CATATAN SENJA DI JEMBATAN BAMBU
Anak sungai lirih menyapa jembatan bambu, diam tetap setia lalukan kenangan dan harap di riak air sungai seperti menjingga kilau airnya bertegur sapa kepada senja. sore itu dia berjalan pelan menyusuri pematang-pematang sawah berhias rumput dan bunga liar, sesekali menepi menatap langit jingga yang sendu.
"Sekarang aku di bawah langit....dan angin ..."
Dia berjalan sendiri dalam angin lembut, sesekali meniup wajah dan mengurai rambutnya yang panjang berpendar kemilau. satu pematang lagi yang harus dilewati. Dia berjalan terus agak cepat dan sesekali lompat kecil sambil menikmati suasana senja bertabur bunga-bunga impian. Hampir diujung pematang terhenti sejenak, nampaknya ada yang memisahkan perhatiannya dengan fikiran dia sesaat sebelum nya, ada makhluk ciptaan Yang maha Cinta , bunga rumput liar dan kunang-kunang. Dipetik satu tangkai bunga disematkan di rambut nya dan berharap kunang-kunang bisa ikut mengantarnya ke tepi pematang.
Resah tak terkira masuk menyerabut akar kedalam jiwa, saat dia lihat diujung pematang ada jembatan bambu tersusun beberapa ruas yang menguning disunting lama waktu yang menyertainya. Tertegun lama sampai akhirnya tak kuasa berdiri lagi, hatinya luruh larut dalam kenangan masa lalu yang tersimpan bersama jembatan bambu , kejadian manis yang membuatnya selalu ingin kembali ke tempat itu.
"dulu di tempat ini aku menuliskan berlembar-lembar kisah yang aku simpan di relung jiwa terdalam, aku simpan baik-baik....sampai saatnya aku baca kembali...." hal itu yang terlintas di benak Laras.
Tujuh tahun lalu setiap hari Laras selalu menyempatkan diri singgah di sebuah Bangunan peristirahatan perkebunan. Sejak lulus SMEA Laras sudah bekerja disebuah perusahaan bisnis marketing sebuah produk kecantikan dan fashion.
***
“Laras....,kamu sudah bangun? tumben biasanya jam segini sudah rame di dapur bikin
sarapan”. Setelah lipat selimut tebal ibu Laras segera datang ke kamar Laras di lantai 2 rumahnya.
“Laras....,ehhh....masih tidur ternyata....”
Separuh wajah cantik tenggelam dibantal abu-abu di tempat tidiur itu, rupanya Laras kelihatan masih lelah dan ngantuk berat.
“ Knapa kamu masih tidur nak, bukannya hari ini kamu kerja?”
“Aku ngantuk sekali bu...semalam tidur jam 2 pagi...badan aku lelah, aku mau izin gak apa-apa ya bu...?”
“Ya sudah ibu buatkan sarapan dan air jahe ya..., lekas kamu ambil wudu dulu trus sholat ya..”
“Iya bu”.... sambil peluk guling di sebelahnya dia pejamkan lagi matanya rapat, tapi tak lama segera dia bangun, dan bercak merah segar ada di bantal abu-abunya. Masih terasa mengalir dari hidung dan basah di tangan menimbulkan tanya dan gelisah.
“ Aku harus segera simpan di tempat cucian, takut ketauan ibu....” lanjutnya dalam hati.
Laras orangnya supel mudah bergaul , tidak ingin menyusahkan orang lain dan semangat kerja, pagi itu Laras sudah mengenakan pakaian kerja dan dia berangkat kerja juga, padahal masih kelihatan lelah.
“Ibu cantik... aku berangkat ya...kecupan lembut sampai di pipi dan tangan ibunya” “Hati-hati Laras cantik jangan lupa berdoa”
Beberapa saat setelah Laras berangkat hujan pun turun, benar-benar pagi yang dingin,
sepertinya Laras tak ingin baju kerja nya basah ,dia lari kecil berteduh di teras gedung peristirahatan perkebunan. Rupanya beberapa orang sudah berada di tempat itu.
“Untung ada orang gak sendirian nih ....” gumam Laras. Banyak dialog percakapan saat itu yang terperhatikan Laras.
“Di...., aku jalan duluan mo basah-basahan ah “
“Ya”
“Ntar ketemu di kampus lah jangan kelamaan disituh “
Dias dan temannya janjian dikampus ,terperhatikan jelas oleh Laras, sesekali Laras lihat sekilas lelaki itu.
“Oh... mahasiswa...” dalam hati Laras.
Hujan begitu lama gerimis rapat tak henti, hampir satu jam berteduh di bangunan itu. Tak lama mobil angkutan umum penuh sesak berhenti di depan mereka, Dias lari menuju angkutan itu, tapi Laras gak mau kalah dia lari lebih cepat dan masuk ke dalam mobil. Angkutan sudah sesak tak cukup lagi untuk penumpang.
“Duh nih cewek pake nyerobot segala..kesiangan nih pasti...” gerutu Dias di trotoar gedung.
Laras juga bergumam sambil menatap Dias,
“Maaf...maaf ya...tapi aku juga takut kesiangan ntar dimarahin bos”.
***
Disebuah halte waktu terasa begitu cepat, sore sudah menampakan wajahnya, dan hujan pun turun lagi.
“Laras....hey....ini ibu disebrang jalan, ayo pulang bareng ibu, ibu bawa payung nih....sini ibu gak bisa nyebrang....”,
“Ibu, ibu ngapain di situ hujan bu aku basah dong ...” teriak Laras. “ Non Pake Jaket aku aja gpp kasihan ibu kamu cepet samperin”
“ Ohh gak...gak apa-apa...gak usah”
Dias langsung selimutkan jaket miliknya ke tubuh Laras dan menutupi kepalanya juga.
“Dah pake aja cepetan ibu kamu udah nunggu lama”.
“Trus ini giman aku kebalikan jaketnya...?, tanya Laras.
“Besok lusa aku tunggu di halaman gedung perkebunan...bagunan tempat tadi pagi kita berteduh”.
Tanpa fikir panjang Laras langsung menyebrangi jalan menghampiri ibunya, tanpa ucapan terimakasih Laras pergi begitu saja tinggalkan Dias.
***
Laras anak ibu yang cantik, tadi ibu dari dokter tempat kita tes kesehatan waktu itu, dan ibu bawakan hasil rekam medisnya. Tangan dan tubuh Laras gemetar saat menerima hasil data medis dari ibunya yang penuh isakan tangis.
“ Bu....ini hasilnya.....? air mata Laras jatuh tak tertahan.
“Iya sayang kita harus pindah beberapa waktu supaya pengobatan kamu lebih baik, ke tempat paman mu”
“Ibu yakin data medis ini?”
“Sama sekali belum yakin “
Tak banyak bicara malam itu dihabiskan dengan tangis tak berkesudahan.
***
Di sebuah kamar dengan langit-langit tinggi.
“Jaket ku, dia apakan ya....?” dikamarnya Dias mikir panjang bolak balik sambil mengingat wajah cantik Laras,
“ Siapa namanya ya? duh jadi kefikiran gini..aahh....jaket baru lagi, gimana kalo gak balik..., ah biarin ah kmaren kan nolongin”
***
Gedung peristirahatan perkebunan jadi tambatan janji dua manusia soal jaket
karena hujan. Laras pergi pagi-pagi sekali takut keduluan orang yang pinjamkan jaket, malu mungkin. Jaket sudah dicuci bersih disetrika dan wangi dibungkus plastik dan kantong kertas bagus.
“Mana ya tuh orang..? sambil mengamati sekeliling gedung
“ Pasti cari aku ya...?” Dias bicara di samping Laras.
“eeeh...eh iya..eh bukan...bukan..” bertemu dua tatapan mata yang sama meluluhkan keras hati dan rasa.
“iya aku cari kamu...ini aku kembalikan jaketnya terimakasih sudah tolongin aku ya..”
“ Hehe...iya gak apa-apa, duh rapih banget nih jaketnya wangi lagi, aku mo pake ya” sambil buka bungkus jaketnya Dias buka obrolan perkenalan.
“Kenalin aku Dias”
“Aku Laras....Larasati” senyum dia sampaikan untuk perkenalan itu.
“Namanya bagus.., eh mau kerja kan ya, aku juga mau kuliah dulu”
“Aku gak kerja hari ini aku sengaja anterin ni jaket...gak enak sudah janji..”
“oh iya, kuliah hari ini juga cuma ngumpulin tugas aja kok itu pun tbisa nanti” difikiran Dias berkecamuk, antara kuliah atau tetap diam bersama Laras.
“Duh apa aku bolos aja kali ya kuliahnya, gimana ya, gpp kali sesekali ah....iya ah...” “Laras..., boleh aku tanya sesuatu?” sambil berjalan mendekati pagar belakang gedung.
“Iya boleh” Laras berkerut dahi.
“ Itu kebun bunga siapa, sehabis jembatan bambu itu ?” sambil tangannya menunjuk
kebun bunga liar warna warni dekat jembatan bambu.
“Itu tanah kosong kebun bunga itu gak ada yang punya, bunganya juga tumbuh liar”
jawab Laras sambil matanya melihat ke arah kebun bunga. Entah mengapa awal pembicaraan mereka nampaknya sangat menarik dan begitu terindukan dalam rencana-rencana pembicaraan mereka., seolah kebun bunga dan jembatan bambu saat itu jadi hal yang sangat luar biasa. Sejak saat itu mereka saling bercengkrama, disela menunggu mobil angkutan, kadang janjian dengan beberapa alasan, kadang tak sengaja, sampai Dias pun memberanikan diri berkunjung ke rumah Laras. Semua hal tentang Laras diketahui banyak oleh Dias. Semua hal yang membuat bahagiadan sedih pun sangat difahami Dias. Sepertinya hal-hal sederhana jadi sebuah momentum kasih sayang yang sangat beralasan diantara mereka. Sampai suatu sore Laras memberikan janji bertemu di kebun bunga dekat jembatan bambu.
“Dias...., usia kita tidak jauh berbeda dan aku tahu kamu pasti sangat mengerti keadaan ini seperti aku sangat mengerti saat kamu ingin berkunjung ke rumah ku, sengaja sore ini aku ajak kamu ke tempat ini, tempat yang jadi awal pembicaraan kita tempo hari.
“Dias coba kamu lihat kumpulan kunang-kunag itu “ Laras menunjuk ke arah kerumunan kunang-kunang yang mulai bercahaya...sebentar lagi mereka terpenuh ag penuh cahaya tapi besok pagi mereka hilang cahayanya tergantikan matahari untuk semesta.”
“Laras....maksud kamu apa?... Tahu gak hati ini sesak dengar cerita kamu, aku lihat sore ini cukup sendu, lihat awan hujan dikejauhan mulai ada, tapi lihat cahaya senja berpendar dirambut panjang kamu, di bunga, lihat kilaunya di air bawah jembatan bambu itu indah Laras...indah...”. Dias memandang penuh harap tak berkesudahan saat itu.
“Dias, lusa aku harus pindah ke kota lain, entah untuk berapa lama, dan aku tidak bisa memberitahu kamu dikota mana aku akan tinggal, ini komitmen kami dan keluarga demi kesembuhan ku seandainya benar rekam medis nya seperti yang sudah aku ceritakan, sore ini jadi saksi pertemuan kita yang begitu berharga.....aku sangat menghargainya Dias seperi juga aku menghargai kamu sebagai laki-laki yang baik penuh perhatian.....tak tergantikan..”. Air mata Larasati jatuh dipipi sesaat menyapa cahaya senja.
“Laras....Larasati...tak akan tergantikan sore ini, kalo bisa aku paksakan gak ingin rasanya mengakhiri obrolan sore ini.”
“Iya...aku juga..” Laras menatap wajah Dias.
“Tapi rasanya kenapa begitu sakit ya Ra....padahal aku Cuma dengar cerita kamu...gak tau lah ini yang aku rasakan sore ini...” Dias menghela nafas panjang sambil coba satukan tangan di genggaman.
“Ra....sempurna rasanya saat aku tau sore ini begitu berharga buat kamu” Dias tak melepaskan pandangan dari mata Larasati.
“Iya Dias, Maafkan aku...aku tak setangguh kamu menahan air mata..”
“Gak apa-apa nangis saja Ra...nangis saja....lihat kaca-kaca dimata ku juga berat “ gerimis pun turun sesaat sore itu.
“Dias sampai jumpa, aku berharap kita bisa bertemu lagi dalam ridho Yang Maha Cinta”
“Aamiin..” Dias pergi melangkah ragu....
“Dias, antarkan aku pulang ya, aku takut kakiku berat melangkah.
***
Begitulah Laras mengenang kisah masa lalu nya . Detik waktu yang melingkar di
pergelangan tangannya tak enggan terus berputar menemani perjalanan kisah masa lalunya di jembatan bambu, hentinya saat gerimis sampai di wajah cantiknya.
"Ah...hujan..., aku harus pergi...ini kisah 7 tahun lalu"
" Selamat tinggal jembatan bambu, saatnya nanti mungkin kita akan mengulang jumpa ini"
Dia berdiri sambil menenteng sandal karet merah kesukaannya, lari kecil tinggalkan jembatan itu, sesekali dia sempatkan melihat ke jembatan tadi sambil menahan kerinduan yang pasti datang. Rambutnya basah, mata sayu nya menatap jauh jembatan bambu di ujung cakrawala, nafas tubuhnya cepat degup jantungnya menemani berat rasa yg akan tersimpan. Dia lambaikan tangan nya seraya mengambil kuntum bunga disela rambutnya yang masih tersemat, bunga itu dia tiup terbang bersama impian , senja dan warna ilahiah.
"Ra......Larasati..tunggu aku..." Dias memanggil Larasati di kejauahan hingga malam sepenuh hati.
-dkx-