Tubuhku yang mungil dengan tinggi 152 cm, memberi kesan imut yang sering menjadi daya tarik tersendiri bagi teman-temanku. Aku merupakan seorang mahasiswi keturunan Chinese dari Medan yang bisa tergolong sebagai pendatang baru di Jakarta.
Aku merantau ke Jakarta sendirian untuk melanjutkan pendidikanku di sebuah universitas swasta di Jakarta Barat.
Sehari-harinya aku bekerja sebagai guru les privat yang mengajar anak-anak sekolah yang pada umumnya adalah anak-anak SMP atau SD.
Aku melakukan ini untuk membiayai uang kuliah dan segala keperluanku. Maklumlah, sebagai pendatang baru di kota besar seperti Jakarta, aku harus bisa membiayai segala keperluanku sendiri.
Apalagi keluargaku yang berasal dari daerah juga bukan tergolong keluarga yang cukup mampu untuk membiayaiku, maka aku memutuskan untuk mandiri sendiri di perantauanku.
Suatu hari, aku mendapat panggilan dari sebuah keluarga yang ingin agar aku mengajar les anak tunggal mereka. Mereka menawarkan gaji yang bagiku amat tinggi dan kurasa cukup untuk membiayai kehidupanku di Jakarta.
Tanpa pikir panjang lagi, segera kuterima tawaran keluarga itu, dan kami setuju bahwa aku akan mulai mengajar anak mereka besok sore harinya sepulang kuliah.
Esok harinya, aku pun datang untuk mulai mengajar murid baruku itu. Sesampainya di rumah itu, aku tertegun melihat arsitektur rumah itu yang seperti sebuah istana yang dilengkapi taman hijau dan dikelilingi pagar terali yang tinggi.
Dibandingkan dengan rumahku di daerah yang hanya ¼ luas rumah itu, apalagi tempat kosku yang kecil dan sumpek, tentu saja memiliki rumah seperti ini sudah menjadi impianku sejak kecil. DING-DONG!! Kutekan bel pintu di sebelah pagar rumah itu.
“Siapa?” terdengar suara wanita di Interkom yang terletak di samping bel pintu itu.
“Saya Linda, guru les privat anak anda yang baru!” jawabku
“Oh, Linda! Ayo, silakan masuk!”
Tiba-tiba, gerbang terali rumah itu terbuka. Aku pun segera masuk kedalam. Pintu garasi itu terbuka dan keluarlah seorang wanita paruh baya, usianya sekitar 40-an tahun. Dari penampilannya yang necis seperti seorang business-woman, sudah jelas bahwa ia adalah pemilik rumah ini. Wanita itu segera menyambut kedatanganku.
“Halo, Linda! Bagaimana kabarnya?”
“Baik-baik saja bu. Anda Bu Diana? Ibu Reza?” tanyaku dengan sopan.
“Ya, betul! Ayo masuk, kita bicara didalam!” ujarnya mempersilahkanku masuk.
Sambil menuju ke ruang tamu, kami berbincang-bincang sejenak. Dari situ aku tahu bahwa bu Diana adalah pemilik Bridal Studio ternama di Jakarta sekaligus seorang desainer gaun pengantin yang sering pergi ke luar negeri untuk melihat pameran-pameran di luar negeri.
Bahkan, di rumahnya banyak terpajang piala penghargaan bagi desainer di pameran luar negeri. Sementara suaminya adalah kepala cabang sebuah bank multinasional yang saat ini tinggal di Jerman. Maka ia hanya tinggal berdua saja dengan anaknya di rumah itu. Seringkali anaknya dititipkan ke kerabatnya apabila bu Diana hendak pergi ke luar negeri.
Aku pun dipersilahkan untuk menunggu di ruang tamu sementara bu Diana mengambilkan minuman untukku. Aku hanya terpaku melihat hiasan-hiasan indah di rumah itu. Rasa-rasanya, harga salah satu hiasan patung ataupun lukisan itu cukup untuk membiayai uang kuliahku untuk satu semester.
“Hayo, kok malah melamun?” aku dikagetkan oleh suara bu Diana yang segera menyajikan segelas es sirop untukku.
“Eh… tidak… maaf, Bu!” aku tergagap salah tingkah, namun bu Diana hanya tersenyum melihatku.
Bu Diana segera duduk di sofa ruang tamu didepanku.
“Nah, Linda. Kamu akan mengajar Reza mulai hari ini. Ibu harap kamu bisa memperbaiki nilai-nilainya di sekolah.”
“Baik bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
“Saya senang melihat semangatmu. Tapi apa kamu tahan menghadapi anak-anak nakal?”
“Memangnya ada apa, bu?” tanyaku penasaran
“Reza sekarang duduk di kelas 2 SMP, usianya tahun ini 14 tahun. Kamu tahu, itu masa yang rawan bagi anak remaja. Nilai Reza terus menurun, ia lebih sering menghabiskan waktunya buat bermain atau menonton di kamarnya.” Bu Diana tampak menghela napas.
“Tenang saja, bu. Saya akan berusaha untuk membuatnya belajar. Saya yakin, nilai Reza pasti akan segera membaik.”
“Bagus. Kinerjamu akan dinilai lewat nilai-nilai ujian semester mereka Juni ini.” “Berarti, 5 bulan dari sekarang?”
“Benar. Tunggu sebentar ya, Linda? Ibu akan memanggil Reza dulu.”
Aku mengangguk menyetujui. Bu Diana lalu beranjak pergi ke lantai atas. Tak lama kemudian, Bu Diana turun beserta seorang anak laki-laki.
Wajah anak itu cukup tampan, menurutku. Tubuhnya juga tampak besar untuk anak seusianya, bahkan lebih tinggi dariku. Tapi mukanya tampak masam saat melihatku yang duduk dihadapannya.
“Ayo, beri salam ke Kak Linda! Mulai hari ini dia yang akan menjadi guru privatmu!”
“Reza.” Anak itu tampak acuh dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku.
“Linda, salam kenal!” Aku berusaha tersenyum sambil membalas uluran tangannya.
“Baiklah, ayo antar kak Linda ke kamarmu dan mulai belajar!” perintah bu Diana, yang hanya dijawab oleh gerutuan dari Reza. Aku tersenyum dan mengikuti Reza ke kamarnya.
Sejak hari itu, aku mulai mengajari Reza sebagai guru privatnya. Hari demi hari berlalu. Tidak terasa, sudah 3 bulan berlalu sejak hari itu. Tiap hari Senin hingga Jumat sore, aku terus mengajari Reza sebagai guru privatnya secara rutin.
Lama-lama aku pun semakin mengenal Reza. Reza sering bergaul dengan teman-temannya, namun sayangnya Reza salah memilih pergaulan. Ia bergaul dengan anak-anak nakal di sekolahnya.
Aku pernah melihat teman-temannya yang nakal itu, mereka selalu saja mengajak Reza untuk membolos saat aku mengajar, yang seringkali dituruti olehnya, belum lagi sikap mereka yang menurutku tidak sopan maupun cara mereka bergaul yang lebih condong ke arah pergaulan bebas.
Aku selalu bersabar mengajari Reza, tapi anak itu benar-benar bandel. Setiap kali aku mengajarinya, ia hanya mengacuhkanku ataupun bengong melamun. Semua tugas yang kuminta untuk dikerjakan tidak pernah disentuhnya sama sekali.
Parahnya lagi, tidak jarang kulihat kepingan DVD porno yang disembunyikannya di bawah kasurnya. Aku tidak pernah menghiraukan hal itu, karena tugasku di sini adalah untuk mengajarinya bahan pelajaran, bukan untuk menceramahinya.
Mungkin karena pengaruh DVD itu dan pergaulannya, dia juga sering menggodaku untuk menjadi pacarnya. Aku memang masih single, tapi pacaran dengan anak dibawah umur? Tak pernah sama sekali terlintas di benakku untuk melakukan hal itu, apalagi Reza adalah muridku.
Sering aku nyaris kehilangan kesabaran karena ulah Reza, namun aku selalu teringat akan janjiku pada bu Diana untuk memperbaiki nilai Reza dan mengingat biaya yang dikeluarkan bu Diana untuk membayarku, sudah cukup untuk membuatku selalu tegar menghadapi kebandelan Reza.
Namun seberapapun aku berusaha menahan kesabaranku, rupanya kesabaran bu Diana mulai habis. Suatu hari, ia memanggilku saat aku mengajar Reza.
“Linda, saya pikir kamu sudah tahu kalau nilai Reza selama ini sama sekali tidak membaik.” Ujarnya agak keras
“Maaf, bu. Saya sudah berusaha, tapi Reza…”
“Saya tidak mau mendengar alasan, Linda. Kamu tahu berapa gajimu setiap bulan bukan? Saya berharap pengeluaran itu setimpal dengan hasil yang kamu berikan. Tapi kalau begini hasilnya, saya benar-benar kecewa…” ujarnya dengan nada agak ketus
“Tapi…”
“Begini saja. Saya akan tetap berpegang pada janji saya untuk menilaimu lewat hasil Reza pada semester ini. Kalau nilainya masih juga belum membaik, saya terpaksa mencari pembimbing yang lebih mampu.”
“Tapi bu…” aku berusaha memberi argumen dengan Bu Diana.
“Sudahlah Linda, saya harus pergi ke studio sekarang! Saya harap, kamu bisa memperbaiki nilai Reza secepat mungkin!” tegas bu Diana sambil berlalu pergi keluar dari rumahnya.
Kata-kata bu Diana benar-benar membuatku mulai patah arang. Bagaimana cara menggerakkan anak sebandel itu untuk belajar? Yang kutahu ia hanya tertarik dengan game PlayStation dan koleksi film miliknya, baginya memegang buku pelajaran pasti lebih susah daripada berenang melintasi samudra!
Rasa putus asa menyelimutiku saat aku membayangkan bagaimana membiayai kuliahku apabila bu Diana meberhentikanku. Dengan lesu, aku kembali ke kamar Reza untuk mengajar. Namun, sesampainya di kamar, aku melihatnya tertawa terbahak-bahak saat aku memasuki kamarnya.
“Apa yang lucu?!” ketusku dengan muka masam.
“Mau dipecat ya, Kak? Kasihaan deeeh!” ejeknya sambil tertawa.
Mendengar ejekan Reza sudah lebih dari cukup untuk membuat amarahku yang sudah lama terpendam, meledak seketika.
“Kamu maunya apa sih?! Kakak sudah memberimu penjelasan dan latihan-latihan, tapi sama sekali tak digubris!! Bagaimana nilaimu bisa bagus kalau kamu tidak pernah belajar!! Setiap hari yang kamu tahu cuma main game atau bengong saja!!” bentakku pada Reza.
Aku benar-benar merasa marah dan dipermainkan oleh anak itu. Tapi Reza hanya tersenyum mendengar bentakanku itu.
“Oke deh, kalau Kakak maunya begitu. Reza akan minta Mami untuk mencari guru baru. Kakak cari saja murid yang mau menurut!!” Ujarnya dengan sombong.
Seketika itu juga aku ambruk ke lantai, air mataku menetes karena putus asa. Aku sudah harus membayar biaya kuliahku bulan depan yang rencananya akan kubayar dengan gajiku bulan ini.
Apabila aku diberhentikan sekarang, bagaimana caraku untuk membayar uang itu? Tidak mungkin meminta kiriman uang dari keluargaku, aku tidak memiliki kerabat di Jakarta dan lagipula mana mungkin teman-temanku mau meminjamkan uang untuk mahasiswi miskin sepertiku ini?
Sebenarnya banyak mahasiswa yang tertarik padaku dan mau menjadi pacarku. Bisa saja aku meminjam uang dari mereka, namun aku tak mau kalau harus berhutang budi pada mereka, bisa saja itu menjadi alasan mereka untuk memaksaku menjadi pacar mereka.
Pikiran bahwa aku harus berhenti kuliah membuatku galau dan putus asa. Aku pun menangis terisak di hadapan Reza.
“Waah, malah nangis… Dasar cengeng!” ejek Reza saat melihatku menangis, namun itu tidak menghentikan isak tangisku.
“Oke, oke. Aku mau belajar, tapi kakak harus menuruti permintaanku, Oke?!” Reza mulai membujukku.
“A…apa yang kamu mau?!” jawabku sambil terisak.
“Pertama, kakak berdiri dulu ya?” Reza memegang tanganku dan membantuku berdiri.
Aku pun segera beranjak bangun. Kulihat mata Reza tampak menggerayangi lekuk tubuhku. Ia lalu berjalan berputar-putar mengelilingiku. Aku pun mulai risau melihat gelagat anak itu.
“Sudah! Jangan putar-putar melulu! Kepala kakak pusing tahu!! Kamu maunya apa sih?!” bentakku tidak sabaran.
“Kak, Reza penasaran deh…” ungkap Reza.
“Apanya?!”
“Kakak itu cewek kan?”
“Lalu kenapa? Bukannya sudah jelas kan?!” jawabku kesal.
“Kalau begitu, kakak punya memek juga doong…” balas Reza dengan nada mengejek.
“Reza penasaran nih… Memek kakak mirip nggak ya, dengan memek cewek-cewek yang sering kulihat di film-film porno?” sambungnya dengan santai.
Oh, astaga! Bagai tersambar petir, aku benar-benar marah mendengar ucapan Reza itu. Moral anak ini benar-benar sudah hancur sama sekali!! Bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu didepan seorang gadis dengan santainya? Anak ini benar-benar sudah kelewat batas!
PLAAK… Tanpa sadar kutampar pipi kiri Reza hingga anak itu terjatuh ke lantai. Reza pun merintih kesakitan.
“Aduh, sakiit…” rintihnya pelan.
Ya ampun! Apa yang telah kulakukan? Sesaat aku sontak tersadar, namun sudah terlambat. Tamparanku sudah keburu mendarat di pipi Reza. Melihat Reza yang terjatuh, aku pun merasa semakin panik. Segera kuhampiri Reza yang masih merintih di lantai.
“Reza, Reza! Kamu nggak apa-apa kan?! Maaf ya, kakak tak sengaja. Maaf…” tanyaku cemas.
Aku berusaha menggenggam tangan Reza, namun ia segera menepis tanganku.
“Pergi sana! Reza akan laporkan kakak ke Mami!! Biar nanti kakak dituntut ke polisi!!” teriaknya.
“Reza… Kakak minta maaf ya? Kakak benar-benar tak sengaja…” aku benar-benar panik mendengar ancaman Reza, yang sangat mungkin menjadi kenyataan mengingat keluarganya yang cukup terpandang.
“Nggak mau! Pergi sana!! Tunggu saja sampai Mami pulang, Kakak pasti kulaporkan!” ancam Reza sekali lagi.
Reza segera beranjak, hendak keluar dari kamarnya. Aku benar-benar putus asa dan kebingungan. Masalah yang datang menghampiriku silih berganti.
Bagaimana ini? Sebelumnya, ancaman pemecatanku sudah diambang mata dan sekarang malah aku terancam dituntut oleh keluarga kaya ini. Pikiranku pun mulai buntu dan tanpa pikir panjang lagi, kutarik tangan Reza untuk mencegahnya keluar kamar.
“Tunggu Reza!! Kakak akan menuruti permintaan Reza! Apapun! Tapi tolong jangan laporkan kakak ke bu Diana!” bujukku pada Reza.
Langkah kaki Reza terhenti sebentar. Reza lalu melirik melihatku.
“Benar nih? Kakak nggak bohong kan?” tanyanya tidak percaya.
“Iya, iya! Kakak janji! Tapi cuma sekali ini saja ya!” jawabku putus asa.
“Oke deh kalau begitu. Reza mau lihat memek kakak sekarang.” Perintahnya padaku.
“Tapi cuma lihat saja ya! Jangan macam-macam!”
“Iya, deeh…” jawab Reza puas.
Aku lalu berdiri didepan Reza, perlahan-lahan kunaikkan rok putihku yang selutut dihadapan anak itu. hingga akhirnya rokku mencapai pinggul, menampakkan pahaku dan celana dalam pink berendaku dengan jelas. Reza tampak takjub saat melihat celana dalamku yang masih menutupi selangkanganku.
“Tunggu Kak! Jangan bergerak dulu!” perintah Reza mendadak.
Aku pun tak punya pilihan lain selain memamerkan celana dalamku dihadapan Reza.
Perasaanku campur aduk saat melihat mata Reza yang tampak berbinar-binar takjub melihat celana dalamku. Aku pun bisa mendengarnya menelan ludah.
Pasti ini pengalaman pertamanya melihat celana dalam seorang gadis yang asli. Kurasa selama ini dia hanya melihat celana dalam wanita lewat film pornonya saja.
Ia tampak gugup sekaligus senang melihat celana dalamku. Sementara jantungku berdegup kencang sekali saat mengingat seorang anak kecil sedang mengamati celana dalamku dengan seksama. Wajahku sekarang pasti sudah lebih merah dari buah tomat yang matang karena malu.
Reza menoleh sejenak ke belakang sambil menghela nafas. Kurasa ia juga amat gugup karena dari tadi mengamati celana dalamku tepat didepan wajahnya.
Tapi, ia segera kembali menoleh melihat celana dalamku dan kali ini kulihat sorot matanya yang secara khusus mengamati bayangan vaginaku dibalik celana dalamku. Sorot matanya yang mengamati dengan seksama memberiku sensasi yang aneh. Belum pernah kulihat sorot matanya seserius itu.
Semakin lama, kepalanya semakin maju hingga memasuki rokku dan tampaknya ia benar-benar menikmati saat mengamati celana dalamku.
Aku dapat merasakan dengan sangat jelas detak jantungku yang berdegup semakin kencang. Aku merasa bingung mengapa jantungku bisa berdetak sekencang itu hanya karena Reza sedang mengamati celana dalamku? Aduuh… andai saja aku tidak menamparnya tadi, sesalku dalam hati.
“Reza, sudah ya… Kakak sudah capek nih…” bujukku pada Reza.
“Belum kak. Kakak masih belum menepati janji kakak!” protesnya padaku.
“Apa lagi, sih, Reza?!”
“Aku mau melihat memek kakak! Bukannya tadi kakak berjanji untuk menuruti keinginanku? Ayo, buka celana dalamnya dong kak!” pintanya padaku.
“Tapi… tapi…” aku berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan Reza, namun pikiranku buntu sama sekali.
Memang benar tadi Reza sempat berkata bahwa ia ingin melihat kewanitaanku. Tapi bagaimanapun, aku merasa amat keberatan kalau seorang anak kecil melihat vaginaku yang selalu kujaga baik-baik untuk suamiku di masa depan.
“Ayo, kak! Kalau tidak aku akan melaporkan kakak ke Mami lho!!” ancamnya sekali lagi.
Aku sadar, aku tidak mungkin meloloskan diri dari permintaan Reza.
“Iya deh! Tapi cuma sebentar saja ya!” gerutuku.
Saat mendengar kata ‘melapor ke Mami’, aku sudah kalah telak tanpa bisa membantah atau menolak permintaan anak ini.
“Oke deh!!” serunya dengan riang setelah mendapat izin dariku.
Tanpa menunggu lama, ia segera melorotkan kedua sisi celana dalamku dan menurunkan celana dalamku hingga celana dalamku tergulung di pahaku. Sekarang, tanpa pelindung apapun, kewanitaanku terpampang jelas dihadapan Reza yang kini mengalihkan perhatiannya ke vaginaku.
Pikiran dalam hatiku berkecamuk. Apa yang sebenarnya kulakukan? Bukankah bu Diana membayarku untuk mengajar les privat anaknya? Namun kenyataannya sekarang, celana dalamku sudah ditarik turun oleh muridku sendiri yang kini sedang sibuk mengamati kewanitaanku.
Kalau bu Diana mengetahui hal ini, aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya padaku. Paling tidak aku agak beruntung karena bu Diana tidak berada di rumah saat ini, jadi aku tidak perlu khawatir akan kepergok olehnya.
“Waah, beda sekali dengan memek cewek-cewek di film porno. Memek kakak bersih ya! Nggak ada rambut-rambutnya!” puji Reza padaku.
Tentu saja! Aku paling menjaga dan merawat daerah kewanitaanku sebaik mungkin. Aku selalu teratur membersihkan vaginaku dan mencukur rambut kemaluanku. Mana mungkin vaginaku disamakan dengan vagina para perempuan di video porno yang pasti tidak dirawat dengan teratur! Pikirku kesal.
“Hei, Reza. Sudah cukup ya?” pintaku pada Reza.
“Sebentar lagi, ya. Kak!”
Ampuun! Aku benar-benar terjebak! Memamerkan kewanitaanku didepan anak SMP sudah lebih dari cukup untuk membuatku malu seumur hidup! Aku tak berani membayangkan kalau ada orang yang melihat hal ini.
Badanku terasa panas dan keringatku mulai mengucur deras hanya karena kewanitaanku diamati oleh Reza. Apalagi mengingat kalau aku seharusnya mengajarinya dalam pelajaran, bukan malah memberinya tontonan yang tidak pantas seperti ini.
“Waah… kok memek kakak makin lama makin basah sih?!” tanya Reza tiba-tiba.
“Ah… Eh?!” mendadak aku tersadar dari lamunanku, saat itulah aku baru menyadari kalau jari telunjuk Reza sudah menyentuh bibir vaginaku.
Ujung jari Reza sudah mulai masuk sedikit kedalam liang vaginaku dan mulai menggosok-gosok bibir vaginaku yang sudah basah karena luapan cairan cintaku tanpa sadar.
“AAH!!! Hei!! Hentikan, Reza!!!” aku benar-benar panik melihat jari Reza di vaginaku itu.
Aku takut kalau keperawananku malah terenggut oleh jari-jari Reza. Namun Reza tidak berhenti.
“Reza! Sudah cukup, hei!! Bukannya kamu berjanji hanya melihat saja?!” protesku pada Reza.
“Aargh! Berisik! Diam saja! Kalau tidak, kutusukkan jariku kedalam memek kakak dalam-dalam, mengerti?!” bentak Reza padaku.
Aku benar-benar takut. Reza memang memegang kendali saat ini, apalagi dengan jarinya yang masih sibuk memainkan bibir vaginaku, mudah saja baginya untuk memperawaniku dengan jarinya. Aku berpikir daripada aku diperawani jari-jari Reza, mungkin lebih baik kalau aku menuruti kemauannya.
Aku kembali menangis terisak, namun Reza tidak menghiraukan tangisanku, ia malah menggosok-gosokkan jarinya di sela vaginaku dengan pelan. Saat itulah aku tersentak sesaat merasakan kenikmatan gosokan jari Reza di vaginaku.
Jujur saja, ini merupakan pengalaman pertama bagiku merasakan kenikmatan seperti itu karena aku tidak pernah beronani sebelumnya. Aku pun merasa tenagaku untuk berontak lenyap seketika.
“Ah… ohh… aakh…” tanpa sadar, aku mendesah nikmat karena gosokan jari Reza.
“Ada apa, Kak?!” tanya Reza padaku.
“Aahh… hentikan… Reza… jangan… auuch…” Suaraku sudah mulai bercampur dengan lenguhanku.
“Lho, kok kakak mau berhenti? Bukannya rasanya enak Kak?” balasnya setengah mengejek.
“Eegh… itu… itu…” tanpa sadar, aku pun melepaskan rokku yang dari tadi kupegang, tapi Reza segera menyibakkan rokku kembali.
Reza terus mengamati wajahku untuk melihat reaksiku, aku berusaha tidak menatap wajahnya, walaupun sesekali dapat kulihat ia tersenyum dengan reaksiku. Badanku terasa limbung ke belakang, tempat meja belajar Reza berada.
Aku pun menyandarkan diri di meja belajar itu dan kedua tanganku memegang bibir meja itu agar aku tidak jatuh. Reza sekarang memegangi rokku dan menekannya di perutku, sehingga rokku tersibak dan vaginaku terpampang semakin jelas.
“Nah, kita mulai sekarang ya, Kak?” ujarnya padaku dan ia mulai mempercepat gosokannya di bibir dan celah-celah vaginaku.
Aku pun tidak lagi menolak. Lagipula, aku tidak ingin Reza menghentikan aktivitasnya saat ini, aku sudah terlanjur dikuasai kenikmatan yang melanda tubuhku
“Ouchhh… aahh… aahhh…” desahku menahan kenikmatan di vaginaku, akal sehatku sudah lenyap dan aku sepenuhnya dikuasai oleh kenikmatan di kewanitaanku.
Entah mengapa, fakta bahwa yang mengocok vaginaku adalah muridku sendiri yang masih SMP malah membuatku semakin bernafsu.
“Aduuh… aw… aw… aww…” rintihan-rintihan kenikmatan keluar dari mulutku setelah 3 menit berlalu sejak bibir kewanitaanku dilayani oleh jari-jari Reza.
Aku pun sudah tidak tahan lagi, aku merasa akan segera mencapai orgasmeku untuk pertama kalinya.
Namun, tiba-tiba terdengar suara decitan mobil di halaman rumah. Bu Diana telah pulang! Aku dan Reza segera menghentikan aktifitas kami, dan aku segera merapikan celana dalam dan rokku kembali. Kami lalu bergegas kembali ke meja belajar untuk melanjutkan les.
Walaupun aku merasa agak kecewa karena nyaris saja mencapai orgasme, namun aku tetap melanjutkan mengajari Reza walaupun suasana hatiku amat galau saat itu. Akhirnya aku pun selesai mengajar Reza hari itu. tapi harus kuakui,
Reza tampak lebih bersemangat menyimak penjelasanku sehabis kejadian itu. Hanya saja aku tampak kacau karena banyak hal yang terjadi hari itu. Tapi bagaimanapun aku juga masih bersyukur karena selaput daraku tidak sampai robek akibat ulah Reza tadi.
Sebelum pulang, Reza sempat meminjam Handphoneku. Alasannya, ia mau mengirimkan lagu-lagu baru untukku, aku pun hanya mengiyakan saja permintaan Reza itu. Setelah Reza mengembalikan Handphoneku, aku pun segera pamit kepada bu Diana dan kemudian pulang ke tempat kosku. Aku berharap semua kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk semata
After each update request, the author will receive a notification!
smartphone100 → Request update