Pak Ridwan dan Abdur telah sampai di kantor polisi. Mereka berdua keluar dari mobil dan masuk ke dalam. Saat hendak masuk ke dalam, mereka berpapasan dengan seorang polisi di sana. Pak Ridwan berhenti dan bertanya kepadanya. “Permisi pak, di mana tahanan kita ya?”
“Ohhh, yang perempuan itu ya?” tanyanya memastikan.
“Iya benar. Di mana dia sekarang?” ulang Pak Ridwan.
“Dia ada di sel. Awalnya Pak Habib ingin memulainya duluan. Tapi katanya dia menunggu bapak dulu sja.” jelasnya.
“Ohhh, begitu ya. Terima kasih ya pak.”
“Sama-sama Pak.” Pak Ridwan bersama dengan Abdur segera masuk ke dalam mencari seorang polisi yang pangkatnya sama dengan Pak Ridwan, yaitu pak Habib. Pak Ridwan dan Abdur hendak masuk ke ruangannya. “Permisi pak.” kata Pak Ridwan sambil membuka pintu.
“Silahkan masuk.” jawab orang di dalam, yang bukan lain adalah Pak Habib.
“Pak, ini saya. Ingin melakukan interviewnya kapan?” tanyanya.
“Oh, kau sudah datang ya? Baiklah, kita lakukan sekarang,” jawab Pak Habib sambil bangkit dari kursinya. Tapi, saat melihat ke arah Abdur. “Lalu siapa dia?” tanyanya sambil menunjuk Abdur.
“Ini adalah bawahan saya, namanya Abdul,” Pak Ridwan memperkenalkan Abdur, dan Abdur segera menundukkan kepalanya sedikit. “Dia akan membantu menjaga tahanan agar tidak kabur.” lanjutnya.
“Oh, begitu. Baiklah, kita mulai saja,” Pak Habib menoleh ke arah polisi di sebelahnya dan berbicara dengannya. “Tolong kamu bawakah si perempuan itu ke dalam ruangan interview. Kami akan segera memulai interviewnya.”
“Baik pak, segera.” Lalu ia keluar dan menutup pintunya.
“Baiklah, sepertinya saya harus bersiap-siap.” kata Pak Ridwan.
“Tapi menurut saya sepertinya tidak akan berlangsung lama.” kata Pak Habib.
“Kenapa dia berbicara seperti itu?” tanya Abdur di dalam hati.
152Please respect copyright.PENANAemMkyJRN7O
Setelah hampir setengah jam, akhirnya semua telah siap. Kayla telah dibawa ke dalam ruangan tersebut bersama dengan ketiga polisi itu. “Jadi namamu Kayla ya?” tanya Pak Habib, memulai interview. Kayla mengangguk. “Apa pekerjaanmu? Umurmu? Apa pekerjaan keluargamu?” tanya Pak Ridwan.
“Umur saya 19 tahun. Saya tidak bekerja. Saya masih seorang pelajar di salah satu universitas, dan orang tua saya bekerja sebagai pemilik toko kue.” jawab Kayla. “Kalau mendengar dari jawabanmu tadi, sepertinya kehidupanmu tidak buruk. Ekonomi keluargamu bagus dan kau tidak ada masalah dengan keluarga bukan?” tanya Pak Habib.
“Benar. Hubungan saya dan keluarga saya baik-baik saja.” jawab Kayla.
“Lalu apa motivasimu membunuh korban dan membuat keluarganya pingsan?” tanya Pak Ridwan.
“Saya sudah bilang bukan, saya tidak melakukannya. Saya juga sama-sama tidak tahu.” jawab Kayla.
“Masih saja berbohong?” tanya Pak Habib.
“Saya tidak berbohong. Agama saya bagus, jadi saya tidak akan pernah berpikiran untuk membunuh seseorang. Jangankan membunuh mereka, menyakitinya saja sudah membuat saya sangat menyesal.” jawab Kayla.
“Kalau begitu, bisakah kau coba ceritakan apa yang terjadi tadi malam?” tanya Pak Ridwan.
“Kemarin malam, saya bangun sekitar pukul 12. Saat itu saya kebelet pipis. Saya segera keluar kamar yang di sana juga teman saya tidur. Kamar mandi ada di lantai satu dan saya tidur di lantai-”
“Tunggu sebentar,” Pak Ridwan memotong pembicaraan Kayla. “Memang tidak ada kamar mandi lantai dua?” lanjutnya.
“Ada. Tapi ternyata ada orang.” jawab Kayla.
“Ada orang?” tanya Pak Ridwan.
“Ya. Saat itu saya mendengar suara shower menyala. Karena itulah saya tidak berani mengetok. Saya tidak ingin mengganggu siapa pun yang di dalam. Akhirnya saya pun turun-”
“Tunggu sebentar,” Lagi-lagi, Pak Ridwan memotong pembicaraan Kayla. “Pada jam berapa kau bangun?” tanya Pak Ridwan.
“Sekitar jam 12.00 malam.” jawab Kayla.
“Ohhh, begitu. Baik, silahkan lanjutkan.” kata Pak Ridwan.
“Saya turun dan segera pergi kamar mandi. Selesai, saya keluar dan segera pergi ke kamar tidur.” jawab Kayla.
“Itu saja?” tanya Pak Habib.
“Ya. Saya ingat, saya tidak melakukan apapun selain itu malam kemarin. Saya langsung pergi ke kamar dan itu saja.” jawab Kayla.
“Bukannya kemarin kau bilang, kau berada di ruangan gudang dan bukan di kamar tidur?” tanya Pak Ridwan.
“Itu dia masalahnya. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa berada di ruangan itu. Padahal saya sangat mengingatnya, setelah selesai dari kamar mandi, saya langsung ke kamar tidur dan tidur.” jelas Kayla.
“Apakah saat kamu keluar pada jam 12 malam, temanmu itu masih ada di kamar?” tanya Pak Habib.
“Iya, masih ada.” jawab Kayla.
“Kau tahukan situasinya? Temanmu terbunuh di kamar mandi dengan luka cakaran dan tidak ada di kamar tidur seperti yang kau katakan.” tanya Pak Ridwan.
“Ya, saya tahu. Tapi saya yakin, pada jam 12 sampai saya masuk kamar lagi, teman saya, Raisa, masih ada di kamar itu dan sedang tidur nyenyak.” kata Kayla dengan tegas.
“Lalu kenapa kamu menginap di rumah temanmu? Ada apa di rumahmu?” tanya Pak Habib.
“Kalau itu...” Kayla ragu untuk mengatakannya kepada mereka.
“Apa yang terjadi pada malam sebelum kau menginap di rumah temanmu itu?” tanya Pak Ridwan. Kayla menggigit bibirnya, tidak tahu harus menjawab atau tidak.
“Ada apa? Tidak bisa menjawab? Apa kau sudah mengaku kalau kau adalah pembunuhnya?” tanya Pak Habib.
“Tidak. Saya hanya ragu kalau kalian akan mempercayai dengan saya.” jawab Kayla.
“Jadi kau mengaku bersalah?” tanya Pak Habib.
“Tidak. Saya tidak mengaku bersalah, karena saya memang tidak melakukan apapun.”
“Kalau begitu, coba ceritakan alasannya kenapa kau bisa sampai menginap di rumah korban.” kata Pak Habib.
Kayla menghela nafas, lalu mulai bercerita. “Baiklah. Dua hari sebelum saya menginap di rumah teman saya, ibu saya pingsan. Ayah saya dan saya membawanya ke rumah sakit dan dia dibawa ke UGD. Pada malah itu, ibu saya pun harus rawat inap di situ. Ayah saya memutuskan untuk menjaganya selama di rumah sakit, sementara saya harus balik ke rumah karena besoknya saya masih harus kuliah. Saya pun menuruti kata ayah saya dan langsung pulang. Keadaan masih baik-baik saja saat saya baru datang ke rumah. Tapi setelah lewat tengah malam, pada saat itu saya sedang mengerjakan tugas, ada yang terus-menerus mengganggu saya.”
“Siapa itu?” tanya Pak Habib.
“Hantu.” jawab Kayla.
“Hantu?” tanya Pak Ridwan dan Pak Habib bersamaan.
“Dia terus-terusan mengetuk pintu rumah saya, mematikan nyalakan lampu kamar saya. Saya sangat ketakutan malam itu. Bahkan hampir tidak bisa tidur. Karena itulah saya menginap di rumah teman saya, karena saya sudah berani tidur sendiri di rumah saya.” jelas Kayla.
“Kamu menyalahkan makhluk seperti itu untuk kejahatanmu sendiri?” tanya Pak Habib.
“Itu benar pak. Saya tidak berbohong.” kata Kayla.
“Lalu ada saksi atau bukti yang bisa menyatakan bahwa perkataan itu benar?” tanya Pak Ridwan.
“Ti-tidak ada pak.” jawab Kayla dengan lemas.
“Sudahlah pak, tidak ada lagi yang harus kita tanyakan kepada dia. Masukan dia ke penjara langsung saja.” perintah Pak Habib. Kayla ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak punya tenaga lagi untuk melakukannya. Dia pun pasrah. Pak Ridwan memperhatikan Kayla, lalu bertanya kepadanya. “Kamu sudah ingin pasrah begitu saja?” Kayla yang menundukkan kepalanya, mengangkat sedikit dan memperhatikan Pak Ridwan. “Kalian tidak mempercayai perkataan saya kan? Bahkan jika itu kebenarannya, saya tidak punya bukti untuk menyatakan bahwa saya tidak bersalah.”
“Saya tidak mencoba membela siapapun di sini. Tapi karena ini pekerjaan saya, saya ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu,” Lalu Pak Ridwan mengambil handphonenya dan memperlihatkannya video itu kepada Kayla. Pak Habib yang perasaan, ikut menonton. Mereka berdua terkejut akan apa yang mereka saksikan.
“Video apa ini? Dan dapat dari mana kau?” tanya Pak Habib kepada Pak Ridwan. “Saya mendapatkannya dari seorang saksi. Dia mendapatkan video ini tadi malam. Katanya, sang saksi bangun tengah malam dan saat tengah menutup jendela ruang tamunya yang berada di lantai dua, dia melihatnya dari kaca jendela rumah korban. Kaca tersebut berasal dari salah satu kamar yang di dalamnya ada dua orang pasangan suami istri yang pada saat kami temukan mereka di penyelidikan pagi ini, mereka pingsan. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya terjadi dari video ini tampak seperti seseorang menikam korban. Tapi sesuai pencarian rekan-rekan dan bawahan saya, tidak ada sama sekali bukti bahwa pembunuhannya dengan cara penikaman. Itu mengapa saya ingin bertanya kepada kamu, apa yang sebenarnya terjadi tadi malam? Bagaimana video ini bisa ada padahal yang sebenarnya terjadi bukanlah ini.” tanya Pak Ridwan kepada Kayla.
“Saya juga tidak tahu bagaimana si saksi ini mendapatkan videonya, tapi saya tahu, ini salah. Saya pun tahu korban, yaitu teman saya Raisa, dicakar bukan dipegang. Atau, jika memang ada penikaman, siapa pelakunya dan kenapa tidak ada buktinya sama sekali seperti darah atau bahkan korbannya. Saya tidak bisa menjelaskan apapun, tapi saya tahu kalau video ini tidaklah benar.” jawab Kayla.
“Itu juga yang saya pikirkan. Tapi video ini bukanlah editan. Video ini asli,” Pak Ridwan menghela nafas. “Sepertinya tidak berguna ya bertanya seperti itu denganmu, kau tidak tahu apapun.” lanjutnya.
“Sesuai kata saya, saya tidur malam itu, jadi saya tidak tahu banyak. Tapi saya juga merasa banyak keganjilan di dalam kasus ini. Yang pertama, adalah siapa yang mengakibatkan kematian teman saya. Lalu kenapa saya bisa berada di kamar itu, padahal saya sangat mengingat kalau saya pergi ke kamar malam itu? Kenapa bagian tubuh keluarga Raisa terdapat cakaran hitam? Dan yang paling baru ini, dari mana video ini didapatkan?”
“Apa kau tau sesuatu?” tanya Pak Ridwan.
“Kalau saya lihat dari bekas luka teman saya, bukan manusia yang mengakibatkannya. Kemungkinan itu anjing.” jawab Kayla.
“Kenapa kau bilang begitu?” tanya Pak Ridwan.
“Bukannya itu sudah jelas. Penyebabnya bukan manusia dan tidak mungkin harimau atau singa masuk perumahan yang banyak orangnya. Jadi kemungkinan besar, anjinglah yang melakukanya. Kalau dilihat dari ukuran besar cakarannya seperti yang bisa melakukannya adalah anjing polisi.” jelas Kayla.
“Apa maksudmu? Kau mencoba menyalakan polisi?” tanya Pak Habib mulai naik pitam.
“Tentu saja tidak. Saya tidak akan menuduh orang tanpa bukti.” jawab Kayla.
“Dasar kurang ajar kau!” bentak Pak Habib sambil memukul meja.
“Tunggu pak,” kata pak Ridwan mencoba menenangkannya. “Dia memang benar. Kemungkinan paling besar yang bisa melakukan seperti itu adalah anjing polisi kita.” lanjutnya.
“Cih!” seru Pak Habib.
“Kamu,” kata Pak Ridwan kepada Kayla. “Sepertinya kamu tahu banyak tentang penyelidikannya?”
“Lumayan. Tapi tentu saja, tidak mungkin anjing itu melakukannya dengan kemauannya sendiri bukan? Pasti ada orang dibaliknya yang menyuruhnya.” kata Kayla.
“Pemikiranmu cemerlang juga.” puji Pak Ridwan.
“Tentu saja saya tidak tahu siapa orangnya. Tapi yang pasti itu bukan saya. Saya tidak punya kemampuan untuk melatih anjing. Jangankan melatih anjing, anjing saja tidak punya. Saya juga tidak ingin melukai teman saya setelah dia malakukan banyak hal baik kepada saya,” Kata-kata Kayla membuat Pak Ridwan tersenyum. “Tapi bukannya aneh. Pasti bapak juga menyadarinya bukan? Teori yang saya katakan tadi masih memiliki banyak pertanyaan. Yang pasti, kenapa tidak ada jejak sedikit pun tentang keberadaan pelaku dan anjingnya. Mungkin ada dua pilihan, entah si pembunuh itu sangat jago atau memang tidak pernah ada si penikam dan anjingnya.
“Apa maksudmu nak?” tanya Pak Habib.
“Saya telah mengalami hal yang menyeramkan beberapa yang lalu di rumah saya. Itu membuat saya berpikir, kalau mungkin saja kejadian ini terulang lagi.” jawab Kayla.
“Apa maksudnya? Kau berpikir hantu yang melakukan ini?” tanya Pak Ridwan.
“Apakah anda punya penjelasan lagi? Cakaran hewan, bayangan tidak jelas, bukti-bukti yang tidak jelas. Siapa yang bisa melakukan hal seperti ini? Manusia? Siapa? Dan bagaimana?”
“Sudah hentikan. Kau benar-benar tidak masuk akal.” kata Pak Habib sambil bangkit dari kursinya.
“Tenang lupa pak.” kata Pak Ridwan.
“Kenapa kamu membelanya?” tanya Pak Habib.
“Saya tidak membelanya. Ini kenyataan. Saya memang tidak percaya kalau ini adalah perbuatan hantu, tapi dia benar. Tidak ada bukti sama sekali tentang orang dan anjing masuk ke dalam rumah. Begini saja, kamu bantulah kami. Jika kau berhasil membantu kami menemukan pelaku aslinya, akan kami lepaskan kamu dari hukuman.”
“Apakah saya bisa mempercayai anda?” tanya Kayla, sambil mengangkat alisnya. “Saya polisi. Saya tidak berani berbohong.” kata Pak Ridwan.
“Baiklah, saya akan membantu. Tapi bukan untuk kalian, untuk kebebasan sendiri dan untuk mengungkap siapa yang telah membunuh teman saya.”
“Baiklah. Kalau begitu, kita sepakat ya?” Pak Ridwan mengulurkan tangannya. Kayla pun menjabat tanganya.
ns 15.158.61.7da2