Seorang Omega laki-laki cantik tengah bernaung di bawah pohon rindang, memandang bulan purnama yang disingkap oleh gabak-gabak hitam. Menampilkan wujud terangnya di tepian hutan Lotus Pier dan mengusir sisi kelam setelah terbenamnya matahari.359Please respect copyright.PENANAzHYpJpwhE3
Dia duduk bersandar memainkan nada-nada indah hasil dari bentuk pelatihannya selama setahun terakhir. Setelah berumur lima belas tahun seorang paman yang merawatnya setelah kepergian kedua orang tuanya, mengajarkannya tentang-tentang cultivasi tanpa keluhan. Dialah seorang paman yang bermandikan kebaikan.
Larut malam dia terbenam dalam alunan nada-nada indahnya. Tidak memandang jam malam yang sebagian dari sekte masih berlaku atur-aturan keluar malam. Namun pemuda lues seperti dirinya tidak pernah mengusik fikirannya dengan hal seperti itu. Pada saat itu datanglah bisikan lembut masuk ke pedengarannya.
A-Xian, pulanglah nak. Sudah sejak pagi ini tidak kelihatmu di Lotus Pier.
Wei Wuxian, nama kehormatan lelaki tersebut menyambut himbuan ini dengan memberhentikan nada-nadanya. Berdiri sambil meriksan tubuh. Dia menyimpan sebuah seruling yang berumbai merah di pinggang. Berbelok, dia kembali ke Lotus Pier.
Hanya seberapa langkah memasuki gerbang Lotus Pier, dilihatnya seorang pimpinan sekte Jiang atau orang yang dianggapnya sebagai paman sedang menyambut tamu-tamu berbaju putih seputih salju.
“A-Xian?”
Pimpinan sekte tersebut menangkap keberadaan Wei Wuxian yang memandang lama pada tamu-tamunya langsung membuyarkan pandangannya, “Masuklah. Angin malam tidak baik buat tubuh.”
“Ya, Paman.” Wei Wuxian melangkah ke depan tanpa bantahan. Melewati tamu-tamu berbaju putih tersebut dengan santai. Saat akan meninggalkan perkarangan setempat sempat melirik satu-satu persatu tamunya. Ada orang yang sedang tersenyum hangat menyambut hangat ucapan pamannya. Di sebelahnya seorang cultivator muda memegang pedang berselongsongan putih sepertinya terbuat dari giok berkelas. Parasnya yang seperti cerminan dari orang yang berbicara tersebut. Namun mimik wajahnya yang minim kelihataannya jauh berbeda dari cerminannya.
Dan mimik minim wajah cultivator muda tersebut mencuri waktunya sejenak. Dia tidak memikiran dua cultivator yang hampir sama persis tapi berbeda kehangatan.
Berbeda kehangatan – secara umum dimaksudkan perumpamaan mini atau maximnya ekspresi.
Seperti patung giok, komentarnya.
Melanjutkan langkahnya. Kakinya tiba-tiba tersandung akan anak tangga ketika memasuki memasuki kediaman utama Lotus Pier. Kata hujatan dalam hati mendominasi kejutan yang terjadi di ujung kakinya.
Akhirnya dia menoleh, melihat pamannya, “Paman selamat malam, A-Xian beristirahat dulu.”
Jiang FengMian nama pamannya menggangguk, kemudian mengangkat tangan dan menghentikan jalan Wei WuXian lagi, “A-Xian, paman ingin minta tolong.”
Ucapan ini menjadikan Wei WuXian menyulutkan langkahnya dari menaiki tangga. Dia dengan hormat berbalik dan berkata, “A-Xian akan melakukannya, paman.”
“Kalau begitu tolong antarkan tuan muda kedua Lan ke kamar tamu, A-Xian.” Jiang FengMian memberi kode siapa yang dimaksud dengan tuan muda. Jari-jarinya bergerak menunjukan pada Wei WuXian untuk mendekat dan langsung mengeringinya.
“Baiklah paman.” Wei Wuxian mengangguk, “Tuan muda kedua Lan, mari ikut saya.”
“Mnn.”
Wei Wuxian membiarkan dirinya mendahului langkah tuan muda kedua Lan. Menunjukan nama-nama tempat yang mereka lewati sepanjang jalan. Termasuk hal yang konyol menurutnya tidak ditinggalkan begitu saja. Yang jelas apa-apa yang menarik dari matanya akan keluar dari bibirnya dan menjadi kata-kata yang manis.
Tuan muda kedua Lan tersebut hanya mengangguk kecil. Kadang-kadang berguman ringan. Kadang lagi diam membisu seperti patung giok yang Wei WuXian katakan tadi. Orang yang berjalan lebih dahulu darinya tidak bisa mendiamkan mulutnya barang sejenak, mengoceh yang menurutnya tidak penting. Tapi begitulah dia menanggapi seadanya karena dirinya adalah tamu di kediaman sekte besar ini.
Wei Wuxian berhenti di depan sebuah pintu. Yang menurut pandangan mata itu adalah sebuah kamar khas bunga teratai sembilan kelopak. Ada ciri-cirinya dari ukhiran daun pintu dan bercak-bercak warna keunguan di sana.
Membuka kedua belah pintu, Wei Wuxian bersandar konsen pintunya. Menoleh pada tuan muda kedua Lan dan tangannya mengisyaratkan ke dalam. “Tuan muda Lan silahkan tempati ruang ini. Beritirahatlah dengan nyaman.”
Lawan bicaranya mengangguk kecil lagi. Wei Wuxian tertawa tertahan melihat kenyataan ini. Melepaskan sandarannya, sebelum pergi dia berujar lagi, “Jika tuan muda membutuhkan sesuatu, cukup teriak memanggil pelayan. Ok?”
Teriak – Wei WuXian kebiasan menggunakan kata-kata yang berlebih sekedar mengungkapkan hal sepele.
Namun tuan muda Lan tersebut mengangguk kecil lagi. Seolah dia sudah pasrah atau malas menanggapi abal-abalan kata-kata tidak bermana Wei Wuxian.
Wei Wuxian meninggalkan tamu pamannya setelah selesai dengan tugasnya. Hanya sebagain kewajiban yang pamannya minta. Jika permintaan itu terlontar dari mulut orang lain akan menjadi penolakan tanpa perlu dipertimbangkan.
Melewati arah lain, dia berhenti di ruang terbuka. Duduk di jendela memandang danau Lotus Pier. Meski cahaya minim di dekat danau malam hari tapi tidak meredupkan penglihatannya. Jauh dari dasar penglihatannya seribu penyesalan bersarang menjadi satu, berbetuk raungan hati yang terus menjerit.
Bibir memang mampu tersenyum bebas, gelak tawanya sanggup menggeparkan kesunyian, tapi hatinya tidak mampu memberikan pasti. Bahwa kehidupannya hanyalah sebuah keharusan atas keinginan seseorang.
Dia bernafas pasrah, akhir-akhir ini Lotus Pier sering kedatangan kedatangan tamu, baik itu dari sekte desa, kecil bahkan rakyat biasa ada yang menumpang gratis. Dia sudah mengerti, pamannya sangat baik pada orang lain. Walau hanya hidup bersama anak-anak mereka yang sudah besar seperti dirinya.
Nyonya Jiang, Wei Wuxian tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi hingga Nyonya Jiang pergi dahulu menemui dewa.
Wei Wuxian termagut untuk waktu yang lama. Angin malam datang menggoyang-goyangkan rambut indahnya. Matanya terpejam.
Pada saat itu nada-nada lembut masuk ke telinganya. Wei Wuxian mendengarkannya dengan seksama. Awalnya terdengar samar-samar. Namun kelamaan nada-nada tersebut menyentuh pendengarkannya lebih lues.
Tiba-tiba hatinya tergerak. Siapa yang bermainkan nada selembut itu malam ini. Dia yakin, selain dirinya tidak lagi yang suka bermain music.
Semakin membuatnya penasaran. Wei Wuxian turun dari jendela, menyelusuri di mana arah tersebut datang. Ah! Dia tersentak kaget ketika menemukan jalan buntu arah tower barat. Yang dia yakin selama ini selalu ditutup demi kepentingan sekte. Sekarang pintu tersebut terbuka lebar.
Ini kesempatan langka. Dia mengintip sedikit. Tapi tidak melihat apa-apa di dalam sana selain taman-taman bunga berhias seribu bunga. Dia tidak mampu hanya sekedar mengintip lagi. Langkah kakinya melewati pintu. Sontak pintu tertutup kembali setelah berada di dalam.
Namun alahkah terkejutnya. Seribu bunga berhias tersebut berubah menjadi keping-kepingan ice yang memecah dan berhamburan di udara. Sedikit dengan hembusan sepoi-sepoi malam, kepingan ice memecah semakin kecil dan terlihat lebih halus lagi ketika jatuh ke bawah. Sampai di atas tanah salju dingin memenuhi perkarangan.
Wei Wuxian terkesima. Ini bukanlah nada-nada. Tapi hasil gesekan-gesekan pedang menyentuh dedaunan atau ranting pohon. Menghasilkan nada-nada fantastic.
Wei Wuxian mengusap matanya yang sedikit mengabur. Lentera malam terlalu minim di sini hingga seluet siapa yang memegang pedang tersebut tidak terlalu jelas. Dia berjalan lagi. Berhati-hati tiap derap langkah, agar tidak menimbulkan derak-derak ice pada injakan sepatunya.
Sampai jarak mereka tidak terlalu berjahuan. Bibir Wei Wuxian dengan sendirinya mengulas senyuman kecil. Komentar dalam hati pun tidak mampu dia bendung.
Seorang beta dengan pedang Icenya, Komentarnya.
Malam ini aku tidak ingin menganggunya. Besok, jika di izinkan kembali bertemu, akan bertanya, apa kekuatannya hingga mampu menghasilkan salju dingin di ruangan tertutup begini.
Dia berbalik. Berjalan dari mana dia datang. Menghela nafas lelah, malam sudah sangat larut, seharusnya tidak baik untuk keluar malam lagi. Berapa lama melangkah, dia tiba-tiba kebingungan.
“Yang mana pintunya?”
“Kenapa ada pintu lain di sini? Sejak kapan? Aku tidak tahu.”
Bertubi-tubi pertanyaan muncul dengan sendirinya, Wei Wuxian dilanda kebingungan total, pasalnya ada beberapa pintu dengan corak sama. Sisanya masih menjadi dinding mulus seperti tembok rumah.
Dia menatap nanar, “Sepertinya aku sedang mimpi.”
Pas dia mengatakan mimpi, tiba-tiba sesuatu jatuh ke pundaknya. Matanya tiba-tiba terbuka.
Ternyata memang mimpi!!
Wei Wuxian mengusap kening, siapa barusan? Indah benar pemainan pedangnya? Ah! Kepalanya menoleh ketika merasakan sesuatu yang jatuh ke pundaknya terangkat kembali.
Benar! Di sana tangan seputih giok seseorang baru saja ditarik kembali dan dagunya terangkat, “Tuan muda Lan?!”
“Terimakasih telah mengingat saya, Gongzi.” Dia Lan Xichen, seorang tuan muda dari Gusu Lan terhormat. Sedang tersenyum secerah bulan purnama. Menatapnya yang kelinglungan. “Anda bermimpi, Gongzi?”
Wei Wuxian membenarkannya.359Please respect copyright.PENANAec6V5AFVNK
--359Please respect copyright.PENANAvHTl6FLb5w
TBC.359Please respect copyright.PENANAHvi7wuek25