lalu lengah dan akhirnya memaafkan Elias begitu saja. Lebih baik mereka bertengkar saja untuk memperjelas masalah di antara mereka, supaya hubungan mereka tidak ambigu. Soal bisa berbaikan lagi (sebagai teman) atau tidaknya itu ya…bisa belakangan.
“Zoe,” panggil Elias dari belakang. Zoya tak menggubris panggilan itu dan masih berjalan dengan cepat, berusaha untuk meninggalkan Elias. Ia tak mau berjalan berdampingan dengan Elias. Ia takut hatinya akan goyah, padahal ia masih belum memaafkan Elias.
Akhirnya, langkah kaki Zoya mengantarkannya kembali ke area camp. Ia kembali bersama dengan—atau lebih tepatnya diikuti oleh—Elias. Sesampainya di sana, mereka berdua jelas langsung jadi bahan tontonan teman-teman mereka yang lain, yang rupanya kini tengah bersama-sama mempersiapkan alat-alat serta bahan-bahan untuk barbecue. July dan teman-temannya tengah mempersiapkan barbecue, sementaraada juga dua orang laki-laki yang tengah mempersiapkan kayu bakar untuk api unggun nanti malam. Mereka semua jadi menoleh sebentar tatkala mendapati bahwa Elias dan Zoya tampak kembali bersama-sama dari suatu tempat. Mereka lalu berpikir, ‘Ah, exes talk.’
Ya siapa, sih, yang tidak tahu kalau mereka berdua berpacaran? Elias itu populer di kampus dan hal itu jelas membuat Zoya jadi ikut-ikutan dikenal. Salah satu dari teman mereka yang menyiapkan api unggun itu mendadak berpikir, ‘Sebentar, jangan bilang camping ini jadi ajang bagi mereka berdua untuk berbaikan dan kembali bersama?’
Namun, sebagian dari mereka memilih untuk mengedikkan bahu, tak memedulikan hal itu dan kembali fokus ke kegiatan masing-masing, kecuali para gadis. Agaknya mata mereka tetap memperhatikan Elias dan Zoya selama beberapa waktu, terutama July. Ada sebuah kesan yang menyiratkan ketidaksukaan dari pandangan mata mereka.
Ayolah, Zoya itu cantik, tetapi terlalu plain. Bagi mereka, banyak gadis yang lebih cantik dan lebih menarik daripada Zoya di kampus. Mereka sebenarnya lebih mendukung kalau Elias itu single, biar bisa didekati dengan bebas tanpa harus ada pertengkaran. Yah, walau sebenarnya Zoya tak pernah mengajak mereka bertengkar. Gadis itu terlalu tertutup untuk bisa melakukan itu.
Elias memperhatikan Zoya yang langsung belok ke kanan; Zoya pergi menuju ke arah tendanya di mana ada Inez di sana yang juga mulai berdiri dan berjalan menghampirinya. Elias langsung melebarkan mata, mencoba untuk menghentikan Zoe.
“Zoe—”
“Elias!!” panggil July tiba-tiba, membuat Elias kontan menoleh ke arah gadis itu yang terlihat sedang mempersiapkan alat-alat serta bahan-bahan barbecue di ujung sana. Tampak juga ada beberapa gadis lain di sana yang tengah melambai pada Elias, memanggil Elias dengan ramah dan antusias. “Ayo sini! Kita mau barbecue-an, nih!”
“A—ah,” kata Elias, dia terdengar agak ragu sejenak. Matanya melirik ke arah Zoya yang sudah sampai di depan Inez, lalu ia pun menghela napas. Akhirnya, Elias pun menatap kembali ke arah teman-teman yang tadi sedang memanggilnya itu, lalu melanjutkan, “okay. On my way!”
Elias pun berlari menghampiri teman-teman mereka di ujung sana, mulai disambut oleh mereka dengan ramah dan tawa, lalu Elias ikut membantu persiapan barbecue itu.
Sementara itu, Zoya melihat semua pemandangan itu dengan tatapan sendu. Ia hanya mematung di sana dan menyaksikan semuanya dalam diam, sampai akhirnya Inez memukul pundaknya.
“Hei!” panggil Inez, sontak membuat Zoya tersadar dan menoleh ke arah gadis berbando putih itu. Inez lalu menghela napas. “Aku tadi melihatmu tiba-tiba lari dan berteriak. Aku mau mengejarmu, tetapi ternyata Elias sudah bergerak lebih dulu untuk mengejarmu dan dia berkata padaku bahwa dialah yang akan menyusulmu. Ada apa, sih, sebenarnya?”
Menatap Inez, Zoya pun membuang napasnya lewat mulut dengan kuat, seolah sedang lelah dan pusing. Lelah yang tak tahu tepatnya disebabkan oleh apa, entah karena berlari atau karena permasalahannya dengan Elias.
“Waktu aku mencuci tangan tadi, kalungku tiba-tiba putus dan jatuh ke tanah. Setelah itu, ada seekor kucing yang menggigitnya dan membawanya kabur. Itulah yang membuatku berlari mengejar kucing itu sambil berteriak,” ujar Zoya. “Ketika kucing itu sudah melepaskan kalungku, aku langsung berjongkok dan berencana untuk mengambilnya, tetapi ternyata sudah ada Elias di depanku. Dia juga mau mengambil kalung itu.”
Mendengar itu, Inez pun mengangguk-angguk mengerti. Akan tetapi, kemudian Inez melebarkan matanya. “Terus bagaimana? Apakah kalian berdua sempat mengobrol soal kalian?”
Zoya mengernyitkan dahi. Soal kalian?
Ah. Soal hubungan mereka.
Zoya mendengkus. Ia hanya mengedikkan bahu dan mengalihkan tatapannya ke tanah.
Inez yang menyadari bahwa Zoya menolak untuk bercerita itu hanya menghela napas. Inez kenal dengan Zoya, gadis itu memang sulit untuk langsung terbuka soal apa yang sedang ia rasakan. Akhirnya, Inez hanya mengusap punggung Zoya dan tersenyum lembut. “Ya sudah. Ingatlah bahwa aku akan selalu mendukung apa pun keputusanmu jika itu terbaik bagimu.”
Zoya pun mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Inez. Ia menatap Inez dengan tatapan sendu, lalu menganggukkan kepalanya. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Inez yang mau mengerti dirinya.
12Please respect copyright.PENANA7JjjmkUyZX
******
12Please respect copyright.PENANAr3uMpyFfnB
22 HARI YANG LALU
12Please respect copyright.PENANAUMTOcFIfxC
“Zoe, wait!! Babe!” teriak Elias, mereka tengah berada di parkiran kampus dan Zoya baru saja melepas genggaman tangan Elias secara paksa. Gadis itu tampak berjalan dengan cepat, berencana untuk meninggalkan Elias tanpa mau mendengar penjelasan apa pun. Akan tetapi, begitu mendengar panggilan Elias kali ini, tiba-tiba Zoya berhenti melangkah. Elias lantas ikut berhenti.
Gadis itu pun membalikkan tubuhnya. Dia lantas menatap Elias dengan mata yang memicing. “Jangan panggil aku seperti itu. Sudah kubilang aku ingin kita putus.”
Elias mengusap rambutnya ke belakang, merasa frustrasi. “For God’s sake, Zoe, aku tak mau putus denganmu! Mengapa kau melakukan ini?”
“Kaulah yang terus curiga padaku!!” teriak Zoe. Untung saja tidak ada orang lain di parkiran tersebut sehingga Zoe tidak harus menahan emosinya. “Beberapa hari belakangan ini, kau selalu membahas soal Jeremy dan terus mencurigaiku seolah-olah aku berselingkuh dengannya!! Apa kau gila? Kami hanyalah teman satu jurusan!”
“Sayang,” panggil Elias. Pemuda itu mendekat, lalu memegang kedua pipi Zoe. Akan tetapi, Zoe langsung melepaskan tangan pemuda itu. Elias lantas menghela napas dan melanjutkan, “laki-laki tidak akan mendekatimu dan mengajakmu berbicara terus menerus, terutama kalau tidak ada urusan. Laki-laki tidak akan terus mendekatimu tanpa alasan, kecuali kalau dia menyukaimu.”
“Dia melakukan itu karena kami adalah teman, Elias!” Zoe masih bersikeras.
Elias menegapkan tubuhnya. Sebelah alis Elias terangkat. “Kalian tidak sedekat itu sebelumnya.”
Zoya berdecak. Ia menatap mata Elias dengan penuh amarah.
“Tetapi tetap saja kami adalah teman satu kelas; kami sering berada di dalam kelas yang sama!” bantah Zoya.
Elias kembali menghela napas. Elias tahu bahwa kekasihnya ini keras kepala. Kekasihnya ini bukan orang yang terlalu terbuka, tetapi keras kepalanya minta ampun. “Zoe, Sayang, kita juga dulunya berawal dari teman. Bahkan kita dulu hanyalah sebatas kenalan.”
Zoya tertunduk. Alisnya masih bertaut, tetapi ia mulai menggigit bibirnya. Kata-kata Elias memang masuk akal, tetapi…tetapi tetap saja Elias bersikap berlebihan kalau cemburu pada Jeremy! Zoya dan Jeremy jelas tidak punya hubungan apa-apa. Percakapan yang mereka lakukan juga hanyalah sebatas tentang kaset-kaset jadul, buku horror, konspirasi, dan lain-lain. Mereka juga tidak melakukan percakapan itu sepanjang saat, kok. Saat bercakap-cakap pun, tubuh mereka tidak menempel. Mereka tidak saling menempel satu sama lain hingga bisa membuat orang-orang berpikir kalau mereka ‘dekat’. Jadi, rasanya aneh kalau Elias cemburu pada Jeremy. Untuk apa dia cemburu?
Lagi pula, Zoya merasa tersinggung sekali kalau dicurigai seperti ini. Dia berasa seperti perempuan murahan saja, dicurigai terus seperti ini. Seakan-akan dia bukanlah wanita baik-baik yang dapat dipercaya.
Dengan lembut, Elias mengangkat dagu Zoya menggunakan jemarinya. Membuat tatapan mata Zoya langsung berserobok dengan tatapan mata Elias. Pandangan mereka terkunci; Zoya dapat melihat dengan jelas kedua bola mata Elias yang indah, yang tengah menatapnya dengan penuh permohonan. Ada rasa kesal yang tertinggal di sana, rasa cemburu, rasa sedih…tetapi diselimuti dengan kasih sayang.
Elias pun mulai berbicara dengan lirih, “Aku tak suka melihatmu dekat dengannya atau dekat dengan laki-laki lain. Jangan dekat dengan laki-laki lain, Zoe. Aku tak mau kehilanganmu. Kau itu kekasihku.”
Namun, kata-kata Elias justru kembali menyulut emosi Zoya. Baginya, kata-kata Elias barusan itu terdengar seperti pemuda itu menuduh Zoya mendekati laki-laki lain dan itu membuat Zoya jelas kembali tersinggung.
Tak ayal, Zoya pun langsung menarik tangan Elias—yang tengah memegangi dagunya itu—lalu gadis itu mengempaskan tangan Elias dengan kencang. Matanya menatap Elias dengan nyalang, penuh dengan amarah.
“We’re over,” tegas Zoya dengan suara yang terdengar begitu dingin. “Aku tak mau berhubungan dengan orang yang menuduhku seenaknya seperti ini. Jangan mengikutiku atau aku akan tambah membencimu. Aku tak mau melihatmu.”
Zoya langsung berbalik dan berjalan meninggalkan Elias. Matanya mulai mengeluarkan air mata, sementara itu Elias ada di belakang sana, mematung…dan kedua mata pemuda itu tampak melebar tak percaya. Mulutnya terbuka, wajahnya blank. Dia bahkan tak mampu mencerna apa yang baru saja Zoya katakan kepadanya. Dia sungguh…tak habis pikir. Kakinya bahkan jadi kaku, tak bisa bergerak, padahal ia sangat ingin mengejar Zoya dan menarik tangan gadis itu, memeluknya serta menahannya agar hubungan mereka tidak berakhir seperti ini.
Akan tetapi, mendengar kata-kata di mana Zoya akan membencinya…membuat tubuhnya mematung.
12Please respect copyright.PENANA9ZsuQDK9De
******
12Please respect copyright.PENANABiEEkRkZiP
Setelah beberapa lama mereka barbecue-an, satu per satu dari mereka mulai bergerak untuk membersihkan diri. Mandi. Langit mulai mengeluarkan warna oranye, mirip seperti ikan salmon, tetapi lebih pucat karena hari belum benar-benar senja.
Tadi, Zoya dan Inez akhirnya juga ikut membantu mempersiapkan api unggun dan juga membantu mempersiapkan alat-alat serta bahan-bahan untuk barbecue. Mereka mengadakan pesta barbecue itu dengan gembira. Tawa menghiasi pesta itu dan Elias jelas dikerumuni oleh mereka semua (kecuali Inez dan Zoya). Para lelaki mengajaknya mengobrol dan tertawa, para perempuan juga melakukan hal yang sama. Sesekali para perempuan itu menempel pada tubuh Elias, memegang paha atau memeluk lengannya, tetapi tampaknya Elias bisa melepaskan sentuhan mereka semua dengan sopan tanpa harus membuat mereka tersinggung.
Zoya menyaksikan itu semua dan jujur ada sesuatu yang terasa menohok jantungnya. Rasanya ada kecemburuan yang menggelitik di dadanya, yang membuatnya agak merasa sakit di dalam sana, tetapi ia mencoba untuk memalingkan wajahnya dan tidak memperhatikan itu semua.
Hah. Ikut ke sini memang adalah ide yang buruk, selagi ada Elias di dalamnya.
Jadi, sore ini, mereka mulai berpencar untuk mandi. Para lelaki mulai mandi di danau bersama-sama, sementara yang perempuan mulai bergerak mencari rumah-rumah warga untuk menumpang mandi. Mr. Parker berkata bahwa mereka bisa menumpang mandi di rumah-rumah warga atau mendatangi warga apabila membutuhkan sesuatu.
Teman-teman Zoya tengah mandi di rumah warga-warga yang lain, sementara Zoya sore ini kebagian mandi di rumah Mr. Parker. Rumah-rumah warga di sana semuanya terbuat dari kayu dan merupakan rumah panggung, termasuk rumah Mr. Parker.
Mr. Parker menyambut Zoya dengan hangat, lalu menunjukkan kepada Zoya di mana letak kamar mandinya. Tanpa ba bi bu lagi, Zoya langsung mandi. Ia benar-benar membersihkan dirinya dengan baik. Setelah selesai mandi, dia langsung berganti pakaian di dalam kamar mandi itu dan ke luar.
Seraya melangkah menjauh dari kamar mandi, Zoya mengeringkan rambutnya dengan cara mengusap-usapkan rambutnya itu menggunakan handuk berwarna putih yang ia bawa. Ia melangkah melewati dapur, lalu langkah kakinya itu kini membawanya hingga ke lorong rumah Mr. Parker, lorong yang menyambungkan antara dapur dengan ruang tamu. Di lorong yang lumayan panjang tersebut terdapat dua kamar yang berseberangan satu sama lain, tetapi saat itu kedua pintu kamar tersebut tengah tertutup.
Di sisi kiri lorong—kiri, kalau dari posisi Zoya saat ini—Zoya melihat ada beberapa pigura foto yang tergantung di dinding lorong yang terbuat dari kayu. Karena sedikit penasaran—dia tak sedang buru-buru juga—Zoya pun mulai berjalan mendekati pigura-pigura tersebut.
Di sana, Zoya melihat beberapa foto. Ada foto keluarga Mr. Parker, foto seorang anak, lalu beberapa di antaranya adalah foto Mr. Parker. Ada foto Mr. Parker yang sendirian, ada yang berfoto berdua, ada juga foto yang beramai-ramai, yang tak tahu siapa saja, tetapi tentunya ada Mr. Parker di sana.
Akan tetapi, anehnya…foto tersebut terlihat sudah lama sekali. Fotonya hitam putih. Pakaian yang dikenakan oleh Mr. Parker dan orang-orang yang berdiri bersamanya di dalam foto-foto itu kelihatan seperti…pakaian orang-orang zaman dahulu. Apakah Mr. Parker dulunya hobi bermain drama di pentas?
Sepertinya begitu.
12Please respect copyright.PENANAk4lpbmiLnC
“Apakah kau sudah selesai mandi?”
12Please respect copyright.PENANA0adtKSLL1m
Zoya kontan terenyak, detak jantungnya berasa seakan terhenti sejenak karena kaget. Gadis itu pun lantas menoleh ke samping kanannya, lalu mendapati Mr. Parker yang sudah berdiri di ujung lorong, di dekat ruang tamu. Zoya pun langsung menjawab, “A—ah, ya, Mr. Parker. Aku sudah selesai. Terima kasih atas kamar mandinya, Mr. Parker.”
Mr. Parker pun mengangguk dan tersenyum lembut kepada Zoya. Zoya balas tersenyum padanya, lalu gadis itu mulai berjalan ke depan. Ke ruang tamu.
Tatkala sampai di ruang tamu, Zoya pun merunduk hormat pada Mr. Parker dan kembali berterima kasih. “Terima kasih, Mr. Parker. Aku akan kembali sekarang.”
Mr. Parker mengangguk dan berdeham. “Sure. You’re welcome. Kalau ada yang kau atau teman-temanmu butuhkan, beritahu aku, ya. Hati-hati.”
Mendengar ucapan Mr. Parker yang begitu baik, Zoya pun tersenyum dengan tulus. “Baik, Mr. Parker. Terima kasih.”
Setelah melihat Mr. Parker balas tersenyum dengan ramah padanya, Zoya pun berpamitan pada Mr. Parker dan berjalan keluar dari ruang tamu rumah milik pria paruh baya itu, menuju ke pintu depan. Zoya melangkah keluar dari pintu itu, melewati teras depan rumah Mr. Parker, lalu turun ke bawah melalui tangga rumah panggung itu.
Namun, nahasnya, tatkala Zoya baru saja menuruni anak tangga terakhir rumah panggung itu, mata Zoya menoleh ke samping kanannya.
Gara-gara itu, dia jadi melihat apa yang ada di depan sana. Di pinggir danau. Jauh di depan sana.
Meskipun jauh, Zoya masih mampu melihatnya dengan jelas.
Di danau tersebut, Zoya memang bisa melihat para lelaki yang sedang mandi bersama dengan bertelanjang dada. Ada Eddie, Hayes, Miller, dan Jack. Namun, bukan itu fokus Zoya saat ini. Bukan itu yang membuat langkah Zoya terhenti. Bukan itu yang membuat mata Zoya memicing karena heran. Bukan itu yang membuat tubuh Zoya mematung.
Zoya berhenti melangkah karena di pinggir danau, ia melihat Elias. Berdiri berhadapan dengan July dalam jarak yang sangat dekat. Selain itu, Zoya juga bisa melihat bahwa saat ini, July tengah menatap Elias dengan penuh kasih sayang seraya memegang pipi sebelah kanan pemuda itu dengan lembut. []
ns 15.158.61.15da2