BEND, BUT NOT BREAK—EPS. 1
Pertengahan tahun 2021 lalu, bisa dibilang sebagai titik terendah bagiku selama 18 tahun lebih hidup di planet ini. Mungkin bagi beberapa orang ini sangatlah sepele, hanya perkara dunia kok. Setelah lulus dari Madrasah Aliyah, yang artinya juga lulus dari pesantren (karena pada saat menjalani pendidikan menengah atas memang di pesantren). Pesantrenku cukup terkenal, bahkan banyak dari santri maupun santriwati yang berasal dari luar pulau jawa. Aku tidak akan membahas lebih tentang pesantrenku, tapi orientasiku disini adalah berbagi kisah jatuh bangunku setelah lulus dari sekolahku.
Beberapa bulan sebelum kelulusan, ada sebuah momen dimana aku mendapat kabar dari guruku kalau aku termasuk kedalam siswa eligible SNMPTN. Ketika mendengarnya, tentu aku bersyukur, karena siapa tahu aku menang nasib kali ini. Setelahnya, aku menjalani berbagai proses seperti input data, konsultasi pemilihan jurusan, hingga finalisasi. Semuanya berjalan cukup lancar, aku mengikuti semua rangkaian proses yang dititahkan oleh guruku dengan baik. Mengapa kukatakan cukup lancar? Karena sewaktu aku kebagian jatah konsultasi untuk memilih dan memantapkan jurusan yang akan kuambil, aku sempat berdebat dengan guruku. Mengapa berdebat? Karena aku kekeuh memilih kedokteran disalah satu universitas top 3 dengan nilaiku yang terbilang pas-pasan, bahkan tidak layak diadu nasibkan di kampus tersebut. Bukan, bukan aku tak sadar diri. Tapi aku menganut paham bahwa orang pintar masih kalah dengan orang yang beruntung. Nasib, siapa yang tahu? Bahkan keputusan Tuhan tidak bisa dirasionalisasikan, bukan? Nasib pun tak dapat diprediksi, bukan? Akhirnya, perdebatan usai setelah aku menghubungi kedua orangtuaku, meminta secangkir pendapat mereka. Lalu jika kalian tanya, jadinya gimana? Ambilnya apa? Jadinya kuambil jurusan yang direkomendasikan oleh seorang guru, dengan restu kedua orangtuaku juga. Jadi ya sudahlah, kuikhlaskan hihi.
Kalau kalian tanya apa yang kulakukan selama rentang waktu menunggu pengumuman SNMPTN tersebut, jawaban singkatnya adalah aku telah belajar. Belajar berdo'a lebih khusyuk, belajar membantu orang lain yang butuh bantuan, belajar meningkatkan komunikasi dengan guru (karena biar bagaimanapun ridho seorang guru memengaruhi keberhasilan sang murid), belajar persiapan UTBK karena aku memang tidak berharap banyak pada SNMPTN ini (ingat bestie, terlalu berharap nanti sakit), dan belajar memahami apa-apa yang terjadi dilingkungan sekitar seperti fenomena santriwati kelas akhir menjadi sangat rajin pergi ke masjid (selain pada waktu jama'ah sholat wajib).
Hasilnya bagaimana? ANDA DINYATAKAN TIDAK LULUS SELEKSI SNMPTN 2021. TETAP SEMANGAT DAN JANGAN MENYERAH (kurang lebih atau kalau tidak salah seperti itu tulisannya) dengan background merah cabai.
Awalnya aku biasa aja, agak sedih, tapi tidak sampai meneteskan air mata. Sore itu juga, setelah membuka pengumuman SNMPTN, aku langsung menghubungi kedua orangtuaku melalui telepon Ibu Warung Pojok langgananku kalau-kalau makan mie instan di pesantren.
Beberapa detik menunggu jawaban, terdengar suara mama diseberang sana memberi salam. Hal pertama yang mama tanyakan adalah, "sudah makan, nak?", belum sempat menjawab, tangisku pecah. Bahkan Bapak dan Ibu pemilik warung menyuruhku untuk minum segelas air mineral kemasan yang disodorkan Ibu warung, " ini minum aja neng, gratis, nggak usah bayar ini mah." ucap Ibu warung ketika menyodorkan segelas air mineral kemasan tersebut kepadaku yang sedang menangis sesenggukan. Kuterima dan terbata-bata mengucapkan kalimat terima kasih.
Diseberang sana, mama masih diam. Setelah mendengar tangisku mereda, mama bilang "nggak papa, belum rezeki brarti. Nanti mau diganti sama Allah dilain kesempatan, bukan sekarang. " Oh aku lupa, kalau mamaku tahu persis, pada saat itu adalah hari pengumuman SNMPTN. Naluri mama tidak pernah gagal, pasti mama sudah menebak-nebak saat aku mulai menangis sejak awal menghubungi mama. Dialogku dan mama sebagian besar isinya adalah kalimat-kalimat penenang dari mama yang hanya kutanggapi dengan anggukan meski mama tidak melihatnya. Berganti ke papa, kudengar samar-samar suara papa yang meminta teleponnya dari mama. Benar saja, papa memberi salam yang kujawab dengan susah payah. Berbeda dengan mama, papa bilang, "kok bisa sih univ itu nolak anak papa?" aku sedikit tertawa, menghargai usaha papa menghiburku. Kalimat papa yang selalu kujadikan pegangan sampai sekarang adalah "ketika kamu masih bernapas, jangan berhenti bermimpi, 70% keberhasilan seorang anak adalah karena do'a kedua orangtuanya. Papa yakin anak papa bisa, karena do'a-do'a panjang papa dan mama selalu menyertaimu
ns 15.158.61.21da2