Derap kaki langkah maju menyentakkan cerah pikirku. Menghantarkan impuls dengan cepat hingga aku tersadar bahwa aku masih disana; di sebuah ruang gelap; sunyi; terpaku akan masa lalu dan semua trauma yang membunuh. Menghela nafas, “dunia masih putih” pikirku. “Kapankah aku bisa menguraikan putih ini menjadi warna yang indah? dimanakah prismaku?”.
Hingga aku bertemu mereka. Dalam sebuah ruang dimensi yang tak aku sangka benar adanya. Takut, itu yang ku rasakan. Pikiranku mengatakan “tidak, kau tidak bisa mempercayainya. Kamu tidak ingin terluka lagi bukan?”, yang berbanding terbalik dengan hatiku “tangan itu, rasa hangat itu, ingin ku raih kembali”.
Setiap hari ku jalani, mereka tetap ada disana. Tidak bergeser satu langkah pun. Salah seorang mereka menghampiriku, ia memelukku tanpa kata. Tersentak aku mendorongnya menjauh dariku. Namun, pelukannya semakin erat seolah tidak membiarkanku pergi. Terdengar frekuensi menyentuh gendang telinga yang artinya “tidak apa, aku disini, kami disini. Sudah cukup bagimu menahan semua sendiri”.
Baik, aku kalah. Aku menyerah melawan hatiku sendiri. Air mata jatuh begitu saja menerima pelukannya. Dia terdiam, mengisyaratkan temannya untuk membentuk formasi penyelamatan untukku. Mata ini terbuka, aku melihat formasi mereka, ada yang membual; ikut menangis; hingga memberikanku asupan.
Ku tatap langit pasca hujan di hari itu. Terlihat warna - warni yang sangat indah. Ahh, ternyata, dia adalah prismaku. Mereka adalah warnaku. Selamat, kalian telah berhasil menguraikan warna ini menjadi warna yang indah.
Tuhan, lindungi mereka, lindungi hatinya. Lancarkanlah semua tujuan mereka. Berikan mereka kehangatan yang indah, sebesar rasa hangat yang mereka berikan kepadaku.
Terima kasih prismaku. Terima kasih warnaku.
126Please respect copyright.PENANAHj71qG6hHN
(09/06/22)
ns 15.158.61.6da2