Dua belas tahun adalah waktu yang lebih dari cukup bagi seseorang untuk melupakan janji dan permohonannya, apalagi jika hanya di dasari dengan keinginan sesaat. Sama seperti Lillian yang kini berumur dua puluh empat tahun dengan kesibukannya di dunia fashion sebagai desaigner ternama di Paris, kota cinta dan mode.
Lillian gadis kecil pecinta novel dewasa romantis terjemahan itu sekarang sudah menjadi sosok wanita karir yang bahkan sudah hampir tidak memiliki waktu luang untuk bersantai dan membaca novel kesukaannya. Dia begitu sibuk dengan pakaian wanita yang ia rancang, waktu tengang dan musimnya. Untuk tidur saja, ia hanya memiliki empat sampai lima jam. Tapi Santa bagaimanapun juga tidak peduli dengan semua kesibukan pekerjaan dunia orang dewasa. Dia berhutang, dia akan membayarnya. Dua belas tahun lalu, Santa benar-benar tidak memberi Lillian hadiah karena ia menyimpannya untuk Lillian dewasa dua belas tahun kemudian di malam Natalnya yang sibuk.
Dua hari lagi tanggal dua puluh lima Desember, hari Natal di tahun 2029. Dua hari yang sangat berarti dan sibuk karena pameran pakaiannya diadakan tepat saat Natal. Sebelumnya Lillian sudah−sangat− berusaha membujuk Managernya, Hanny Gwenn, untuk tidak mengadakan launching di malam Natal. Karena malam Natal sangat penting bagi keluarga-keluarga di dunia untuk berkumpul dan mengistirahatkan diri dari pekerjaan yang menyita waktu.
Tapi yang dikatakan Hanny adalah mottonya, “Waktu adalah uang...” Lalu, “Dan tema pakaianmu sangat cocok jika dipertunjukan saat Natal.” Saat itulah Lillian ingin memukul wajah wanita bermata empat itu. Lillian menghela nafas lelah, dia mengusap matanya yang gatal beberapa kali dan memijat kepalanya.
“Lilly, apa kamu baik-baik saja?” Tanya Hanny yang masuk membawa secangkir kopi susu panas. Demi apapun, Lillian sudah minum empat cangkir kopi susu dan itu tidak baik-baik saja. Terlalu banyak kafein tidak baik untuk tubuh. Lillian memutar kursinya menghadap Hanny. “Apa aku terlihat baik-baik saja? Kalau saja kamu tidak mengubungi Tuan Helson dan mengatakan akan mengadakan launching tepat saat Natal, mungkin aku bisa baik-baik saja.” Cercah Lillian.
Hanny menghela nafas karena lagi-lagi Lillian menyalahkannya. “Aku pikir idemu akan terus mengalir seperti sebelum-sebelumnya. Lagipula kamu hanya perlu merancang lima baju lagi, kan?” Kata Hanny sembari meletakkan kopi susu kesukaan Lillian di atas meja kerjanya.
“Iya dan kenyataannya sekarang aku buntu, Hanny! Padahal beberapa jam lagi sudah tinggal satu hari sebelum pameran untuk membuat bajunya.” Ucap Lillian putus asa. “Kalau begitu kerjakan saja semampumu, Lilly. Nanti aku akan beritahu Tuan Helson, rancangan bajunya tidak mencapai target karena kamu demam sehari sebelum Natal. Apa kamu mau keluar mencari udara segar dan mungkin kamu akan mendapat ide nanti?” Usul Hanny dengan senyuman lembut.
“Satu jam saja, ya?” Tanya Lillian dan dibalas dengan anggukkan Hanny. Setidaknya Lillian setuju dengan usulnya, kalau tidak bisa-bisa sampai Natal selesai Lillian akan terus menyalahkan Hanny.
***
Hiruk pikuk Natal di kota besar seringkali sangat berlebihan. New York menjadi salah satu kota teristimewa saat Natal bukanlah tanpa alasan. Lampu warna-warni sepanjang jalan, suara terompet dan nyanyian Natal akan menjadi makanan selama sebulan. Selain itu tentu saja ada banyak hal lain yang membuat turis manca negarapun berlibur di sini saat Natal. Sungguh, Natal di New York menjadi saksi bisu bahwa sekarang dunia sudah lebih berwarna. Perang, kesengsaraan dan kelaparan masa lalu seakan cuman dongeng anak-anak. Jaman sudah berubah, hanya itu kesimpulannya. Tapi tetap saja, bagi beberapa orang Natal tidak berarti apa-apa melainkan salah satu hari dalam sebulan yang penuh tuntutan, sama seperti hari biasa. Bagi mereka yang tidak punya rumah untuk berteduh, Natal memberikan tuntutan 'pakaian hangat' karena udara semakin dingin dan salju bisa saja membuatnya membeku. Bagi mereka yang tidak punya keluarga, Natal memberikan tuntutan 'rasa kesepian' dan menghancurkan hati yang sudah pernah terluka. Sedangkan bagi beberapa orang lainnya, seperti Lillian Gree, Natal menjadi sumber uang karena saat ini sangat mudah bagi seseorang untuk mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu seperti rancangan musim dingin desainer ternama ataupun hal lainnya yang menunjang kesenangan pribadi.
Lillian merasakan sapuan udara dingin menyentuh pipinya yang pucat. Ia sedikit menggigil dan nafasnya terlihat berasap. Padahal ia sudah memakai pakaian sangat tebal, tapi tetap saja ia kedinginan. Sebenarnya akan sangat indah apabila ia bisa menghabiskan malam natal ini dirumahnya dengan makanan dan minuman lezat yang hangat. Terlalu dingin diluar dan Lillian mulai menyesali keputusannya untuk jalan-jalan. Hal yang paling tidak ia sukai saat Natal adalah dingin yang menusuk tulang dan hidungnya yang mulai berair.
"Lilly, bagaimana kalau kita ke Starbucks? Mungkin segelas kopi dan kue bisa membuatmu lebih tenang." Ucap Hanny sambil tersenyum. Sahabat dari masa SMA sekaligus Managernya itu terlihat sangat bersemangat. "Kamu lupa? Aku sudah minum empat gelas kopi dan kamu masih mau membuatku minum segelas lagi?" Jawab Lillian tidak habis pikir.
"Kalau begitu mungkin minuman lain selain kopi? Oh,mungkin Matcha Latte? Kamu sangat suka Matcha Latte, kan?" Hanny tersenyum dengan menunjukkan sederet gigi putihnya. Lillian menatapnya jengah, ia tahu matcha itu teh dan teh juga mengandung kafein. Jadi kesimpulannya, jika ia minum Matcha sama saja ia minum kopi lagi.
"Ayolah Lilly kita ke Starbucks ya? Pleasseee..." Rayu Hanny dengan suaranya yang dibuat seperti anak kecil. Lilly mengangguk pasrah, membiarkan sahabatnya itu menyeretnya ke kedai kopi paling ternama di seluruh dunia.
Lillian dan Hanny menyusuri trotoar yang ramai, gelak tawa dan perbincangan hangat dapat terdengar selama mereka berjalan. Semua orang sepertinya sangat bahagia meskipun cuaca sangat dingin. Starbucks, kedai kopi itu sebenarnya cukup jauh dari gedung milik Lillian. Ya, Lillian mempunyai gedung sendiri untuk karir desainernya. Meskipun bukan gedung bertingkat banyak karena memang bukan Mall tetapi lebih semacam toko yang cukup besar. Gedung Lillian terdapat lantai 12 lantai yaitu 5 lantai untuk penjualan barang-barang brandnya, 1 lantai untuk pameran musiman karyanya dan sisanya untuk managemen serta tempat penjahitan. Lantai teratas adalah kantor Lillian, disana hanya ada 4 ruangan, 1 ruangan besar untuk Lillian, 1 ruangan sedang untuk sekretarisnya, 1 ruangan kecil untuk dapur minimalis dan sebuah kamar mandi yang cukup mewah. Gedung 12 lantai ini tidak terlalu mewah sebenarnya, mungkin hanya 5 lantai terbawah yang di desain seindah mungkin agar menarik perhatian pelanggan. Lantai 7 hingga 9 adalah kantor managemen, lalu lantai 10 dan 11 adalah tempat penjahitan karya Lillian.
Lillian dan Hanny sampai di Starbucks, aroma kopi yang menggoda langsung menyapa mereka begitu membuka pintu. "Aku yang akan memesan, kamu cari tempat duduk saja." Ujar Hanny pada Lillian. Lillian duduk dekat jendela yang cukup besar. Sembari menunggu kedatangan Hanny, Lillian menikmati pemandangan luar yang cukup indah. Lampu-lampu, salju berserakan, wajah ceria orang-orang dan pohon natal. Tak lama kemudian alisnya berkerut. Ia melihat seorang pria yang kedinginan dengan memeluk sesuatu duduk di salah satu gang seberang jalan. Lillian memalingkan wajahnya dan melihat Hanny masih mengantri. Kemudian ia bergegas keluar dari kedai kopi itu dan segera menyeberang jalan. Lillian berlari kearah pria kedinginan itu dan berjongkok di sebelahnya.
"Ini pakailah. Kenapa kamu berkeliaran dengan pakaian tipis dimusim seperti ini?" Tanya Lillian sembari memberikan jaketnya yang tebal dan syal rajutnya. Pria itu menatap Lillian sendu. Matanya yang biru sangat jernih seakan melihat kedalam hati Lillian. Gadis itu menyadari bahwa pria ini masih muda mungkin sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh tahunan dengan jambang tipis yang menghiasi rahangnya yang kokoh. Mungkin akan banyak wanita yang mengatakan pria ini cukup tampan jika penampilannya tidak semengenaskan ini. Dia terlihat seperti tunawisma. "Apa kamu tidak mengingatku? Ini aku." Jawab pria itu dengan suara lemah.
Lillian tentu saja kaget. Ia jelas-jelas tidak mengenal pria ini, apa pria ini gila? Apa mungkin karena kehilangan keluarganya ia menjadi seperti ini? Pikir Lillian. "Maaf, aku sungguh tidak mengenalmu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Lillian.
Mata biru milik pria itu berkaca-kaca lalu ia memejamkan matanya sejenak. Saat pria itu menatap Lillian kembali, dia tersenyum, "Tidak, mungkin aku salah orang. Terima kasih atas jaket dan syalnya. Lalu ini, ada sedikit ungkapan terima kasihku karena mau berbincang denganku." Pria itu menyodorkan sebuah buku yang ia peluk dari tadi. Buku itu diikat dengan sebuah rantai kecil berwarna silver dengan bandulan bulat berukiran seekor burung. Lillian menyentuh ukiran itu dan bertanya, "Ini burung apa?"
Saat tidak ada suara yang menjawab, Lillian mengadahkan kepalanya dan terkejut. Pria itu sudah tidak ada. Dia menghilang dan Lillian baru menyadarinya. Kemana pria itu? Pikir Lillian bingung. "Lilly! Disini toh kamu rupanya. Kenapa tidak menunggu didalam? Ini minuman dan lava cake-mu." Panggil Hanny yang sudah berada disebelah Lillian.
"Kamu tidak lihat pria yang ada disini kemana?" Tanya Lillian langsung berdiri. Hanny menggelengkan kepalanya dan menatap Lillian bingung. "Memangnya tadi ada pria disitu? Seperti apa dia?"
"Iya tadi ada disini, lalu dia menghilang. Aku bahkan tidak menyadari dia pergi." Jawab Lillian kebingungan.
"Dari tadi tidak ada pria disitu, kamu berjongkok sendiri sambil memegang buku itu. Apa dia tampan? Pria itu." Tanya Hanny dengan semburat merah muda dipipinya. "Iya mungkin dia tampan mungkin juga tidak."
Hanny menatap Lillian aneh. "Itu buku apa? Liontin itu mirip seperti jam saku."
"Aku tidak tahu, pria tadi yang memberiku ini." Jawab Lillian. "Ya sudah, kalau kamu terlibat masalah beritahu aku ya. Bagaimanapun aku sekretaris sekaligus sahabatmu."
Lillian tersenyum. "Ayo kita pulang, aku sangat lelah. Untuk desainnya akan kupikirkan lagi besok. Lagipula pamerannya masih besok lusa." Ucap Lillian dan menggandeng Hanny kembali ke gedungnya. Mereka naik ke lantai 12 dengan lift. "Kamu pulanglah Hanny, aku akan tidur sebentar dikantor malam ini dan kemudian melanjutkan desainku." Ucap Lillian.
"Apa kamu mau kutemani?" Tanya Hanny cemas. "Tidak perlu. Kamu pasti sangat lelah, pulang dan istirahat. Tapi besok datanglah pagi."
"Kalau begitu akan kubuatkan dulu kopi di mesin lalu aku pulang." Lillian mengangguk dan menaruh buku tadi dilaci mejanya. Matcha Latte dan Lava cake kesukaannya diletakkan begitu saja diatas meja. Kemudian ia masuk kekamar mandi untuk membersihkan diri bersiap untuk tidur. Saat ia selesai mandi, Hanny sudah tidak ada.
Ruangannya yang sangat besar ini sebenarnya terdiri dari 2 ruangan yaitu ruangan kantor dan kamar tidur dengan pemisah dinding rahasia. Kamar tidur itu cukup mewah dengan queen size bed, tv layar lebar, lemari pakaian besar, rak buku serta meja rias dan sebuah meja kecil berlaci disebelah tempat tidurnya. Pintu masuk keruangan ini sangat rahasia yaitu buku ke 9 di bagian rak yang tingginya pas tinggi Lillian saat memakai heels 12 centi. Jika buku itu dimiringkan keluar rak pintu rahasia ini akan terbuka dengan sendirinya.
Lillian membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur dan langsung terlelap karena ia sangat lelah hari ini.
****
Malam itu ia bermimpi. Mimpi yang sangat manis dan indah. Tentang seorang pria dan wanita dimana mata pria itu seperti bintang saat menatapnya. Pria itu, walau wajahnya tidak jelas tapi wanita itu tahu bahwa sang pria tersenyum padanya. Kemudian sang pria membisikkan sesuatu dengan mesra kepada si wanita, "Aku mencintaimu, Lillian.”
To be continue...
ns 18.68.41.179da2