Buaian lantunan piano segera menyapa telinga saat Daylan mendekati kamar kakaknya yang berada di belakang kastil. Tidak seperti kamarnya yang berada di bangunan utama kastil, kamar kakaknya lebih berupa satu bangunan yang terpisah dengan bangunan utama kastil dan menghadap lautan lepas. Hal ini karena kakaknya adalah seorang pelukis yang membutuhkan tempat untuk mendapatkan inspirasi dan memajang lukisan-lukisannya. Tidak hanya pandai melukis, kakaknya ini juga lihai memainkan piano yang merupakan alat musik yang baru saja ditemukan beberapa tahun silam. Menurut gambaran orang, kakaknya adalah si jenius eksentrik yang ada di keluarga Walter, tidak hanya pandai strategi dan taktik perang namun dia juga seorang seniman. Entah kenapa kakaknya tidak mau menjadi seorang adipati meneruskan ayahnya.
Tangan Daylan mendekap, memejamkan matanya saat dirinya bersandar pada ambang pintu itu. Mendengarkan permainan kakaknya bersama kakak iparnya, Mia, yang menggesek-gesekkan bow pada biolanya; melantunkan nada yang menyentuh hatinya. Tak disangka, dia kembali teringat masa kecilnya saat bermain dengan kakaknya di taman belakang. Waktu itu, empat belas tahun yang lalu, saat dirinya baru enam tahun, dunia adalah taman bermain yang penuh dengan kesenangan dan keindahan. Tidak ada perang, tidak ada firasat buruk, tidak ada darkwisp. Semua bisa mereka lakukan, bahkan untuk mengeplak-ngeplakkan kaki di atas genangan air hujan tanpa perlu memperdulikan apapun, kecuali untuk sebuah tawaan kegembiraan, andai dunia bisa seperti itu selamanya.
Mungkin bagi kakaknya dan istrinya lagu yang mereka mainkan itu adalah lagu kenangan mereka saat masa-masa pertama kali berjumpa, pertama kali bercengkrama. Cinta memang bisa membuat semua lagu terasa masuk akal.
Tiba-tiba gesekan bow biola Mia berhenti memecah suasana saat itu. “Aku harap kemenangan benar-benar terjadi, perasaanku... sungguh tak enak dan ini mempengaruhi permainanku, maafkan aku.”
“Jangan khawatir sayang, kita bisa mengulangnya kembali”, kata Samuel yang kemudian melirik ke arah pintu. “Dan ini dia adikku yang akan mengantarkan kepergianku” Lalu dia menoleh ke arah istrinya. “Hapus air matamu sayang, doakan keselamatanku.”
“Aku tidak ingin mengganggu permainan kalian, beri tahu aku jika sudah selesai”, kata Daylan yang masih bersandar di ambang pintu.
“Kemarilah!”, kata Samuel sambil tertawa. “Jika kau memiliki wanita disisimu, kau pasti akan mengerti.”
“Siapa bilang aku tidak memiliki wanita sekarang?”
“Ucapanmu sungguh berani dik! Hahaha... maksudku seorang wanita sungguhan, bukan koleksi di tumpukan jerami.”
“Samuel! Bahasamu!”
“Kenapa?!”
Daylan tersenyum dengan tingkah mereka berdua. “Aku harap bisa ikut denganmu, kak.”
“Aku juga begitu dik, akan sangat melelahkan jika bertarung dengan para darkwisp seorang diri.”
“Pasti, ayah tidak akan mengijinkan kalian berdua dalam bahaya bersama-sama”, tambah Mia.
“Iya, ayah dan ibu sempat bertengkar tentang ini selama beberapa hari, sayang sekali, aku bisa mengandalkanmu di sisiku saat di medan perang.”
“Ya tentu saja, aku pasti sangat merindukanmu kak, baru beberapa bulan aku disini dan kau akan pergi.”
“Jika ini bisa menghiburmu dik! Aku yakin aku pasti akan kedinginan karena kehujanan di hutan Atyn, dan benar-benar iri terhadapmu yang merasa hangat dan nyaman disini.”
“Aku yakin sekali akan senang kalau kau menderita, mas!”, sahut Mia.
“Hahaha... tenanglah sayangku, kau akan mendapat kesenangan sesegera mungkin, aku dengar bahwa peperangan di hutan Atyn berjalan dengan baik, tidak ada bukti bahwa ini anathema-- hanya munculnya banyak bangsa darkwisp saja.”
“Apa kau yakin, mas?”
“Aku akan melihatnya sendiri”, kata Samuel. “Berdoalah untukku sayang, aku akan kembali dalam sebulan atau dua bulan.”
“Oh iya!”, kata Daylan teringat kembali alasan dia kesini. “Aku kesini membawa pesan dari ayah, kalau kau akan berangkat sendiri siang ini.”
“Jadi pasukan Swanford benar-benar terlambat.” Samuel mendesah. “Apa kau pikir semua pasukan Swanford bisa jalan lambat seperti itu?”
Daylan juga berpikir demikian, tidak mungkin semua prajurit Swanford datang terlambat. Ada hal yang aneh akan ini.
Samuel kemudian berdiri dari kursi pianonya. ”Baiklah kalau begitu, aku siap-siap berangkat, begitu banyak darkwisp yang harus dilawan!”
Tiba-tiba dari arah pintu kamar terdengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat. “Aku harap kau memiliki rencana untuk menunggu kami sebelum kau berangkat, Samuel.” Daylan yang membelakangi pintu itu segera membalikkan badannya, ternyata itu adalah ayah dan ibunya yang sedang mendekat.
Nyonya Walter kemudian mendekat ke arah Samuel. “Hati-hati putraku, aku berdoa untuk keselamatanmu setiap hari selama kau pergi.”
“Kak Samuel akan baik-baik saja, bu.”
“Aku juga terus bilang padamu ibu, kalau tak ada darkwisp yang bisa mengalahkanku.”
Kemudian Mia menyandarkan kepalanya di tangan Samuel, air mata turun dipipinya seakan berat melepas kepergian suaminya. “Herra, topanglah kami, berikan keselamatan pada kami semua.”
“Dan berikan ale dan juga para gadis-gadis. Errr... untuk para prajurit, tentu saja.”
“Mas! Kau bercanda seperti ini di depan ibumu?”, kata Mia yang menatap heran pada Samuel.
“Samuel!”, sahut juga nyonya Walter. “Oh, Herra! Sumpah! Ibu serasa seperti tinggal di sekumpulan anak kecil.”
Samuel terkekeh. “Aku akan sangat merindukanmu ibu.” Kemudian dia segera menatap Daylan. “Kau akan menjaga ibukan, Daylan?”
“Aku rasa ibu bisa menjaga diri, seperti biasanya.”
“Tentu, Seharusnya kita mengirimkan ibu saja, bukan aku. Ibu pasti bisa memarahi para darkwisp itu untuk kembali ke Eimlaren.”
“Huh!”, kata nyonya Walter.” Ibu sedikit lega kau bisa menganggap peperangan ini lucu.”
“Baiklah, Baiklah cukup... cukup anak-anak”, kata adipati Walter setelah tertawa. “Samuel, para prajurit telah menunggu segera siapkan dirimu.”
Terik matahari menandakan kepergian Samuel telah ada di depan mata. Di halaman depan kastil Haven lebih dari separuh prajurit Haven siap siaga menunggu perintah untuk pergi ke tempat dimana semua masalah ini berasal; hutan Atyn. Suara tiupan terompet dan dentuman snare drum meriuhkan kepergian itu, para abdi kastil juga berhenti mengerjakan tugasnya masing-masing hanya untuk melihat kepergian itu. Di saat kuda hitam itu berhenti di depan Daylan dan keluarganya, Daylan tahu bahwa inilah saatnya. “Selamat bersenang-senang di jalan kak-- dalam kedinginan!”
“Hhhmmmm.. hahaha... kasur yang hangat tidak terdengar begitu buruk jika memikirkan hal itu sekarang”, kata Samuel. “Heh, bagaimanapun juga, aku akan sangat merindukanmu dik, jaga semuanya sampai aku kembali.”
Daylan mengangguk.
Setelah mencium istrinya beberapa kali dan memeluk erat ibunya, Samuel menaiki kuda hitam itu dan pergi keluar kastil memimpin pasukan Haven. Banyak penduduk kota Haven yang melihat kepergian mereka, beberapa ada yang menangisi mereka dan beberapa ada yang menyoraki mereka. Bahkan ada seorang anak kecil yang mengikuti mereka karena melihat ayahnya pergi bersama mereka, namun dihadang dan digendong oleh ibunya, hingga menangislah dia dipelukan ibunya. Perang memang membawa sejuta warna yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Mia dan nyonya Walter yang tak tahan akan kepergian itu, lebih dulu meninggalkan Daylan serta ayahnya tak lama setelah Samuel keluar dari gerbang kastil. Hingga suasana kastil menjadi normal kembali setelah derapan langkah kaki prajurit menghilang ke arah timur, suara terompet pun juga kini telah berhenti dan para abdi kastil mengerjakan tugas-tugas mereka kembali. Hanya Daylan dan ayahnya yang masih disitu.
“Daylan, ikutlah dengan ayah!”
Daylan yang termenung, buru-buru mengikuti langkah ayahnya. “Apa ayah yakin ayah akan baik-baik saja?”
“Ayah dan kakakmu pergi ke medan perang untuk perang, bukan pergi ke kedai teh untuk minum teh. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada kami”, kata adipati Walter yang kemudian menghentikan langkahnya. “Tapi ayah katakan padamu, bahwa kau adalah anak kebanggaan ayah, dan ayah menyayangimu. Ayah mempercayakan sepenuhnya padamu untuk meneruskan nama keluarga Walter jika sesuatu yang buruk terjadi. Tak perlu memikirkanku, nak! Kau memiliki cukup banyak pikiran disini selama ayah pergi.”
“Tapi, apakah mengirimkan seluruh pasukan Haven adalah keputusan yang terbaik?”
“Ketika maharaja yang memintanya-- iya. Kenyataannya, jika kita tidak mengirimkan seluruh pasukan maka itu adalah keputusan yang buruk, mengingat peperangan ini dan betapa dekatnya lokasi kita dari hutan Atyn yang hanya dua hari berkuda. Jangan khawatir, kau tidak akan mendapatkan banyak kesusahan disini. Tapi ayah ingin kau menyiapkan prajurit-prajurit yang tersisa disini untuk jaga-jaga.”
“Jaga-jaga untuk apa?”
“Legenda anathema menceritakan banyak hal yang buruk. Para darkwisp ini, sekali mereka menyerang daratan Era dengan pasukan penuh, jika kita tidak bisa menahan mereka disana, maka kau harus jaga-jaga untuk sesuatu yang lebih buruk.”
“Aku akan lakukan yang terbaik ayah, aku janji.”
“Ayah tahu itu, kau adalah seorang Walter, bagaimanapun juga. Berasumsilah bahwa semua akan baik-baik saja dan Herra akan melihat dan menjaga kita semua”, kata adipati Walter sambil memegang pundak anaknya dan kembali melanjutkan langkahnya. “Sekarang ada hal yang harus kubicarakan padamu, tapi kau harus janji untuk tidak mengatakan pada siapapun, termasuk ibumu dan kakak iparmu.”
Daylan penasaran. “Bicara tentang apa ayah?”, katanya. Tetapi ayahnya hanya diam dan melanjutkan langkahnya ke sudut kiri taman kastil yang jarang sekali dilalui orang-orang. Dia heran, kenapa ayahnya mengajaknya ke tempat itu.
“Kau tahu kotak hitam yang ada di tempat penyimpanan keluarga kita?”
Daylan mengangguk. “Kotak hitam yang tidak bisa dibuka itukan? Yang waktu itu ayah bilang lupa menaruh kuncinya dimana karena itu dulu peninggalan kakek buyut.”
“Iya yang itu, sebenarnya ayah bohong padamu waktu itu. Em!.. dengarkan ayah baik-baik.” Adipati Walter kemudian memasukkan tangannya di sakunya dan mengeluarkan isinya kemudian dengan nada yang berbisik mulai melanjutkan perkataannya. “Ayah ingin kau membuka kotak itu dengan cincin ini dan ambillah semua yang ada dalam kotak itu, salah satunya adalah sebuah gulungan yang jangan kau buka segelnya sampai sesuatu terjadi pada keluarga kita. Ayah ingin kau merahasiakan keberadaan gulungan itu dan menyimpannya di dekatmu, jangan tinggalkan gulungan itu di dalam kotak. Apa kau mengerti, nak?”
Daylan agak bingung dengan ucapan ayahnya itu. Mengapa harus merahasiakan gulungan itu? Apakah gulungan itu adalah sebuah peta harta karun yang tersembunyi milik keluarganya? Atau itu adalah mantra sihir yang bisa dirapalkan oleh orang yang bukan penyihir? Lalu apa isi kotak lain? Harta karun yang terpendam? Ah, tidak mungkin! Lama-lama Daylan berpikir semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang hadir di kepalanya. Hingga akhirnya dia berucap, “Aku mengerti ayah!” Hanya untuk menutupi semua rasa penasarannya terhadap kotak itu. Toh, dia nanti juga akan melihatnya sendiri.
“Bagus kalau begitu, kau boleh pergi tapi jangan kau tidur malam-malam kali ini, besok adalah hari yang panjang bagimu.”
Daylan mengangguk dan melangkah meninggalkan ayahnya disitu. Namun beberapa saat setelah dia melangkah, dirinya kembali menghampiri ayahnya yang masih berada di sudut itu.
“Ayah... ada yang ingin aku tanyakan tentang Sand Keeper ini?”
“Aaahh.. aku bertanya-tanya kapan kau akan menanyakan tentang ini pada ayah. Apa kau bertemu lagi dengan pak Abad? Apa dia sudah mengajakmu?”
“Belum, tapi kenapa Sand Keeper juga mengajakku jika aku menjadi adipati disini?”
“Jika anathema benar-benar terjadi di timur, maka para Sand Keeper sangat dibutuhkan. Tidak ada ajakan yang lebih tinggi daripada itu. Bahkan ajakan dari maharaja sekalipun. Jika hal itu terjadi, kita berdua akan membahasnya saat ayah kembali. Sampai saat itu terjadi, jamulah dia dengan baik dan tunjukkan sopan santunmu. Pak Abad adalah orang yang baik, dan juga seorang pahlawan.”
“Baiklah kalau begitu, aku permisi dulu ayah.”
“Ayah tahu kau akan membanggakan ayah. Kau tumbuh menjadi pemuda yang kuat, dan itu sudah terbukti.”
Daylan mengangguk kemudian pergi. Semua ucapan ayah dan ibunya hari itu benar-benar membuat Daylan khawatir, seakan-akan itulah hari terakhir mereka melihatnya. Ayah tahu kau akan membanggakan ayah ... Ingatlah apapun yang akan terjadi, ibu selalu menyayangimu, kau tahu itu kan? Isu anathema ini benar-benar membuat semua orang kalang kabut. Mungkin tidak hanya bagi keluarganya ataupun orang-orang yang tinggal dikastilnya, tapi juga bagi semua penduduk kerajaan Vanderhall walau mereka masih jauh dari lokasi anathema ini berasal. Anathema bukanlah sebuah permainan, meskipun bagi sebagian orang itu hanyalah sebuah sejarah yang kelam.
Lokasi tempat penyimpanan berada disisi kanan-belakang kastil tepat di depan ruang mengajar untuk anak-anak para abdi kastil. Namun saat akan menuju kesana, bau harum dari arah dapur yang terletak di belakang kastil merangsang perutnya yang mulai menunjukkan tanda-tanda akan berbunyi. Dari pagi dia memang belum makan sesuap pun, dia memang tidak terbiasa sarapan sehingga dia tidak pernah dipanggil untuk sarapan bersama dengan keluarganya.
Aroma daging sapi yang dibakar dengan kecap ditambah kuah rebusan kaldu dari tulang sapi benar-benar dapat membasahi lidah. Terbukti! Dia langsung duduk di meja makan dapur itu, berharap untuk segera menyantapnya. Namun yang terjadi, tidak ada mengindahkan kehadirannya, semua pada sibuk memasak dan mengurusi keperluan nanti malam.
“Tuan Daylan!”, kata bu Nina, sang ketua juru masak kastil yang dulu saat Daylan masih kecil pernah mengasuhnya sewaktu ibunya ada urusan di luar kastil untuk waktu yang lama. “Aku tak tahu kau berada disitu, apa kau sudah lama disitu?”
“Aku baru saja duduk, bu Nina. Bisakah aku minta makanan? Bau harumnya membuatku lapar.”
“Sebentar tuan Daylan, aku akan menyiapkannya untukmu”, kata bu Nina. “Hei Arisa!” Tunjuk bu Nina pada salah seorang perempuan agrarian di antara para agrarian itu. “Berhenti memotong ayam, dan cepat lanjutkan mengaduk masakan ini!”
“Eeerrrr....”
“Aku dengar itu! Aku masih bisa memukul tanganmu sampai hitam dan biru jika aku tak membutuhkanmu bekerja disini! Agrarian sialan!”, umpat bu Nina, namun dia kembali menurunkan tempo suaranya. “Maafkan teriakanku tuan Daylan, jika tidak begitu maka seisi kastil ini akan penuh dengan orang-orang yang kelaparan.”
Daylan mengerti akan hal itu, karena pengasuhnya yang kini sudah tua ini dari dulu terkenal akan kerasnya dan kedisiplinannya, namun sebenarnya dia adalah orang yang baik dan pengertian. Mungkin karena saking pengertiannya ini dia tidak ingin ada orang --selain orang-orang dari dapur, tentu saja-- yang menderita akibat ketidaktepatannya dalam mengelola sesuatu.
“Demi Herra! Arisa! Pelan-pelan kalau mengaduk kaldu itu!”, kata bu Nina lagi saat sedang menyiapkan makanan untuk Daylan. “Liathra! Yang cepat kalau membawa panci, dan Beremar! Apa kau pikir akan memasak makanan untuk adipati dengan lantai yang penuh sampah seperti itu? Dasar vanara!!”
“Errgh... kelelawar tua menyedihkan”, bisik salah seorang laki-laki vanara yang menurut Daylan adalah Beremar. Sungguh aneh menurutnya, karena biasanya seorang vanara tinggal dan bekerja di Vorn-Buldhor yang terletak di gunung Buldhor, utara dari sini atau bekerja di pasar-pasar perkotaan sebagai pedagang jika mereka meninggalkan Vorn-Buldhor. Jarang sekali ada yang menjadi seorang juru masak, apalagi di kastil manusia.
“Aku kelelawar tua?”, lanjut bu Nina. “Aku memang tua tapi aku tidak tuli! Kita harus kerja dua kali untuk menyiapkan makan malam! Sapu kekesalan kalian dan jangan mengeluh!”
“Hari yang sibuk?”, kata Daylan yang masih duduk di dapur itu.
“Hanya mengurus agar semua teratur, itulah mengapa ayahmu masih mempekerjakanku. Ini makanlah tuan Daylan”, kata bu Nina yang menghidangkan daging sapi bakar dan rebusan kaldu yang masih hangat karena baru saja dihangatkan olehnya.
Tak butuh waktu lama bagi Daylan untuk menyantap makanan itu. Semuanya terasa pas! Masakan bu Nina dari dulu memang benar-benar lezat di lidah Daylan. Ini adalah salah satu hal yang dirindukannya akan rumah saat masih di imperial Sevengard dulu. Untuk bisa menyantap masakan bu Nina.
“Kau mau minum teh atau kopi?”
“Maarm maim mayia”, kata Daylan yang masih mengunyah dengan lahap makanan yang ada dalam mulutnya. “Errhhmmm... air putih saja, aku belum minum dari tadi.”
“Baiklah.” Bu Nina kemudian membawakan kendi kecil dan gelas ke meja itu, lalu menuangkannya pada gelas. “Ini minumlah dulu, nanti kau keselak!”
Daylan kemudian mengambil gelas itu lalu meminumnya. “Aahhh... Wuuh!!! kenyang juga akhirnya.”
Bu Nina hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya lalu mengambil piring itu dan menaruhnya di tempat cuci. Dia kemudian duduk di depan Daylan yang masih menikmati sisa-sisa kepuasan perut dan mulutnya. “Lihatlah dirimu, nak! Aku tak percaya anak kecil yang dulu sempatku asuh akan menjadi seorang adipati”, katanya. “Apa kau masih ingat dongeng yang aku biasa bacakan padamu sebelum tidur?"
“Kapten Ahab?”
“Betul, kapten Ahab adalah orang yang sangat dalam namun hanya sedikit berkata-kata, ketika dia berbicara, yang lain akan mendengarkannya karena dia menggerakkan mereka dengan sifat karismatisnya. Pada akhirnya, dia berhasil mengumpulkan para awak kapal dan meminta dukungan mereka untuk sebuah tujuan --memburu dan membunuh paus putih. Sekarang, apa kau tahu maksud dari kisah ini?”
“Eeemmm... Jangan menyalahgunakan kekuatanmu?”
“Iya, akhirnya kapten Ahab berhasil menemukan Moby Dick, paus putih yang menjadi musuh bebuyutannya selama ini, hingga akhirnya upayanya untuk membunuh musuh bebuyutannya ini menghasilkan kematiannya sendiri di lautan luas.”
Daylan bingung mengapa bu Nina menceritakan ini lagi, dia berpikir, mencari petunjuk apa maksud dari ucapan bu Nina ini, namun dia tak dapat menemukannya hingga akhirnya dia berkata, “Apa maksudnya ini?”
Namun bu Nina menjawab, “Tidak ada, ini hanyalah sebuah kisah, dan kisah pantas untuk diceritakan kembali. Sekarang pergilah, maafkan aku karena aku tidak ada waktu untuk menemanimu disini tuan Daylan.”
“Baiklah kalau begitu, terima kasih atas makanannya, bu”, kata Daylan yang meninggalkan dapur, namun saat meninggalkan dapur dia sempat mendengar kembali teriakan bu Nina yang berteriak, “Jangan pikir kalian bisa kabur dariku sesegera mungkin!”
Kemudian Daylan mendengar lagi beberapa diantara mereka ada yang mendengus kesal. orang-orang yang malang, tawa Daylan dalam hati sambil mengingat-ingat kembali kemarahan bu Nina yang dulu sempat memarahinya karena kenakalan masa kecilnya.
Tepat diujung belakang-kanan kastil itu ruang tempat penyimpanan keluarganya berada, ruangan itu terdiri dari dua bagian yang terpisah dengan pintu, bagian luar adalah tempat untuk pengawal mengawal ruang penyimpanan sementara bagian dalam adalah tempat penyimpanan keluarganya berada. Disitu Daylan mendapati dua orang pengawal yang sedang duduk-duduk bermain kartu di meja yang ada di samping pintu ruang penyimpanan. “Oh... tuanku”, kata salah seorang pengawal yang kemudian berdiri saat melihat dirinya. “Kami hanya... Eeeh...”
“Mengabaikan tugas kalian?”, sahut Daylan sambil menyipitkan matanya.
“Eeem... ruang penyimpanan aman... hamba tidak mengerti mengapa adipati menyuruh kami mengawal disini”, jawab pengawal yang lain.
“Apa kalian selalu mempertanyakan tugas kalian?”, kata Daylan yang kesal. Dirinya memang pernah menjadi pengawal saat awal-awal masuk Imperial Sevengard, dan tahu tipe prajurit seperti apa yang sedang dihadapinya ini. Tipe prajurit seperti ini sangat buruk untuk pasukan.
“Ti..tidak tuanku, tentu saja tidak.”
“Aku akan melupakan masalah ini, kali ini saja!”
“Baiklah tuanku, terimakasih... ka-kami tidak akan melupakannya”, kata pengawal itu yang kemudian berdiri menjaga pintu masuk ke tempat penyimpanan.
“Sekarang buka pintu itu, aku ingin mengambil sesuatu disana.”
“Baik tuanku, apa tuan membawa kunci untuk yang lain juga?”
“Iya, ini”, kata Daylan sambil memberikan kunci satunya lagi untuk membuka pintu bagian dalam ruang penyimpanan. Pintu itu memang di desain untuk dapat membuka dengan dua tipe kunci yang berbeda, satu kunci dibawa pengawal dan satu lagi dibawa keluarganya.
Keluarganya memang sangat kaya sehingga dapat mendatangkan seseorang dari ras elian di kerajaan Drass-luna yang berada di ujung timur Era untuk membuatkan sebuah ruangan yang aman seperti yang dimiliki kastil itu. Memasuki ruangan itu segera mata Daylan disilaukan dengan permata-permata yang berhamburan disana-sini, koin-koin emas yang menjulang tinggi bak sebuah gunung dan benda-benda mewah lainnya, beberapa diantaranya bahkan sangat kuno karena merupakan peninggalan para leluhurnya dulu.
Tepat di tengah-tengah itu, kotak hitam yang dimaksud ayahnya berada. Daylan mengambillnya lalu mengambil cincin disaku celananya. Di pegangnya kotak yang panjang itu ditangan kanan dan cincin di tangan kirinya, kemudian termenung bingung memikirkan bagaimana cara membukanya karena tidak ada tempat untuk memasukkan cincinnya itu. Mata cincin itu berbentuk lingkaran hitam polos dengan ukiran huruf W berwarna emas di atasnya dan saat dia memasukkan kembali cincin itu disakunya lalu membolak-balikkan kotak itu, mengocok-ngocoknya, berharap menemukan petunjuk di kotak itu, yang terjadi hanyalah kotak itu polos tanpa sebuah ukiran apapun disisi-sisinya dan isi di dalamnya mengeluarkan beberapa bunyi yang berbeda seperti ada yang saling bertabrakan. Dia berniat membawa kotak itu ke kamarnya kemudian menanyakan ayahnya bagaimana cara membukanya. Namun pesan ayahnya sangat spesifik --ambil semua yang ada, lalu merahasiakan sebuah gulungan yang juga ada di kotak itu kemudian meninggalkan kotak itu disitu. Tadi dia kira ada sebuah tempat untuk memasukkan cincin itu pada kotak hitam itu sehingga dia tidak menanyakan cara membukanya.
Bagaimana kalau memukulnya dengan palu? Atau mencoba menarik dua sisinya agar terbelah? Hmmm... atau mungkin bisa mencongkelnya? Sial, para elian di Drass-luna memang pintar membuat kotak semacam itu, pikirnya.
Menyerah karena tak menemukan petunjuk, dia menaruh kotak itu, lalu mengambil dan memasang cincin di jari kirinya, kemudian tanpa banyak pikir dia mengambil kotak itu dengan tangan kirinya untuk dibawa ke kamar. Namun secara tiba-tiba kotak itu mengeluarkan bunyi seperti ada yang terbuka.
Daylan berhenti, menaruh kotak itu dan memeriksanya kembali namun tidak terjadi apa-apa. Kemudian dia mencoba mendekatkan kembali tangan kiri di kotak itu, dan kotak itu kembali mengeluarkan bunyi tadi.
Hhmmm.... kata hatinya, kemudian dia mengepalkan tangannya dan mengarahkan mata cincin itu di atas kotak hitam berniat untuk mengetuknya, lalu secara tiba-tiba belum sempat dia mengetuk kotak itu, bagian atas kotak itu terlepas dan tertarik keatas, menempel pada mata cincin itu. Hhmmm... aneh, katanya dalam hati, terkejut melihat fenomena asing itu. Kemudian dia menaruh bagian atas kotak yang masih menempel di cincinnya ke lantai da mengintip isi kotak itu.
Sarung yang berwarna coklat, terbuat dari baja yang dilapisi oleh ukiran berbentuk badan naga berwarna emas, dengan gagang yang berbentuk kepala naga yang dihiasi oleh batu merah delima pada matanya, serasi dengan ukiran pada sarungnya. Tidak mungkin... Cepat-cepat Daylan mengambilnya dan membuka sarungnya. Ternyata tebakannya benar! Itu adalah pedang peninggalan leluhurnya yang terkenal, Taivaan Miekka, atau para sejarawan sering menyebutnya dengan pedang angkasa, karena bilah yang tajam pada kedua sisi pedang itu terbuat dari batu yang jatuh dari langit ke tanah Haven beberapa abad yang lalu. Dia kira pedang itu telah lama hilang, karena setahu dia, ayahnya tak pernah memakai pedang itu. Dengan pedang ini, titah Daylan sebagai penerus keluarga Walter benar-benar teryakinkan. Karena hanya keluarga Walter saja yang memiliki pedang angkasa itu di seluruh daratan Era.
Seakan memiliki kekuatan magis, pedang itu benar-benar menyilaukan mata Daylan. Tak percaya bahwa ayahnya akan memberikan pedang ini padanya.
Kemudian dia melihat isi kotak yang lain, gulungan yang dimaksud ayahnya ada disitu. Gulungan itu masih tersegel dengan perekat yang biasa digunakan untuk urusan administrasi keluarganya. Seperti kata ayahnya, dia menaruh gulungan kertas itu di sakunya tanpa mempedulikan apa isinya. Walau penasaran, tapi Daylan mengerti pasti ada alasan tersendiri kenapa ayahnya melarangnya untuk tidak membuka gulungan itu sebelum waktunya. Sama seperti alasan kenapa ayahnya memberikan Taivaan Miekka itu kepadanya. Dengan bangga, Daylan membawa pedang itu melangkah keluar ruangan penyimpanan untuk menuju halaman samping kastil mencoba pedang barunya.
Di halaman depan barack itu Daylan menyabet-nyabetkan pedangnya pada boneka jerami yang biasa dipakai para prajurit Haven latihan. Kelihaiannya dalam pedang belum hilang, meskipun akhir-akhir ini jarang sekali dia menggunakan pedang, keluwesan pergerakan tubuhnya masih benar-benar tak tertandingi. Dia latihan disitu sampai senja hampir tiba.
Pedang barunya sungguh terasa hebat. Meskipun sesekali terasa berat saat menyabetkannya, mungkin karena pedang itu sudah tua dan merupakan peninggalan para leluhurnya, atau mungkin karena memang ada sesuatu di dalam gagangnya? Dia tidak yakin akan perasaannya, namun yang pasti dia yakini adalah pergi ke kamarnya untuk mandi dan istirahat.
ns 15.158.61.11da2