Jam menunjukkan pukul 6 malam. Kayla sedang menunggu Pak Ridwan di mobil miliknya. Pak Ridwan sedang berada di kantor polisi dan melaporkan kejadian hari ini pada Pak Habib. Akhirnya, setelah 1 jam Kayla menunggu, Pak Ridwan keluar juga. “Lama sekali sih.” sengit Kayla kepada Pak Ridwan yang sedang masuk ke dalam mobil.
“Iya, maaf. Tapi ini kan memang pekerjaan saya. Malah saya sudah mencoba untuk pulang secepat mungkin.” kata Pak Ridwan.
“Lalu kenapa tidak saya dipulangkan saja ke rumah bapak dari pada menunggu bapak selesai bekerja?” tanya Kayla sambil menggerutu.
“Saya masih belum bisa mempercayai kamu kalau ditinggal di rumah. Saya takut kamu malah kabur atau terjadi sesuatu padamu di rumah.” jawab Pak Ridwan .
“Tapi bapak lama sekali.” keluh Kayla.
“Bukannya di dalam mobil ini nyaman. AC mobil masih saya nyalakan selama 1 jam tanpa henti. Kau bisa tidur berbahan di belakang, ada bantal pula. Terus, kamu bisa main handphone sesukamu dengan internet yang saya berikan.” kata Pak Ridwan sambil memakai seatbelts.
“Tapi menunggu selama satu jam itu lama pak. Siapa pun juga akan bosan.”
“Baik-baik, maafkan saya. Kalau gitu, mari kita pulang.” Saat Pak Ridwan hendak mengendarai mobilnya pergi, ada sebuah notifikasi dari handphonenya. Pak Ridwan pun mengecek terlebih dahulu handphonenya karena takut kalau itu adalah pesan yang penting. Ternyata pesan tersebut adalah sebuah email dari temannya. Dia terkejut karena isi email tersebut adalah berita tentang rekannya Abdur.
“Ada apa pak?” tanya Kayla agak khawatir karena ekspresi muka Pak Ridwan yang tampak terkejut ditambah sedih.
“A-Abdur ditemukan pingsan dan tubuhnya penuh dengan luka di rumahnya.” jawab Pak Ridwan.
“Apa? Petugas yang tadi membawa kucing saya?” tanya Kayla.
“Iya.” jawab Pak Ridwan.
“Lalu sekarang ada di mana dia?” tanya Kayla.
“Dia sudah dibawa ke rumah sakit oleh tetangganya.” jawab Pak Ridwan.
“Kalau begitu, kita harus ke sana juga dong.” kata Kayla.
“Tunggu sebentar, saya sedang berpikir.” kata Pak Ridwan.
“Berpikir soal apa? Bukannya dia rekan bapak. Tidakkah bapak khawatir?” tanya Kayla.
“Tentu saja saya khawatir, tapi saya sedang berpikir tentang kejadian ini adakah hubungannya dengan kasus temanmu itu?”
“Apa maksud bapak? Apa bapak berpikir kalau penyebabnya adalah pelaku yang sama?” tanya Kayla.
“Saya tidak tahu. Tiba-tiba saja keluar pemikiran itu dari kepala saya.” jawab Pak Ridwan.
“Kalau belum pasti, kita menyelidikinya dengan cara melihatnya langsung.”
“Kau benar. Kita tidak boleh panik ya?” Pak Ridwan membuang jauh-jauh pemikiran itu dan mengendarai mobilnya. Berkendara pergi ke rumah sakit di mana Abdur sedang dirawat.
162Please respect copyright.PENANA0B8tKZ1Mmu
Setelah setengah jam berkendara, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Kayla dan Pak Ridwan keluar mobil dan segera masuk ke dalam rumah sakit. Mereka berlari di sepanjang lorong. Kayla yang mengikutinya dari belakang bertanya Pak Ridwan. “Apakah bapak tahu di mana si polisi itu berada sekarang?”
“Ya, saya tahu. Rekan saya yang lain sudah memberitahu.” jawab Pak Ridwan. Lalu ia berbelok saat di berduaan, dan berhenti mendadak saat sampai di sebuah ruangan UGD. Di sana, sudah terdapat banyak orang. Ada beberapa rekan polisi Abdur dan tetangganya yang membawanya ke sana.
“Di mana Abdur? Apakah Abdur baik-baik saja?” tanya Pak Ridwan kepada Raffi. “Abduh ada di dalam dan sudah hampir 30 menit.” jawab Raffi.
“Lalu bagian apa yang terluka?” tanya Kayla ikut-ikutan.
“Eh, kamu juga ikut?” tanya Raffi.
“Itu bukan hal penting sekarang. Tolong jawablah pertanyaan saya pak.” kata Kayla. “Dia terluka di bagian perut dan kakinya ada beberapa cakaran.” jawab Raffi. “Cakaran lagi?” tanya Pak Ridwan.
“Iya.” jawab Raffi. Setelah mendengar jawaban tersebut, Pak Ridwan dan Kayla saling menatap. “Gara-gara lukanya yang terlalu dibiarkan lama, dia jadi kekurangan darah.” lanjut Raffi.
“Lalu di mana tetangga yang membawanya ke sini?” tanya Pak Ridwan.
“Saya di sini pak.” kata seseorang yang ada di balik Raffi. Seorang laki-laki dewasa yang umurnya sudah sekitar 40 tahun, bersama istrinya di sampingnya. “Jadi kamu yang membawa Abdur ke sini?” tanya Pak Ridwan .
“Ya. Saya juga sangat terkejut saat melihat dia seperti itu.” jawabnya.
Pak Ridwan mengeluarkan tangannya. “Perkenalkan, nama saya Ridwan. Saya adalah anggota kepolisian, sekaligus atasannya Abdur. Jika boleh, saya ingin bertanya-tanya kepada anda.”
Bapak tetangga tersebut menjabat tangan Pak Ridwan, lalu berkata, “Saya pak Dian. Saya tetangga sebelah Abdur. Kalau begitu, mari kita cari tempat yang sepi untuk perbincangan kita.” usul Pak Dian. Pak Ridwan pun mengangguk, lalu melangkah pergi bersama Pak Dian.
“Bolehkah saya ikut?” tanya Kayla.
“Apakah dia juga polisi? Mudah sekali ya.” tanya Pak Dian.
“Bukan. Dia bukan polisi. Dia… teman anak saya.” jawab Pak Ridwan.
“Oh, begitu.” kata Pak Dian.
“Ya sudah, kau boleh ikut.” jawab Pak Ridwan kepada Kayla. Kayla tersenyum senang.
Pak Ridwan, Pak Dian, dan Kayla pergi ke sebuah lorong kosong. Di sana, Pak Ridwan mulai bertanya-tanya. “Jadi pak, bagaimana keadaan Abdur saat bapak temukan?” tanya Pak Ridwan.
“Seperti yang dikatakan polisi tadi. Perutnya terluka cukup dalam. Ditambah, kakinya banyak cakaran.” jawab Pak Dian.
“Lalu bagaimana bapak bisa masuk ke rumah Abdur?” tanya Kayla.
“Saya dan Abdur tinggal di cluster, yang tentu saja tidak memiliki pagar untuk menutupi masing-masing rumah. Saat itu, saya baru saja pulang kerja dan karena rumah saya dan Abdur bersebelahan, saya bisa melihat kalau pintunya terbuka lebar tanpa ada tanda-tanda orang di dalam. Saya curiga kalau ada sebuah pencuri masuk. Akhirnya, saya ditemani dua sekuriti cluster, kami mengecek ke dalam. Ternyata di dalam, lantai sudah dipenuhi dengan darah, begitu juga temboknya. Temboknya banyak cipratan darah. Melihat itu kami makin curiga dan kami pun masuk lebih dalam untuk memastikannya. Tepat di depan pintu kamar, disitulah Abdur berbaring tidak sadarkan diri dengan darah yang mengelilingi dari tubuhnya. Saya panik dan segera menelepon ambulan. Berakhir Abdur di sini.” jelas Pak Dani.
“Jam berapa bapak menemukan Abdur terluka di rumahnya?” tanya Pak Ridwan. “Mungkin sekitar 05.30 sore.” jelas Pak Dani.
“Lalu, adakah tanda-tanda Abdur dibunuh oleh pembunuh?” tanya Pak Ridwan. “Kalau soal itu sih saya tidak begitu mengerti. Tapi kalau dilihat dari lukanya, itu bukanlah bekas luka yang disebabkan oleh pisau, tapi sepertinya dicakar.” jawab Pak Dani.
“Dicakar?” tanya Kayla.
“Ya. Abisnya tidak mungkin bekas seperti itu adalah bekas pisau.” jawab Pak Dani.
Kayla dan Pak Ridwan saling pandang. “Lalu saat di rumah Abdur, ada siapa di sana?” tanya Pak Ridwan.
“Siapa ya? Tidak ada. Dia sendiri. Tapi di dalam kamarnya memang ada sebuah kandang.” jawab Pak Dani.
“Apakah bapak tau isinya apa?” tanya Kayla.
“Saya tidak tahu apa isinya, karena pada saat itu saya tidak terlalu memikirkannya. Saya hanya berpikir mungkin itu punya temannya.”
“Baiklah, terima kasih banyak atas bantuan informasinya dan terima kasih telah mengirimkan Abdur ke rumah sakit.” kata Pak Ridwan.
“Tentu. Semoga ini membantu kalian menangkap pelakunya.” kata Pak Dani, membuat Kayla dan Pak Ridwan lagi-lagi saling pandang.
“Ya sudah, saya permisi dulu ya pak.” kata Pak Dani, lalu melangkah pergi. Kayla menyenderkan dirinya di tembok dengan lemas, lalu mengacak-ngacak rambutnya. “Sepertinya dugaan anda benar. Pelaku yang melukai Pak Abdur dengan pelaku yang membunuh Raisa. Kita harus segera menangkap pelaku ini sebelum ia memakan banyak korban.” katanya.
“Tapi kita tidak tahu spesifik tentang pelakunya. Lalu kalau memang benar ini adalah kelakuan hantu, bagaimana kita menangkapnya?” tanya Pak Ridwan.
“Yang saya tahu, hantu tidak mungkin melakukan ini dengan kemauannya sendiri. Pasti ada biangnya. tidak mungkin tiba-tiba muncul dan menyerang Raisa dan Pak Abdur yang tidak memiliki hubungan sama sekali. Ada sesuatu atau seseorang yang menjadi biang.” kata Kayla.
“Apa maksudmu?” tanya Pak Ridwan.
“Bisa saja hantu itu bersembunyi sebagai barang atau makhluk hidup dan menyerang Raisa dan Pak Abdur itu. Tapi pertanyaannya, kenapa hantu itu menyakitkan mereka. Kukira hantu itu tidak akan melukai manusia jika tidak diganggu.” tanya Kayla.
“Mungkin kita mengganggunya tanpa kita sadari.” jawab Pak Ridwan.
“Yang pasti, kita harus mengetahui dulu apa yang Raisa dan Pak Abdur itu sama-sama miliki.” kata Kayla.
“Maksudmu seperti barang yang sama?” tanya Pak Ridwan.
“Tidak. Tapi satu barang itu.” jawab Kayla.
“Hah?” tanya Pak Ridwan
“Mungkin awalnya Raisa yang memilikinnya, tapi Pak Andur itu mengambilnya lalu menyimpannya, dan akhirnya mengakibatkan berakhir seperti Raisa.” jawab Kayla.
“Jadi artinya barang itu awalnya milik korban, lalu Abdur ambil?” tanya Pak Ridwan.
“Ya. Tapi itu belum pasti, karena kita belum punya bukti apapun.”
“Berarti yang harus kita lakukan adalah menanyakan Abdur apa yang diambil saat penyelidikan?” tanya Pak Ridwan.
“Ya, betul. Tapi menunggu dulu sampai Pak Abdur itu sadar.” kata Kayla.
“Tentu saja. Kalau itu saya juga tahu.” kata Pak Ridwan.
Kayla menutup mukanya dengan kedua tangannya dan menghela nafas.
“Hei, tidak perlu khawatir. Dia pasti akan baik-baik saja.” kata Pak Ridwan, mencoba menceriakan Kayla.
“Bukan itu yang saya sedihkan atau khawatirkan.” kata Kayla sambil membuka kedua tangannya.
“Lalu apa yang membuatmu sampai sesedih ini?” tanya Pak Ridwan.
“Kucing saya hilang lagi.” jawab Kayla.
“Hah?” tanya Pak Ridwan.
“Iya. Yang dibawa oleh Pak Abdur itu adalah kucing saya. Dan kata pak Dani tadi, dia melihat kandang tempat kucing hitam itu berada, terbuka dan tidak ada isinya. Itu beratnya dia kabur lagi.” kata Kayla sambil menutup mukanya lagi.
“Ya ampun. Sepertinya ada hal lain yang bisa kau khawatiran selain kucing itu.”
kata Pak Ridwan.
“Iya juga sih. Tapi pertanyaannya, apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Kayla. “Saya ingin menunggu Abdur sampai di sadar.” jawab Pak Ridwan.
“Kalau begitu, bolehkah saya pulang dulu? Saya agak ngantuk.” pinta Kayla. “Bagaimana ya?” tanya Pak Ridwan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Kalau bapak takut saya kabur, kunci saja saya dari luar. Dengan begitu, saya tidak bisa ke mana-mana.” usul Kayla.
“Itu memang ada benarnya sih. Tapi selain itu, saya juga takut akan terjadi sesuatu hal kepadamu. Jika kamu dikunci di dalam, kamu tidak bisa ke mana-mana.”
“Bukannya itu fungsinya?” tanya Kayla.
“Lalu bagaimana jika ada orang yang membobot masuk ke rumah?” tanya Pak Ridwan.
“Saya kan bukan siapa-siapanya bapak. Jadi bapak tidak usah khawatir sampai segitunya.” kata Kayla dengan sampai.
“Tidak, tidak. Jangan begitu,” Pak Ridwan berpikir sejenak. “Ya sudah, kita pulang saja dulu. Besok kita akan ke sini lagi untuk mengunjungi Abdur.” usulnya.
“Kita? Saya juga harus ikut pak?” tanya Kayla.
“Tentu saja. Kamu diperbolehkan keluar dari sel tahanan untuk membantu saya. Bukannya malah bermalas-malasan.” ketus Pak Ridwan.
“Baik pak.” kata Kayla dengan nada lesuh.
“Baiklah. Kamu pergi ke mobil saya dulu. Saya akan pamit dulu ke rekan-rekan saya.” kata Pak Ridwan.
“Baik.” jawab Kayla, lalu dia berbelok saat di berduan lorong dan Pak Ridwan berbelok ke arah yang berlawanan.
“Sepertinya bukan karena beliau takut aku kabur, tapi dia lebih takut kalau aku kenapa-napa,” kata khayla di dalam hati, sambil berjalan melewati lorong. “Kalau beliau tidak mempercayaiku dan masih mencurigaiku, pasti dia tidak akan membiarkanku berjalan sendiri ke mobilnya.” lanjunya.
Kayla sampai di depan mobil Pak Ridwan. Di sana, dia menunggu sambil melihat sekeliling dan sesekali berpikir tentang kasus hari ini.
“Pak Abdur itu adalah polisi. Masa iya dia mencuri sesuatu dari rumah Raisa? Kalaupun dia melakukannya, apa yang dicurinya. Sejak aku bertemu denganya, aku tidak melihatnya membawa apapun. Apa sudah disembunyikan?” tanya Kayla di dalam hati. Beberapa menit kemudian, Pak Ridwan datang. “Bagaimana pak, sudah izin kepada rekan-rekan bapak?” tanya Kayla.
“Ya, sudah. Saya juga sudah meminta mereka untuk memberitahu saya kalau Abdur sudah sadar.” jawab Pak Ridwan.
“Kalau begitu, kita bisa pulang?” tanya Kayla.
Pak Ridwan menghela nafas. “Iya, kita bisa.” jawabnya yang sedang membuka pintu mobil. Mereka pun masuk dan berkendara pergi menuju rumah Pak Ridwan.
ns 15.158.61.39da2