Ridwan duduk di sofa ruang tamu, menghela napas panjang. TV di depannya menyala, tapi pikirannya jauh melayang. Matanya kosong menatap layar, tapi ada yang terlintas di kepalanya. Masalah yang coba dia hindari untuk dia bicarakan dengan istrinya Syifa. Dia merasa makin kesini hubungan dengan Syifa perlahan terasa hambar. Kehidupan rumah tangga mereka seolah tidak harmonis lagi.
"Apa aku harus ngomong ke Syifa ya?" gumamnya pelan, meski dia ragu kalau mereka bicara malah akan membuat masalah.
Tiba-tiba, suara langkah ringan terdengar, Syifa keluar dari kamar dengan busana muslimahnya. Dia masih cantik, pikir Ridwan, bahkan di usia 29 tahun, kecantikannya tak luntur. Hijab yang selalu rapi, wajah yang bersih, tapi ada sesuatu yang berubah. Dia hendak keluar rumah.
"Mas, aku mau jalan ama Maria!" Ujar Syifa sambil merapikan jilbabnya.
"Oke," jawab Ridwan tanpa menoleh. Suaranya terdengar datar, seperti tak ada semangat.
Syifa salim kepada suaminya itu dan segera berlalu. Suasana ruang tamu terasa hampa, seperti hati Ridwan yang terasa kosong. Meski ada Hendra putra tunggal mereka yang sedang bermain di kamarnya.
Malam ini Syifa janjian dengan Maria, teman dekat sekaligus rekan kerjanya di kantor. Mereka janjian untuk makan malam di sebuah kafe di mall. Keduanya memang sangat dekat. Mereka sering berbagi cerita, tawa, dan kadang, keluh kesah soal pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Maria usianya 26 tahun masih belum menikah.
Malam itu, Syifa tiba di kafe dengan langkah santai. Mall dipenuhi orang-orang yang hilir-mudik, harusnya dia jalan bersama suami dan anak mereka, tapi malam ini dia butuh waktu untuk dirinya sendiri, dan bertemu Maria, sahabat baiknya.
Maria sudah menunggu di meja dekat jendela besar yang menghadap ke keramaian. Senyum lebar menyambut kedatangan Syifa, dengan gelombang kehangatan yang biasa mereka bagi saat bersama.
"Syif! Udah lama ya kita gak makan malam bareng kayak gini," Maria membuka percakapan sambil memeluk Syifa singkat.
Syifa duduk, tersenyum. "Iya, udah lama banget. Gimana kerjaan? Masih gila-gilaan?"
Maria tertawa kecil. "Ah, biasa, lah. Kapan sih enggak gila-gilaan?" Dia menatap Syifa lebih serius. "Tapi ngomong-ngomong, ada temen aku yang bakal gabung, gak apa-apa, kan?"
Syifa mengangkat alis, sedikit penasaran. "Siapa emang?"
"Namanya Frans. Temen satu gereja. Orangnya asik banget, Syif. Kamu pasti suka ngobrol sama dia," jawab Maria dengan nada antusias, lalu menyengir seperti sedang menyimpan rahasia.
Syifa menatap Maria dengan pandangan menyelidik. "Oh? Ini beneran temen, atau...?"
Maria tersipu, matanya berkilat usil. "Ya, kita baru deket sih... tapi aku belum terlalu pede kalau kencan cuma berdua. Makanya aku ajak kamu, biar ada yang nemenin ngobrol."
Syifa tertawa kecil. "Oh gitu! Jadi aku semacam penenang gitu, ya?"
"Ah, bukan gitu juga, Syif. Tapi ya... lebih nyaman aja kalau kamu ada," Maria mengedipkan mata nakal.
Tak lama kemudian, Frans datang. Penampilannya rapi dengan kemeja polos dan celana jeans, seolah memancarkan kesan sederhana tapi berkelas. Senyumnya hangat, dan dari cara dia berjalan menuju meja, Syifa bisa merasakan kepercayaan diri yang mengalir dari dirinya. Dia memang berbeda dari Ridwan, pikir Syifa.
Ada sesuatu tentang Frans yang menarik perhatiannya sejak pertama kali dia melihat wajah lelaki itu malam ini.
"Frans, ini Syifa. Teman kantor aku," kata Maria sambil memperkenalkan mereka.
Frans mengulurkan tangan dengan sopan, "Senang bertemu denganmu, Syifa."
Syifa, meski sedikit kaku, membalas dengan senyum tipis. "Sama-sama, Frans."
Percakapan pun mulai mengalir dengan mudah. Frans ternyata sangat pandai berbicara, topik apa pun bisa ia olah menjadi menarik. Syifa yang awalnya hanya berniat menemani Maria, mendapati dirinya mulai terlibat lebih dalam dengan obrolan antara mereka. Tawa sesekali terdengar di antara mereka bertiga, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda bagi Syifa.
Ketika Frans bercerita tentang pengalaman kerjanya sebagai seorang desainer arsitektur, cara dia memandang dunia, kepekaannya terhadap detail, entah mengapa Syifa merasa ada sesuatu dalam dirinya yang tergerak. Bukan hanya sekedar kekaguman biasa, tetapi ada rasa yang lebih dalam, sesuatu yang ia pikir sudah lama hilang dalam dirinya.
Dia tidak bisa memungkiri, ada sesuatu tentang Frans yang membuat hatinya bergetar. Tatapan mata Frans yang ramah, cara dia berbicara dengan penuh perhatian, membuat Syifa merasakan kembali sesuatu yang dulu pernah ada—gairah, rasa ingin tahu, bahkan semacam pesona yang sudah lama tidak ia rasakan dalam pernikahannya dengan Ridwan.
"Jadi, Syifa," kata Frans sambil memutar cangkir kopinya, "apa yang paling kamu suka dari pekerjaan kamu di kantor?"
Syifa terdiam sejenak, berpikir. "Hmm... mungkin interaksi sama orang-orangnya, ya. Kadang melelahkan, tapi seru juga."
Frans tersenyum, lalu menatap Syifa lebih dalam. "Kamu kayaknya tipe orang yang suka memahami orang lain, ya? Mungkin karena itu kamu bisa klop sama Maria," dia melirik Maria sambil tertawa kecil.
Maria ikut tertawa, tapi Syifa merasa hatinya berdesir. Ada sesuatu di balik kata-kata Frans yang menimbulkan getaran tak terduga dalam dirinya. Mungkin, pertemuan ini lebih dari sekadar makan malam biasa.
Selama makan malam itu, Syifa mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ada rasa penasaran yang tumbuh. Bukan berarti dia tak mencintai Ridwan, tapi pertemuan dengan Frans seperti membuka pintu baru yang tak pernah ia sadari ada. Sesuatu yang membuatnya kembali merasakan semangat yang dulu pernah hilang.
Saat pertemuan mereka berakhir dan Frans pamit dengan senyum ramahnya, Syifa masih bisa merasakan hangatnya percakapan yang baru saja mereka bagi. Meski sederhana, ada percikan kecil di sana—sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Saat Frans melangkah pergi, meninggalkan kafe, Syifa mendapati dirinya diam-diam mengagumi sosoknya. Ada getaran dalam hatinya yang sudah lama tak ia rasakan. Semangat yang dulu pernah ada dalam dirinya, kini perlahan kembali.
Di perjalanan pulang, suasana dalam mobil terasa tenang. Namun, Maria yang duduk di sampingnya, diam-diam melirik Syifa dengan senyum yang penuh arti.
“Frans orang yang menarik, ya?” Maria bertanya tiba-tiba, memecah keheningan.
Syifa berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral, tapi tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan senyum tipis yang tersirat di bibirnya. "Iya, sangat," jawabnya singkat, mencoba terdengar biasa saja. Namun, di dalam hatinya, ada gejolak yang tak bisa ia abaikan.
Perasaan itu membuat Syifa merasa hidup kembali, tetapi sekaligus ada rasa bersalah yang mulai merayap di benaknya. Ini salah. Dia tahu Maria tertarik pada Frans, dan Syifa seharusnya hanya menemani. Tapi kenapa malah dia yang mulai merasakan sesuatu?
Maria tidak menyadari apa yang sedang bergolak dalam diri Syifa. "Dia tipe orang yang asik diajak ngobrol, ya. Aku senang banget akhirnya bisa dekat sama dia. Kamu gimana, Syif? Enjoy gak tadi?" tanyanya sambil tersenyum cerah, penuh harapan.
Syifa mengangguk pelan, masih dengan senyum tipisnya. "Iya, Frans asik. Kalian kelihatan cocok kok, Jem." Kalimat itu terasa sedikit getir di bibirnya. Meski hatinya sedikit terusik, Syifa tak ingin memperlihatkannya. Dia harus menyimpan perasaannya sendiri.
Sepanjang perjalanan pulang, Syifa terjebak dalam pikirannya sendiri. Kenapa perasaan ini muncul sekarang? Kenapa saat dia seharusnya mendukung sahabatnya, justru ia yang diam-diam merasa tertarik pada pria yang sama?
Malam itu, setelah Maria menurunkannya di rumah, Syifa melangkah masuk dengan hati yang berdebar. Rumah terasa sunyi, hanya suara langkahnya yang menggema di ruangan. Ridwan mungkin sudah tidur, atau sedang bekerja di ruang kerjanya. Syifa duduk di ruang tamu sejenak, membiarkan pikirannya berlarian.
Ia menghela napas panjang, mencoba memahami perasaannya. Rasa bersalah yang tadi samar-samar kini terasa lebih nyata. Bagaimana mungkin ia merasa tertarik pada Frans, sementara dia masih menikah dengan Ridwan? Meski pernikahannya tidak sehangat dulu, Syifa tahu bahwa ada tanggung jawab besar yang mengikat mereka—Hendra, anak semata wayang mereka, dan janji pernikahan yang dulu diikrarkan di hadapan Tuhan.
Namun, di saat yang sama, pertemuan dengan Frans membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya selama ini. Sesuatu yang mungkin lebih dalam dari sekadar rutinitas sehari-hari. Frans membuatnya merasa seperti dirinya sendiri lagi—bukan hanya sebagai istri, atau ibu, tapi sebagai seorang perempuan yang punya keinginan dan rasa ingin tahu.
Syifa menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Dia tidak boleh terjerumus lebih jauh. Frans adalah milik masa depan Maria, bukan dirinya. Dan dia harus kembali fokus pada keluarganya, pada Ridwan, yang meski terasa jauh, tetap menjadi bagian dari hidupnya yang penting.
Namun, malam itu, saat Syifa akhirnya berbaring di tempat tidurnya, bayangan senyum Frans masih terlintas di pikirannya. Dan entah bagaimana, rasa itu terus mengusiknya, seolah menolak untuk hilang.
2175Please respect copyright.PENANAvf3IO8dgC1
Bersambung
ns 18.68.41.150da2