![](https://static.penana.com/images/chapter/1622792/IZ_Bab_2.png.png)
******
Bab 2 :
Bertemu Denganmu
******
7Please respect copyright.PENANA5naiOmw90I
HARI INI Josh mampir ke salah salah satu café yang ada di Kota Surabaya. Dia duduk dan menunggu di salah satu kursi yang ada di dekat jendela. Josh duduk di sana sendirian, tepat di sebelah kirinya ada dinding kaca yang memperlihatkan bagian luar café yang merupakan area lapangan golf. Segelas espresso dan satu buah croissant sudah tersedia di atas mejanya. Josh bersandar di kursinya; dia memilih-milih musik di handphone-nya dan sesekali membenarkan posisi wireless earphone yang terpasang di telinganya.
Josh memakai kemeja berwarna hitam yang berlengan panjang, tetapi bagian lengannya ia gulung dengan rapi hingga ke siku. Ia memakai celana jeans berwarna denim, jam tangan berwarna silver, dan sepatu olahraga berwarna putih. Penampilannya kasual, tetapi tampak begitu cocok dengannya. Sebenarnya, Josh hampir selalu terlihat berpakaian dengan style yang kurang lebih seperti itu. Fresh and casual.
Seperti rencana yang sudah disepakati, hari ini Alvin akan mempertemukan Josh dengan Keisha Nathalie, model yang sedang naik daun. Ia menunggu dengan penasaran sebab ia tahu bahwa Alvin sangat paham dengan dirinya dan feeling Alvin pasti tidak akan meleset. Jika Keisha Nathalie memang cocok dengan proyeknya, maka Keisha Nathalie adalah manusia pertama yang akan menjadi muse baginya.
Josh dan Alvin sudah janjian dan Alvinlah yang akan menjemput Kei; Alvin akan membawakan Kei kepada Josh agar mereka bisa bertemu dan mengobrol-ngobrol soal proyek yang rencananya akan Josh kerjakan. Mereka janjian untuk bertemu jam sembilan pagi hari ini dan Josh sudah sampai di café ini sepuluh menit yang lalu, jam 8.45.
Josh masih mendengarkan musik dari handphone-nya sembari memeriksa akun sosial medianya yang tahu-tahu notifikasinya lebih banyak daripada biasanya. Lebih ramai. Setelah diselisik, ternyata keramaian itu terjadi karena ada seorang selebgram yang mengomentari dan menge-share foto keindahan Gunung Arjuno yang Josh foto beberapa bulan yang lalu ketika ia dan Alvin pergi mendaki ke sana. Pada umumnya, hampir seluruh isi dari sosial media Josh adalah koleksi foto-fotonya dan ada beberapa selfie kalau ia sedang traveling bersama keluarga atau bersama Alvin.
Josh tersenyum tatkala membaca komentar-komentar orang di sosial medianya.
7Please respect copyright.PENANAqMEb64Q1Fw
“Yo, Josh. Dah lama sampe, Bro?”
7Please respect copyright.PENANAD0wfWGajkw
Mendengar suara itu, Josh kontan melebarkan mata. Kebetulan volume musik yang ia putar itu tidak terlalu kencang sehingga ia masih bisa mendengar panggilan itu dengan jelas. Itu adalah suara Alvin. Josh buru-buru melepas sebelah earphone yang terpasang di telinganya.
“Oh—belum, belum. Gue belum lama,” ucap Josh seraya menegapkan tubuhnya. Dia pun lantas mengangkat wajahnya untuk melihat ke depan. Di sana ia melihat Alvin yang sedang berjalan menuju ke arahnya; Alvin hari ini memakai kaus berwarna navy dan pria itu tengah tersenyum seraya memamerkan deretan gigi-giginya pada Josh. Tatkala Alvin sudah sampai di depan meja Josh, barulah Josh melihat ada seorang wanita yang mulai bergerak maju ke depan, memosisikan dirinya agar berdiri berdampingan dengan Alvin. Sepertinya tadi wanita itu berjalan di belakang Alvin.
Begitu wanita itu sudah benar-benar berdiri di samping Alvin, Josh pun lantas dapat melihat rupa wanita itu dengan jelas. Wanita itu menatap ke arahnya seraya tersenyum.
7Please respect copyright.PENANA9ei9ectI8F
…dan Josh melebarkan matanya.
7Please respect copyright.PENANAZMVgiEgOqw
Wanita itu cantik.
Rasa kagum Josh pada kecantikannya itu bukan dalam artian seperti, ‘wah, cantik banget, gue naksir.’, tetapi lebih seperti seorang seniman yang telah menemukan visual yang pas untuk dimasukkan ke dalam karyanya. Menjadi objek di dalam karya seninya. Menjadi fokusnya.
Akan tetapi, dari kedua mata wanita itu yang jernih, cara ia memandangi Josh dengan penuh kepercayaan diri, serta sikapnya yang ramah itu, Josh mendadak yakin bahwa wanita ini tidaklah hanya sekadar objek. Dia adalah seorang manusia yang mungkin memiliki kehidupan yang luar biasa. Dia terlihat bebas dan mungkin sukar untuk digenggam. Agaknya menjadi objek dari suatu karya seni bukanlah satu-satunya hal yang ia lakukan di dalam hidupnya sehingga mungkin saja takkan ada fotografer sinting yang ingin memilikinya dan menjadikannya sebagai objek dari fantasi gila mereka. Meskipun tidak memakai pakaian yang terlalu mewah, wanita ini terlihat elegan, independent, tegas, dan confident.
She isn’t just an ‘object’.
Wanita itu memiliki rambut dirty blonde. Rambut itu ia ikat satu di belakang dengan gaya sleek bun. Dia berpakaian santai; dia hanya memakai baju tanpa lengan yang berwarna putih, jam tangan manis berwarna abu-abu, dan loose pants trouser berwarna hitam. Di sebelah tangan kanannya, wanita itu membawa handbag berwarna putih. Meskipun Josh tidak dapat melihatnya, wanita itu ternyata juga memakai sepatu olahraga berwarna putih. Makeup-nya sederhana, tetapi terlihat segar dan elegan. Clean girl makeup.
Pakaiannya memang kasual, tetapi aura seorang model memang berbeda. Dia memperindah pakaian yang sedang ia kenakan. Wanita tersebut sukses menarik perhatian banyak orang di café itu. Tubuhnya tinggi dan ramping; kulitnya eksotis. Dia bukan jenis wanita yang imut dan mungil, dia tipe-tipe wanita yang bertubuh tinggi, ramping, dan seksi.
“Ah, Josh,” ujar Alvin seraya menunjuk Kei yang berdiri di sebelahnya dengan menggunakan seluruh jemarinya. “Ini Keisha Nathalie atau Kei. Model yang mau lo temuin hari ini.”
“A—aahh…” Josh mengerjap, pria itu menggelengkan kepalanya; dia langsung mencoba untuk menyadarkan dan menguasai dirinya kembali setelah memperhatikan Kei dengan tanpa berkedip untuk beberapa detik lamanya. “Y—ya, Mbak Kei, ya? Salam kenal, Mbak.” Josh langsung berdiri dan menyalami Kei.
Kei tertawa renyah dan menyambut jabatan tangan Josh. “Ahaha, iya, salam kenal juga. Mas Josh Andriano, ya?”
“Haha, iya, Mbak. Mari, Mbak Kei, silakan duduk,” ucap Josh seraya mempersilakan Kei untuk duduk di kursi yang ada di seberangnya. Kei pun duduk di sana dan Alvin juga ikut duduk, tetapi Alvin duduk di sisi yang berbeda dengan Josh dan Kei. Dari keempat sisi meja, Alvin duduk di sisi kiri. Di sisi kanan meja juga ada kursi, tetapi kursi itu membelakangi dinding kaca sehingga Alvin tak mau duduk di sana. Bisa dibilang Alvin duduk di tengah-tengah Josh dan Kei.
“Kita pesen makanan dan minuman dulu, ya, Mbak,” ujar Josh.
Kei mengangguk, ia kembali tersenyum. “Oh… Boleh boleh.”
Josh kemudian juga menoleh ke arah Alvin. “Vin, kita pesen makanan dan minuman dulu ajalah, ya.”
“Iya iya, ayo pesen. Biar gue panggil dulu,” jawab Alvin, lalu pria itu mulai memanggil waitress yang kebetulan sedang lewat di ujung sana. Ketika waitress itu datang ke meja mereka, Alvin pun mulai memesan berbagai makanan dan minuman, lalu memberikan papan menunya kepada Kei agar Kei memesan apa yang ia inginkan.
Begitu waitress itu pergi, Alvin dan Kei kembali menghadap dan fokus ke arah Josh. Pagi-pagi begini tampilan mereka segar semua. Alvin mulai membuka suara, “Jadi, dari jam berapa lo nyampe, Bos?”
“Belum lama, Bos. Sepuluh menitan yang lalu,” jawab Josh. Josh lalu menatap ke arah Kei. “Tadi Mbak Kei dijemput sama Alvin jam berapa?”
“Emm…” Kei sedikit melipat bibirnya, berpikir. Dia terlihat sangat cantik. “Mungkin Dua puluh menit yang lalu, Mas. Lumayan jauh dari rumah ke sini soalnya.”
Memperhatikan mereka berdua, Alvin jadi tersenyum (sedikit) geli. “Udah, deh, kalian berdua, hilangin aja itu embel-embel Mas dan Mbak-nya. Santai aja kayak gue.”
Sontak Josh dan Kei melihat ke arah Alvin; mereka berdua sedikit melebarkan mata, lalu tertawa malu-malu.
“Ah…ada-ada aja,” jawab Kei seraya masih tertawa. Wanita itu lalu menatap ke arah Josh dan memiringkan kepalanya, lalu tersenyum. “Ya udah, kalo gitu saya panggil Josh aja, ya, Mas.”
Josh yang masih meredakan tawanya—masih tersenyum malu—pun mengangguk, menatap ke arah Kei, lalu tersenyum. “Iya, Mbak, boleh kok, boleh. Saya juga panggilnya Kei aja, ya.”
“Oke oke,” jawab Kei seraya mengacungkan jempolnya.
“Nah. Gitu, kan, enak,” kata Alvin seraya bersandar dan melipat kedua tangannya di depan dada. Pria itu tersenyum sambil mengangguk seolah meng-approve situasi itu. Jujur, di dalam hatinya dia lebih senang melihat Josh berinteraksi dengan Kei daripada dengan Windy.
Josh pun tertawa singkat, lalu memajukan tubuhnya. Kedua tangannya kini terlipat di atas meja. “Jadi, Kei, sejak kapan Kei kenal sama Alvin?”
“Hm…seminggu yang lalu, sih, Josh. Baru kenal juga. Dikenalin sama Kak Aji,” jawab Kei. Kei lalu menatap Alvin dan Josh secara bergantian. “Ini jadi kalian berdua udah lama temenan?”
Josh mengangguk. “Iya, udah dari zaman SMA. Sama-sama merantau cari kerja ke Surabaya. BTW makasih, ya, Kei, udah mau ketemuan sama kita.”
“It’s okay. Aku cukup tertarik setelah dengerin ceritanya Alvin. Pengin tau aja proyek yang bakal kamu bikin itu seperti apa.” Kei tersenyum. “Anyway, kalian memangnya asal mana?”
“Jakarta. Kami sama-sama merantau ke sini. Sama-sama ada passion di bidang fotografi, sih, tapi Alvin masih punya kerjaan sebagai graphic designer,” jawab Josh.
“Pantes aja pakai lo-gue.” Kei tertawa, Josh dan Alvin pun tertawa. “Jadi, kalian tinggal bareng atau gimana?”
“Widih, walau sama-sama cowok dan udah temenan lama, untuk tinggal berdua ya tentu tidak, Kei,” jawab Alvin dan mendadak Kei serta Josh jadi ngakak. “Lagian, Si Josh ini rumahnya dijadikan sebagai studionya, jadi dia lebih fleksibel kalau tinggal sendirian.”
Josh mengangguk-angguk seolah mengonfirmasi perkataan Alvin. Mulut Kei membulat membentuk ‘O’, lalu wanita itu ikut mengangguk-angguk. “Oh…gitu. Keren juga, ya. Jadi, proyek apa yang mau kamu kerjain, Josh?”
“Em…rencananya…” Josh sedikit tertunduk, senyuman tipis timbul di wajahnya. Dia sedikit ragu untuk menyampaikan apa yang sudah ia inginkan selama ini, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk memberitahu Kei. “Aku ingin merekam perjalanan hidup seorang manusia, terutama wanita. Proses penemuan jati dirinya. Potret jiwanya saat masih belum ternodai oleh kekejaman dunia, potret saat dunia menghancurkannya, serta potret saat ia menemukan siapa dirinya dan untuk apa dia hidup di dunia. Proses bertambah kuatnya jiwa seorang manusia, bertambah ilmunya, dan bertambah pengalamannya hingga menjadikannya seorang manusia yang utuh. Jalur penemuan diri, pertumbuhan spiritual, dan eksplorasi batin yang mendalam dan transformatif. Sebenarnya, sudah ada judul yang kupikirkan untuk proyek ini, tapi mungkin kedepannya akan ada perubahan dan aku terbuka untuk saran dari semua orang-orang terdekatku. Proyek ini akan aku beri nama: The Unseen Seasons: Woman.”
Kei sejak tadi hanya bisa mendengarkan Josh dengan mata yang melebar. Mulutnya terbuka.
Dia benar-benar kagum dengan pemikiran Josh. Sebenarnya, Kei sudah beberapa kali bertemu dengan seniman, tetapi baru kali ini dia bertemu dengan orang yang pemikirannya seperti Josh, terutama Josh ini masih muda. Kalau dilihat-lihat, sepertinya Josh seumuran dengannya.
“…Woah…” Kei mengedipkan matanya dua kali dalam tempo lambat seraya menggelengkan kepalanya tak percaya. “Keren, serius. Itu ide yang keren. Kamu udah lama punya ide itu?”
“Ah—haha. Lumayan, Kei,” jawab Josh. “Aku pengin ngangkat tema kayak gini. Kalau kamu tertarik, setelah pertemuan kita pagi ini kamu bisa hubungi aku, ya.”
“Oh, boleh, boleh.” Kei mengangguk seraya tersenyum pada Josh.
“Nanti gue yang kasih nomor lo ke Kei, Josh.” Alvin menengahi.
“Oke oke,” jawab Josh seraya mengacungkan jempolnya pada Alvin. Kei terkekeh melihat mereka berdua.
Beberapa detik setelah itu, pesanan makanan mereka pun akhirnya sampai. Josh, Alvin, dan Kei membantu para waitress menyusun pesanan mereka di atas meja seraya mengobrol, lalu mereka mulai makan setelah sebelumnya Kei mengatakan terima kasih kepada para waitress itu. Josh memperhatikan Kei seraya tersenyum, melihat bahwa ternyata walaupun Kei adalah seorang model yang sedang naik daun, dia bukanlah orang yang sombong. Dia justru sangat friendly dengan orang lain, tetapi entah bagaimana dia tetap tampak elegan dan berkelas.
Sembari makan, Alvin tiba-tiba berbicara, “Ntar abis ini kita ke studio lo aja, Josh. Biar sekalian testing foto-foto.” Alvin pun menoleh ke arah Kei. “Mau nggak, Kei? Atau kamu lagi ada kesibukan lain?”
“Hm?” Kei menoleh ke arah Alvin seraya menelan spaghetti-nya. Dia mengangguk. “Boleh. Aku nggak ada kesibukan lain kok hari ini.”
“Oke, deh, kalo gitu,” jawab Alvin. “Ntar abis dari sini kita ke rumahnya Josh.”
Josh mengangguk. “Oke,” ujarnya. Dia lalu menatap ke depan, ke arah Kei. “Thanks, ya, Kei.”
Kei tersenyum pada Josh dan mengangguk. “No problem.”
7Please respect copyright.PENANAtw7om7AFHd
******
7Please respect copyright.PENANA0xD90sUBus
Begitu sampai di rumah Josh, Kei melihat ke sekeliling. Rumah Josh tidak begitu luas. Minimalis, tetapi modern. Dinding rumahnya serta seluruh perabotannya dominan berwarna putih, abu-abu gelap, hijau lumut, dan hitam. Tatkala Kei masuk ke dalam studio fotografi Josh pun, warna dindingnya adalah warna abu-abu. Barang-barang di sana dominan berwarna hitam.
Akan tetapi, ada sebuah hal yang menarik perhatian Kei tatkala masuk ke studio itu. Ada sebuah foto yang bingkainya tergantung di dinding yang dekat dengan posisi pintu. Bisa dibilang foto itu adalah foto pertama dari arah pintu. Itu adalah foto seorang perempuan. Perempuan itu sedang tertawa lepas di sebuah lapangan yang penuh dengan tanaman alang-alang. Perempuan itu manis, rambutnya berwarna hitam sepunggung. Entah mengapa foto itu menarik perhatian Kei dan tanpa sadar Kei berdiri di depannya.
“Ada apa, Kei?” tanya Alvin yang sudah berdiri di tengah-tengah ruangan bersama Josh. Josh yang baru saja mau mengambil kameranya itu pun ikut-ikutan menoleh ke arah Kei.
Kei lantas mengerjap, dia langsung menoleh ke arah Alvin dan Josh. “O—oh, enggak. Ini…aku lagi lihatin foto ini. Ini foto siapa, ya?” tanya Kei seraya tersenyum canggung, jari telunjuknya menunjuk foto itu.
Melihat ke foto yang sedang Kei tunjuk, kontan kedua pasang mata Alvin dan Josh melebar. Itu adalah foto Windy. Josh memajangnya di sana setelah vacation pertama mereka satu bulan yang lalu. Sebetulnya, Alvin dan pacarnya, Meira, ikut serta pada vacation itu.
“A—ah…itu…” Alvin kebingungan sendiri. Dia tak tahu mau menjawab apa, sementara Josh juga hanya diam saja. Tak enak kalau tiba-tiba membicarakan soal asmara ketika sedang bekerja.
Akan tetapi, ternyata Kei tidak begitu memedulikan soal ‘siapa’ perempuan itu. Agaknya dia lebih peduli dengan kesan apa yang ia dapatkan tatkala memperhatikan foto tersebut sejak tadi. Jadi, sebelum Alvin dan Josh menjawab apa pun, Kei lantas kembali mengalihkan pandangannya ke depan, memperhatikan foto itu dengan seksama.
“Foto ini…” Kei kembali memperhatikannya dengan lamat-lamat. Alisnya hampir menyatu, matanya sedikit memicing agar lebih fokus. Setelah itu, seraya mencoba untuk mengeluarkan segala kesannya terhadap foto itu—menerawang maknanya—Kei pun akhirnya berbicara perlahan, “bagus. Iya, bagus… Perempuannya juga kelihatan senang. Tapi…kok aku ngerasa kalau…dari foto ini perempuan itu kelihatan…jauh?”
Kei menggeleng. Dia sendiri tak yakin dengan pemilihan kata yang ia buat. Akan tetapi, tidak ada kata-kata lain yang mampu mewakilkan seluruh perasaannya tatkala melihat foto itu. Perempuan di dalam foto itu sepertinya difoto dari jarak dekat, tetapi entah mengapa terasa…begitu jauh…
Di sisi lain, setelah mendengar komentar dari Kei, mata Josh kontan membeliak. Entah mengapa ia merasa seolah ada sebilah pisau yang menikam dadanya. Mendadak, entah karena alasan apa, tubuhnya mematung dan dia tak mampu menjawab apa-apa. Otaknya juga masih mencerna apa yang Kei maksud meskipun sebenarnya, detak jantungnya terdengar lebih cepat akibat komentar itu.
Semua reaksi Josh itu tak luput dari mata Alvin. Alvin pun menundukkan kepalanya sejenak, lalu menatap lagi ke arah Kei dan menghela napas.
Sebenarnya, Alvin tahu apa maksud Kei. Dia mengerti karena dia pun merasakan hal yang sama tatkala pertama kali melihat foto itu.
Namun, sekarang Alvin memilih untuk diam. Ia tak mau membuat suasana jadi tidak enak ketika mereka seharusnya fokus, apalagi pastinya Kei juga menanyakan hal itu tanpa tahu apa-apa.
Tertawa canggung, Alvin pun akhirnya memecah keheningan itu. “Ah—haha, ya udah, yuk. Kita coba mulai sesi fotonya. Mumpung lagi semangat, nih. Ayo, Kei.”
Mendengar ajakan Alvin, Kei pun akhirnya menoleh ke arah pria itu, lalu tersenyum dan mengangguk. “Oh…oke, oke. Yuk. Fotoin aku yang bagus, yaa,” canda Kei seraya menghampiri kedua pria itu. Alvin tertawa.
Josh pun akhirnya tersadar dan dia kembali mengalihkan fokusnya kepada tujuan awal mereka ke rumahnya. Ia lantas mulai mencoba untuk tersenyum, mengangguk, lalu berjalan mendekati kameranya. “Oke, sip.”
Akhirnya, sesi pemotretan itu pun dimulai. Selama sesi pemotretan, mereka banyak bercanda dan tertawa. Josh dan Alvin sadar bahwa ternyata Kei ini selain ramah dan tidak sombong, dia juga orangnya asik. Dia suka bercanda. Orangnya cukup simple. Namun, sekali lagi, entah mengapa dia tetap terlihat classy, elegan, dan berwibawa. Selain itu, dia adalah tipe-tipe wanita yang berwajah tirus dan sensual. Sangat cantik dan eksotis. Pantas saja karirnya melejit di dunia modeling.
Saat sesi pemotretan pun, Josh semakin yakin bahwa: tidak salah lagi. Keisha Nathalielah yang harus menjadi muse-nya untuk proyek ‘Wanita’ yang sejak lama sudah ia simpan di angan-angan. Di sisi lain, Kei juga memikirkan hal yang kurang lebih sama:
Dia ingin bergabung dengan proyek milik Josh ini.
Ia ingin menghabiskan waktunya untuk penyelesaian proyek ini lebih lama lagi.
7Please respect copyright.PENANAGDX1doLY8o
******
7Please respect copyright.PENANAJVsEvhKaQC
“Kami balik dulu, ya, Bro,” ucap Alvin tatkala dia telah sampai di sebelah kanan mobilnya; dia sudah membuka pintu mobil itu. Kei berdiri di sebelah kiri mobilnya. “Ntar foto-foto tadi kirim juga ke kami berdua, oke?”
Josh tertawa, lalu mengacungkan jempolnya ke depan dan mengangguk. Dia berdiri di teras rumahnya, memperhatikan Alvin dan Kei yang baru saja mau naik mobil. “Oke siaaap, Bosku. Tiati, yaa.”
“Seeeep,” jawab Alvin seraya mengacungkan jempolnya pada Josh. “Kami balik dulu, yaaak.”
“Oke oke,” jawab Josh, lalu ia melihat Alvin mulai masuk ke dalam mobil. Setelah itu, Josh mulai mendengar suara Kei yang masih berdiri di sisi kiri mobil.
“Aku pulang dulu, Josh. Ntar aku kabarin, yaa. Bye,” pamit Kei. Wanita itu melambaikan tangannya kepadaJosh seraya tersenyum manis. Percakapan mereka hari ini sukses membuat kecanggungan di antara mereka hilang sepenuhnya dan mereka sudah bisa berteman dengan baik. Ngobrolnya nyambung, kalau menurut Josh. Kebetulan Kei juga bukan orang yang jaim-jaim banget.
“Oke, Tiati, yaa, Kei. Ntar aku kirim-kirim juga fotonya. Bye!” Josh ikut melambaikan tangannya dan tersenyum kepada Kei. Setelah itu, Kei pun mengangguk dan langsung masuk ke dalam mobil Alvin. Begitu Kei sudah masuk ke dalam mobil itu, satu klakson pertanda salam terdengar dibunyikan dari dalam mobil dan Josh mengangguk. Akhirnya, mobil Alvin pun mundur, lalu keluar dari halaman rumah Josh. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya mobil itu benar-benar pergi dari rumah Josh dan mulai berjalan dengan kecepatan lambat di area kompleks perumahan.
Selama berada di dalam mobil, percakapan yang terjadi di antara Kei dan Alvin sangatlah santai dan mereka sudah mulai terbiasa. Alvin orangnya lebih supel daripada Josh dan dia juga lebih terbuka. Mereka membicarakan sesi foto-foto tadi serta candaan-candaan mereka saat berada di studio Josh. Akan tetapi, ketika mobil Alvin mulai memasuki jalan raya, tiba-tiba Kei mulai bertanya.
“Emm…Vin. Menurut kamu, Josh itu orangnya…gimana?”
Alvin kontan membulatkan mata. Seraya menyetir, matanya mulai menoleh sesekali ke arah Kei yang sedang duduk di sampingnya. “Eh? Kenapa emangnya, Kei?”
Kei menatap ke arah Alvin dan mengerjap, lalu dia tertawa dengan canggung dan kembali menatap ke depan. “A—aahh…enggak. Pengin tau aja, Vin.”
Sambil menyetir, Alvin lantas tersenyum jail. “Pengin tau apa pengin tau…”
Sontak saja Kei tertawa kencang. Dia sampai menutup mulutnya dengan telapak tangannya, lalu setelah dia puas tertawa, dia pun menjawab, “Waduuuh, aku ketahuan, ya? Hahahaha!”
Alvin ikut tertawa. Tawanya terdengar benar-benar puas, benar-benar lega. Terus terang saja, dia senang sekali mendengar kabar gembira ini. Tak ia sangka harapan kecil yang ia simpan di dalam dada untuk sohib-nya itu mulai menjadi kenyataan dalam waktu yang sesingkat ini. Kesabarannya berbuah manis.
Setelah itu, Alvin pun tersenyum semringah. “Umm… Josh, ya. Orangnya baik. Baik banget, malah. Yaa seperti apa yang udah kamu liat tadi, Kei. Orangnya nggak yang aneh-aneh.”
Kei mengangguk dan tersenyum. Dia lalu melihat ke arah Alvin. “Umur kalian berapa, sih, Vin?”
“Hm?” Alvin menoleh ke arah Kei sejenak, lalu menatap ke arah jalan lagi. “Oohh, kami seumuran. 28 tahun. Kamu berapa, Kei?”
“Sama,” ujar Kei. Namun, kemudian Kei mengernyitkan dahinya. “Lho, kalian kok belum nikah?”
Kontan saja Alvin menyatukan alisnya dan menoleh ke arah Kei. “Lah lah lah, kayak kamu udah nikah aja. Kamu sendiri aja belum nikah.”
Spontan Kei tertawa keras, begitu juga Alvin. Alvin langsung berkomentar lagi, “Sama-sama belum nikah, nih, setidaknya jangan saling mempertanyakan nasib, oke?”
Kei kembali tertawa. Dia lalu menoleh ke arah Alvin. “Eh, tapi—nggak nggak, serius, kamu beneran belum ada rencana untuk nikah?”
“Kalau rencana itu pasti ada, Kei,” jawab Alvin, masih tersisa senyuman di wajahnya. “Aku ada cewek kok. Cuma emang belum nikah aja.”
Kei mengangguk-angguk. Mulutnya membentuk ‘o’ kecil.
“Hmm…gitu.” Kei memiringkan kepalanya ke sisi. “Kalau…Josh?”
Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba saja senyuman yang ada di wajah Alvin luntur. Tak tahu apa sebabnya, mendadak Alvin terdiam dan ia menatap ke depan seraya mengerutkan dahinya. Tatapan matanya terlihat agak aneh saat itu. Ia memandang jalan, tetapi seolah tak benar-benar melihat ke sana. Ada kekecewaan, kekesalan, serta kebingungan yang tersirat dari tatapan matanya.
Kei jadi menyatukan alisnya. Mengapa ekspresi Alvin tiba-tiba berubah?
Setelah beberapa detik lamanya Alvin terdiam, akhirnya pria itu menghela napas. Ia pun mulai berbicara.
“Josh itu… Dia punya pacar,” jawab Alvin. “Pacarnya itu temen sekelas kami waktu SMA. Dia tinggal di kota ini juga.”
Mendengar jawaban dari Alvin itu, tak ada angin tak ada hujan, entah mengapa tiba-tiba Kei merasa seperti ada sentilan pelan di hatinya. Namun, biar pelan begitu, sentilan itu sanggup memudarkan senyumnya dan mengurangi semangatnya saat mengobrol dengan Alvin waktu itu. Kei lantas tertunduk—memandangi pahanya sendiri—lalu mengangguk perlahan seraya tersenyum. “Oh…gitu, ya…”
Alvin mengangguk. Dia mendengkus pelan, lalu kembali berkata, “Belum lama ini, sih, jadiannya. Kebetulan ketemu cewek itu beberapa bulan yang lalu.”
Kei menoleh ke arah Alvin sejenak, lalu mengangguk dan menatap ke arah jalanan kembali. “Oh…gitu.”
7Please respect copyright.PENANAoak05n2mEe
Walah, kalau saingannya adalah orang lama, sepertinya sulit…
7Please respect copyright.PENANASz3Wy65O0Y
Di sisi lain, sebenarnya Alvin tak mau membahas soal ini di depan Kei, terutama setelah Kei mengungkapkan ketertarikannya kepada Josh. Namun, walau Alvin tak memberitahu Kei, Alvin yakin kalau kedepannya Kei pasti akan tahu juga dengan sendirinya. Jadi, lebih baik Kei diberitahu dari sekarang supaya kedepannya dia tidak merasa seolah ditipu.
Sebenarnya, Alvin sangat ingin menyerukan Kei agar Kei tetap gas saja. Tetap dekati Josh walaupun Josh punya pacar. Soalnya Alvin tidak menyetujui hubungan Josh dengan Windy. Alvin ingin Josh putus dengan Windy dan cari pacar baru. Namun, apalah daya. Alvin tak mau dicap seolah-olah dia menyuruh Kei untuk menjadi perebut kekasih orang. Dia juga tahu betapa keras kepalanya Josh soal Windy dan pasti Josh akan ribut kalau tahu bahwa Alvin sudah mengatur rencana kotor seperti itu.
Ah, seriusan. Geram sekali rasanya. Geregetan.
Akhirnya, Alvin hanya bisa berdoa.
7Please respect copyright.PENANAvqPdnabF8c
Mudah-mudahan Kei tidak menyerah begitu saja, aamiin.
7Please respect copyright.PENANAT0cqSebmth
******
7Please respect copyright.PENANAxpoGOG4fJs
“Eh, Sa, sausnya mana?” tanya Windy pada Salsa, teman sekaligus rekan kerjanya, tatkala ia baru saja duduk di salah satu kursi yang ada di restoran cepat saji. Dia menaruh pesanan ayam beserta nasinya di atas meja, lalu menatap ke arah Salsa yang masih berdiri di depan sana, berjarak sekitar dua meter dari posisi mereka duduk. Windy duduk berseberangan dengan Indah yang baru saja menaruh minuman serta french fries pesanan mereka ke atas meja.
Salsa yang mendengar pertanyaan dari Windy itu kontan langsung mengerjap dan tertawa. Dia lalu menjawab, “Oalah. Iya, iyaaa, aku ambilin bentar.”
Windy dan Indah lantas tertawa tatkala melihat Salsa yang mulai berbalik dan berjalan dengan cepat, mengambil saus untuk mereka bertiga. Windy mulai berkomentar, “Emang ada-ada aja itu bocah, padahal udah diingetin tadi.”
Indah tertawa. “Ya biasalah. Dia, kan, emang rada pikun.”
Windy terkekeh geli. Sembari menunggu Salsa, ia pun berbicang dengan Indah dan wajahnya terlihat begitu semringah. Sudah lumayan lama ia tidak hang out begini dengan Salsa dan Indah meskipun mereka semua bekerja di hotel yang sama dan di posisi yang sama, yaitu resepsionis. Hari ini mereka sudah janjian untuk pergi bersama setelah pulang bekerja. Jadi, di sinilah mereka sore ini, memutuskan untuk makan terlebih dahulu di restoran cepat saji sebelum nantinya mau keliling-keliling mall dan berbelanja.
Tak lama kemudian, Salsa sampai ke meja mereka dan dia menaruh saus-saus yang ia bawa itu ke atas meja. Dia pun duduk di sebelah Indah. “Gilaa, antriannya puanjang banget, Rek.”
Indah mengernyitkan dahi. “Lah, itu kamu bisa cepet.”
“Lho, kan, cuma crat crot crat crot. Ya cepetlah,” jawab Salsa dengan spontan. Windy dan Indah kontan tertawa kencang. Mereka tak terlalu peduli dengan sekitar, padahal sebenarnya saat itu pengunjung restorannya cukup ramai.
“Itu beneran saus, ‘kan, Sa? Bukan cowokmu?” tanya Indah seraya masih ngakak, lalu Salsa sontak menampar pundaknya. “Ya gaklah, anjir. Kalo yang punya cowokku, jangankan crotnya, bentuknya aja aku gak tau.”
Windy langsung tertawa lagi. Seraya mengambil sepotong ayam serta nasi untuknya sendiri, Windy pun mulai menepuk-nepuk pundak Salsa. “Sabar, sabar. Sabar yaa, Sa. Koen harus banyak belajar dari aku, berarti.”
Kontan saja Indah tertawa lagi, tetapi kali ini Salsa juga ikutan tertawa. Seraya mengambil makanan mereka masing-masing, Indah pun berkomentar, “Bener, tuh, Sa. Kalo Windy ini dia sudah jagonya. Hahaha!”
Salsa semakin tertawa kencang; dia menepuk pundak Indah, lalu menoleh ke arah Windy yang duduk di seberangnya. Ternyata Windy juga tertawa akibat komentar Indah barusan. Akan tetapi, Salsa mendadak kepo. Dia mulai membenarkan posisi duduknya dan memajukan tubuhnya ke depan untuk bertanya kepada Windy. Kedua mata Salsa tampak melebar. “Eh, Win, kamu yok opo toh, sama pacarmu itu?”
Windy yang sedang mengunyah makanannya itu lantas melirik sejenak ke arah Salsa. “Hm? Pacar yang mana?”
Indah spontan tergelak. “Ya elah, mentang-mentang cowoknya nggak cuman satu, hahahaha!”
Windy tertawa sampai kepalanya terdongak. Sementara itu, Salsa jadi menatapnya dengan ekspresi datar. “Aku serius, kampret.”
“Ya yang manaaa, anjir?” jawab Windy sembari terkikik geli. “Yang suka nge-crot-in gue dan bikin gue jadi ‘berpengalaman’ gini, atau yang satu lagi?”
Indah, yang masih mengunyah daging ayamnya, nyaris saja tersedak dan dia langsung tertawa terbahak-bahak. Dia lalu berkomentar, “Dia ini hebat, Sa. Itu, si pacarnya yang satu lagi itu, dia terima dengan terpaksa cuma karena dia dikejar-kejar terus. Si cowok fotografer itu tergila-gila banget sama dia dan udah lama deketin dia. Udah dari SMA, bayangin! Udah nembak berkali-kali juga, buseeet!”
Windy tertawa. Dia lalu menjawab Indah, “Tergila-gila banget dia itu sama aku. Semua yang kuminta bakal dikasihnya, hahaha!”
“Ya ituuu! Cowok itu yang aku tanyaaa!” ujar Salsa, jari telunjuknya langsung menunjuk ke arah Windy. “Kamu gimana sama cowok yang itu? Masih pacaran toh?”
Windy mengedikkan bahu, lalu dengan rasa kepedulian yang minim terhadap topik yang sedang dibahas, dia mulai lanjut makan. “Ya daripada risi karena digilain sama dia mulu dari SMA, mending aku terima dulu aja sambil nikmatin apa yang dia kasih. Nggak ada salahnya juga.”
“Itu Cak Frans bukannya sudah tau soal hubungan kalian? Kok dia tetep mau ya sama kamu? Padahal kalau gitu jatuhnya dia jadi selingkuhanmu,” ucap Indah seraya terkikik geli.
Windy kontan tertawa lepas, dia terlihat sangat senang sekaligus bangga. “Siapa dulu, dong? Aku gitu, lho.”
“Koen sebenernya sukanya sama siapa toh? Cak Frans atau si cowok yang satu lagi itu? Siapa namanya? Josh, ‘kan?” tanya Salsa.
“He-em, namanya Josh,” jawab Windy seraya mengangguk. Dia menelan makanannya, minum sebentar, lalu tersenyum miring di depan Salsa dan Indah. “Ya aku sukanya sama Frans, dong, Rek. Kan kalian berdua udah tau kalo aku nerima Si Josh itu cuma karena terpaksa dan kasihan. Lagi pula, itu cowok tergila-gila sama aku, jadi nggak susah minta apa-apa ke dia. Apa pun yang kumau pasti bakal diturutin dan dikasih. Jadi, kenapa enggak? Frans juga oke-oke aja kok, selagi kami tetap berhubungan.”
Salsa mendengkus, lalu menggeleng berkali-kali dalam tempo lambat. “Kamu ini Win…Win. Aku ini, se-gendheng-gendheng-nya aku, cowokku gak pernah kumainin gitu. Itu padahal cowoknya guuaanteng gitu, tapi jadi kamu main-mainin. Awas kena karma, lho.”
“Pfffttt!” Windy mendadak tertawa geli, dia tadi hampir menyemburkan makanan yang ada di dalam mulutnya. “Hari gini masih percaya karma aja kamu, Sa. Mana ada yang kayak begituan. Gini, ya, Sa. Kalau dia kuterima, jatuhnya aku jadi menolong dia, dong. Kan supaya dia nggak menderita seumur hidupnya karena aku tolak. Dia malah bahagia banget itu bisa pacaran sama aku.”
Indah menambahkan, “Bener, keliatan banget kalo dia udah jadi budak cintanya Windy, hahaha!”
Salsa lalu menghela napas dan mengedikkan bahu. Dia mulai mencocolkan potongan ayamnya ke saus yang ada di piringnya, lalu berkata, “Ya sudah, sembarang kamu.” []
7Please respect copyright.PENANAEF1T8xnBLR