PUISI INI TUMBUH LAGI
sayangku. puisi ini tumbuh lagi
melewati batas yang beberapa kali kau wanti
: ini adalah hati. dan kau hanya boleh sampai tepi
kau berbisik demikian ketika aku
mengomentari sebuah tayangan tivi
sayangku. puisi ini tumbuh lagi
seperti yang kau wanti: ini adalah hati. dan puisimu tidakboleh sampai tepi
PAPUQ SENAH
Papuq Senah berjaga.
sepanjang malam dengan bohlam
di balainya yang beranyam-anyam.
katanya: "anak-cucu tak mungkin tahu
bahwa dulu pernah ada randu
serta beberapa daun jatuh ke hulu.
Paling tidak anak-cucu harus tahu. bahwa
aku yang dulu menyiram
bambu-bambu di halaman
gedung bupati itu."
ULAR YANG MASUK KE KAMAR
nisti, semalam ada ular masuk kamar
tikar yang lontar itu harusnya tak goar
tapi ular itu lapar. ia menelan pelan
dengan moncong ompong yang doyong
aku hanya menyaksikan, nisti. tidak
hendak ikut merangkak. sebab nisti,
ular itu bukan apa-apa. tidak
hendak ngakak melilit kepalaku
yang di dalamnya ada kamu.
MENASIHATI PENGUNJUNG DI PARKIRAN RUMAH SAKIT
apa yang kau cari.
di parkiran itu hanya ada plastik dan besi.
baiknya kau ke perempatan kota
kau bisa memilih apa saja: gula. cuka.
tuba. arwana. bejana. vodca.
atau kau lebih suka celana serta buah dada.
terserah. di perkiran ini kau hanya akan
menemukan orang-orang payah
yang beberapa waktu akan pasrah.
pergilah ke perempatan kota.
kau bisa memilih banyak hal
: bantal. sandal. binal. banal.
GERUTU ISTRI MENJELANG TIDUR SIANG
tempat paling jauh adalah hayalan (bagi aku). sementara, kau selalu mengeluhkan pagi yang pasti asing dari tidurku; sementara, pada angin di antara dinding rumah kita andai-andai milik kau telah landai lantaran aku memilih lalai dan asyik pada gawai (bagi kau). "... baiknya kau tanggalkan selimutmu," gerutu panjang kau berakhiran selalu begitu, padahal kau pasti tahu aku telah jadi kutu di kasur kita itu. "duduklah, besok pagi adalah milik Tuhan. dengan aku tidurlah dengan hayalan, puan."
Lombok Timur, 2020