Sejak saat itu, interaksi kami semakin intens. Aku mencoba membatasi perasaan itu, menahan diri agar tidak terlalu dekat. Namun, setiap kali Bram mendekat, ada sisi gelap dalam diriku yang terbangun, menantikan sentuhan itu, perhatian itu. Di satu sisi, aku membenci diriku karena merasa seperti ini. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa berhenti memikirkannya.
Hubungan ini seperti api kecil yang semakin lama semakin membara, membakar perlahan-lahan prinsip-prinsip yang dulu kupegang teguh. Aku tidak lagi tahu siapa aku sebenarnya. Apakah aku masih Alisha yang sama? Atau aku telah menjadi seseorang yang berbeda, yang terperangkap dalam keinginan yang seharusnya tidak kumiliki?
Dan yang lebih buruk, setiap aku pulang dan menatap wajah suamiku, Fahri, perasaan bersalah itu semakin menghantamku. Aku berdiri di depan cermin malam itu, menatap bayanganku sendiri, bertanya-tanya: siapa sebenarnya wanita yang kulihat di sana?
Sejak kejadian itu, pikiranku terus-menerus dihantui oleh perasaan bersalah dan kebingungan yang semakin mendalam. Bram, dengan segala perilakunya yang semakin tak terkendali, mulai menjadi bayangan yang menghantui hari-hariku. Setiap kali aku berada di dekatnya, perasaan campur aduk antara ketakutan dan sesuatu yang lebih gelap berputar dalam pikiranku. Aku tahu apa yang sedang terjadi, namun anehnya, aku tidak bisa sepenuhnya melawan godaan untuk terlibat lebih dalam.
Hari itu, ketika aku berpapasan dengan Bram di lorong sempit menuju toilet, segalanya berubah. Tubuhnya yang tinggi dan kekar terasa begitu nyata ketika dia melintas terlalu dekat, dan gesekan yang terjadi antara kami membuatku tercekat. Sesuatu yang keras menonjol dari selangkangannya terasa. Tubuhku menegang, tapi yang lebih mengerikan adalah bagaimana tubuhku merespon. Ada sesuatu yang aneh dan tidak pantas tentang bagaimana jantungku berdegup cepat dan kulitku merinding. Ini jelas bukan kebetulan, dan Bram mengetahuinya.
Senyuman tipis yang melengkung di bibirnya ketika dia berjalan menjauh memperjelas segalanya. Dia tahu persis apa yang telah dia lakukan, dan dia menikmatinya.
Aku berdiri mematung di tempat, berusaha mengendalikan napas yang tiba-tiba terasa berat. "Apa yang baru saja terjadi?" pikirku, otakku berusaha keras mencari alasan logis, tapi tidak ada. Itu bukan kecelakaan. Itu adalah sebuah pernyataan, sebuah klaim tidak langsung atas diriku—dan Bram tahu bahwa aku terlalu lemah untuk melawannya.
***
1039Please respect copyright.PENANAzPmIuT3NQS
Di kantor, di antara diskusi pekerjaan, tatapan Bram semakin sering bertahan terlalu lama. Sentuhan-sentuhan "tidak sengaja" semakin sering, dan aku—bukannya menjauh—malah merasa semakin terperangkap dalam ketegangan yang diciptakannya. Ada momen di mana aku mulai meragukan siapa sebenarnya aku saat ini. Di mana Alisha yang dulu tegas dalam prinsip? Di mana Alisha yang menjaga batasan dengan jelas?
Suatu siang, ketika semua orang sedang sibuk bekerja, Bram tiba-tiba memanggilku ke ruangannya. “Alisha, bisa sebentar?” suaranya terdengar biasa saja, tapi di balik nadanya ada sesuatu yang tak bisa kuabaikan.
Aku masuk ke ruangannya dengan jantung berdebar, perasaan yang kian akrab. Pintu ruangannya tertutup rapat di belakangku, mengurung kami berdua dalam keheningan yang begitu nyata.
Bram menatapku dari balik mejanya, pandangannya seperti biasa—tajam, penuh maksud. “Aku rasa kamu sudah tahu,” katanya, tanpa basa-basi.
“Kau tahu apa yang kumaksud.” Ucapnya lagi saat dia berdiri, berjalan perlahan ke arahku. “Semua ini tentang kita berdua. Jangan berpura-pura lagi, Alisha.”
Aku terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Pikiranku berteriak, tapi mulutku tak mengeluarkan suara. Dia semakin mendekat, terlalu dekat hingga aku bisa merasakan napasnya di wajahku.
“Aku tahu kamu merasakannya juga,” bisiknya, suaranya rendah dan menggoda. Tangannya terulur, menyentuh pinggangku dengan lembut, tapi penuh kontrol. Tubuhku kembali menegang, namun kali ini, bukannya melangkah mundur, aku tetap diam di tempat. “Kamu nggak perlu pura-pura lagi. Kita berdua tahu ada sesuatu di sini.”
Aku bisa merasakan dorongan untuk menjauh, untuk mengakhiri semua ini, tapi di saat yang sama, ada tarikan yang lebih kuat, tarikan yang datang dari bagian diriku yang paling gelap, yang selama ini kukubur dalam-dalam. Tangannya perlahan naik, menyentuh bagian belakang leherku, dan tiba-tiba aku merasa tubuhku mulai bereaksi dengan cara yang tidak bisa kuhentikan.
“Pak Bram,” bisikku, mencoba melawan perasaan yang semakin kuat. “Ini salah.”
Dia tertawa kecil, dekat di telingaku. “Salah? Lalu kenapa kamu tidak menjauh? Kenapa kamu masih di sini?”
Sebuah pertanyaan yang menghantamku keras. Kenapa aku masih di sini? Kenapa aku tidak menghentikannya sejak awal? Kenapa ada bagian dari diriku yang terus menantikan perhatian yang salah ini? Apakah aku begitu lemah?
Bram semakin mendekat, hingga jarak di antara kami benar-benar hilang. “Kamu tahu kamu menginginkannya, sama seperti aku,” katanya dengan tegas. Tangannya mulai menjelajahi punggungku, membuat tubuhku semakin lemas.
Tiba-tiba, suara telepon di mejanya berbunyi keras, memecah momen itu. Aku melompat mundur, terkejut, seolah baru tersadar dari mimpi buruk. Bram memandangku dengan tatapan kecewa, tapi dia mengambil telepon itu, memberiku waktu untuk mengambil napas.
“Kita akan melanjutkannya nanti,” katanya sambil menjawab panggilan telepon.
Aku keluar dari ruangannya secepat mungkin, napasku masih belum teratur. Ada sesuatu yang bergemuruh di dadaku—sesuatu antara penyesalan dan rasa bersalah yang tak terlukiskan. Bagaimana aku bisa membiarkan ini terjadi? Bagaimana aku bisa begitu lemah?
Malam itu, aku pulang dengan pikiran yang bercampur aduk. Di rumah, Fahri menyapaku seperti biasa, senyum hangatnya menyambutku. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi di kantor. Dia tidak tahu bahwa istrinya, yang seharusnya setia dan jujur, sedang terjebak dalam godaan yang semakin menjerat.
Saat aku berbaring di tempat tidur malam itu, aku menatap langit-langit kamar dengan perasaan hancur. Apakah aku masih bisa kembali? Atau apakah aku sudah terjatuh terlalu dalam dalam permainan berbahaya ini? Satu hal yang pasti, hidupku sudah tidak sama lagi. Bram telah merusaknya—dan yang lebih buruk, aku membiarkannya.
Seiring waktu, perasaanku pada Bram semakin sulit diabaikan. Setiap kali dia mendekat, tubuhku bereaksi dengan cara yang tak bisa kucegah. Awalnya, aku berpikir bahwa aku bisa mengendalikan semuanya—bahwa kedekatan kami hanyalah kesalahan yang tak akan berlanjut. Tapi nyatanya, hasrat yang selama ini tersimpan dalam diriku mulai menemukan jalannya keluar. Rasa bersalah yang dulu menguasai hatiku kini bergeser menjadi sebuah kerinduan yang semakin hari semakin sulit kuhindari.
Sentuhan-sentuhan Bram, yang dulu terasa canggung dan mengganggu, kini menjadi sesuatu yang kutunggu-tunggu. Ada sebuah rasa gelisah yang tumbuh setiap kali aku tahu kami akan berpapasan di kantor. Tatapan matanya, yang dulu membuatku merasa kecil, kini justru membangkitkan sesuatu dalam diriku—sesuatu yang selama ini tak pernah kusadari ada. Aku tahu ini salah, tapi ada bagian dalam diriku yang sudah menyerah, bagian yang merindukan lebih dari sekadar hubungan profesional.
Suatu sore yang hujan, suasana kantor sepi. Hanya ada beberapa orang yang masih bekerja, sementara yang lain sudah pulang. Aku duduk di depan komputerkku, tapi pikiranku melayang pada Bram yang baru saja mengirimi pesan, mengajakku bicara di ruangannya. Aku tahu apa yang akan terjadi. Hati kecilku berkata untuk menolak, untuk tidak memenuhi undangannya, tapi tubuhku berkata lain. Kakiku bergerak dengan sendirinya, dan tanpa sadar aku sudah berjalan menuju ruangannya.
Ketika aku masuk, Bram sudah menungguku. Suara hujan di luar jendela menjadi latar belakang yang menambah suasana. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kuabaikan, tatapan yang membuat tubuhku memanas.
“Alisha,” suaranya terdengar rendah dan dalam, memecah kesunyian di antara kami. “Kamu tahu kenapa aku memanggilmu ke sini, kan?”
Aku berdiri di sana, diam tak menjawab, meskipun dalam hatiku aku tahu persis apa yang dia inginkan. Hasrat yang sama yang telah menghantuiku selama berhari-hari juga membara dalam dirinya.
Bram bangkit dari kursinya dan mendekat. Setiap langkahnya membuat jantungku berdetak lebih cepat. Ketika dia berdiri di depanku, jarak kami terlalu dekat. Tangannya terulur, menyentuh lenganku dengan lembut, dan sebuah sensasi hangat menjalar di seluruh tubuhku. Sentuhan itu sederhana, tapi penuh dengan makna.
“Kamu tidak perlu berpura-pura lagi,” bisiknya, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan. “Aku tahu kamu merasakan hal yang sama.”
Aku ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ini salah, bahwa kami tidak seharusnya berada di situasi ini. Tapi kata-kata itu tak pernah keluar. Sebaliknya, aku hanya bisa menatapnya, membiarkan perasaanku yang selama ini kutahan melepaskan diri. Tangannya perlahan bergerak dari lenganku ke punggung, meremasnya dengan lembut, membuat tubuhku melemas di bawah sentuhannya.
“Pak Bram...” bisikku, hampir tanpa suara, tapi dia tahu persis apa yang ingin kukatakan.
Tanpa berkata apa-apa, Bram mendekatkan wajahnya, napasnya terasa hangat di pipiku. Dia tidak langsung menciummu, tapi jaraknya cukup dekat untuk membuatku terhanyut dalam gelombang hasrat yang membuncah. Tangannya sekarang berada di pinggangku, menarikku lebih dekat lagi, hingga tidak ada jarak yang tersisa di antara kami.
Bersambung
ns 15.158.61.6da2