Tok-tok-tok
“Ya, masuklah,” ucap Jean di dalam kantornya.
Masuklah seorang laki-laki ke dalam kantor Favonius.
“Ya ampun, ternyata kamu, Kaeya. Aku kira siapa.”
“Habisnya kamu enggak keluar-keluar. Takutnya aku mengganggu kalau kamu ketiduran di sini, Jean.”
“Sayangnya aku sedang gak tidur.”
“Hei, Jean, istirahatlah sebentar. Masak dari kemarin sampai berjam-jam kamu di kantor terus?”
“Kerjaanku belum selesai, Kaeya.”
“Ada yang bisa aku bantu?”
“Tidak ada. Ini semua adalah tanggung jawabku. Tugasku yang kuberikan padamu sudah selesai?”
“Ya udah, dong. Kalau belum aku gak bakal kemari.”
“Terus, mana laporannya?”
“Pihak mereka yang akan membuat laporannya. Aku disuruh menunggu sampai besok. Tapi sudah pasti aku menyuruh mereka untuk memberi jaminan agar mereka selesai tepat waktu.”
“Ooh… begitu? Baguslah.”
“Oh iya Jean, kalau pekerjaanmu sudah selesai, temuilah aku.”
“Memangnya ada apa?”
“Pokoknya temui aku kalau sudah selesai, oke?”
“Kaeya, jangan main-main… kerjaanku ini masih cukup banyak. Kalau ada sesuatu cepat katakan saja.”
“Susah untuk aku jelaskan. Lebih baik kamu datang sendiri. Atau begini saja, besok kan hari Minggu, luangkan waktu sedikit saja untuk ikut denganku.”
“Iya kalau besok kerjaanku tidak bertambah.”
“Jangan berharap kalau kerjaanmu tambah, dong…. Besok hari Minggu loh, liburan sedikit aja, lah….”
“Oke, oke, besok Minggu akan aku turuti kata-katamu.”
“Sip! Sekarang aku permisi dulu.”
“Hei, Kaeya.”
“Kenapa?”
“Ada satu tugas lagi. Tolong antarkan ini kepada Diluc dan minta dia untuk menandatangani.” Jean memberikan selembar kertas padanya.
“Ooh… baiklah, siap kulaksanakan!”
“Terima kasih, Kaeya.”
“Oke, sama-sama, Master Jean.”
Kemudian Jean menghentikkan semua kegiatan menulisnya. Ia mengarahkan wajahnya ke plafon.
“Hahh…. Aku juga inginnya pekerjaan ini cepat selesai…. Betul juga yang dikatakan Kaeya, aku harus menikmati hari libur. Tapi, ini bukan soal liburan. Ini soal tanggung jawab yang Varka sudah berikan padaku. Dia juga sudah mempercayaiku sejak awal aku menjadi anggota Favonius. Aku tak bisa menyia-nyiakan tanggung jawab ini begitu saja. Karena pekerjaan ini adalah salah satu bentuk ucapan syukur dariku.” Lalu Jean kembali mengerjakan pekerjaannya dengan lebih cepat.
Keesokan harinya di halaman belakang katedral, Barbara sudah sibuk berurusan dengan tanaman. Ada tanaman mint dan juga bunga gula—sweet flower. Sepertinya Barbara sedang menanam dua jenis tanaman tersebut di halaman belakang katedral.
“Yosh! Ini sudah jauh lebih baik.” Barbara kelihatan senang sesudah menata tanaman-tanaman tersebut.
“Sepertinya pagi ini kamu senang sekali, Barbara?” Lumine datang menghampirinya.
Ia datang bersama dengan Aether dan Kaeya.
“Eh, Lumine? Dan juga kalian berdua?”
“Selamat pagi, Barbara,” sapa Aether dengan baik.
“Yo, Barbara,” Kaeya menyapanya dengan gaul.
“Kalian semua… ada perlu apa denganku?”
“Barbara, kami ingin meminta bantuanmu,” ucap Lumine.
“Bantuan tentang apa, Lumine?”
“Begini… ini kan hari Minggu, teman-teman kita berencana ingin pergi ke pantai, kami ingin mengajak Master Jean untuk ikutan. Kaeya sudah berusaha basa-basi untuk mengajaknya, tapi masih belum berhasil. Nah, kami mohon padamu supaya kamu bisa mengajaknya.”
“Ooh… memangnya mau ke pantai mana?”
“Stormbearer Coast,” jawab Aether spontan.
“Emangnya nama pantainya itu?” Kaeya terheran.
“Enggak, sih… aku mengarangnya. Pantainya emang gak ada namanya, tapi letaknya berada di bawah tebing Stormbearer.”
“Ooh… pantai yang kalian berdua pernah terdampar itu, ya?” ucap Barbara kepada Aether dan Lumine.
“Iya, betul sekali, Barbara,” jawab Lumine.
“Bukannya pantainya terlalu sepi, ya? Tapi cukup luas, sih….”
“Sebetulnya pantai itu kedepannya akan dijadikan pelabuhan baru di Mondstadt, karena lokasinya lebih dekat dengan kota. Nah, sebelum dijadikan pelabuhan baru, lebih baik kita manfaatkan dulu, iya kan?” jelas Kaeya.
“Ooo… jadi inilah idemu yang sebenarnya ya, Kaeya?” ucap Aether sambil mengernyitkan dahinya.
“Iyaa… bisa jadi, hehe.”
“Pantas aja aku kasih saran ke Falcon Coast kamu selalu menolaknya.”
“Lagian di Falcon Coast cuacanya lebih panas dan lebih banyak monster.”
“Iya juga, sih. Tapi kan kita mainnya juga enggak bakal dekat-dekat sama mereka, iya kan? Harusnya bisa.”
“Sudah, jadinya mau pantai mana? Pantai di tempat kita terdampar dulu itu, kan?” Lumine memotong pembicaraan mereka.
“Iya. Di pantai tanpa nama itu, Lumine,” jawab Aether.
“Ngomong-ngomong, nama pantainya bakal jadi Starsnatch Coast. Cuma belum resmi, sih,” Kaeya biasa sukanya menimpali pembicaraan.
“Terserah kamu, Kaeya.” Aether dan Lumine menjawab serentak.
“Anu… jadinya aku harus ajak kakakku buat ikut ke pantai, ya kan?”
“Huum. Tolong ajak dia ya, Barbara. Kami juga sedih kalau dia kerja terus tanpa bisa menikmati hari libur. Kami juga ingin agar Master Jean bisa menikmati kehidupannya selagi kita semua belum terlalu dewasa. Setidaknya begitu, sih…,” ucap Lumine yang sangat berharap pada Barbara.
“Lumine, kenapa topiknya bisa sampai ke situ?” Aether mengomentari.
“Huum! Aku akan bujuk dia supaya bisa ikut. Kalau masih belum mau, akan aku paksa dia!” Barbara pun kelihatan sangat bersemangat.
“Hehe, tapi jangan sampai dia marah loh, ya,” balas Lumine.
“Oke!”
“Baguslah, kalau sudah begini masalah mengajak Jean sudah teratasi. Sekarang kita perlu menyiapkan minum—oh, pestanya.” Kaeya hampir saja keceplosan.
“Barusan bilang apa?” kata Aether.
“Pestanya, Aether….”
“Baiklah, kalau begitu Barbara, setelah kamu ajak kakakmu, kalian berdua langsung menuju ke depan gerbang, ya? Kami akan menunggu di sana,” ucap Lumine kembali.
“Siap, Lumine! Terima kasih atas ajakannya, kalian semua.”
“Huum!”
Baik Barbara dan Lumine tampak senang sekali. Setelah itu mereka bertiga berpamitan untuk menuju ke tempat lain.
“Oke, aku harus membujuk kakak sekarang! Eh, tapi sebelumnya, aku harus memilih baju-baju dulu.”
Di dalam Cat’s Tail, sudah ada beberapa teman-teman yang berkumpul. Amber, Fischl, Noelle, Bennett, Sucrose dan pastinya ada Diona. Mereka semua sedang berdiskusi mau membuat minuman apa saja saat di pantai nantinya.
“Permisi…,” ucap Aether yang datang bersama dengan Lumine.
“Oh, seorang pahlawan kembar rupanya. Kemarilah, aku butuh bantuan kalian,” sapa Diona dari balik meja bar yang tinggi.
“Ada apa, Diona?” jawab Lumine.
“Menurutmu, lebih baik aku membuat Wolfhook Juice atau Berry & Mint Burst?”
“Buat nanti ke pantai, ya?” tanya Lumine kembali.
“Iya.”
“Hmm… kalau aku sih lebih suka Wolfhook Juice,” ucap Aether, “tapi Berry & Mint Burst juga enak, sih.”
“Mending yang mana, nih?” Diona sudah kebingungan.
“Kenapa enggak dua-duanya aja? Daripada pusing-pusing mikirin mau yang mana. Selama bahannya cukup tidak masalah, kan?” saran Lumine yang cukup bagus.
“Iya juga memang, tapi sayangnya… Margaret gak mengizinkan aku buat bawa semua bahannya. Harus pilih salah satu dari kedua minuman tadi katanya.”
“Hahh… pelit sekali dia,” keluh Aether. “Hmm… kenapa gak ajak dia sekalian aja biar dia bisa melihatnya sendiri seberapa banyak bahan-bahan yang akan kamu pakai, Diona.”
“Hehe… kalau aku yang ngomong, bisa-bisa aku digoreng ntar.”
“Apa dia bisa semarah itu?” Aether sedikit tak percaya.
“Bukannya marah, masalahnya siapa lagi yang harus menjaga kedai ini? Iya, kan?”
“I—Iya juga, sih…. Dia juga gak mau cari pelayan lagi soalnya.”
“Makanya itu.”
“Apa kalian di sini sudah menentukan minuman mana yang mau dibuat nanti?” tanya Lumine kepada Amber, Fischl, Noelle, Sucrose dan juga Bennett.
“Kami semua punya pilihannya sendiri-sendiri. Malahan Noelle suka dengan Apple Cider,” jawab Amber.
“Apple Cider sudah terlalu biasa untuk dibuat,” tambah Diona.
“Iyaa… begitu, sih…,” respon Noelle sedikit malu-malu.
“Hmm… apa aku coba tanyakan pada Sara, ya?”
“Mau tanya ke Sara? Apa hubungannya dengan dia, Lumine?” tanya Aether padanya.
“Dia kan pelayan utama sekaligus juru masak di Good Hunter, pastinya dia punya selera dengan dua minuman tadi. Begitulah menurutku.”
“Ooh… kalau begitu, coba saja.”
“Oke. Akan aku tanyakan sekarang.”
Lumine pun keluar dan langsung menuju ke restoran Good Hunter. Di bagian depan sudah ada Sara yang selalu setia menjaga sebagai pelayan.
“Sara….”
“Oh, halo… ada perlu apa, Lumine?”
“Anu, begini… aku mau minta saran padamu. Soal memilih salah satu dari minuman ini.”
“Minuman apa, ya? Sepertinya menarik.”
“Enaknya pilih Wolfhook Juice atau Berry & Mint Burst, ya? Lebih cocok mana kalau mau dibuat di pantai.”
“Oh, kalian mau rekreasi ke pantai?”
“Iya.”
“Sebetulnya kedua minuman itu cocok-cocok aja, tapi harus pilih salah satu, ya?”
“Iya. Soalnya Margaret tidak mengizinkan Diona untuk bawa kedua bahan-bahan dari kedua minuman itu. Jadinya yah, harus pilih salah satu aja.”
“Hmm… padahal dua minuman itu cocok semua, loh.”
Lumine jadi tampak bingung.
“Ah, apa begini saja, kamu negosiasi dengan Margaret untuk membeli semua bahan-bahannya….”
“Kalau pakai uangku dan kakakku enggak bakal cukup.”
“Kalau soal uang itu gampang….” Sara tersenyum senang.
“Kenapa bisa sesenang itu…?” Lumine langsung memandang curiga.
“Aku yang akan membeli semua bahan-bahannya. Nantinya tinggal dirimu dan Aether membereskan semua hutang kalian padaku saja.”
“Tidak semudah itu, Sara.”
Tiba-tiba Margaret muncul dari bekalang Lumine. Sara sampai tak sadar sama sekali.
“Eh, Margaret!”
“Kalau kamu mau beli semua bahannya, bagaimana nasib konsumenku nantinya? Kalau gak ada bahan-bahannya sama saja mengusir konsumenku dengan cara halus, iya kan?”
“I—Iya juga, sih….” “Tapi—”
“Lumine, mau tidak mau kalian harus memilih salah satu dari minuman itu. Kalau aku boleh sarankan, pilih sana Wolfhook Juice. Selain pembuatannya lebih praktis, penggunaan bahan-bahannya juga lebih sedikit. Jadi bisa lebih menghemat.”
“Hehh… ternyata pelitnya kebangetan….” Lumine sangat terheran dengan keputusan Margaret.
“Mau gimana lagi, Lumine. Pilih saja minuman itu untuk dirayakan bersama-sama,” ucap Sara pasrah.
“O—Oke… baiklah….” “Terima kasih atas sarannya, Sara, dan juga Margaret.”
Margaret mengangguk senang. Tetapi Sara memandangnya sedikit kecewa. Dan kemudian, Lumine kembali ke dalam Cat’s Tail dengan memasang ekspresi kurang menyenangkan.
“Lumine, gimana hasilnya??” Diona tampak antusias mendengar jawabannya.
“Loh? Kenapa dengan wajahmu?” tanya Aether heran.
“Hasilnya tetap harus pilih salah satu. Sara menyarankan buat Wolfhook Juice aja.”
“Heh? K—Kok bisa…?” Amber sampai terheran kaget.
“Soalnya tadi aku ketemu sama Margaret di sana. Dia berkata terus terang soal bahan-bahannya, karena dia lebih mengutamakan konsumen daripada kita.”
“Yahh… enggak heran, sih…. Dia pasti berpikiran begitu,” jawab Diona kembali. “Ya sudah, nanti kita buat Wolfhook Juice saja, daripada tidak ada minumannya sama sekali.”
“Benar juga,” ucap Amber.
“Iya,” setuju Noelle.
Sedangkan di tempat Good Hunter, Margaret masih berada di sana dan Sara memberinya nasehat kepadanya.
“Hei Margaret, sekali-kali kasih kelonggaran pada mereka, dong… masak kamu tega sama Lumine?? Lagipula Diona juga enggak bakal mengecewakanmu. Dia pasti bisa menghemat bahan-bahannya. Memangnya selama ini Diona pernah mengecewakanmu dalam membuat minuman yang disajikan kepada konsumen-konsumenmu? Enggak, kan??”
“Emang enggak pernah. Tapi tetap saja, konsumen itu nomor satu. Kalau bukan untuk keperluan yang mendesak, aku tidak akan merelakan bahan-bahan baku milikku terbuang sia-sia.”
“Mereka bukan membuangnya, Margaret. Tapi memakainya dengan sebijak mungkin.”
“Pokoknya, aku gak akan izinkan Diona untuk pakai bahan-bahannya dengan sembarangan.”
“Hei Margaret, aku belum selesai!”
Margaret sudah main tinggal saja. Dan dia berjalan menuju kedainya.
“Ya ampun dia ini…! Terus dia datang ke sini mau ngapain coba? Apa cuma mau kasih tau hal tadi pada Lumine?? Kapan-kapan aku harus menghentikan kasih harga diskon padanya!”
Sara terlihat sedikit kecewa dan geram terhadap sikap Margaret yang selalu saja minta harga diskon kalau makan di tempatnya.
Jadi keputusan sudah mutlak bahwa Margaret tak mengizinkan Diona untuk membawa dua jenis bahan untuk membuat dua jenis minuman. Keputusan sudah bulat, tak bisa diganggu gugat. Diona dan kawan-kawan hanya bisa membawa bahan-bahan untuk dijadikan minuman Wolfhook Juice saat ke pantai nanti.
Kembali ke markas Favonius, di dalam kantor, Jean masih saja sibuk mengerjakan tugasnya. Namun sepertinya semua kerjaannya mulai berkurang.
Tok-tok
“Siapa?”
“Ini aku, Kak Jean….”
“Oh, Barbara? Masuklah.”
Lalu Barbara masuk dengan memakai pakaian yang berbeda. Jean pun terkejut.
“Kamu… mau ke mana dengan pakaian seperti itu??” “Lagian… koper besar itu untuk apa, Barbara?”
Barbara sudah siap-siap dengan memakai baju tipis berwarna putih kebiruan, memakai topi yang ada aksen bebeknya, dan celana pendek berwarna biru. Pada tangannya sudah membawa sebuah koper cukup besar berwarna coklat.
“Kita akan pergi ke pantai, Kak.” Barbara tersenyum manis pada kakaknya.
“K—Ke pantai??”
“Heem!” Barbara mengangguk.
“Tapi, Barbara… kerjaan Kakak belum selesai….”
“Tinggalkan saja dulu, Kak. Biar Kakak bisa liburan sebentar bersamaku.”
“Tapi….”
Sekejap raut wajah Barbara menjadi sedih. Jean jadi tak bisa konsentrasi. Ia pun ikut merasa sedih melihat wajah adiknya yang seperti itu. Kemudian Jean memutuskan untuk berjalan mendekati Barbara.
“Barbara… Kakak akan selesaikan kerjaan ini secepat mungkin. Kalau sudah, kita akan pergi ke pantai bersama, oke?”
“Benarkah…?”
“Iya!” Jean tersenyum lembut.
“Janji, ya?”
Barbara mengerahkan kelingkingnya ke hadapan kakaknya. Jean meresponnya.
“Janji.”
Dan mereka pun saling mengikat janji dengan jari kelingking mereka.
“Kalau gitu, aku tunggu di sini aja, ya?” ucap Barbara dengan antusias.
“Eh? Ah, kalau itu maumu… ya, baiklah….”
“Makasih, Kak Jean!”
Senyuman lembut di antara mereka berdua mampu menghangatkan hati dan jiwa bagi siapapun yang dapat melihatnya. Tidak ada yang lebih indah dari senyuman antara kedua kakak-beradik ini, Barbara dan juga Jean. Kemudian Barbara duduk di kursi lain sambil membaca buku, sedangkan Jean kembali mengerjakan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi akan selesai.
Di depan gerbang kota, Lumine, Aether, dan yang lainnya sudah mulai berkumpul. Mereka tinggal menunggu beberapa orang lagi termasuk Jean dan Barbara. Namun yang muncul duluan justru Diluc, Kaeya dan Eula. Mereka bertiga berjalan santai menghampiri Lumine dan Aether.
“Apa sudah siap untuk berangkat?” tanya Kaeya kepada Lumine dan Aether.
“Masih belum semua. Kita harus menunggu Barbara dan Master Jean,” jawab Lumine sambil menanti dengan harap-harap cemas.
“Kalau semakin siang, nanti kulitku bisa semakin kering,” ucap Eula sambil menyilangkan tangannya.
“Huh, kan bisa pakai pelembab,” tanggap Aether.
“Masak harus kupakai sekarang? Kan enggak etis.”
“Heh, sombong sekali,” ucap Aether pelan.
“Apa kamu bilang, Aether?”
“Tidak ada apa-apa,” ucapnya sambil memalingkan wajah.
“Hei, lihat ke sana semuanya!” ucap Noelle sambil mengarahkan pandangannya ke depan.
“Akhirnya…!”
Lumine terlihat antusias dikarenakan yang mereka lihat semua di depan sana adalah Barbara beserta kakaknya, Jean yang bisa ikut bersama untuk ke pantai. Bahkan Jean sudah mengganti pakaiannya menjadi lebih santai dan terlihat lebih ringan—dan pastinya tambah cantik. Ia mengenakan baju putih dengan pundak terbuka, celana pendek jeans, dan sandal santai warna biru.
“Akhirnya datang juga, Master Jean!” sapa Lumine penuh dengan semangat.
“Halo semuanya…,” sapa Jean dengan senyum hangatnya.
“Kami semua sudah percaya padamu, Barbara. Terima kasih sudah mengajak Master Jean untuk ikut, ya!” ucapan Lumine yang sangat tulus kepada Barbara. Ia sampai jadi sedikit terharu.
“Hehehe… ini semua juga berkat kalian. Coba kalau tidak ada kalian, mungkin… Kak—ehem, Master Jean tidak bakal ikut.”
“Sebetulnya… bukan karena itu juga, sih…. Aku berniat memutuskan untuk ikut kalian ke pantai. Ini murni dari kemauanku sendiri, karena apa yang dikatakan Barbara membuatku jadi ingin ikut berlibur bersama dengan kalian.”
Semuanya terlihat sangat senang dan lega kalau Master Jean bisa meliburkan dirinya untuk sejenak bersantai-santai di hari libur.
“Oke! Saatnya kita berangkat!” ucap Amber dengan penuh semangat membara.
“Ya!!”
Semuanya menanggap dengan penuh antusias. Kecuali Diluc dan Eula, karena mereka berdua sepertinya memang kurang bisa ekspresif—terlebih lagi Diluc. Dan mereka semua berjalan menuju ke pantai yang ada di bawah tebing Stormbearer. Nama pantainya pun belum dinamai secara resmi. Kaeya hanya menamainya Starsnatch Coast itupun pasti hasil karangannya saja.
Wushh!!
“Halo, semuanya…!”
Tiba-tiba saja mendaratlah seekor naga besar di tengah-tengah perjalanan.
“V—Venti?!” Jean terkejut melihatnya.
“Kenapa kamu kemari, Venti? Bukannya dirimu sedang menjalankan misi?” tanya Kaeya.
“Sudah selesai, kok. Aku cuma mengantarkan masakan ke Springvale.”
“He? Naik itu?” heran Eula.
“Iya, tapi aku mendaratkannya jauh dari desa, dong.”
“Kalau sudah terbang lewat desa pasti bakal bikin gempar seluruh warga, tuh,” ucap Eula dalam hati.
“Gimana kalau ada yang gak sengaja melihatnya, Venti?” tanya Kaeya lagi.
“Tenang saja, Dvalin kan punya sisik-sisik yang bisa menyatu dengan alam.”
“Ooh… bisa begitu, ya?” heran Kaeya.
“Jadi, gimana kalau kalian semua aku ajak naik? Kalian mau ke pantai, kan?” Venti menawarkan kepada mereka semua.
“Memangnya bawa orang sebanyak ini cukup?” Jean sedikit meragukan.
“Cukup, dong…. Mungkin.”
Semua langsung memandang Venti ragu.
“Kalau begitu, aku tidak usah,” ucap Eula menolak tawarannya.
Begitu pula dengan Diluc dan Kaeya. Mereka bertiga tidak mau menerima tawaran Venti. Jadi yang ikut menumpang adalah mereka semua kecuali Kaeya, Diluc dan Eula. Sesudah naga itu naik, ia langsung pergi menuju ke pantai. Sedangkan Kaeya masih memandang naga itu sampai benar-benar sudah terbang cukup jauh.
“Ahh… dia sudah jauh. Sekarang waktunya aku beraksi.”
“Apa maksudmu, Kaeya?” ucap Eula terheran.
“Aku akan melakukan kejutan.”
Kemudian Kaeya mengeluarkan sebuah koin Mora dari saku. Ia lempar-lemparkan sebanyak dua kali ke udara. Begitu lemparan ke tiga, lemparannya sangat tinggi sampai harus mendongak ke atas. Saat itu juga Kaeya membuka penutup matanya.
“Pantainya sudah kelihatan, loh…!”
Ucap Venti yang berdiri di atas punggung Dvalin dan seketika naga tersebut menikung ke arah bawah menuju ke pantai itu. Para penumpang harus sangat waspada sampai-sampai mereka berpegangan erat pada bulu-bulu tipis Dvalin. Yang lain mulai terlihat panik, Venti justru berdiri santai-santai saja.
Bussh
Naga tersebut mendarat dengan sempurna di bibir pantai. Semuanya pada turun dengan antusias dan penuh semangat.
“Loh? Sejak kapan kalian ada di sini?!”
Amber terkejut melihat Kaeya, Diluc dan juga Eula sudah sampai duluan di pantai. Bahkan Eula sudah berganti pakaian.
“Hohoo~ trik apa yang sudah kalian mainkan, ha?”
“Tidak ada trik khusus kok, Venti. Kami hanya memakai ‘jalan’ pintas saja,” jawab Kaeya dengan santainya.
“Hoo… caramu selalu membuatku terkejut, Kaeya. Ya sudah, sebaiknya aku bantu-bantu mereka mempersiapkan peralatan.”
Sementara Venti pergi membantu mempersiapkan barang-barang, Diluc datang mendekati Kaeya.
“Apa Venti sudah tau?”
“Tidak. Tapi akan ada waktunya dia akan mengetahuinya.”
“Oh.”
Barang-barang bawaan dikumpulkan di satu tempat. Tenda-tenda didirikan, kursi-kursi dipasang, bahan-bahan minuman dipersiapkan.
“Baiklah, kita langsung aja bikin Wolfhook Juice-nya.”
Diona mengajak beberapa orang untuk membantu membuat jus yang menyegarkan itu. Sedangkan yang lain masih bergantai pakaian. Dikarenakan itu pantai terbuka, maka para wanita harus mencari pohon atau semak-semak yang cukup tinggi untuk menutupi tubuh mereka.
“Diona, perlu bantuanku, tidak?” Venti menawarkan diri untuk membantu membuatkan jus.
“Ah, tidak perlu. Sudah tinggal untuk tiga orang lagi, kok.”
“Yahh… cepat sekali kalian kerjanya….”
“Bukannya lebih baik cepat selesai daripada berlama-lama? Kalau tidak es batunya bakal cepat mencair.”
“Mencair? Kan kamu bisa tambah lagi dengan gampang, iya kan?”
“Kamu ini lagi ngejek atau gimana? Sudah sana, hush-hush… ganggu kerja aja.”
“Wah, berani-beraninya kamu ngomong gitu ya, Diona?”
“Hei Venti sudahlah, lebih baik bantu aku dirikan net voli.” Aether tiba di saat yang tepat.
“Ouh, mau main bola voli?”
“Enggak. Mau main jugling.”
“Jugling??”
“Ya pasti mau main bola voli, lah….”
“Haha… oke-oke, Aether. Selera bercandamu aneh juga.”
Venti pun membantu mendirikan tiang net voli bersama dengan Aether, Kaeya dan juga Bennett. Diona telah selesai membuat semua Wolfhook Juice lalu dibagikan kepada mereka semua. Semua orang pada memuji jus tersebut buatan tangan Diona. Diona terlihat tersipu malu-malu kucing, malahan sifat kekucingannya sampai keluar. Telinganya sampai digaruk-garuk berulang-kali dengan garukan imutnya. Kemudian mukanya memerah karena ia malu sendiri. Ia malu sejadi-jadinya.
“Bagaimana pemandangannya, Kak?” tanya Barbara kepada Jean sembari memandangi laut yang luas itu.
“Sangat indah, Barbara.”
“Apalagi kalau sore hari… pasti pemandangan matahari terbenam akan lebih indah….”
“Apa kita mau di sini sampai sore hari?”
“Yah, enggak juga, sih….”
“Hehe… kapan-kapan aja kalau tidak ada mereka. Kita berdua datang sendiri ke sini waktu sore hari.”
Mata Barbara langsung membulat lebar. Ia tampak sangat senang sekali mendengarnya.
“B—Beneran??”
“Huum, Barbara.” Jean mengangguk dengan senyuman lembutnya.
“M—Makasih banyak, Kak Jean!!” Barbara menanggap sangat senang.
“Kalian lagi bicarain apa, hayo??” ucap Lumine datang menghampiri mereka.
“Oh, Lumine… hanya pembicaraan ringan, kok,” jawab Jean santai.
“Antar kakak-beradik?” Lumine bermaksud mengejek.
“Ssst! Jangan keras-keras…,” ucap Barbara pelan.
“Hehe… suatu saat nanti, hubungan antara kalian berdua ini bakal terungkap dengan sendirinya. Jadi ya kalau mau… akan aku bantu sebarkan aja.”
“Jangan begitu dong, Lumine…!”
Wajah Barbara langsung memerah malu.
“Hahaha… bercanda loh, bercanda!”
Jean pun sampai geli melihat adiknya salah tingkah.
“Oke deh, aku tinggal dulu. Nikmatilah waktu kalian berdua.”
Lumine meninggalkan mereka berdua dan berjalan menuju ke area voli. Sedangkan Jean dan Barbara masih berduaan dengan akrab.
“Mungkin… aku memang tidak bisa seperti Kakak.”
“Apa maksudmu, Barbara?”
“Aku tidak bisa sehebat seperti Kakak menggunakan pedang. Aku juga tidak sepintar Kakak. Rasanya… aku ingin sekali seperti Kakak yang bisa diandalkan.”
“Jangan berkata begitu, Barbara. Setiap orang tidaklah sempurna. Begitu pun dengan Kakak. Setiap orang memiliki kemampuan dan keunikannya masing-masing yang tidak bisa ditiru oleh siapapun, bahkan oleh Kakak sendiri. Kalau boleh bilang padamu, Kakak juga tidak bisa bernyanyi seindah dirimu. Kakak juga tidak bisa menari sampai orang lain benar-benar terhibur. Kakak memiliki kekuatannya sendiri. Kamu pun memiliki kekuatanmu sendiri. Justru kekuatan kita inilah saling melengkapi. Maka kekuatan kita bisa menjadi sempurna, Barbara.”
“B—Benar juga… Kak Jean….”
“Janganlah lagi memandang dirimu rendah, Barbara. Karena kamu sama istimewanya dengan Kakak.”
“Kak Jean….”
Barbara terenyuh memandang kedua mata kakaknya. Matanya sempat menahan air matanya agar tidak merembes keluar. Namun tetap saja, ia tak sanggup lagi menahannya. Air matanya tercucur deras, mengalir melewati kedua pipinya yang manis itu. Karena tak ingin dilihat oleh teman-teman yang lain, Jean dengan lembut memeluk adiknya dan menyembunyikan wajahnya.
“T—Terima kasih… Kak Jean….”
“Iya, Barbara….”
Sekali lagi, Barbara berterima kasih kepada kakaknya yang penuh dengan kasih sayang. Akhirnya, Jean juga sedikit berlinangkan air mata karena saking tak tahan dari kehangatan cinta yang tulus yang Barbara berikan kepadanya. Pemandangan tersebut sebetulnya sudah dilihat lama oleh semua orang yang ada di pantai. Sampai-sampai Aether merangkul adiknya tanpa berpikir panjang.
“Hiks!” Lumine pun terkejut, “ugh!” dan dengan cepat ia langsung menyingkirkan tangan kakaknya dari pundaknya.
“Hei kenapa, Lumine??”
“J—Jangan lakukan itu….”
“Kenapa? Kan kita kakak-beradik juga?”
“A—Aku malu, tau…!” Muka Lumine sangat memerah.
“Haha… padahal dulu waktu kecil kita sering berpelukan, iya kan?”
“Yah, itu kan waktu masih kecil…. Sekarang beda.”
“Hehehe….”
Lalu Aether mengajak Lumine untuk bermain permainan yang lain bersama-sama dengan yang lainnya. Mereka semua menikmati liburan itu meskipun waktunya hanya singkat. Karena besok mereka akan kembali bekerja dan beraktivitas seperti sedia kala. Namun meskipun singkat, momen antara Jean dengan Barbara tidaklah singkat. Kenangan mereka akan tetap tersimpan di dalam lubuk hati mereka berdua.
ns 15.158.61.45da2