Hari itu, ponselku berdering, dan namanya muncul di layar: Sofya. Ada perasaan aneh yang langsung membuatku terdiam sejenak, bertanya-tanya mengapa dia menghubungiku di luar kebiasaan.
Di sore yang sepi, suara telepon berbunyi, membuyarkan konsentrasiku dari tumpukan laporan yang tak kunjung usai. “Halo, Kak Hendra,” terdengar suara Sofya di seberang, suaranya nyaris seperti bisikan. Ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya, seperti ada beban yang coba ia sembunyikan.
“Iya, Sofya, ada apa?” tanyaku, merasa ada sesuatu yang mendesak.
Dia menarik napas, terdengar ragu, sebelum akhirnya berkata, “Aku nggak enak mau ngomong ini, Kak. Tapi... aku benar-benar butuh bantuan.”
Kekhawatiran langsung menyelimuti pikiranku. “Sofya, nggak usah sungkan. Ada apa? Ceritakan saja,” ucapku, berusaha membuatnya merasa nyaman.
Setelah hening sejenak, Sofya mulai bercerita dengan suara yang bergetar. Ternyata, Arman—suaminya—baru saja mengalami kecelakaan kecil saat mengendarai motor. Ia menabrak mobil hingga bodi mobil tersebut penyok, dan si pemilik mobil meminta ganti rugi. Kondisi finansial mereka memang sedang sulit, terutama dengan pekerjaan Arman yang hanya sebagai pegawai honorer.
“Jadi... aku mau pinjam uang, Kak, buat bantu Arman. Kalau nggak keberatan,” katanya dengan suara hampir tak terdengar, seperti takut menerima penolakan.
Aku menarik napas dalam. Tanpa pikir panjang, kukatakan, “Tentu, Sofya. Aku akan bantu. Kamu butuhnya berapa?”
Sofya menyebutkan jumlahnya dengan nada pelan, hampir malu-malu. Aku hanya tersenyum, berusaha menenangkannya. Keesokan harinya, aku menyiapkan uang itu dan menemuinya di luar untuk menyerahkan bantuan tersebut.
“Ini aku kasih ke kamu gak usah dibayar aku bantu ikhlas kok!”
“Alhamdulillah, terima kasih Kak Hendra, aku nggak tahu gimana caranya balas kebaikan Kakak,” katanya dengan suara bergetar, penuh rasa syukur.
Aku hanya tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Gak usah mikirin itu, Sofya. Anggap saja ini bantu-bantu keluarga. Tapi, tolong jangan bilang ke Arman kalau uang ini dari aku, ya. Nanti dia malah merasa nggak enak.”
Sofya mengangguk, masih terharu. Senyumnya yang tulus seperti mentari di tengah hari, menyiratkan kelegaan yang mendalam. “Terima kasih, Kak. Aku janji nggak akan bilang siapa-siapa.”
Suaranya yang penuh syukur membekas dalam hati, menimbulkan kehangatan yang tak terlukiskan. Rasanya seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar membantu. Dalam momen itu, aku tahu, kehadiranku benar-benar berarti untuknya di saat yang sulit.
****
Hari itu, baru saja aku merebahkan tubuh setelah seharian bekerja ketika pesan dari Sofya masuk di ponselku. Pesan yang singkat, tapi membuatku langsung tersentak.
“Kak, maaf banget mengganggu, tapi anakku sakit… panasnya tinggi, dan aku nggak tahu harus gimana. Arman lagi di luar kota, aku sendiri, dan… bisa tolong aku?”
Tanpa berpikir panjang, aku segera bangkit, mengambil kunci mobil, dan membalas cepat, “Tunggu di rumah. Aku segera ke sana.”
Tak lama kemudian, aku tiba di rumah Sofya. Dia sudah berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, menggendong anaknya yang tampak lemah, wajahnya memerah karena demam.
“Terima kasih banget, Kak. Aku benar-benar nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi…” katanya, suaranya bergetar.
“Nggak apa-apa, Sofya. Yuk, langsung kita ke rumah sakit. Nanti aku bantu urus semuanya, kamu tenang aja,” kataku, mencoba menenangkannya sambil membukakan pintu mobil.
Di perjalanan, Sofya duduk di kursi belakang, memeluk erat anaknya. Wajahnya tak lepas dari anaknya yang sesekali merintih pelan. Aku sesekali melirik ke kaca spion, memastikan mereka baik-baik saja.
“Kamu kuat ya, sayang,” bisiknya lembut pada anaknya, meski dari nada suaranya, aku tahu Sofya berusaha keras menahan kekhawatirannya.
Setibanya di rumah sakit, aku segera mengurus segala administrasi, memastikan Sofya dan anaknya mendapat penanganan cepat. Sementara mereka masuk ke ruang pemeriksaan, aku menunggu di luar, berusaha menenangkan diri juga. Tak lama, dokter keluar dan memberitahu bahwa si kecil mengalami infeksi, tapi akan baik-baik saja dengan perawatan.
“Bagaimana, Kak? Anak saya…?” Sofya keluar dari ruang pemeriksaan dengan wajah penuh harap.
“Tenang, kata dokter akan baik-baik saja. Sekarang tinggal dirawat sedikit, nanti sembuh kok,” jawabku, menepuk bahunya untuk menenangkan.
Sofya menghela napas panjang, lalu matanya berkaca-kaca sambil menatapku. “Aku nggak tahu harus bilang apa. Terima kasih banyak, Kak Hendra. Kalau nggak ada Kakak, aku nggak tahu harus gimana…”
Aku hanya tersenyum kecil. “Tenang aja, Sofya. Anggap aja ini bantu teman. Yang penting anakmu segera sembuh.”
Sofya mengangguk, dan senyumnya kembali merekah, meski ada bekas lelah di sana. Kami duduk di kursi ruang tunggu, mengobrol sejenak, hingga akhirnya dia mengucapkan kalimat yang membuatku tersadar betapa berarti bantuan kecil ini baginya.
“Kak Hendra, terima kasih sekali lagi. Kadang aku suka merasa takut kalau harus menghadapi ini sendirian, apalagi kalau Arman lagi nggak ada. Tapi Kakak selalu ada. Aku benar-benar merasa punya keluarga yang bisa aku andalkan.”
Aku hanya mengangguk, senyumku masih menggantung. Di momen itu, aku tahu bukan sekadar rasa terima kasih yang ia sampaikan, tapi juga kepercayaan dan ketenangan bahwa di saat sulit, selalu ada yang siap membantunya.
***
Senja mulai turun ketika aku dan Sofya saling chat, seperti membawa kehangatan di antara kesibukan soreku menjelang pulang kantor. Akhir-akhir ini kami memang makin sering chat. Biasa saling tukar pesan yang santai-santai saja, kadang tentang hal ringan, kadang juga tentang hal-hal yang lebih dalam. Kali ini, entah kenapa, aku merasa ingin membagi sesuatu yang selama ini kupendam.
“Sofya, kalau aku mau curhat soal masalah rumah tangga, nggak apa-apa, kan?” ketikku, dengan harapan dia tidak merasa risih.
Dia membalas cepat, seperti biasa. “Nggak apa-apa, Kak Hendra. Cerita aja, aku dengerin kok.”
Jari-jariku ragu di atas layar ponsel. “Ini sebenarnya agak gimana ya? soal ranjang. Kamu nggak keberatan aku curhat soal kayak gitu, kan?”
“Hmm, boleh kok, Kak. Aku dengerin,” balasnya dengan penuh perhatian, seolah memberiku izin untuk terbuka.
Aku pun mulai bercerita. Kuceritakan bagaimana Anindya, istriku, belakangan ini semakin serius dalam urusan agama. Sebuah perubahan yang baik, namun mulai terasa membatasi di beberapa hal, bahkan dalam hal yang sifatnya sangat pribadi. “Sekarang, tiap kali kami mau berhubungan suami-istri, dia punya aturan baru. Katanya posisi ini nggak boleh, posisi itu nggak sopan, dan bahkan aku nggak boleh pakai mulut karena katanya itu haram,” ceritaku, menambahkan tawa kecil meski ada nada frustrasi di sana.
Sofya mendengarkan dengan penuh empati. “Jadi bikin Kakak gak mood, ya?” balasnya, memberikan ruang bagi perasaanku.
384Please respect copyright.PENANAFf5fKvNIjV