13496Please respect copyright.PENANAXq5yn620U7
Pagi ini, dari sebuah kompleks perumahan di wilayah bekasi utara dengan kuda besi yang setia aku kendarai. Kemacetan dan asap kendaraan biasa menerpa bagai angin berhembus. Aku memarkirkan kuda besi di pelataran parkir yang tersedia dan bergegas menuju ruanganku. Sebuah meja furnitur krem dan sebuah netbook tertata rapi disamping printer carbon. Aku tidak menyukai meja yang bertumpuk dengan dokumen - dokumen yang bila aku simpan di netbook tidak sampai 100MB.
Sebelumnya, perkenalkan namaku Grha. Sebuah nama yang cukup tidak lazim. Sesuatu yang berhubungan dengan namaku menjadi plesetan dan canda tawa yang aku tanggapi dengan tidak serius. Lagipula, menyenangkan orang lain mendapat pahala juga.
Kembali ke pekerjaan, deretan angka dan kolom menjadi santapan mata setiap hari. Berkutat dengan nilai _ nilai yang tidak sedikit cukup membuat pikiranku tersiksa.
"Grha, kamu sibuk?" Tanya Ibu Kinanthi. Boss Divisi tempatku bekerja.
"Siap Bu. Hanya menyusun laporan anggaran pelatihan kemarin, Bu." Jawabku.
"Boleh aku minta tolong? Kebetulan Staff Logistik hari ini ijin ada keperluan. Bisa minta tolong pergi ke Informa Bekasi? Ada urusan administrasi yang harus diselesaikan."
Jelas Ibu Kinanthi.
"Baik Bu. Saya akan kesana. Kira - kira kapan saya berangkat kesana?"
"Nanti jam makan siang saja. Nanti urusanmu biar diselesaikan dengan rekan kerjamu, Lika."
"Baik Bu."
Waktu berlalu dan menunjukkan pukul 11.30 WIB. Aku segera berangkat menuju tempat tadi. Tempat yang aku tuju tidak terlalu jauh sehingga aku tidak banyak kehilangan waktu. Aku sendiri sudah beberapa kali kesini. Namun, tidak pernah sekalipun aku membeli barang dari tempat ini. Tapi bukan itu yang harus dibicarakan saat ini. Berbekal nota pembelian dan sejumlah uang, aku menuju tempat administrasi dan menyelesaikan urusan yang menjadi tujuanku kesini. Dari kejauhan, kerumunan orang nampak berfoto ria dan heboh. Mereka bersorak kegirangan walau beberapa petugas keamanan mencoba membuat kondusif suasana. Aku bertanya pada salah seorang pegawai.
"Mas, ada apa ya disana?"
"Itu mas. Artis. Penyanyi dangdut. Kalau tidak salah Siti Badriah."
Aku mengernyitkan dahi. Tidak terlalu percaya, aku mengamati kerumunan itu sekali lagi. Dan benar apa kata pegawai yang memberitahuku.
"Terima kasih, Mas atas infonya."
Aku berhenti sejenak memandangi kerumunan. Ingin aku kesana, tapi aku tidak terlalu mengenalnya. Yang aku tahu, ia menyanyikan lagu yang menjadi hits beberapa waktu lalu. Aku tidak terlalu mengikuti perkembangan infotainment.
Kerumunan itu reda ketika petugas keamanan membubarkan fans yang berkerumun. Artis ini langsung melenggang pergi tanpa pengawalan. Aku menelepon mengabarkan ke kantor bahwa urusan di Informa telah selesai. Kuamati dia, rambutnya sebahu berwarna hitam terburai. Langkahnya menapak anggun khas perempuan. Dengan memakai blus dan celana hitam melekukkan setiap bagian tubuhnya.
Aku menjaga beberapa langkah darinya menuju keluar. Ia berhenti menerima telepon. Rak besi tertata rapi sebagai display di sampingnya. Terlihat anak - anak kecil bermain di balik rak besi tersebut bermain dorong - dorongan. Rak besi itu akan tumbang ke arahnya.
"Awas....!"
Aku mendorong tubuhnya menjauhi rak besi dan seketika menghantamku. Pandanganku kabur dan meredup kelam. Kudengar suara teriakan samar dan tidak terdengar sama sekali.
Kemudian, dengan mata masih berat aku mencoba mengumpulkan kesadaran. Aku terbaring di sebuah ranjang. Aku tidak begitu mengenal tempat ini. Hanya seorang pegawai dari Informa yang kebetulan memantau keadaanku.
"Syukurlah bapak sudah sadar." Kata pegawai tersebut. "Bapak berada di ruang perawatan kami. Tadi bapak tertimpa rak besi di tempat kami."
"Ya, aku mengingatnya." Badanku cukup sakit tertimpa. "Aku tidak apa - apa. Hanya sedikit sakit di badan."
"Saya ijin keluar dahulu."
Pegawai itu keluar dari ruangan dan berganti dengan seseorang yang aku kenal wajahnya. Ya, dia adalah Siti Badriah. Bersama perwakilan toko, ia melihat keadaanku saat ini. Perwakilan toko menyampaikan permintaan maaf atas peristiwa yang menimpaku. Aku sendiri tidak mempermasalahkannya. Aku sedang tidak ingin membicarakan kompensasi yang akan diberikan oleh toko. Ia menyerahkan sebuah kartu nama dan berharap bahwa kejadian ini tidak berlanjut.
Siti Badriah masih berdiri disitu ketika perwakilan toko keluar ruangan. Praktis hanya aku dan Sibad (julukan artis dari orang media) yang masih tinggal.
"Terima kasih atas bantuannya. Kalau tidak ada kamu, mungkin aku...."
Aku memotong perkataannya.
"Tidak apa - apa, saya sebagai manusia harus tolong - menolong. Lagipula, saat itu anda dalam bahaya."
"Tetapi, karena saya, anda jadi seperti ini."
"Tidak masalah. Saya senang anda tidak apa - apa."
Aku melihat jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 16.00. Aku terkesiap bangun dan mengaduh kesakitan.
"Anda jangan bangun dahulu, anda masih sakit." Sibad menahan badanku untuk bangun.
Aku mengambil ponsel dan terdapat missed call dari kantor. Aku segera menghubungi kantor dan memberitahu kondisiku terkini. Sempat aku akan dijemput, namun aku menolaknya.
"Dari kantor ya?" Tanya Sibad.
"Iya, saya menghubungi kantor agar mereka tahu kondisi saya. Oh iya, anda tidak ada kegiatan? Saya tidak enak. Karena saya, kegiatan anda terganggu."
"Jangan terlalu formal, panggil aku Sibad. Namamu siapa?"
"Namaku Grha. Aku tidak enak memanggilmu dengan Sibad. Cukup Siti saja."
"Terserah kamu ingin memanggilku dengan apa."
"Asal jangan dengan kata sayang, ya?"
Ia tertawa mendengar perkataanku tadi. Suasana baru mencair ketika aku mengobrol sedikit banyak tentang diri masing - masing.
Waktu berlalu begitu cepat, saling tukar nomor telepon dan akun jejaring sosial sebelum kami berpisah. Kami berjanji akan bertemu kembali untuk sekedar berbincang.
Hari berlalu cepat, kami semakin intens berhubungan dalam komunikasi. Aku sudah berniat agar tidak terlalu bersinggungan dengannya. Media bagai macan buas yang siap menerkam dan melahap mangsanya bulat - bulat. Ia pun mengiyakan apa yang kulakukan dan menyetujuinya. Ia berbagi keluh kesahnya denganku. Mulai dari isu dan gosip tentang dirinya sampai turunnya popularitasnya dibanding rivalnya yang populer lewat tagline yang berlebihan dan goyang ala binatang. Aku mendengarkannya dan memberinya semangat. Hidup bagai roda kadang dibawah kadang di atas.
Suatu hari, saat jam makan siang ponselku berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Sibad.
"Bantuin aku siapin rumah buat ortu yuk. Aku mau nyiapin kejutan untuk mamah dan papah. Besok hari sabtu, kita ketemu di Gokana Summarecon bekasi."
Aku tersenyum dan membalasnya dengan kata setuju. Aku tidak sabar lagi menunggu hari sabtu segera tiba. Entah mengapa aku sangat senang hari itu. Padahal, ia bukan kekasihku. Dari media, digembar - gemborkan ia sedang dekat dengan dari artis muda yang ganteng sampai pengusaha properti. Toh, aku sendiri tidak mau ambil pusing. Meski kadang - kadang, ia menjelaskan bahwa ia sedang tidak ada hubungan dengan siapapun. Aku pun mengiyakan saja agar membuatnya senang.
Hari sabtu, tepat jam 12 siang, di Gokana Summarecon. Aku memesan minuman untuk sekedar melepas rasa haus. Tak berselang lama, seseorang wanita memakai coat dan baju bermotif macan duduk di depanku.
"Sudah lama, Grha?"
"Tidak. Barusan saja."
"Kamu sudah makan?"
"Aku baru memesan minuman."
"Tidak keberatan jika kita makan di mobil? Aku pesankan take away untuk kita."
"Jangan. Biar aku saja yang take away makanannya. Kamu tunggu di mobil aja."
"Tunggu aku di parkiran Basement 2. APV hitam No platnya B xxxx XX."
Ia beranjak pergi. Begitulah saat kami bertemu. Kami lebih sering menghabiskan waktu berdua di mobil atau tempat yang tidak dikenal sama sekali. Kami selalu menghindari kejaran media dan paparazzi yang selalu mengintai.
Dengan membawa makanan dan minuman, aku menuju basement 2 dan mencari mobil yang dimaksud. Aku menemukan mobil itu terparkir di sudut basement.
"Maaf aku kelamaan belinya."
"Tidak apa - apa koq."
"Makan yuk. Daripada kelaperan nanti."
Kami berdua makan di mobil. Sungguh pertemuan yang aneh.
"Siti, aku minta maaf yah."
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa mengajakmu makan di tempat yang berkelas. Tidak di mobil seperti ini."
"Seharusnya aku yang minta maaf."
"Itu karena aku tidak ingin kamu menjadi sorotan para wartawan yang terus menyorotimu."
"Sebentar, kamu makannya jangan belepotan."
Aku menyeka bekas makanan di sisi bibir kirinya dengan tisu. Ia terkejut. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku pun keheranan.
"Kenapa, Siti? Sayang aja kalau muka kamu belepotan seperti itu."
"I.I..Iya..."
Ia mengamatiku dengan salah tingkah. Ia kembali makan dan kupegang rambutnya yang menghalangi wajahnya saat makan.
"Nih, aku pegangin rambutnya biar tidak ikut kotor. Kamu makan ya."
Ia tertegun, ada sesuatu yang membuatnya kembali kehabisan kata - kata. Kemudia ia terbatuk. Refleks, aku mendekatkan minuman kepadanya.
"Makannya pelan - pelan ya. Nih, diminum biar tidak tersedak."
Ia kembali memandangiku setelah minum dan kembali ke makanannya. Ia menghentikan makanannya.
"Aku sudah kenyang."
"Ya sudah. Mana bungkusnya? Aku keluar sebentar mencari tempat sampah."
Aku keluar dengan kantong kresek yang akan kubuang. Setelah kutemukan, aku membuang kantong kresek dan kembali ke mobil. Aku mendapati Sibad duduk di depan dan memakai sabuk pengaman yang membelah dadanya. Pakaian yang dikenakannya menampakkan semua lekuk tubuhnya. Tubuhnya begitu indah dipandang. Dadanya yang menawan, lekuk tubuh yang sesuai dan aku sangat mengagumi perutnya yang aku sendiri tidak dapat aku gambarkan. Aku menelan ludah melihatnya.
"Kenapa, Grha?" Katanya membuyarkan pemandanganku.
"Ah...tidak apa - apa. Aku hanya terkejut saja kau duduk di depan."
"Terkejut? Bukannya kau sudah biasa melihatku duduk di depan seperti sebelumnya?"
Pernyataan dia mematahkan alibiku sekarang. Aku sudah sering melihat Sibad duduk di depan. Tetapi, tidak seperti sekarang. Sibad begitu menggodaku naluri lelaki saat ini.
"Oh iya, kapan aku harus membantumu?" Tanyaku mencoba memecah stagnasi pikiranku.
"Iya, sekarang bisa antar aku ke Setu? Aku sudah menyiapkan semuanya. Aku butuh pendapatmu tentang penataan ruang."
Aku melihatnya sekali lagi. Darahku berdesir kencang. Kuberanikan diriku berkata kepada Sibad.
"Siti, kamu tutup badan kamu pakai mantel ya?"
Ia melihat bagian dada ke bawahnya. Kemudian, ia tersenyum dan menutupi badannya.
"Terimakasih, Grha."
Mobil APV yang ku kendarai melaju menuju Setu. Sepanjang perjalanan, kami membicarakan hal dan ide yang akan kami tuangkan dalam penataan rumah hadiah Sibad.
Cuaca di Bekasi tidak dapat diprediksi. Tadi cuacanya mendung. Sekarang, panas begitu menyengat. AC mobil sudah pada suhu terdingin. Sibad membuka kembali mantelnya. Tubuhnya kembali menampakkan lekuknya.
"Sangat panas disini. Aku harap kamu mengerti." Katanya.
"Iya, tidak apa - apa."
Dari tubuhnya bercucuran keringat. Aku sendiri sudah cukup berkeringat di dalam badan.
"Kamu tidak gerah memakai kemeja di cuaca panas seperti ini?"
"Gerah sih. Tapi, mw gmn lg."
Ia mendekat tangannya dan membuka kancing kemejaku satu persatu. Pakaian dalamku sudah cukup basah dengan keringat.
"Akh....makasih sudah membuka kancing pakaianku. Tapi, aku malu loh."
"Malu? Kenapa? Kasihan kamunya udah kegerahan begitu."
"Bentuk badanku tidak bagus." Kataku. Aku mengakui tubuhku tidak atletis. Sedikit lemak di perut membuatku terlihat gemuk. Tinggi badanku standar orang Indonesia.
"Aku tidak mempermasalahkan bentuk tubuhmu. Kamu adalah seorang pria yang apa adanya, jujur dan tidak menuruti nafsumu. Aku percaya padamu."
"Tidak, Siti. Aku tidak seperti yang kau bayangkan. Aku tidak sesempurna itu."
"Memang kamu tidak sempurna. Tapi, aku menyukai prinsipmu. Bisakah kau tidak melihatku untuk sejenak? Kangan mengintip sekalipun."
"Baiklah."
Sementara aku fokus dengan jalan di depanku. Sibad mencari pengait bra di punggung dan melepasnya. Kedua tangannya melepas kaitan penopang di depan dan melepaskan bra keseluruhan. Dan secara sengaja, ia menaruh bra berwarna krem tanpa penopang di depan kemudi stir. Aku terkejut dan membanting stir ke tepi jalan dan mengerem dengan mendadak. Aku terengah - engah seperti kelelahan yang mendera badan.
"Maafkan aku, Siti. Aku tidak menyangka kamu meletakkan bra ini di depanku. Aku sangat terkejut."
"Aku juga tidak menyangka reaksimu seperti ini. Kau tidak pernah melihat bra perempuan?"
"Tentu saja aku pernah melihatnya berjejer di toko pakaian dalam dan swalayan. Tapi tidak dengan bra milik artis sepertimu."
Bra itu masih berada di kemudi stir. Bau khas bra miliknya memaksa hidungku untuk menghirupnya. Bau yang membuatku terangsang hebat.
Setelah menenangkan diri sebentar, aku kembali melanjutkan perjalananku. Aku sendiri sudah melepas kemejaku dan aku menaruhnya di kursi belakang.
Tiba di sebuah kompleks perumahan, kami berhenti disebuah rumah dimana kami akan menata rumah tersebut. Aku melihat tumpukan barang furniture di garasi. Ada meja, kursi, karpet dan lainnya. Singkat cerita, kami saling membantu membereskan rumah. Aku menyuruhnya untuk beristirahat di kamar tidur yang terlebih dahulu dibereskan karena ia terlihat lelah sekali. Aku membereskan sisanya seorang diri. Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB. Aku menyandarkan diri di sebuah sofa dan memejamkan mataku untuk beristirahat.
Aku terbangun, kulihat lampu sudah menyala. Sibad pasti sudah bangun. Kulihat jamku lagi. Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Aku menuju kamar dimana Sibad tidur. Tidak kutemukan dia. Aku pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Aku menuju ruang makan untuk mengambil minum. 2 nasi kotak terhidang di meja makan. Aku menyentuhnya dan masih hangat. Sibad kemana kau pergi?. Aku menuju garasi untuk mengambil kemejaku tadi. Aku mendengar suara desahan yang nikmat.
"Sssshhh......ooooccchhh......eeeemmmmhhh.......aa aaaccchhhh.....sssssshhhhh.....huuuuuuuhhhhh...... uuuuuuchhhhh"
Aku mengintip dari luar jendela mobil. Sebuah penampakan luar biasa tersaji di depanku.
Sibad yang tidak memakai celana bermasturbasi dengan menghirup kemeja yang aku kenakan. Ia naikkan bajunya hingga payudaranya terlihat kencang. Tangan kanan meremas kemeja dan menghirupnya dalam - dalam. Sesekali, ia memainkan putingnya sendiri yang sudah tegang. Tangan kirinya memainkan memek yang pertama kali kulihat. Sebuah lipatan horizontal yang membuat kontolku menegang. Ia mengangkang menampakkan memeknya yang bersih dan terus memainkannya. Jarinya bermain di itil dan memasukkan jari lainnya ke lubang memek. Ia begitu ekspresif dan menikmati masturbasinya. Racauannya menjadi - jadi. Aku pun semakin terangsang mendengar lenguhannya.
"Sssshhhh......eeeehhhmmmm......Grha.....oooocchh. ....yessss......uuuuuuccchhhh......iyaaaaaaa...... ...hissssss.......oooooooccchhh.......Grha......mo re.........yessss.......fffffuuuuucccckkkk.......y yeeeeeaaahhh..........ssssssshhhh"
Aku melihat live show yang langka ini. Kukeluarkan kontolku yang tegang dan mulai mengocok sambil melihat Sibad bermasturbasi ria.
Ia mulai menggesekkan memeknya, perlahan, ia mulai menggeseknya dengan cepat. Dimasukkannya mula - mula 1 jari hingga 3 jari. Payudaranya pun tidak luput dari rangsangannya. Jarinya aktif memilin, memuntir dan meremas payudaranya. Dihirupnya kemejaku. Ia menaik turunkan temponya dan ia mulai mengejang. Kakinya menumpu pada kursi depan. Tubuhnya mengejang ke atas. Memek bersihnya menyemburkan cairan kenikmatan tiada tara yang deras hingga mencapai kaca depan mobil. Aku memasukkan kembali kontolku yang masih tegang dan kembali ke rumah. Beberapa saat kemudian, Sibad masuk ke rumah dengan kemeja yang aku pakai.
"Siti? Kau sudah bangun? Aku mencarimu tadi. Tapi, sekarang sudah ketemu."
"Kenapa? Kangen?"
"Mungkin sih. Oh iya, kemejaku kenapa kau bawa? Baru aku ingin mengambilnya di mobil."
"Tadi aku mengambil sesuatu di mobil. Sekalian saja ku ambil kemejamu."
"Oh, terima kasih, Siti"
"Makan yuk. Tadi udah aku siapin."
"Ya sudah. Yuk."
Kami berdua makan malam. Aku masih menatapnya. Beberapa saat yang lalu, ia nampak kelelahan dalam masturbasi. Sekarang, aku melihatnya makan di meja makan.
"Siti, kau lahap sekali. Seperti baru saja melakukan sesuatu."
"Mungkin aku kecapean sewaktu tidur."
"Aku sudah mencoba sebisaku untuk merapikannya. Kupikir cukup tertata untuk sekarang."
"Tadi aku melihatnya dan hasilnya luar biasa. Kau menyelesaikannya sendiri?"
"Ya, aku menyelesaikannya sebisaku saja."
Selesai aku makan, aku membereskan kotak makanan dan membuangnya. Saat aku berbalik, aku menabrak Sibad yang membawa Gelas Plastik berisi air putih.
"Duh, Grha. Maaf ya. Aku tidak sengaja."
"Aku yang tidak melihatmu saja, Siti."
Air itu tumpah di pakaian dan di celanaku. Aku coba mengeringkannya dengan handuk.
"Kamu lepas aja baju kamu. Di angin - angin biar kering."
Aku melepaskan bajuku. Perut one pack ku terlihat. Sibad hanya tersenyum.
"Ditaruh di gantungan aja."
"Iya, Siti."
"Badanmu begitu ya?"
"Maksudnya? Jelek yah? Kurang olah raga nih."
"Bulu kamu jarang yah?"
"Bulu? Kau melihat bulu di bawah pusarku?"
"Aku melihat sesuatu yang unik darimu saja. Kebetulan bulu milikmu itu menarikku."
"Celanamu bukannya basah ya? Dilepas aja biar kering."
"Aku tidak nyaman melepasnya."
"Kamu pake Boxer kan?"
"Iya sih, tapi aku tidak pakai celana dalam. Aku lebih suka memakai boxer aja."
"Pakai boxer aja tidak apa - apa. Ini sudah malam, tidak mungkin jika aku dan kamu pulang sekarang. Kita berdua menginap saja disini."
"Aku ke kamar mandi dulu. Aku akan melepas celanaku ini."
Aku pergi ke kamar mandi dan melepas celanaku. Kulihat kontolku yang lemas.
"Huft...tanggung banget yang tadi."
Aku keluar hanya memakai boxer dan Sibad pun telah berganti pakaian. Dengan celana gemes dan tank top di pakaiannya, kini lekuk tubuhnya semakin jelas terlihat.
Takjub dibuatnya, kini ia terlebih natural.
"Aku baru menyadari kalau rumah ini tidak ada televisi."
"Iya, televisinya baru datang senin sore."
"Ya sudah. Aku akan mengambil bantal dan guling. Aku akan tidur disini. Kamu di kamar aja."
"Kamu tidak ingin menemaniku tidur? Apa aku tidak terlihat menarik bagimu?"
Aku tertohok dengan pernyataan itu.
"Tentu kau sangat menarik. Aku ingin menemanimu tidur. Tetapi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku tidak ingin menyakitimu."
Sibad cemberut mendengar perkataanku.
"Aku ingin tidur. Gendong." Ungkapnya dengan manja. Aku menggendongnya menuju kamar tidur.
"Kamu aslinya manja banget yah."
"Hehehe, kamu juga keliatan aslinya. Awalnya kaku tapi lama - lama nyenengin."
"Tapi, ada sih yang kaku dari aku waktu ma kamu."
"Ihhh....jorok yah kamunya."
"Bercanda koq, Siti."
Sibad mencubit hidungku. Aku merebahkannya di tempat tidur.
"Nah, sudah sampai di tempat tidur."
"Cium kening dunk."
Aku mencium keningnya.
"Pipi kanan dan kiri."
Aku mencium kedua pipinya.
"Hidung?"
Aku mencium hidung mungilnya.
"Bibirmu tidak perlu 'kan?"
Ia memegang kepalaku dan menciumku. Aku membalas ciuman dengan melumat bibirnya. Pertukaran liur itu membuat lidahku bermain dengan lidahnya. Aku melepaskan ciumannya dan meludah di mulutnya. Hal yang sama pun dilakukannya. Aku menciumi lehernya yang begitu manis dirasa.
"Ssssshhhhhh........"
Ia mengerang lemah, suara seraknya membuatku terangsang. Aku meremas payudaranya yang empuk di tangan. Aku sendiri tidak pandai menebak ukuran payudara.
"Oooooccchhhh........uuuuucccchhhhhh"
Ia meracau dan mendesah. Tidak lupa, kupilin putingnya dari balik tanktopnya. Aku memakai tempurung paha dan kutempelkan tepat di depan memeknya yang terbungkus celana gemes dan kutekan dengan sedikit tekanan.
"Isep tetek aku, Grha. Isepin." Pinta Sibad yang terbuai kenikmatan.
Ditariknya tanktop lepas dari tubuhnya. Sepasang gundukan putih dengan aerola yang berwarna coklat bebas memberontak. Menyusunya adalah sebuah hal yang tidak terpikirkan bagiku. Aku menikmati setiap hisapan dan gigitan kecil di putingnya. Bergantian dari kiri ke kanan. Ia tidak melepaskan kepalaku, dibenamkannya erat di payudaranya. Aku menyatukan puting kiri dan kanan dan memainkannya secara bersamaan.
"Iiiihhhh.......nikmat banget sih, Grha. Terusin....."
Celana Sibad lembab. Apakah dia sudah keluar?
"Siti...."
"Panggil Sayang maunya."
"Si....Sayang udah keluar ya?"
"Kamu jahat, belum diapa - apain udah dibikin keluar."
Tanpa aku jawab, aku meneruskan bermain dengan payudaranya. Setelah puas bermain, aku melepas celananya dan memek bersih dengan bulu halus menambah gairahku.
"Memek sayang bagus."
Sibad menutup wajahnya malu
"Aku malu diliatin kamu."
Sikap malunya membuatku semakin tidak sabar.
Aku mainkan itilnya dengan lidahku. Kusentuh beberapa titik sekitar memek dan kujilat penuh hingga menyapu semua bagian memeknya. Kutuliskan alfabet dan numerik di memeknya. Lidahku menulis sesuai urutan alfabet dan numerik.
"Yyyeeeeaaahhh.......oooooohhhh.......uuuuuhhhhh.. ........ssssssssshhhhhh"
Kumasukkan jariku di memeknya. 2 jari ditekuk dan menggaruk dalam memeknya yang begitu hangat
"Disitu.....garuk.......eeeehhhhmm......"
Jari - jariku menggaruk dinding memeknya. Sengaja aku mengacaukan temponya agar ia semakin tidak berdaya.
"Eemmmhh.....jahat.....kamu.....kacau......enak... ...oooocchhhh......sakit.........terus.......mmmmm hhhhh......ffffuuuuccckkk"
Aku miringkan kepalaku dan memasukkan lidah ke dalam memeknya yang menyodok liang memeknya. Dengan bantuan jari, aku mengorek liang memeknya. Ia kembali mengejang. Dijepitnya kepalaku dengan pahanya.
"Oooocchhh......aaaa....kkkk....uuuuu......kkkkeee .....llllluuuu.....aaaa....rrrrr"
Cairan nikmat itu membasuh mukaku. Agak sedikit lengket. Tapi, aku sungguh puas. Sibad memandangiku dengan perasaan bersalah.
"Maaf, pasti susah nafas waktu dijepit. Udah gak tahan soalnya."
"Gak apa - apa. Aku seneng koq."
Aku berdiri disampingnya yang sudah lemas. Ia melirik ke boxer yang aku pakai.
"Lepasin boxernya. Kasihan kontolnya udah berontak."
Ia meraba kontolku dari balik boxer. Ia melucuti boxer yang melepaskan kontol yang sudah tegang.
"Punya kamu lebar. Muat gak ya di memek aku?"
"Mau dicoba?"
"Mau banget."
Dilumurinya kontolku dengan ludahnya yang dioles dengan tangannya. Ia sudah tidak tahan lagi. Aku memosisikan diriku untuk bisa memasukkan kontolku ke memeknya. Tangannya menggenggam sisi terjauh sprei dan dibuka lebar kedua pahanya.
"Grha, meski aku tidak perawan lagi. Tolong, perlakukan aku sebagai wanita perawan. Aku ingin kelembutan." Pekiknya memelas kepadaku.
"Iya, sayang."
Kepala kontolku sudah masuk sebagian.
"Uuuggghhhh......"
"Sakit sayang?"
"Terusin...."
Kudorong 1/4 batang kontol
"Oooooccchhhh.....pelan - pelan kamu masukkinnya."
1/2 batang telah masuk ke dalam memeknya.
"Ssshhhhhh......"
"Sayang tahan yah. Udah setengahnya. Ia mengangguk pelan sambil aku mendorong kontolku makin masuk dan seluruh kontolku masuk ke dalam memeknya.
"Udah masuk semuanya. Aku diemin dulu."
Sibad meneteskan air mata.
"Sayang, kamu kesakitan banget yah?"
"Iya. Tapi aku juga seneng kalo yang masukkin itu kamu. Kamu perlakuin aku kaya perawan."
"Aku udah bilang gak mau nyakitin kamu."
"Digerakkin yah. Tapi pelan - pelan."
Aku gerakkan kontolku maju mundur secara perlahan. Ia masih terlalu tegang. Kontolku terus dijepitnya dengan kuat.
"Sayang, dijepitnya jangan kuat - kuat. Bisa - bisa aku keluar duluan sebelum ngapa - apain kamu."
Ia mencoba rileks. Genggaman tangannya mengendur begitupun memeknya. Kucoba menambah sedikit kecepatanku. Aku tetap memaju mundurkan meski hal ini cukup mengurasku.
"Memek sayang rapet banget. Kaya nolak kontol aku."
"Aku masih belum terbiasa dengan ini."
"Yaudah nanti kamu rileks dulu."
"Kamu belum keluar 'kan? Keluarin di luar aja. Aku masih takut."
"Aku belum keluar, sayang."
Aku mengeluarkan kontolku dan menempatkannya di tengah payudaranya
"Sayang mainin kontol pake tetek ya sambil aku perkosa sayang."
Ia memainkan payudaranya. Jepit tekan atas bawah kanan kiri cepat keras membuatku menikmati setiap gerakannya.
"Uuuccchhh.......sayang bisa banget sih....ooooccchhh."
Ia semakin semangat memainkannya.
"Ssssaaa....yyyyaaaa.....ng.....akkkk.....kkuuuuu. .....mmmmaaaauuuu........kkkkk......eelllluuuu.... ..aaaaarrrr...."
Ia mempercepat gerakannya.
"Keluarin pejuhnya di muka siti."
Tidak berapa lama, aku terdiam. Kontolku mengedut keras.
"Aaakkkkuuuu.......kkkeelllluuuuaaarrrrr....."
"Cccrrrrooootttt......crrrrooootttt........crrrroo oottt......crrrrooooottt..."
Sperma keluar dari lubang kontol dan memenuhi wajah Sibad yang menutup mata melindungi dirinya.
"Pejuh kamu banyak banget sampe ke rambut aku."
"Bersihin dunk pejuh aku yang di kontol."
Ia melahap kontol yang agak lemas itu sambil membersihkan wajahnya.
"Pejuh kamu manis. Aku telen semuanya nih gak bersisa."
Sperma yang tersisa ia bersihkan dan ditelannya. Cukup lelah aku hari ini,
"Bolehkah aku tidur disampingmu? Aku cape kalo balik ke sofa."
Ia menarik selimut dan memelukku.
"Makasih sayang, kamu ngehargain aku banget. Jangan tinggalin aku."
Aku tersenyum kepadanya dan menciumnya. Malam ini begitu terasa indah.
Pukul 01.00 WIB. Terbangun dengan bidadari yang masih terlelap mimpi. Sempat aku tidak percaya bahwa ini adalah kenyataan. Aku mencubit kulit dan mengaduh. Ternyata, bukan mimpi. Membelai rambutnya yang indah, ia begitu cantik walau tanpa make up yang tebal. Ia masih dalam kondisi semula, telanjang bulat memelukku. Bangun dengan segenap tenaga yang tersisa, kaki ini melangkah pelan menuju kamar mandi. Sebelumnya, segelas air kureguk dari dapur. Melegakan dahagaku kurasa. Dinginnya lantai kamar mandi terasa di telapak kaki. Bukan kamar mandi yang mewah, sebuah keran shower dan toilet duduk dengan corak keramik marmer putih. A little luxury in small room. Air pancuran shower meluncur deras di badanku. Meski dinginnya air membuatku cukup menggigil, tetap saja air itu menyegarkanku. Dengan cair, kusapukan setiap bagian. Tiba - tiba, sepasang tangan meraba bagian atasku. Jemarinya yang lentik membantuku meratakan busa sabun.
"Kalo mandi, pintunya ditutup ya." Bisik Sibad di dekatku.
Aku lupa menutup pintu kamar mandi.
Begitulah kebiasaan burukku. Kadang, aku lupa menutup kamar mandi karena aku terbiasa mandi dengan kamar mandi terbuka.
"Aku bantuin kamu mandi ya."
Di dekapnya tubuhku. Dadanya kini menempel di punggungku. Tangannya yang mungil mengusap - usap badanku. Digerakkannya payudaranya membuatku terangsang. Perlahan tapi pasti, kontolku menegang. Tangannya mengusapkan sabun di sekitar area kontolku. Ia masih takut memegangnya. Aku membalikkan badan, dan kuciumnya dengan mesra. Dibawah shower, kuremas dadanya. Ia mendesah halus.
"Emmmhhhhh......ssshhhh....."
"Sayang pegang aja kontolnya."
"Takut. Kayaknya lebar banget."
"Jangan takut. Gak gigit koq."
Ia memegang kepala kontolku. Sentuhannya membangkitkan birahiku. Kemudian, mulai menjamah batangnya.
"Dimainin dunk. Punya sayang koq."
Tangannya menekan - nekan kontolku yang membuatku semakin meracau kenikmatan.
"Punya kamu unik. Gak terlalu gede tapi lebar."
Ia mulai mengocok dengan kedua tangannya.
"Aku harus pake 2 tangan ngocoknya nih. Uratnya berasa bgt ditangan aku."
Setelah beberapa saat, ia mengendurkan kocokannya.
"Capek. Punya kamu gak keluar - keluar."
"Ya jangan dunk. Aku masih pengen main sama sayang."
"Terus?..."
"Dijilatin biar tahu rasanya."
"Jilat ini?" Katanya sambil menunjuk kontol.
"Iya. Cobain aja."
"Iya deh."
Sibad menutup matanya. Ia menjulurkan lidahnya, dan mendekati ujung kepala kontol. Aku gemas dan tidak sabaran melihat tingkahnya seperti perempuan yang awam seks.
Ujung lidahnya menyentuh lubang kencingku.
"Aaakkkhhh....."
"Kenapa Grha? Aku salah ya?"
"Tidak, kau menyentuh bagian paling sensitif."
Ia meneruskan menyentuh lubang kencingku dengan lidahnya. Sentuhan itu bagai narkoba yang diinjeksi ke tubuh. Begitu nikmat hingga aku tidak sadar ia menjilati kepala kontolku.
"Uuuuccchhhh.....nikmat banget..."
"Batangnya jg?"
"Tentu dunk."
Ia menjilatinya dari kanan ke kiri, atas ke bawah. Zakarku diremasnya mesra. Aku tidak akan memaksanya mengulum Zakarku.
"Sayang, di emut dunk kayak permen lolly."
Ia mengangguk. Mulutnya mengulum ujung kontol dengan imut. Ia mengulumnya sedikit demi sedikit.
"Gak muat. Kontol kamu kelewat lebar dari mulut aku."
"Yaudah. Sayang ngemutnya sebisanya aja. Diisep juga."
Ia menghisap kontolku bagai vaccuum cleaner. Aku sandarkan punggungku ke tembok kamar mandi. Ia menghisapnya dengan segenap kekuatan.
"Ooooccchhhh........uuuuuuCcccccchhhhh.......sssss sshhhhhh.......aaaaaaaaahhhhhh....sayang ngisepnya pelan - pelan."
Ia makin beringas menghisapku. Aku semakin tidak berdaya. Aku pun berusaha agar tidak ejakulasi. Aku mengejang menahan agar tidak jebol pertahananku. Ia pun berhenti kecapekan. Nafasnya naik turun memburu udara segar.
"Gimana sepongan aku?"
"Luar biasa. Aku sampe kewalahan."
Aku masih menyandarkan badanku ke dinding sembari mengumpulkan tenaga.
"Tapi, kamu belum juga keluar. Kuat banget sih."
Kontolku masih mengacung dihadapannya. Ia memandangi penuh harap.
"Maafin aku ya, memekku belum bisa muasin kamu tadi."
Aku menemaninya duduk di shower dan mengecup keningnya.
"Aku tidak pernah berpikir kita berdua akan melakukan ini, sayang. Kau sudah memberikan yang terbaik."
"Memekku belum bisa muasin kamu."
"Tidak apa - apa, Sayang."
Ia bangkit dan duduk di kloset. Dibukanya paha lebar sambil merangsang diri.
"Grha, please coba lagi. Aku pengen kontolmu itu. Kali ini, langsung masukkin aja. Aku bakal tahan sakitnya."
Aku menatap matanya. Perasaan yang bercampur aduk bergejolak dalam diri.
"Sayang yakin?"
Ia menganggukkan kepalanya. Aku mendekatinya. Kuremas lagi payudara yang tidak membuatku bosan. Tanganku aktif merangsang memeknya. Tangannya dilingkarkan di leherku dan sesekali menjambak rambutku yang pendek.
"Buruan dimasukkin. Jangan disiksa kaya gini. Please..."
Kontolku telah menyentuh bibir memeknya. Kudorong perlahan masuk kedalam. Ia mengaduh kesakitan.
"Oucchhh......sakit banget.....jangan brenti....terusin."
Aku mendorong kontolku sedikit demi sedikit. Sibad pun mendorong panggulnya membantuku penetrasi.
Setelah beberapa lama, kontolku diapit memeknya. Ia terisak kesakitan. Wajahnya menahan penderitaan.
"Aku lepasin aja ya, sayang. Kamu sampe nahannya begitu."
Sibad menggeleng. Ia memaksaku mendorong penisku dengan mengaitkan tangan dan kakinya. Berlinangan air mata, ia berusaha melawan rasa sakitnya.
Aku sendiri iba melihatnya seperti ini. Aku mendorong kontol sebisaku, aku merasakan memeknya makin tegang.
"Masukkin....masukkin....terus....terus.....ja ngan brenti....jangan brenti....sodok terus....sodok terus......Grha."
Semangatnya kini berubah menjadi sebuah rasa sedih yang dapat kurasakan.
"Siti, jangan dipaksakan. Kamu makin sakit."
"Gak mau pokoknya diterusin.....Grha.....terusin.....entot aku kaya perek...."
Tangis Sibad memecah bersama deburan air shower yang terus dinyalakan. Aku memeluknya dengan kontol masih terbenam d memeknya.
"Aku cuma pengen kaya perempuan lain, Grha. Dientot cowo sampe puas."
"Udahlah, Sayang. Jangan memaksakan kondisinya. Mungkin memek kamu lemah atau punyaku yang tidak bisa memenuhi hasratmu."
"Aku cuma pengen dientot kaya cewe lain ampe klojotan ma kamu."
"Aku juga pengen. Tapi, kondisi kamu seperti ini."
Kami berpelukan cukup lama dalam posisi seperti ini. Kontolku terasa di dipijat oleh memek Sibad. Mungkin ia berusaha menyenangkanku.
"Siti, aku seneng banget."
"Kenapa? Kamu gak bisa entotin aku."
"Pijitan memek kamu bikin aku nyaman."
"Aku cuma bisa begitu aja."
"Aku bahagia banget nih pokoknya."
Ia kembali tersenyum. Semangatnya perlahan kembali.
"Oiya, aku ada ide bagus."
"Apa?"
"Kamu bisa goyang 'kan?"
"Bisa dunk. Terus apa hubungannya?"
Aku menyuruhnya untuk mengikuti ritme gerakan maju mundur saat penetrasi. Jika aku bergerak maju ia memundurkan pinggangnya ke belakang. Begitupun sebaliknya. Ia mulai menyukainya.
"Gimana, enak kan?"
"Enak. Memekku gak sakit."
"Sayang masih bisa njepit kontol aku."
"Sama, aku bisa latihan goyang."
Kami pun tersenyum di bawah guyuran air shower. Gerakan itu berlangsung intens, Ia mengejang kembali dan memelukku erat.
"Aaaakkkkuuu.......kkkeeellluuuaarrrr......Grh a."
Cairan nikmat itu keluar dari sela memek bagai air mengalir. Sibad menampakkan roman muka begitu kelelahan. Tidak berselang lama, aku cabut kontolku dari memeknya. Aku mengocoknya tepat didepan mukanya.
"Bentar....lagi....keluar....sayang..."
"Ssssshhhh.......aaaakkkkhhhh.....keluarin aja di muka aku.."
"Aaaaaaaaaakakkkkkkhhhhhhhhhh......."
"Ccccrrrooottt.......ccccrrrrreeetttt.......cccccr rrroooottt.....cccccrrroooootttt."
Kontolku berkedut menembakkan sperma hangat ke muka Sibad.
"Pejuh kamu legit banget."
Spermaku berceceran di dada dan perutnya. Ia mengolesnya hingga sperma itu tidak berbekas. Tidak lupa, ia mengocok - kocok kontolku berharap masih ada sisa sperma yang bisa ditelannya.
Kami segera membersihkan badan dan kembali ke tempat tidur. Sibad menuntunku dengan memegang kontolku ke ranjang. Kecupan mesra menghiasi momen sebelum beristirahat. Kami berdua terlelap dalam tempat tidur yang sama.
Keesokan harinya, mataku masih berat akibat kelelahan. Pandanganku masih berat. Tapi aku merasakan sebuah hentakan tepat di kontolku. Perasaan hangat dan jepitan yang aku kenal sekali. Aku terkejut mendapati Sibad yang telanjang tengah berusaha memasukkan kontol ke memeknya pada posisi WOT. Rambutnya ia kuncir keatas, tangannya menumpu pada lututnya, dengan bersusah payah ia menumbukkan memeknya ke kontolku. Kudapati, tangan dan kakiku terikat pada setiap sisi tempat tidur. Praktis, aku tidak dapat melakukan perlawanan. Sibad, dengan wajah bersedih memelas dan berlinang air mata sesekali terisak perih.
"Grha, maafin aku perlakuin kamu kaya gini. Biarin aku yang berusaha biar kontolmu bebas ngentotin aku."
Saat itulah, aku merasa sedikit nyeri. Ia tetap menaik turunkan tubuhnya seperti bermain jungkat - jungkit. Sedikit ngeri aku melihatnya, ia terlalu memaksakan dirinya. Entah mengapa kontolku tidak sejalan dengan pikiranku. Semakin menegang saat bersentuhan dengan dinding memeknya. Seorang Sibad yang aku kenal berubah menjadi seorang yang obsesif dengan "ngentot". Ia rela memaksakan dirinya agar ia dapat menikmati apa yang disebut dengan "ngentot". Syaraf kenikmatanku bereaksi terhadap semua ini. Perasaan yang sangat menyenangkan mengalir ke sekujur tubuh. Ia mencoba berbagai posisi yang sekiranya membuatnya nyaman dan merangsang birahi. Ejakulasi yang melanda mulai membuatku memikirkan cara agar aku dapat bertahan lebih lama. Lalu, sebuah hal terjadi.
"Pas...pas....memekku bisa lentur dan bebas ngentotin."
Aku merasakan bahwa ia sudah tidak setegang sebelumnya. Memeknya lebih menerima kontolku yang bersarang. Desiran nafsuku melonjak drastis.
"Uuucccchhh......oooooocccchhhh.......aaahhhh..... ..yeeeeeeeeeaaaaaaaaahhhh..........ffffffuuuuuuccc ckkkkkk.......sssssssshhhhhhhh......."
Ia memegang kepalaku dan menciumku dengan ganas.
"Genjot.....terus......genjot......kontolmu dahsyat......"
Ia kembali ke posisi awal dan menaik turun kan tubuhnya lebih cepat dari sebelumnya.
"Sayang.....jangan....kencang.....aku.....tidak... ..tahan......aku......mau.......keluar."
Ia semakin bersemangat memacu tubuhnya.
"Sayang.....cabut.....nanti.....aku.....keluar.... .di......dalem...."
"Keluarin di dalem....keluarin di dalem."
Ia membekap mulutku.
"Ooooocchhhhh.....yyyeeeeaaaahhhh......sssssshhhhh hh......anget banget pejuh kamu di dalem.....aaaahhhhh......"
Sibad terdiam menikmati sperma yang aku keluarkan di dalam memeknya. Entah apa yang aku rasakan saat ini, semuanya campur aduk. Sibad berdiri dan pejuh berceceran dari memeknya. Pandanganku terjatuh dalam gelap.
Kudapati diriku terbangun di ruangan yang sama. Sepiring roti dan susu tersedia disampingku. Boxer yang tergeletak kupakai kembali. Seorang wanita berparas cantik tengah sibuk di dapur. Ia memakai celana gemes dan menutupi dadanya dengan celemek. Refleks, kucium lehernya yang wangi.
"Eh, sayang udah bangun?" Katanya mesra. Seolah tidak ada hal yang terjadi.
"Udah donk. Lagi mau masak. Tapi, bingung mau masak apa."
"Apa aja yang penting asal ma kamu sekarang."
Tanganku menyusup celemek dan meremas dada yang aku suka.
"Aaawwww......nakal kamunya. Tetek aku diremas - remas kaya gini."
Kuremas juga pantatnya yang seksi.
"Sssshhhh.....Grha, jangan diterusin......"
Jariku kini bermain di memeknya.
"Ooooocccchhhhh.......jangan disitu.....geli......."
"Memek kamu udah bisa ngentot kan?"
Ia tersenyum dan kami kembali bergumul hingga akhir hari itu.
Entah telah berapa banyak sperma yang kutumpahkan di badannya. Oh, Siti Badriah, you're a such natural angel.
13496Please respect copyright.PENANAjQSE8vLpBy