Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan begitu terpengaruh oleh kehadiran seseorang seperti Bram, bos baruku. Sejak hari pertama dia datang ke kantor, rasanya ada yang berubah dalam ritme kehidupanku, seperti bumi yang tiba-tiba bergeser sedikit dari porosnya. Bram adalah tipe orang yang membuat setiap ruangan terasa lebih tegang ketika dia masuk. Matanya tajam, langkahnya cepat, dan kata-katanya sering kali lebih tajam dari apa yang kukira mungkin.
"Alisha, laporan ini nggak bisa kayak gini," ucapnya tajam suatu pagi, menatap layar laptopku dengan ekspresi yang tidak bisa kusebut puas. "Aku minta kamu cek lagi detailnya, jangan sampai ada kesalahan sekecil apa pun."
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Baik, Pak Bram. aku akan perbaiki."
Dia menatapku sejenak, matanya seakan menelanjangi setiap inci kelemahan yang mungkin aku sembunyikan. "Jangan asal janji. Aku nggak mau laporan ini sampai di tangan klien dalam keadaan setengah matang."
Aku mengangguk, menundukkan kepala. Hati ini terasa berdenyut, tapi aku tahu Bram memang seperti itu—selalu menuntut kesempurnaan. Setiap kesalahan kecil adalah bencana baginya, dan di hadapan tatapan kerasnya, aku merasa seperti anak kecil yang ditegur oleh guru.
Namun, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih halus tapi tak kalah mengganggu. Bram, dengan segala tuntutan dan amarahnya, mulai meresap ke dalam hidupku, ke dalam pikiranku, lebih dari yang kuinginkan. Aku tak bisa melupakan tatapan intensnya, cara dia memperhatikan setiap gerak-gerikku saat aku bekerja. Ada sesuatu yang membuatku merasa terjebak di bawah kendali sosoknya.
Dan itu semakin jelas pada malam itu—malam yang mengubah banyak hal.
2022Please respect copyright.PENANAlylXQ3bCXV
"Alisha, nggak ada alasan. Semua tim ikut. Kita harus merayakan keberhasilan perusahaan kita mendapatkan tender besar ini," Bram memotong sebelum aku bisa mengatakan apa pun.
Aku diam, mencoba menyusun alasan yang cukup kuat untuk menolak. "Tapi, Pak, aku sudah ada rencana pulang lebih awal malam ini. aku—"
"Nggak ada tapi-tapian," katanya tegas. "Kamu bagian dari tim ini, dan aku butuh semua orang ada di sana. Kita nggak sering dapat proyek besar seperti ini. Jadi tolong, ikut."
Mau tidak mau, aku mengikuti tim ke sebuah kafe di Kemang, sebuah tempat yang terlalu asing bagiku. Musik bising, lampu temaram, dan aroma alkohol yang menyengat langsung menyergap saat kami masuk. Aku langsung merasa tidak nyaman. Ini bukan tempatku. Aku memakai hijab, dan prinsipku tentang kehidupan malam semacam ini cukup teguh. Tapi di sini, di bawah tatapan semua orang—terutama Bram—segala sesuatu terasa kabur. Aku merasakan tekanan yang sulit dijelaskan.
Bram, seperti biasa, tampak mendominasi suasana. Dia tertawa, bercakap-cakap dengan beberapa rekan kerja kami yang sudah mulai menikmati minuman mereka. Gelas-gelas minuman beralkohol berkeliling meja, dan aku hanya duduk di sana, mencoba untuk tidak terlihat canggung. Tapi aku tahu, setiap gerakanku terasa salah di sini. Ini bukan dunia yang kumengerti. Aku ingin pulang, tapi ada sesuatu dalam cara Bram menatapku dari seberang meja yang membuatku terikat.
"Alisha," suaranya tiba-tiba terdengar lebih lembut saat dia memanggilku, seolah-olah kami hanya berdua. "Kamu nggak minum apa-apa?"
Aku menggeleng, berusaha tersenyum sopan. "Nggak, Pak. aku nggak minum."
Bram mengangkat alis, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. "Kamu terlalu kaku, Alisha. Kadang, untuk sukses, kita perlu sedikit lepas. Kalau kamu selalu terikat pada aturan, kamu nggak akan bisa mencapai puncak."
Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam ucapannya yang membuatku bingung, seolah dia mencoba menguji batasanku. Aku tahu dia berbicara bukan hanya soal pekerjaan, tapi lebih dari itu.
"aku hanya... berusaha menjalani hidup dengan prinsip yang aku yakini, Pak," jawabku pelan, berusaha mengendalikan diriku. "Mungkin cara kita berbeda, tapi aku tetap ingin bekerja dengan baik."
Bram menatapku dengan mata yang sulit diartikan. Dia tertawa kecil, tapi suaranya tidak terdengar riang. "Ya, prinsip itu bagus. Tapi kadang prinsip juga bisa jadi penjara, Alisha."
Perkataan itu menghantamku seperti gelombang besar. Aku tak tahu apakah itu peringatan, tantangan, atau mungkin hanya caranya untuk menunjukkan bahwa di dunia ini, semua bisa dinegosiasikan—bahkan prinsip. Malam itu, aku merasa semakin tertekan, seolah-olah keberadaanku di sana adalah kesalahan besar.
Saat minuman terus mengalir dan tawa di sekitarku semakin lepas, aku merasa semakin terasing. Aku berdiri, siap untuk pergi. "Maaf, aku rasa aku harus pulang."
Bram menatapku lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam, lebih tajam. "Kamu yakin nggak mau ikut sedikit lebih lama, Alisha? Kadang, untuk memahami orang lain, kita harus belajar melepaskan diri."
Aku terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam ucapannya yang mengganggu, seolah dia ingin menarikku ke dunianya, dunia yang jauh dari zona nyaman yang selama ini kujaga. Aku tahu apa yang harus kulakukan, tapi entah kenapa malam itu, segalanya terasa begitu kabur, begitu jauh dari kepastian yang biasanya kurasakan.
Bram tersenyum lebar, matanya memicing penuh tantangan saat dia mengulurkan gelas berisi minuman di depanku.
"Sekali aja, Alisha. Santai, nggak usah terlalu serius. Ini untuk merayakan kemenangan kita," ucapnya, nadanya ringan namun sarat dengan tekanan halus.
Aku menatap gelas itu, ragu-ragu. Pikiranku berputar-putar mencari alasan untuk menolak, tapi setiap kata yang ingin keluar terasa tersangkut di tenggorokan. Di sekelilingku, suasana semakin bising. Semua orang sudah larut dalam tawa dan obrolan. Mereka saling bersulang, wajah-wajah penuh senyum dan semangat. Aku merasa seperti orang asing di tengah keramaian itu.
"Alisha, nggak apa-apa kok, sekali ini aja. Lagian, kita semua di sini buat bersenang-senang. Nggak usah kaku," suara Bram kembali menyerang telingaku, kali ini lebih mendesak. Tatapannya menembus, seperti memeriksa sejauh mana aku bisa bertahan.
Aku menoleh ke arah teman-teman kantor yang sudah lebih dulu terseret dalam suasana. Mereka tertawa lepas, tak peduli pada dunia di luar ruangan ini. Dan aku? Aku merasa terpojok. Tetap bertahan dalam keyakinanku terasa semakin sulit dengan setiap detik yang berlalu. Mungkin demi menjaga hubungan tim, pikirku. Mungkin hanya sekali ini saja.
"Baiklah," akhirnya aku menyerah, mengangkat gelas itu dengan tangan sedikit gemetar. "Tapi cuma sedikit."
Sorak-sorai pun terdengar saat aku meneguk minuman itu. Rasanya langsung menghantam—pahit, membakar tenggorokan, dan membuatku terbatuk pelan. Aku menahan wajahku agar tetap netral, meskipun kepalaku mulai terasa aneh. Dan yang lebih menyiksa lagi, perasaan bersalah mulai merayapi hatiku, seakan aku baru saja mengkhianati sesuatu yang sangat dalam.
Bram tertawa lepas, mungkin karena merasa menang. "Nah, gitu dong! Lihat, nggak ada yang salah kan? Kamu harus belajar menikmati momen, Alisha. Jangan terlalu keras sama diri sendiri."
Aku mengangguk, meski di dalam hati rasanya tidak benar. Semua ini terasa salah. Aku mencoba menikmati suasana, tapi perasaan asing dalam diriku semakin kuat. Rasanya seperti berada di antara dua dunia yang tak bisa kuseimbangkan. Satu sisi diriku mengatakan ini hanya untuk sekali ini saja, tapi sisi lain, bagian yang lebih dalam, tahu bahwa aku telah melanggar batas yang kuanggap sakral.
Bram, seperti yang sudah bisa ditebak, semakin mabuk berat. Sosoknya yang biasanya kaku, tegas, dan penuh kontrol kini berubah total. Dia berbicara dengan suara keras, tangannya bergerak tanpa henti, dan tawa riangnya memenuhi ruangan. Semua orang tampak terhibur, seolah-olah melihat sisi lain dari bos mereka adalah sebuah hiburan langka. Aku hanya bisa menatap dari sudut meja, merasa semakin jauh dari diri sendiri.
"Apa, Alisha? Kamu tahu nggak, aku tuh sebenarnya kagum sama kamu," ucap Bram tiba-tiba, dengan suara yang sedikit goyah karena alkohol. Dia mendekat, terlalu dekat. "Kamu selalu terlihat tenang, terkendali. Tapi tahu nggak, di balik semua itu, aku yakin kamu pengen lebih dari ini."
Aku menatapnya, merasa tak nyaman. "Pak, aku pikir Anda sudah terlalu banyak minum," kataku, mencoba menjaga jarak. Tapi dia hanya tertawa lagi.
"Ah, jangan formal-formal lah. Panggil aku Bram aja. Lagian, kita kan tim," dia tersenyum, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa waspada. "Kamu tahu, Alisha, hidup itu nggak cuma soal kerja keras dan prinsip. Kadang kita harus... melepaskan."
Kepalaku mulai berputar. Entah karena alkohol atau karena kata-kata Bram yang membuat pikiranku semakin kacau. Dunia terasa goyah, seolah-olah aku kehilangan pijakan. Di tengah keramaian ini, aku merasa sendirian. Aku tahu aku harus pergi, tapi sesuatu membuatku tetap terpaku di tempat.
"Aku tahu kamu orang yang kuat," Bram melanjutkan, matanya masih menatap tajam ke arahku. "Tapi kadang orang kuat juga butuh... merasakan hal-hal lain. Biar seimbang. Hidup itu soal keseimbangan, kan?"
Aku menggeleng, berusaha mengusir kekacauan yang mulai merajai pikiranku. "aku pikir aku harus pulang, Pak Bram," kataku dengan nada yang lebih tegas, meski suaraku sedikit bergetar.
Tapi Bram tidak mendengarkan. Dia terlalu mabuk untuk memahami apa pun yang kukatakan. "Nggak usah buru-buru. Kita lagi di puncak, Alisha. Kamu, aku, dan tim ini... kita hebat. Kita bisa mencapai lebih. Kamu tahu apa yang aku maksud, kan?"
Aku menelan ludah, merasa napasku tercekat. Kepalaku semakin berat, dan semuanya semakin kabur. Dalam momen itu, aku menyadari bahwa aku telah melangkah terlalu jauh dari siapa diriku sebenarnya. Aku butuh keluar. Aku butuh kembali menemukan pijakan sebelum segalanya semakin jatuh.
"Maaf, aku harus pergi," ucapku cepat, lalu berdiri dengan gemetar. Bram mencoba menghentikanku, tapi aku sudah melangkah keluar, meninggalkan hiruk-pikuk dan tatapan aneh orang-orang di dalam.
Saat udara malam yang dingin menyentuh wajahku, aku menghela napas panjang. Minuman itu masih membakar di tenggorokanku, tapi rasa bersalah lebih kuat menghantam dadaku. Di bawah langit Jakarta yang penuh lampu kota, aku merasa seperti seseorang yang telah tersesat. Aku ingin pulang—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.
Langkahku terburu-buru, meninggalkan semua yang terjadi malam itu di belakangku, tapi dalam hatiku aku tahu—ini belum selesai. Ini baru awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2