******
Chapter 2 :
Lucas Anguiano16Please respect copyright.PENANALknidKs7cY
******
16Please respect copyright.PENANAY4XOSSQVal
ADA empat orang polisi yang datang ke vila milik Keluarga Saunders. Jam sudah menunjukkan hampir pukul tiga pagi dan polisi sudah memulai penyelidikan mereka. Dua orang polisi mulai membentangkan police line untuk mengelilingi daerah kolam renang. Jenazah Bryant sudah diletakkan di pinggiran kolam dan diselimuti dengan kain berwarna putih.
Tepat setelah Chris berteriak, semua orang sontak terbangun dari tidur mereka, terutama orang-orang yang berasal dari kamar yang sama dengan Chris. Chris tidak menutup kembali pintu kamar mereka tatkala pria itu ke luar. Jadi, suara teriakan Chris benar-benar terdengar oleh mereka semua yang ada di kamar itu.
Semua orang yang mendengarkan teriakan histeris Chris lantas melompat dari tidur mereka, panik, dan langsung berlari keluar dari kamar. Mereka semua langsung berlari—ada yang sempat membangunkan pria-pria yang tidak terbangun karena tidurnya seperti tidur mati—lalu pergi terburu-buru demi menghampiri asal suara, yaitu dari arah kolam renang.
Begitu mereka sampai di kolam renang dan melihat apa yang ada di sana, kontan mereka semua terkejut setengah mati. Ada yang berteriak, ada yang terdiam kaku seraya melebarkan mata, dan ada yang menatap mayat di permukaan kolam dengan wajah yang pucat.
Pelatih Andrew yang melihat keadaan itu jelas langsung panik. Dia berjongkok dan memegangi bahu Chris, menanyakan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.
“A—aku—aku ingin ke dapur. Aku hanya ingin minum!” teriak Chris dengan suara yang bergetar hebat. “Namun, aku melihat pintu kolam sedikit terbuka. Lampunya hidup. Saat aku masuk ke dalam sini, Bryant—Bryant sudah mengambang di kolam!”
Mendengar itu, Pelatih Andrew dan Dokter Gray sontak terenyak. Dengan cepat Dokter Gray langsung menenangkan Chris dan juga menenangkan kepanikan semua peserta renang saat itu, sementara Pelatih Andrew langsung menelepon polisi beserta kerabat Bryant.
Polisi langsung datang sekitar sepuluh menit kemudian. Mereka langsung diarahkan ke kolam renang dan memerintahkan semua orang untuk tetap di tempat. Tidak ada yang boleh pergi dari sana demi kepentingan penyelidikan.
Sekarang, semua peserta serta Dokter Gray dan Pelatih Andrew tengah berdiri di luar pintu ruangan kolam. Mereka menunggu di koridor itu dengan gelisah karena tentunya mereka masih panik. Beberapa dari mereka terdiam dengan wajah yang pucat.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
For God’s sake, mereka baru saja sampai di vila ini dan sudah ada kejadian seperti ini. Bryant, teman mereka, sudah meninggal karena tenggelam di kolam renang! Mengingat bahwa Bryant adalah atlet renang, tenggelam di kolam renang tentu adalah skenario yang mustahil. Namun, lihatlah apa yang terjadi!
Setelah menunggu selama beberapa waktu, tiba-tiba pintu ruangan kolam renang itu pun terbuka. Keluarlah seorang polisi dari dalam sana, seorang polisi yang tampaknya ditugaskan untuk memimpin penyelidikan ini. Semua orang yang melihat polisi itu keluar dari ruangan pun langsung berkumpul, mereka semua berdiri tegap dan menghampiri polisi tersebut. Menunggu apa yang akan polisi tersebut katakan.
Pelatih Andrew lantas mendekati polisi itu. Ia dapat melihat name tag di seragam polisi itu dan dari sana dia tahu bahwa nama polisi tersebut adalah Mateo Benjamin.
“Bagaimana, Pak?” tanya Pelatih Andrew dengan khawatir. Kedua matanya melebar. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Mr. Benjamin pun melihat ke arah Pelatih Andrew. Polisi yang bertubuh agak pendek dan berkumis itu pun lantas berkata, “Apakah Anda pelatih mereka?”
“Yes—yes, I am,” jawab Andrew cepat. “Apa yang terjadi, Pak?”
Mr. Benjamin mengangguk. Ia pun mengulurkan tangannya untuk menunjuk ke depan—ke arah ruang tamu—lalu ia mengarahkan mereka semua untuk pergi ke sana. “Ayo kita berbicara di sana. Semuanya tolong duduk di sana.”
“Yes, Sir,” jawab Dokter Gray. Dia pun mulai mengarahkan seluruh peserta untuk berjalan ke ruang tamu dan duduk di sana. “Let’s go, all of you.”
Mr. Benjamin yang baru saja mau berjalan mengikuti mereka, tiba-tiba dipanggil oleh rekan sesama polisinya. Rekannya itu membisikkan sesuatu, kemudian Mr. Benjamin mengangguk. Tatkala Mr. Benjamin kembali menghadap ke depan, dia langsung melangkah menghampiri seseorang di depan sana yang sedang mengenakan baju berwarna biru langit, yaitu Pelatih Andrew.
“Oh, wait, Mr. Cervantez!” panggil Mr. Benjamin, dia sedikit berlari untuk menghampiri Pelatih Andrew, lalu ia menepuk pundak pria itu. Pria itu—yang dia pikir adalah Andrew—pun berbalik.
Namun, ternyata itu bukanlah Pelatih Andrew. Itu adalah salah satu peserta turnamen renang, Lucas Anguiano (tetapi Mr. Benjamin belum tahu siapa namanya). Mr. Benjamin kontan terenyak, matanya sedikit melebar.
“Oh, forgive me. Kupikir kau adalah Pelatih Andrew,” ujar Mr. Benjamin, matanya menatap Lucas dengan tatapan yang sedikit membulat. “Silakan lanjut berjalan.”
“Aah, mungkin karena kami memakai kaus dengan warna yang sama hari ini, Pak,” ujar Lucas dengan ramah, tetapi wajah Lucas masih terlihat pucat. Mungkin karena masih shock dengan kejadian ini. Itu sangat normal.
“No no no.” Mr. Benjamin menggeleng. “Bukan hanya itu. Postur tubuh kalian sama.”
Lucas mengangguk perlahan, sedikit menganga. Matanya melebar. Dia tidak menyadari hal itu selama ini. “Ah…begitu.”
“Ayo ke sana, kalau begitu,” ajak Mr. Benjamin seraya menepuk punggung Lucas. “Aku akan menjelaskan tentang apa yang kulihat tadi.”
Lucas pun mengangguk. Mereka berdua akhirnya berjalan bersama menuju ke ruang tamu vila dengan Lucas yang berjalan di depan. Mr. Benjamin memperhatikan punggung Lucas dari belakang seraya menyatukan alis. Matanya memicing, melihat tubuh Lucas lamat-lamat. Postur Lucas dan Andrew benar-benar terlihat sama.
Ketika sudah sampai di ruang tamu, Lucas pun ikut duduk di salah satu sofa panjang yang ada di sana bersama seluruh peserta yang lain. Mereka semua sudah duduk dan menunggu Mr. Benjamin dengan tatapan serius. Alis mereka menyatu.
Tatkala Mr. Benjamin sampai di sana, polisi tersebut langsung mengambil posisi duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka. Ia duduk, lalu menghela napasnya dan menatap semua orang yang ada di sana satu per satu. Tatapannya seakan menyusuri mereka semua, mulai dari barisan sofa kanan, lalu tengah, dan akhirnya ke sofa kiri. Semuanya diperhatikan oleh Mr. Benjamin tanpa tertinggal satu orang pun; mereka semua seolah sedang diabsen oleh Mr. Benjamin dengan tatapan matanya.
Setelah selesai memperhatikan mereka semua, Mr. Benjamin pun mulai bersuara, “Maaf, aku ingin bertanya terlebih dahulu. Apakah di vila ini tidak ada CCTV?”
Keith, selaku anak dari pemilik vila itu, menghela napas. “Sayangnya tidak, Pak. Keluargaku menganggap lingkungan di sini aman. Kami tidak meletakkan harta apa-apa juga di dalam sini. Jadi, kami tidak memasang CCTV di sini.”
Mr. Benjamin diam, kepalanya sedikit tertunduk. Dia juga jadi menghela napas; dia menyatukan alisnya, berpikir lamat-lamat. Kalau tidak ada CCTV, dia tidak bisa memastikan kebenaran dari kesaksian orang-orang yang ada di sini.
Akan tetapi, meskipun sempat terdiam sejenak, Mr. Benjamin tetap melanjutkan pembicaraan. Pria paruh baya itu mengangkat kepalanya kembali, memperhatikan satu per satu orang-orang yang ada di depannya, lalu mulai berbicara lagi, “Jadi, kalian semua adalah atlet renang?”
Semua peserta yang ada di sana pun mengangguk. Russel yang dahinya berkerut pun menjawab, “Ya. Kami semua adalah atlet renang. Kami akan mengikuti turnamen nasional sebentar lagi, mewakili Sonoma.”
Mr. Benjamin pun mengangguk, tetapi dalam tempo yang lambat. Mencoba mencerna situasinya, tetapi seraya melihat ke arah Russel dengan tatapan penuh selidik.
“Lantas apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Mr. Benjamin, menaikkan sebelah alisnya. “Bukankah seharusnya kalian ada di Sonoma?”
Mendengar itu, Pelatih Andrew pun langsung menjelaskan, “Begini, Pak. Latihan resmi akan diadakan pada tanggal 1 April nanti. Sementara itu, sebelum tanggal 1 April tiba, para peserta diarahkan untuk berlatih secara mandiri dan menjaga kesehatan. Namun, sebagian dari peserta tim putra, yaitu mereka-mereka ini, memiliki sebuah ide. Ketimbang berlatih sendiri-sendiri, mereka yang sudah akrab ini memilih untuk berlatih bersama-sama di sini sekaligus refreshing.”
Mr. Benjamin kembali manggut-manggut. Ia memegangi dagunya seraya memperhatikan mereka semua sekali lagi.
“Well, inisiatif kalian untuk berlatihbersama-sama di luar Sonoma ini telah merenggut satu nyawa,” ujar Mr. Benjamin, sukses membuat semua orang yang ada di sana kontan merasa seolah tertampar. Beberapa dari mereka mulai tertunduk dan berpikir keras, menyatukan alis mereka karena menyesali apa yang sudah terjadi. Walaupun begitu, sebetulnya kejadian ini benar-benar di luar rencana mereka. Kejadian ini adalah kejadian yang tidak mereka sangka-sangka.
Mereka semua terdiam. Tengah berpikir di kepala mereka masing-masing. Suasananya benar-benar keruh.
“Kami menemukan beberapa botol alkohol di pinggir kolam,” ujar Mr. Benjamin tiba-tiba, memecah keheningan mereka. Semua orang yang ada di sana langsung kembali melihat ke arah Mr. Benjamin.
Ya. Pelatih Andrew dan yang lainnya juga memang sempat melihat ada beberapa botol alkohol di pinggir kolam pada saat mereka menemukan mayat Bryant dan menunggu polisi datang. Namun, tidak ada yang menyentuh apa pun yang ada di TKP, apalagi Dokter Gray juga bersikeras menyuruh mereka untuk tetap diam di tempat. Biarkan polisi yang menyelidiki semuanya.
“Kalian adalah atlet yang mau latihan, tetapi kalian membawa alkohol?” tanya Mr. Benjamin, matanya menatap semua peserta dengan tatapan penuh selidik.
Mendengar pertanyaan itu, semua peserta langsung menoleh ke arah Castro. Mereka semua tahu jelas bahwa Castro-lah yang membawa alkohol ke vila ini. Castro yang merasa bahwa seluruh pasang mata telah menatap ke arahnya itu pun lantas mendengkus. Dia langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu mengangkat tangannya. Sial, ini kacau sekali. “Aku yang membawa alkohol-alkohol itu ke sini, Pak.”
Mendengar pengakuan dari Castro, Pelatih Andrew sontak menganga. Pria itu menggeleng, lalu memijit kepalanya sendiri. Dia benar-benar telah lengah. Seharusnya dia juga memeriksa barang-barang bawaan peserta-peserta ini. Riwayatnya benar-benar telah tamat.
Dokter Gray juga menghela napas, merasa betul-betul tak habis pikir. Bisa-bisanya kejadian ini terjadi, padahal mereka semua datang ke sini dengan niat yang baik.
“Apakah kau yang memberikannya kepada Bryant?” tanya Mr. Benjamin, matanya menatap Castro lurus-lurus. Castro sontak membelalakkan matanya dan menggeleng. “No! Tadi malam, aku memang menawari mereka semua untuk minum ketika kami mengobrol di kolam renang. Botol-botol alkohol itu ada di dalam koperku. Akan tetapi, karena kebanyakan dari mereka langsung menentangku, aku tidak jadi menawari mereka. Pada akhirnya, tidak ada satu pun dari kami yang minum. Aku sendiri tidak tahu bagaimana ceritanya botol-botol alkohol yang kubawa bisa ada di pinggir kolam renang itu!!”
Mr. Benjamin pun menyatukan alisnya. “Jadi, maksudmu, ada orang yang mengambil botol-botol alkohol itu dari dalam kopermu?”
Castro mengangguk. “Kupikir begitu. Aku tidak pernah mengeluarkan botol-botol itu. Atau mungkin Bryant sendirilah yang mengeluarkan botol-botol itu. Kami tidur di dalam satu kamar yang sama, mudah saja baginya untuk membuka koperku. Terlebih lagi, dia memang kelihatan tertarik tatkala kutawari minum alkohol di kolam renang.”
Mr. Benjamin dan banyak peserta yang ada di sana pun terlihat mengangguk. Setelah itu, Mr. Benjamin mulai melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap ke arah Chris. “Anda yang menemukan Bryant pertama kali, ‘kan? Mr.—”
“Chris. Namaku Chris,” potong Chris. Memang, tatkala polisi baru datang tadi, Pelatih Andrew telah menjelaskan kronologinya kepada polisi secara singkat. “Benar, aku yang menemukan tubuh Bryant pertama kali.”
“Baik, Mr. Chris,” ujar Mr. Benjamin. “Bisa tolong ceritakan kejadiannya padaku dengan lebih jelas?”
Chris mengangguk. Ia pun mulai berbicara, “Aku terbangun dari tidurku karena haus, tepatnya jam 2.30 AM. Aku lantas pergi menuju ke dapur dan perjalanan menuju ke dapur harus melewati ruangan kolam renang terlebih dahulu, you see.”
Chris menunjuk ruangan kolam renang itu dengan dagunya.
Mereka semua, termasuk Mr. Benjamin, lantas jadi menoleh ke arah belakang sana dan memperhatikan susunan ruangan di daerah sayap kiri lantai satu vila itu. Mr. Benjamin memperhatikan ruangan-ruangan itu dengan tatapan memicing, lalu ia mengangguk. Setelah itu, ia kembali menatap ke arah Chris.
Chris pun kembali bersuara.
“Jadi, sebelum aku berhasil sampai ke dapur, aku melihat pintu ruangan indoor pool itu terbuka sedikit. Itu agak aneh, menurutku, karena aku ingat bahwa Keith sudah mematikan lampu dan menutup pintu ruangan itu saat kami semua keluar dari sana,” jelas Chris. Chris kini mulai agak tertunduk, dia menggeleng dan terlihat frustrasi. “Lampu ruangan itu juga hidup sepenuhnya. Jadi, itu membuatku heran. Aku pun masuk ke dalam sana dan aku—aku menemukan Bryant sudah…sudah mengambang di permukaan kolam. Awalnya, kupikir itu adalah baju yang mengambang karena aku masih mengantuk, tetapi setelah kudekati…ternyata itu adalah tubuh seseorang. Tubuh Bryant.”
“Apakah kau melihat seseorang di sekitar sana?” tanya Mr. Benjamin.
Chris menggeleng. “Tidak. Tidak ada seorang pun yang ada di sana selain aku. Teman-teman sekamarku juga sedang tidur.”
Mr. Benjamin mengangguk. Saat itu, Mr. Benjamin mulai menatap ke arah semua orang yang ada di sana lagi, kecuali Chris. “Apakah ada yang belum tidur pada saat itu?”
“No.”
“Tidak. Aku tidur.”
“Tidak.”
“Aku juga sedang tidur. Aku terbangun saat mendengar teriakan Chris.”
“Aku justru terbangun karena dibangunkan oleh Kane.”
“Iya, kita semua kaget saat itu, ‘kan?”
16Please respect copyright.PENANAQ94o4Uy6qj
Mr. Benjamin memperhatikan mereka dan mendapati bahwa mereka semua menjawab ‘tidak’. Ada juga yang jadi membahas kejadian itu dengan orang yang duduk di sampingnya. Intinya, mereka semua memang benar-benar sedang tidur dan tidak akan terbangun apabila bukan karena suara teriakan Chris.
“Alright, guys, enough,” ujar Pelatih Andrew yang kontan membuat mereka semua kembali terdiam. Semua orang kini beralih menatap ke arah Mr. Benjamin kembali.
“Baiklah,” ujar Mr. Benjamin. Dia pun mengangguk pelan, lalu menatap ke arah mereka semua satu per satu. “Aku benar-benar butuh kesaksian dari kalian karena ternyata vila sebesar ini tidak memiliki CCTV sama sekali. Hasil penyelidikan dari kejadian ini akan kami umumkan segera. Kami akan membawa jenazah Bryant ke rumah sakit terlebih dahulu.”
Ketika Mr. Benjamin mulai berdiri, semua orang yang ada di ruangan itu pun ikut berdiri. Mereka merunduk hormat pada Mr. Benjamin, lalu Mr. Benjamin mulai berbalik meninggalkan ruang tamu itu dan masuk kembali ke ruangan kolam renang.
16Please respect copyright.PENANANrm2W01nuq
******
16Please respect copyright.PENANANq4TceFFIs
Hari ini langit sedang mendung. Cuacanya cukup berangin, anginnya tidak terlalu kencang. Pada hari ini, pemakaman Bryant Thompson dilaksanakan. Pemakaman itu dilaksanakan di Sonoma, tepatnya di pemakaman yang tidak jauh dari rumah Keluarga Thompson.
Banyak sekali orang-orang yang hadir pada hari ini dan kebanyakan dari mereka adalah para atlet renang dari Tim Sonoma. Mereka semua berdiri di sekeliling makam Bryant yang sedang didoakan, lalu tampak ibunya Bryant tengah menangis di depan mereka. Ibunya Bryant menangis seraya terduduk di tanah tepat di samping makam Bryant. Keluarga Bryant yang lain juga tampak menangis, mereka berdiri seraya mengusap air mata mereka sendiri.
Sebelas orang yang pergi ke vila bersama Bryant juga mengikuti prosesi pemakaman tersebut. Sama seperti orang-orang lain, mereka juga memakai pakaian yang serba hitam dan memperhatikan ibunya Bryant yang tengah menangis di depan sana. Beberapa dari mereka mengerutkan dahi karena masih merasa bahwa kejadian ini betul-betul tak bisa diduga, sementara beberapa yang lainnya tampak menatap ibunya Bryant dengan simpati. Namun, satu hal yang menyamakan mereka adalah mereka semua merasa bersalah dan tidak enak dengan Keluarga Thompson akibat kejadian ini. Sejak kematian Bryant, banyak sekali ucapan belasungkawa dari orang-orang yang ada di dalam group chat Tim Sonoma. Group chat yang mereka ikuti, posting-an di sosial media para perenang, semuanya diramaikan dengan berita kematian Bryant. Banyak juga ucapan-ucapan dari asosiasi renang California. Namun, info yang terakhir kali mereka dapatkan adalah katanya, posisi Bryant akan digantikan dengan anggota tim yang sudah tersedia. Bryant kebetulan hanya mengikuti satu nomor pertandingan. Jadi, ada anggota tim yang akan merangkap nomor pertandingan tersebut.
Waktu itu, tatkala Bryant sudah dibawa ke rumah sakit, kedua orangtua Bryant datang ke rumah sakit tersebut dan ibunya menangis histeris. Waktu itu, yang ikut ke rumah sakit hanyalah Pelatih Andrew dan Dokter Gray. Mr. Benjamin beserta Pelatih Andrew pun menjelaskan kejadiannya kepada kedua orangtua Bryant. Kedua orangtua Bryant sempat marah-marah dan dan berencana untuk menuntut Pelatih Andrew dan semua peserta yang terlibat untuk kejadian ini, tetapi Pelatih Andrew dan Dokter Gray betul-betul meminta maaf kepada mereka. Sejujurnya, Pelatih Andrew dan Dokter Gray pun tahu bahwa kelalaian mereka ini—di mana mereka tidak tahu bahwa Castro membawa alkohol—bisa menyebabkan mereka masuk penjara, tetapi mereka benar-benar harus menyelidiki semuanya terlebih dahulu. Kalau saja mereka bisa menyelesaikan ini semua dengan cara kekeluargaan, maka mereka semua akan sangat berterima kasih. Sebab nyatanya, tidak satu orang pun yang minum alkohol pada saat itu bahkan Castro pun tak mengeluarkan alkohol itu dari kopernya. Jadi, sepertinya Bryant sendiri yang mengambil alkohol itu.
Namun, tetap saja ini terhitung sebagai sebuah kelalaian.
Setelah menjelaskan kronologinya, Mr. Benjamin pun meminta izin pada kedua orangtua Bryant agar mereka bisa melakukan autopsi pada jenazah Bryant. Kedua orangtua Bryant pun setuju.
Hasil dari autopsi tersebut adalah tidak ada tanda-tanda percobaan pembunuhan. Tidak ada kejanggalan. Bryant tenggelam karena terlalu mabuk tatkala berenang. Alhasil, kematian Bryant ini ditetapkan sebagai kecelakaan. Meski tidak terima, pada akhirnya kedua orangtua Bryant pun mengerti. Pada akhirnya, mereka tahu bahwa kematian Bryant adalah ulah Bryant sendiri. Maka dari itu, semuanya diselesaikan dengan kekeluargaan. Tidak ada yang dituntut dalam kejadian ini.
Sepulang dari acara pemakaman Bryant, mereka semua pulang naik mobil ke rumah masing-masing, kecuali kesebelas orang yang barang-barangnya masih ada di vila milik Keluarga Saunders. Mereka ada di dalam tiga mobil yang berbeda, mobil yang sama yang mereka gunakan untuk pergi ke vila Keluarga Saunders waktu itu. Tiga mobil tersebut berjalan beriringan untuk kembali ke Healdsburg, tempat di mana vila Keluarga Saunders berada.
“Setelah sampai di vila, kita harus segera beres-beres dan pulang,” ujar Russel tegas, dia tampak menyatukan alisnya. Wajahnya benar-benar terlihat serius seakan-akan dia tak mau mendengar penolakan sama sekali. Dia terlihat marah, kesal, tak menyangka, tak habis pikir, atau sesuatu sejenis itu. Dia jadi membuat orang-orang merasa tegang.
“Iya, aku juga ingin pulang,” ujar Castro yang kebetulan saat itu satu mobil dengan Russel. “Mana mungkin kita bisa fokus lagi latihan di kolam renang itu.”
Thomas yang juga satu mobil dengan mereka, lantas berkata, “Hei, sabar dulu. Kita tunggu dulu hingga kita sampai ke vila. Aku yakin di sana teman-teman yang lain beserta Pelatih Andrew akan berbicara dan memutuskan sesuatu,” ujar Thomas. Setelah itu, Thomas menghela napas dan melanjutkan, “Tenang dulu, Russ, kau sedang mengemudi.”
Russel pun mendengkus. “Ya kau pikir saja, Thomas, apakah kau sanggup berenang di kolam renang itu lagi? Jelas-jelas Bryant mengambang di sana!”
“Hey, can you just calm the fuck down?” ujar Kane tiba-tiba. “Bukan hanya kau saja yang terbebani karena kejadian ini.”
“Huh?! What did you just say, you motherfucker?!” teriak Russel balik, dia jadi marah bukan main mendengar ucapan Kane. Melihat kedua orang tersebut justru jadi bertengkar, Thomas pun lantas meninggikan suaranya. “Mengapa kalian jadi bertengkar?! Kita sedang berduka!! Diamlah!”
Castro yang tadinya mengeluh pun, kini jadi menghela napas. “Sudah-sudah. Russ, fokuslah mengemudi. Jangan sampai kita kecelakaan di jalan dan mati semua di sini, menyusul Bryant.”
Akhirnya, Russel dan Kane pun mendengkus. Menahan amarah mereka masing-masing. Mereka jadi sama-sama diam di sepanjang perjalanan menuju ke vila.
16Please respect copyright.PENANAp6kbqCVtOP
******
16Please respect copyright.PENANAYkN9an10kG
Sembilan peserta yang ada di vila itu duduk di ruang tamu bersama dengan Pelatih Andrew dan Dokter Gray. Lama mereka duduk terdiam di sana tanpa mengatakan apa-apa. Semuanya sibuk pada isi kepala mereka masing-masing. Pikiran mereka kalut sampai-sampai mereka semua tidak tahu harus berbicara apa atau harus mulai dari mana.
Russel yang tadi marah-marah di mobil pun kini tampak duduk diam, tertunduk dengan wajah kesalnya. Alisnya menyatu dan kedua tangannya terkepal.
“Jadi,” buka Dokter Gray, dokter itu tiba-tiba bersuara. Suara Dokter Gray kontan memecah keheningan tersebut dan semua orang refleks menoleh ke arahnya. “bagaimana? Apakah kita masih mau lanjut berlatih di sini?”
Chris, orang yang melihat mayat Bryant pertama kali, lantas menjawab, “Aku tidak yakin, Dok. Mungkin, sama sepertiku, teman-teman yang ada di sini juga akan kepikiran soal mayat Bryant ketika berenang di kolam renang itu.”
Ibarra dan Lucas mengangguk.
Castro pun akhirnya ikut bersuara, “Lagi pula, diskusi ini…bukankah tidak penting? Sudah jelas kita harus menghentikan latihan bersama ini, bukan?”
“Iya, itu harusnya normal untuk dilakukan karena ada kejadian seperti ini,” ujar Russel. “I can’t see why we must discuss something so obvious like this. We should definitely go back today.”
Dokter Gray mengangguk. “Sebagai dokter, aku juga berbicara dengan para dokter di rumah sakit tadi. Akhirnya, aku juga yakin bahwa itu adalah kecelakaan. Tidak seharusnya kau membawa alkohol kemari, Castro.”
Semua orang lantas menoleh ke arah Castro. Benar juga, ini semua tidak akan terjadi kalau Castro tidak membawa alkohol.
Castro pun tertunduk. Dahinya berkerut. Ia memang bersalah kali ini, meskipun tidak secara langsung.
Keith tampak menghela napas.
“Jadi, bagaimana keputusannya?” tanya Keith. “Aku tidak masalah kalau kalian mau pulang hari ini. Akan tetapi, apa kalian yakin bisa mendapatkan hasil yang maksimal dengan latihan sendiri-sendiri? Kita mengadakan latihan bersama ini karena merasa bahwa ini lebih efektif, bukan?”
Sontak semua orang jadi terdiam.
Iya, itu benar.
Pelatih Andrew pun akhirnya berbicara, “Apakah kau sudah mengganti air kolam renang itu, Keith?”
“Sudah,” jawab Keith. Dia bernapas samar dan mengangguk. “Semuanya sudah dibersihkan sejak kolam itu tidak menjadi lokasi penyelidikan lagi. Bahkan benda-benda yang seharusnya tak tersentuh pun sudah diganti oleh keluargaku tadi pagi. Untuk kolam renang, semuanya sudah aman dan sudah bersih. Akan tetapi, pastinya ingatan kalian belum bersih dari kejadian itu.”
Semua orang pun terlihat menunduk, tengah berpikir matang-matang. Sebetulnya, pulang ke rumah masing-masing adalah pilihan yang paling logis. Paling normal.
Akan tetapi, di sisi lain…mereka adalah atlet-atlet ambisius yang sedang sangat membutuhkan latihan maksimal demi mengikuti turnamen nasional. Mereka sudah terpilih untuk mewakili Sonoma di turnamen nasional dan ini adalah lompatan yang sangat tinggi untuk karir mereka sebagai perenang ke depannya.
Jelas, hati kecil mereka semua masih ingin untuk berlatih bersama agar dapat mendapat hasil yang lebih maksimal, terutama setelah mendengar bahwa segala benda yang ada di kolam renang itu sudah diganti serta kolam renangnya juga sudah dibersihkan. Lagi pula, kejadian kali ini ditetapkan murni karena kecelakaan. Itu adalah nahas. Bryant tidak akan tenggelam kalau dia tidak minum. Tidak ada faktor eksternal lainnya selain karena kesalahan Bryant sendiri.
Hati mereka jelas mulai goyah.
“Begini saja,” ucap Pelatih Andrew kemudian. “Semuanya terserah kalian. Kalau mau pulang, ayo kita pulang sekarang. Bersiap-siaplah sekarang juga. Namun, kalau tetap mau melanjutkan latihan bersama di sini, maka aku akan memeriksa barang-barang bawaan kalian. Tidak ada yang boleh membawa benda yang aneh-aneh. Lanjutkan latihan ini dengan tertib. Lakukan dengan aman dan terkendali.”
Semua orang masih diam. Mereka semua tengah berpikir.
“Aku masih ingin berlatih di sini,” ujar Austin tiba-tiba setelah mereka lama terdiam. Hal ini membuat semua orang lantas menoleh ke arahnya. Russel kontan menganga. “Austin, you—”
“Russ, apa renang gaya dadamu sudah benar-benar oke? Kau harus mempercepat waktumu,” potong Austin. Sindiran dari Austin jelas membuat Russel merasa kesal bukan main. Namun, dia tak memungkiri bahwa kata-kata dari Austin itu benar. Jadi, karena tidak mampu menangkis ucapan Austin (walau sebetulnya kesal), Russel pun mengeluarkan napasnya melalui mulut dengan dongkol, sampai mengeluarkan suara, “Hah!”, lalu pria itu mengalihkan pandangannya dari Austin dan alisnya menyatu kembali. Kedua tangannya semakin terkepal.
“Kita tidak punya banyak waktu, Russ, Cas, Chris. Aku tahu semua orang di sini pasti trauma karena kejadian kemarin, tetapi latihan ini penting bagiku. Lagi pula, aku sering main ke vila ini bersama Keith dan aku percaya pada Keith. Periksa saja barang-barang bawaanku, Coach,” ujar Austin, lalu ia menoleh ke arah Pelatih Andrew.
Beberapa dari peserta yang ada di sana langsung menatap Austin seraya melebarkan mata. Mulut mereka terbuka; mereka agak kaget dengan keputusan cepat Austin.
“Kau yakin, Austin?” tanya Dokter Gray.
“Iya, aku yakin, Dok.” Austin mengangguk. “Selagi tidak ada yang bertingkah, tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Yang kemarin itu…anggaplah itu sudah menjadi takdirnya. Tidak ada yang bisa kita lakukan.”
Mendengar kata-kata dari Austin, meskipun ragu…pelan-pelan mereka semua mulai mengangguk, kecuali Russel. Namun, jauh di dalam hatinya, Russel juga tahu bahwa memang tidak ada yang dapat mereka lakukan. Semuanya sudah terjadi dan itu adalah kecelakaan.
Apalagi, Russel juga mengakui bahwa dia memang mesti banyak latihan untuk mempercepat waktu renangnya. Daripada bolak-balik latihan renang di klub renang, tinggal di vila dengan kolam renang pribadi seperti ini sebenarnya adalah ide yang brilian. Lebih efisien. Dia bisa bolak-balik sepanjang waktu. Kolam renangnya juga dibuat mirip seperti kolam renang yang ada di klub renang. Namun, memutuskan untuk tetap berenang di sana setelah ada kejadian seperti ini…apakah itu merupakan keputusan yang baik? Lupakan soal baik,apakah itu bahkan terdengar normal?
Russel melihat ke arah Castro, Chris, Kane, dan juga peserta-peserta lainnya. Mereka semua tampak tertunduk. Berpikir.
Russel memalingkan wajahnya lagi dan mendengkus.
Ah, ya sudahlah.
Russel menunggu saja apa kepastiannya. Kalau memang teman-temannya lebih dominan merasa tidak terganggu untuk lanjut latihan di sini, berarti Russel juga harus berusaha untuk melupakan kejadian kemarin dan tetap latihan di kolam renang itu.
Akhirnya, Ibarra yang sedari tadi hanya diam pun mulai berbicara, “Aku…benar-benar berduka untuk Bryant. Meskipun kepribadiannya tidak cocok denganku, tetapi aku benar-benar berduka untuknya. Namun, aku…memang butuh untuk berlatih bersama kalian. Aku tidak bisa maksimal jika berlatih sendirian.”
Lucas yang duduk di sebelahnya pun mulai menepuk pundak Ibarra, menenangkan pria itu. Semua orang yang mendengarkan itu pun sebenarnya mengerti dengan situasi Ibarra. Ibarra adalah pria yang tidak terlalu pandai bersosialisasi. Dia pendiam dan bersikap seperti tentara yang hanya mengikuti perintah dan tidak memiliki emosi. Semuanya template. Melihat dia berusaha untuk menempatkan dirinya di tengah-tengah mereka semua agar bisa ikut latihan bersama saja sudah merupakan usaha yang luar biasa untuk ukuran manusia yang kurang bersosialisasi sepertinya. Meskipun Ibarra adalah orang yang kurang bersosialisasi, mereka semua tahu bahwa Ibarra mudah simpatik dengan orang lain, sama seperti Lucas.
Jadi, kejadian yang menimpa Bryant sudah pasti membekas di benak Ibarra. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa latihan ini juga penting bagi pria itu.
Kata-kata dari Ibarra tersebut jadi semakin menggerakkan hati peserta-peserta yang tadinya langsung ingin pulang. Mereka yang sudah goyah, kini semakin goyah karena ucapan Ibarra. Benar juga. Ibarra yang orangnya simpatik dan lembut saja bisa menerima semuanya dan lanjut berlatih, bagaimana dengan mereka?
Berarti mereka juga harus berusaha untuk move on dan lanjut berlatih.
Turnamen ini penting. Karir mereka bisa melejit apabila mereka menang.
Akhirnya, Kane yang sedari tadi diam pun mulai membuka suara.
“Well, then,” ujar Kane. Pria itu pun menegapkan posisi duduknya dan mengedikkan bahu, lalu menatap ke arah semua teman-temannya. “Sepertinya…jauh di dalam hati, kita semua sudah mulai berpikiran hal yang sama, bukan? Yaitu mau lanjut latihan di sini.”
Secara perlahan-lahan, semua peserta yang ada di sana pun…satu per satu mulai mengangguk.
Kane pun tersenyum dan mengangguk. Mulai berusaha untuk menyemangati orang-orang yang ada di sana beserta dirinya sendiri seraya berkata, “Baiklah. Ayo kita hentikan pembicaraan yang membuat depresi ini dan mulai beristirahat. Kita tenangkan diri kita dulu, lalu mulai latihan.”
“Aku akan mulai memeriksa barang bawaan kalian,” ujar Pelatih Andrew. Sang Pelatih itu pun menoleh ke arah Dokter Gray. “Tolong bantu aku, ya, Dok.”
Dokter Gray mengangguk dan tersenyum. “Sure.”
Setelah itu, mereka pun mulai berbincang-bincang santai, menghilangkan suasana sedih dan kalut yang sedari tadi menyelimuti mereka. Tiba-tiba, Lucas mulai berdiri dan berkata, “Aku permisi ke toilet dulu, ya.”
Mereka semua mengangguk. Thomas mengacungkan jempolnya pada Lucas. “Oke, Bung.”
Sepeninggal Lucas, mereka semua kembali mengobrol santai. Memang tidak langsung menghidupkan suasana—tidak ada tawa—tetapi setidaknya, mereka bisa menjadi lebih rileks dan tenang. Setidaknya, beban di kepala mereka dan tekanan di hati mereka bisa sedikit menjadi lebih ringan.
Tidak lama setelah itu, mereka semua pun sepakat untuk kembali ke kamar masing-masing. Mereka memutuskan untuk istirahat dan menenangkan diri mereka terlebih dahulu hari ini, hitung-hitung sambil menguatkan diri karena mereka akan mulai latihan kembali besok pagi.
Ibarra, Thomas, dan Chris tengah berjalan bersama menuju ke kamar mereka. Tatkala baru saja membuka pintu kamar, Ibarra yang melihat bahwa di kamar mereka tidak ada Lucas pun mulai berbicara, “Lho, ke mana Lucas?”
Chris mengedikkan bahu. “Entah, ya. Tadi dia ke toilet, ‘kan?”
Mereka semua melihat ke sekeliling kamar dengan mata mereka, tetapi di sana memang tidak ada Lucas. Pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar itu juga terbuka sedikit, menandakan bahwa Lucas juga kemungkinan tidak ada di dalam sana.
“Yah mungkin dia sedang ada di tempat lain. Tunggu saja, nanti dia pasti akan ke sini,” ujar Thomas. Chris pun menutup pintu dan Ibarra mengangguk. Chris dan Ibarra pun berjalan menuju ke ranjang mereka dan duduk di sana, mulai memainkan HP mereka masing-masing.
Namun, berbeda dengan mereka, Thomas justru berjalan menuju ke kamar mandi seraya berkata, “Aku mau buang air kecil dulu, ah.”
“Hmm.” Chris berdeham singkat untuk merespons Thomas, nadanya terdengar agak malas.
Thomas pun melangkah ke kamar mandi itu. Ketika sudah sampai di depan pintu kamar mandinya, Thomas lantas membuka pintu kamar mandi itu dan berencana untuk masuk. Namun, tatkala Thomas baru saja ingin melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar mandi itu, mata Thomas menangkap sesuatu.
Tepat di depan matanya.
Di sana, di dalam kamar mandi itu, tepat di depan mata Thomas, ia melihat ada sebuah tubuh yang tergantung.
Jantung Thomas mendadak terasa begitu sakit bagaikan tertusuk lembing yang begitu tajam. Lembing itu menohok jantungnya, membuatnya berhenti berdegup. Dada Thomas terasa sesak, napasnya pun tertahan seolah paru-parunya berhenti berfungsi. Kedua mata Thomas membelalak penuh, wajahnya pucat, dan mulutnya menganga.
“Thomas, ada apa??!”
“Hei!”
Suara-suara dari teman-teman sekamarnya itu kini terdengar bagai dengungan semata di telinga Thomas. Thomas bagaikan mendengar suara mereka dari dalam air. Suara itu seolah tenggelam begitu saja karena kacaunya otaknya saat ini.
Dengan tubuh yang bergetar, Thomas pun perlahan-lahan mengangkat kepalanya ke atas. Pelan-pelan, ia menelusuri tubuh itu dengan kedua matanya. Sebenarnya, jauh di dalam hatinya, ia punya feeling. Ia punya firasat. Ia seperti sudah tahu hanya dengan melihat pakaiannya. Namun, otaknya menolak untuk memercayai instingnya. Otaknya terus menolak untuk menerima kenyataan. Masih berusaha untuk memungkiri. Jadi, ia masih kukuh untuk meneruskan gerakan mata dan kepalanya agar bisa melihat sampai ke atas, sampai ke wajah dari pemilik tubuh itu.
Namun, tatkala Thomas sudah benar-benar melihat wajah dari pemilik tubuh itu, dia sontak terjatuh ke lantai. Thomas lagi-lagi mendengar teman-temannya memanggilnya dan kali ini, agaknya teman-temannya langsung berlari ke arahnya dan satu detik kemudian, teman-temannya pun berteriak kencang.
Pada akhirnya, seluruh instingnya yang merupakan mimpi terburuk itu ternyata benar adanya.
…sebab ketika ia mendongak ke atas untuk memastikan siapa pemilik tubuh yang sedang tergantung tersebut, ia melihat wajah Lucas. []
ns 15.158.61.16da2