Petir menggelegar membelah angkasa. Angin hiruk-pikuk, pohon-pohon terombang-ambing. Sesekali ada beberapa kertas dan plastik beterbangan melambung tinggi di angkasa.
Entah karena manusia yang menganggap semua tempat adalah tempat sampah atau tempat sampah yang terlalu menumpuk hingga isinya terbawa angin, tapi di luar benar-benar berantakan.
Sampah berceceran dimana-mana.
Sayangnya, akibat hujan malam ini. Seluruh komplek mengalami pemadaman listrik. Gelap, semuanya tak terlihat. Membuat kilatan petir semakin mengintimidasi.
Tidak ada orang yang cukup bodoh untuk pergi keluar malam ini. Jalanan lenggang dan sepi. Hanya beberapa jejer lampu jalanan yang benar-benar setia berdiri di tengah lebatnya guyuran hujan.
Sunyi.
Tak ada suatu suara manusia terdengar. Mereka sibuk dalam rumah mereka sendiri. Menyalakan lilin, bercengkerama dengan keluarga dan sanak saudara.
Tak ada yang peduli dengan lingkungan luar. Tak ada satu pun orang yang akan menduga bahwa kejadian buruk sedang terjadi di sekitar mereka.
***
“Kamu masih menyangkal?” tanya seorang pria yang memakai hoodie hitam dengan masker yang menutup hampir seluruh wajahnya dan hanya menginjinkan matanya untuk mengintip keluar.
“Hahaa...maaf. Tapi, aku benar-benar tak tahu apa yang kau maksudkan,” sangkal seorang pria yang sedang terikat pada sebuah kursi besi. Peluh dan darah menetes bersamaan dari keningnya. Kemeja putih yang dikenakannya hampir berubah warna menjadi merah karena darah.
“Aku yakin suatu saat kau akan menyesal. Seharusnya kau berikan saja barang itu padaku. Dan aku akan membiarkanmu pergi dengan tenang,” ancam sang pria ber-hoodie itu.
“Jangan bermimpi. Sekalipun kau menyiksaku aku tak akan memberikan barang itu padamu!” teriaknya.
“Rein, jangan keras kepala!” bentaknya pada pria yang sudah babak belur itu.
“Kau tahu siapa aku. Dan aku tak pernah gagal untuk mendapatkan apapun yang aku inginkan. Entah itu dengan atau tanpa bantuanmu. Aku selalu berhasil. Dan sebaiknya malam ini kita bersenang-senang saja. Kau diam dan nikmati saja. Karena malam ini adalah malam terakhirmu. Haha...”
Pria ber-hoodie itu mendekat. Mendekati tawanannya sambil memainkan pisau di tubuh pria malang yang sedang disekapnya.
Mata pisau yang dingin menyentuh kulit pria yang dipanggil Rein itu. Rein merasakan kulit-kulit di sekujur tumbuhnya meremang.
Dia tahu betul siapa pria yang sedang dihadapinya. Dan dia tahu hal mengerikan apa yang mungkin bisa dilakukan pria gila itu. Namun, ia tak bisa menyerah begitu saja. Toh, hasilnya sama saja. Ia tetap akan mati malam ini.
Menyerahkan barang kepada pria itu hanya akan menambah rumit situasi. Ia bisa membunuh semua orang di organisasinya.
“Hmm...aku penasaran bagian mana yang bisa kutusuk. Aku perlu bagian yang bisa membuatmu tersiksa dan memohon kematian. Aku ingin lihat kamu meratapi nasib dan menyesali keputusan yang telah kamu buat,” ancamnya sembari mengintari tubuh Rein yang masih terikat.
Tatapannya seolah menelanjangi Rein untuk mencari bagian yang paling diinginkannya.
“Ah, aku tahu dimana itu.”
Pria itu berhenti tiba-tibadi hadapan Rein dan mendongakan kepalanya secara paksa. “Matamu!” ucapnya kemudian.
Pupil mata Rein membesar. Matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan yang menderanya. Peluh dan keringat dingin semakin membasahi tubuhnya yang telah lengket dengan darah.
Pria itu mengarahkan pisau-nya tepat ke arah mata Rein. Hanya tinggal satu inci lagi jaraknya.
“Hentikan! Hentikan! Kamu jangan gila. Para agen akan segera menyadari kalau aku dibunuh dan disiksa. Itu juga akan merugikanmu.”
“Oh, ya?” tantang pria itu.
“Iya. Hasil autopsi akan menunjukkan segalanya,” kata Rein terengah-engah. Dadanya berdegub kencang. Ia sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya jika pisau itu sampai menusuk matanya.
“Oh, begitu. Kalau itu masalahnya. Aku hanya perlu membuat tubuhmu hangus dan tak bisa di autopsi lagi, bukan? Haha...wah, aku ini pintar sekali, kan?” jawab pria itu sambil tertawa.
“Apa! Jangan gila. Apa rencanamu?”
“Aku akan ledakkan tempat ini. Boom! Semuanya akan hangus terbakar. Tak akan ada bukti apa pun yang tersisa.”
“Hey! Semua orang di gedung ini akan mati. Mereka semua tak bersalah. Bunuh aku saja! Jangan sentuh mereka!” teriak Rein histeris.
“Hmm...tak bersalah?” Pria itu nampak berpikir sejenak.
“Tidak! Mereka semua bersalah. Dan salah mereka adalah tinggal di dekatmu. Kau harus ingat ini! mereka semua akan mati karena kesalahanmu. Karena kamu menolak permintaanku,” ancamnya.
“Tidak!” teriak Rein. Air mata mulai mengalir deras membasahi matanya. Tidak! Orang-orang itu tak boleh mati. Mereka semua adalah orang-orang yang baik.
Pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah remot kecil. “Kau lihat ini?” tanyanya kepada Rein sembari melempar-lempar benda itu ke udara dan menagkapnya berkali-kali.
“Benda ini adalah hidupmu dan seluruh penghuni gedung ini,” ucapnya kemudian sambil menghentikan aktifitasnya. Ia menatap jendela sejenak. Hujan dan kilat yang menyambar tetap setia di luar.
“Bayangkan saja. Gedung sepluluh lantai ini memiliki 100 kamar. Jika satu kamar di huni 3 orang. Maka, ada 300 jiwa di sini. Aku memasang bom di lantai 4, tempatmu berada sekarang. Dan satu lagi di lantai 2. Hmm...kira-kira berapa orang yang akan mati?”
“Sekarang sedang mati lampu dan hujan lebat ada di luar sana. Kebanyakan orang berada di dalam rumahnya, bukan?” tanyanya sembari mondar-mandir.
“Wah, aku ini pintar sekali ya. Itu artinya korbannya akan semakin banyak.” pria itu menghentikan langkahnya dan mengambil sebuah kursi lalu duduk di hadapan Rein.
Ia menyilangkan kedua tangannya. Dan mulai berbicara panjang lebar lagi.
“Hmm...liftnya mati. Semua orang akan terjebak. Penghuni lantai atas juga akan terjebak. Wah, wah. Menarik sekali, ya. Sebuah cara yang brilian untuk menutupi kematianmu. Kejadian ini akan dianggap sebgaai serangan teroris. Dan fakta bahwa aku melakukannya hanya untuk menutupi kematianmu tak akan pernah terungkap. Hahaha...”
“Kamu jangan gila!” teriak Rein dengan frustasi.
“Dimana benda itu?” tanya pria itu lagi.
“Aku tidak tahu,” jawab Rein sembari mengalihkan wajahnya. Air mata sudah membasahi kedua pipinya.
“Hmm...sekali kupencet tombol ini. Maka, hanya akan ada waktu 10 menit tersisa sampai bomnya meledak. Yah, tentu saja aku sudah berada di tempat yang aman,” ancamnya.
Rein diam. Tak tahu harus menyahut apa.
“Oke, aku akan menghitung sampai tiga.”
Satu,
Keringat semakin deras mengalir di sekujur badan Rein. Ia teringat bagaimana ramahnya orang-orang di sekitar tempatnya. Para penghuni gedung ini benar-benar baik, dan mereka menyambutnya dengan senyuman saat pertama kali ia datang. Untuk pertama kali, ia merasakan kehangatan. Ia merasa dicintai. Ia merasa dibutuhkan. Semua orang-orang ini adalah kelaurganya.
Dua,
Ia tak tahu harus berbuat apa? Apa ia sanggup menahan beban ratusan orang yang akan mati karena pilihannya yang salah.
Ti...
“Hentikan! Jangan lakukan itu. Aku akan memberitahumu,” ucap Rein.
“Haha, lihat kan. Aku tak pernah gagal. Dimana barang itu?”
“Barang itu tidak ada bersamaku sekarang. Badan intelejen rahasia akan membawanya untuk di simpan di brankas markas pusat di London,” ucap Rein setengah hati. Tak yakin, apakah ia membuat keputusan yang tepat atau tidak.
“Oh, begitu. Hmm...itu artinya masih ada kesempatan untukku sampai berang itu berada di markas pusat. Siapa yang membawa barang itu sekarang?”
“Aku tidak tahu. Hanya ini yang aku tahu,”
“Hmm...ketua-ketua kelompok itu pasti mengetahuinya. Baiklah,” ucapnya sambil tersenyum licik.
“Aku sudah mengatakan semuanya padamu. Sekarang lepaskan aku,” pinta Rein.
“Tunggu! Kamu tadi bilang apa?”
“Wah, kau sudah lupa ya. Bukankah tadi sudah kubilang, malam ini akan jadi malam terakhirmu.”
“Br*ngs*k kau,” umpat Rein sambil meronta-ronta. Namun, ikatan yang membelitnya terlalu erat.
“Terserah saja apa maumu. Tapi, jangan pernah sakiti orang-orang yang tak bersalah,” kata Rein pasrah. Setelah usahanya membebaskan diri tak berhasil. Biarlah ia yang mati asalkan orang-orang itu selamat.
“Hmm...maksudmu. Rencanaku yang sudah repot-repot kupersiapkan dengan matang? Ah, tidak akan!” pria itu menyabetkan pisaunya tepat ke arah kedua mata Rein.
Rein mengerang kesakitan. Badannya meronta dan ia menghentakkan kedua kakinya ke lantai berusaha menahan rasa sakit akibat goresan dalam yang diakbiatkan pisau itu pada kedua matanya..
“Arg! K*p*r*t kau!” teriaknya.
“Hahaha...oh iya. Bagaimana ya mengatakannya. Tapi, aku sudah mengaktifkan bom-nya. Hahaha...selamat bersenang-senang,” ucap pria itu sembari meninggalkan ruangan.
“Kau! berhenti!” teriak Rein. Walau ia tahu semua usahanya hanya sia-sia dan hanya akan menghabiskan tenaga. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang. Ia juga tidak bisa berdiam diri saja dan menunggu sampai bom itu benar-benar meledak.
Ia berusaha meronta sekuat tenaga. Sembari menahan rasa sakit yang luar biasa di matanya yang mengalirkan banyak darah sampai membasahi dagunya.
Alhasil, ia hanya bisa roboh ke bawah bersama kursinya.
“Suatu saat semua kejahatanmu akan terbongkar! Kau akan mendapatkan balasan yang lebih menyakitkan dari pada ini. Ingatlah itu!” teriaknya penuh kemurkaan.
Rein kembali menangis dalam sepi. Bukan bulir bening yang jatuh dari matanya. Kini hanya tetesan darah yang merambat turun membasahi kedua pipinya..
“Maaf! Maafkan aku! Semua ini salahku. Harusnya aku bisa melindungi kalian semua sebagai agen negara dan sebagai...keluarga. Tapi, aku hanyalah sampah tak berguna. Maafkan aku,” gumannya sendu.
Ia menutup matanya yang memang tak akan pernah bisa terbuka lagi dan menatap cerahnya cahaya fajar seperti hari kemarin.
Duar!
Kedua bom itu meledak bersamaan. Sang jago merah muncul kemudian dan melahab semua yang ada. Puing-puing kaca pecah bertebaran. Dua lantai hangus.
Kepulan asap menjujunjung tinggi di angkasa. Mengalahkan arak-arakan awan mendung. Hujan petir tak mau memberi jeda. Setengah membantu dengan guyuran hujan dan setengahnya malah menambah rumit suasana karena angin memperluas daerah kobaran api.
Semua penghuni gedung yang ada di lantai atas terjebak.
Mereka tidak bisa turun. Jikalau bisa hanya ada dua pilihan yang berujung kematian. Menerobos api di lantai dua dan empat di tengah kegelapan atau meloncat turun melewati jendela yang akan langsung di sambut dengan kerasnya aspal di bawahnya.
Penghuni lantai pertama semuanya berlarian keluar. Saling tabrak karena panik dan tidak bisa melihat di tengah kegelapan. Beberapa orang berhasil keluar dengan selamat, sebagain terluka dan sebagian besar masih terjebak di dalam.
“Wah, tontonan yang benar-benar menarik,”
Hanya satu orang yang bisa mengucapkan hal itu.370Please respect copyright.PENANAvZZmP3cmPT