
Aku pertama kali melihatnya saat dia menurunkan koper dari bagasi mobil, ditemani seorang pembantu perempuan dan tiga anak kecil yang berlarian riang di halaman rumah barunya. Janda itu—Inara Rusli, katanya—baru saja pindah ke sebelah rumahku. Aku dan istriku, sebagai tetangga yang baik, tentu datang untuk menyambut.
Saat itu, dia mengenakan gamis panjang berwarna pastel, membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, sementara hijab syar’i membingkai wajahnya yang putih bersih. Aku bukan tipe pria yang sering menonton acara gosip, tapi wajah itu terasa familiar. Ah, mungkin pernah kulihat di TV, di salah satu acara hiburan atau talk show yang sesekali kutonton sepulang kerja.
Aku tidak bisa menahan diri untuk mengamati wajahnya lebih lama dari yang seharusnya. Wajah itu… putih mulus tanpa cela, seperti porselen mahal. Bibirnya tipis, berwarna alami seperti selalu basah, dan setiap kali dia berbicara, suaranya lembut, menenangkan, tapi entah kenapa justru semakin membangkitkan sesuatu dalam diriku.
Jemarinya—ah, jemari itu. Begitu lentik, putih mulus dengan rona merah muda di ujungnya, tampak begitu halus saat menggenggam pegangan koper. kalau yang terlihat saja seindah ini… bagaimana dengan yang tersembunyi?
Aku sudah lama tahu bahwa ada keindahan dalam kesederhanaan seorang wanita. Bukan soal belahan dada montok yang dipertontonkan atau rok mini yang memperlihatkan paha mulus—bukan. Justru kain yang membalut tubuhnya, gamis yang panjang dan hijab yang menutup rapat, membuat pikiranku melayang ke hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan.
Bagaimana bentuk tubuhnya di balik itu semua? Seberapa ramping pinggangnya? Bagaimana lekukan pinggulnya saat ia bergerak tanpa kain yang menghalangi? Belum lagi buah dada ranumnya yang pasti lebih putih mulus dibandingkan kulit tangannya…
Aku meneguk ludah dan buru-buru mengusir bayangan itu.
“Silakan mampir kalau butuh bantuan, Bu Inara,” kataku dengan suara ramah, berusaha menjaga wibawa sebagai pria berusia matang yang kini sudah 57 tahun.
Dia tersenyum lagi. “Terima kasih banyak, Pak Suprapto. Ibu juga,” ucapnya, melirik istriku yang berdiri di sampingku. Suaranya begitu lembut, begitu santun, yang justru malah terasa lebih sensual daripada suara wanita manapun yang pernah kudengar.
Aku hanya bisa membalas dengan anggukan sopan, padahal dalam hati aku tahu—tetangga baruku ini akan menjadi sumber godaan yang tidak akan mudah kuabaikan.
…
ns3.135.208.215da2