Siapa yang menyangka kalau aku bisa sampai di titik ini? Aku pikir ayahku akan berlari dan melaporkannya ke seluruh adikku. Ibuku akan mengelus kepalaku dan adikku akan meminta pajaknya. Jika dipertimbangkan lagi, kedengarannya tidak terlalu buruk. Kalian tidak tahu apa saja yang harus aku lakukan untuk sampai di sini. Apapun hasilnya, aku akan pulang dengan kepala tegak. Tentu saja, jika tidak, warna oranye sore ini akan sia-sia. Betul kan, sepeda setiaku? “Maukah kau menjadi pacarku?” Langit sore hari ini terlihat seperti berair ya?
“Ari, bisakah kau antarkan aku ke pohon Tabebuya di bukit sekolah kita?” Hari itu menjadi catatan bersejarah di lembaran kehidupanku. Semua terasa berbunga-bunga dan pink. Aku bahkan tidak bisa menahan senyumanku, sialan. “Ari, ada apa?” Ah, kau mengacaukannya senyumanku. “Tidak apa-apa, mari kita berangkat!” Bersepeda ke puncak bukit itu memang akan mengiris betis kanan dan kiriku, tetapi akan kulakukan demi kau adinda. Oh iya, namanya memang Adinda.
Sore itu, betisku sama sekali tidak mengkhianatiku. Performanya lebih bagus daripada saat aku harus berlari menghindari kejaran anjing di belakang warung Pak Amin. Berapa kayuhan pun aku sanggup. Aku mencoba melirik ke belakang dan melihat ekspresi yang tenang dari Adinda. Dia juga menggenggam bajuku sedikit agar ia tidak terjungkal. Hal sekecil ini ternyata bisa membuat hatiku mengadakan dangdutan di dalamnya. Beneran, aku takut detakannya bisa kedengaran sama si Adinda.
Padahal akhir-akhir ini tidak ada hal yang baik yang terjadi kepadaku. Adikku yang terus meraih prestasi, ayahku yang menyuruhku ke sekolah militer, usapan kepala dari ibuku yang tidak pernah lagi, teman-temanku yang menjauhiku karena rumor bahwa aku itu bukan anak kandung dari keluargaku, dan masih banyak lagi. Tapi, di saat seperti ini aku tidak peduli dengan semua itu. Hari ini aku merasa seperti pemenang. Terima kasih Adinda.
“Ari, ayah ingin mengatakan sesuatu.”, di hari itu. “Hah, kau sudah dewasa loh Ari.”, di hari itu juga. “Kelihatannya sudah aku seperti abangnya di rumah ini ya bang.”, hari itu juga tidak berbeda. “Ari, pergi sana, kami tidak mau berteman dengan anak sepertimu. Hahaha!” Aku sudah tahu hari ini akan sama semua seperti hari-hari kotor itu. Tetapi, biarkanlah aku menikmati momen-momen sesaat seperti ini. Dugaanku benar saat melihat bayangan itu.
“Ari, kau terlihat lelah? Kau tidak apa-apa?” Secercah cahaya itulah yang membuatku kagum kepadanya. Aku pasti akan berpegang kepadanya di hari-hari kelam itu. Tetapi, lama-kelamaan aku sadar, namun aku mencoba berpaling darinya. “Kau tahu siapa pria beruntung itu?” Walaupun kau hanya sebuah pelangi yang lewat, aku akan tetap mencoba menggapainya. “Si Dimas dari kelas 3 A!”
Hembusan angin yang membuat mataku tersadar. “Dimas!” Aku berhenti mengayuhkan sepedaku dan mencoba menurunkan semuanya. Aku menoleh ke belakang dan melihat Adinda yang terus memandang ke arah Dimas yang bahkan menembus keberadaan diriku. “Oh, aku bahkan tidak bisa menjadi penghalang di cerita kalian kah?” Adinda kemudian sadar dan berterima kasih kepadaku. Aku hanya tersenyum dan memutar balik sepedaku. “Bagaimana ya jika aku menoleh ke belakang?” Tentu saja semua kelihatan kelam. Cahaya yang selalu kulihat di sekeliling Adinda semakin lama semakin redup, dia kembali menjadi bayangan di pandanganku. “Apakah aku berhasil membalas budinya?” Padahal si Budi tidak ada berbuat salah, tetapi aku harap ini bayaran yang setimpal di mana waktu itu kau menjadi cahayaku satu-satunya di kegelapan itu. “Ah, aku dengar mereka mengadakan acara santunan di sekitar mesjid. Hmm, mungkin akan kucoba, mana tahu aku bisa membersihkan hari-hariku yang kotor ini. Bukan begitu, sepedaku?” Sesaat aku berpikir untuk memutarbalikkan keadaanku, kekelaman sepertinya tidak ingin lepas dari bayanganku. Langit sore yang oranye itu adahal pemandangan terakhir yang kulihat saat aku terkapar di pelataran jalan tanpa ada cahaya yang menghampiriku.