Syifa sedang sibuk memilih beberapa kebutuhan rumah di rak minimarket. Hari itu dia terlihat sederhana dengan hijab lilit dan pakaian kasual. Pikirannya melayang ke rutinitas harian, sambil sesekali memeriksa daftar belanja di ponselnya.
Setelah membayar di kasir, Syifa bergegas keluar, membawa tas belanjaan di tangan kiri. Saat dia hendak menyeberang jalan, sebuah suara yang familiar tiba-tiba terdengar dari belakang.
"Syifa?" panggil seseorang.
Syifa berbalik dan melihat Frans berdiri tak jauh darinya, tersenyum hangat. Pria itu mengenakan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi hingga siku. Ia terlihat segar, meski ada sesuatu dalam senyumannya yang mengisyaratkan kehangatan dan kerendahan hati.
"Oh, Frans!" Syifa tersenyum kecil, sedikit terkejut namun senang melihatnya. "Lagi belanja juga?"
Frans mengangguk, lalu mendekat. “Iya, tadi mampir sebentar. Kamu sendiri? Mau pulang?”
Syifa mengangguk, mengangkat tas belanjaannya sedikit. “Iya, ini baru selesai. Mau jalan kaki pulang.”
Frans menatap jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan lalu lalang. "Wah, nggak capek jalan kaki bawa barang segini? Aku ada mobil, kalau kamu mau aku bisa antar."
Syifa sedikit ragu, tapi tawaran Frans terasa hangat dan tulus. Lagipula, ia memang merasa barang belanjaannya sedikit berat.
“Gak merepotkan, nih?” tanyanya.
Frans tertawa kecil. “Sama sekali nggak. Lagian, aku juga nggak buru-buru ke mana-mana. Ayolah, biar cepat sampai rumah.”
Akhirnya, Syifa setuju. Mereka berjalan bersama menuju mobil Frans, yang diparkir tak jauh dari minimarket. Mobilnya sederhana, tapi bersih dan nyaman. Setelah mereka berdua masuk, Frans menghidupkan mesin dan melirik Syifa sejenak.
Syifa tersenyum kembali dan mengeluarkan ponselnya. “Boleh tukeran nomor, kali ya. Biar lebih mudah.”
Dengan sedikit keraguan namun antusias, mereka bertukar nomor ponsel. Ada perasaan yang tak bisa Syifa jelaskan—sebuah campuran antara rasa nyaman dan sedikit rasa bersalah. Rasa bersalah pada suaminya Ridwan dan rasa bersalah pada Maria teman dekatnya. Namun, dia tak bisa menepis ketertarikannya pada pria ini. Frans begitu tenang dan dewasa, serta membawa aura yang tak biasa.
Dalam perjalanan, mereka berbicara tentang hal-hal ringan, dari pekerjaan hingga kehidupan sehari-hari. Frans bercerita bagaimana dia menikmati waktu-waktu senggangnya, sementara Syifa sesekali tertawa mendengar lelucon-lelucon kecil Frans. Namun, ada satu pertanyaan yang terus mengganggu pikiran Syifa, sebuah rasa penasaran yang tak bisa ia hilangkan.
Setelah tiba di depan rumah, Syifa turun dan berterima kasih. Sebelum Frans pergi, mereka berpisah dengan senyuman. Tapi sepanjang malam itu, pikiran Syifa terus tertuju pada Frans.
***
Keesokan harinya di kantor, Syifa merasa gelisah. Pertemuan dengan Frans masih menghantui pikirannya, meski dia berusaha fokus pada pekerjaan. Saat makan siang dengan Maria, rasa penasarannya semakin tak terbendung. Meskipun Syifa tahu seharusnya dia tak perlu tahu lebih banyak tentang Frans, ada dorongan dalam dirinya yang membuatnya ingin lebih mengenal pria itu.
Setelah beberapa saat berbasa-basi, Syifa akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Mar, aku mau tanya soal Frans," ucapnya pelan, sambil memutar sendok di piringnya.
Maria, yang sedang meneguk air putih, menghentikan gerakannya. Matanya menyipit, lalu senyuman penuh arti muncul di wajahnya. "Oh? Kenapa? Ada yang bikin penasaran?"
Syifa tersenyum malu-malu, lalu menunduk sedikit. "Ya, aku pengen tahu aja lebih banyak tentang calon pacar teman dekat aku ini, hehehe," katanya sambil tertawa kecil, meskipun dalam hati perasaannya lebih rumit daripada yang ia ungkapkan.
Maria meletakkan gelasnya, tatapannya tiba-tiba berubah serius. "Frans duda, Syif. Istrinya meninggal waktu pandemi Covid."
Kata-kata itu menghantam Syifa seperti petir di siang bolong. Dia terdiam, tak menyangka mendengar kabar itu. "Oh... aku nggak tahu," ucapnya perlahan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Maria mengangguk, wajahnya ikut suram mengenang masa lalu. "Iya, waktu itu berat banget buat dia. Istrinya meninggal mendadak karena komplikasi waktu kena Covid. Sejak itu, Frans belum nikah lagi. Dia lebih banyak fokus ke pekerjaan dan kegiatan gerejanya."
Syifa mendengarkan dengan seksama, hatinya bergetar. Di balik senyum ramah dan percakapan yang penuh tawa, Frans ternyata menyimpan luka yang dalam. Dia tak hanya pria menyenangkan yang baru ia kenal, tetapi seseorang yang pernah kehilangan orang yang paling dicintai.
"Dia usianya berapa sekarang?" tanya Syifa, mencoba menenangkan hatinya yang mendadak dipenuhi simpati.
“37 tahun,” jawab Maria. "Masih muda, tapi dia udah ngalamin banyak hal berat dalam hidupnya. Orangnya kelihatan tenang dan kuat, tapi kamu tahu kan, kadang orang yang paling kuat itu yang paling banyak menyimpan luka."
Syifa menelan ludah, hatinya terasa berat. Kini, setiap senyuman Frans yang sebelumnya terlihat memikat di matanya, berubah menjadi cerminan seseorang yang telah berjuang melalui rasa sakit yang mendalam. Ada sisi lain dari Frans yang belum ia lihat sebelumnya—seorang pria yang pernah kehilangan begitu banyak, tapi tetap bertahan.
Di tengah obrolan itu, Syifa merasa sebuah simpul dalam hatinya perlahan terbuka. Ada kehangatan baru yang ia rasakan terhadap Frans, namun perasaan itu kini bercampur dengan rasa bersalah yang semakin besar. Dia tahu dia tak seharusnya terjebak dalam perasaan ini. Maria adalah sahabatnya, dan Frans adalah pria yang jelas masih membawa beban masa lalunya. Namun, semakin Syifa tahu tentang Frans, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan yang muncul.
"Kasian juga ya, Mar," kata Syifa akhirnya, berusaha mengendalikan suaranya yang sedikit bergetar. "Aku nggak bisa bayangin gimana dia ngadepin kehilangan kayak gitu."
Maria tersenyum tipis. "Iya, tapi dia orang yang kuat. Meskipun kehilangan istri, dia nggak pernah tunjukin kelemahannya di depan orang lain. Makanya, aku selalu salut sama dia."
Syifa mengangguk pelan, rasa simpati di hatinya semakin dalam. Tapi di sisi lain, perasaan itu juga semakin menimbulkan konflik dalam dirinya. Meskipun ia ingin menolak perasaan itu, kenyataannya Frans bukan hanya pria biasa yang menarik perhatiannya. Dia adalah seseorang yang pernah terluka, dan entah bagaimana, Syifa merasa terhubung dengan luka itu.
Ketika Maria kembali sibuk dengan makanannya, Syifa merenung dalam diam. Ia tahu apa yang ia rasakan tidak seharusnya berkembang. Tetapi bagaimana caranya menghentikan sesuatu yang sudah terlanjur hidup dalam hatinya? Apa yang harus ia lakukan? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban, sementara bayangan Frans terus membayangi pikirannya.
1218Please respect copyright.PENANAZI2LnJ18bn
***
Senja mulai turun ketika Syifa melangkahkan kakinya masuk ke dalam mall. Sore itu, dia memutuskan untuk jalan-jalan sendirian setelah pulang kerja. Tidak ada rencana khusus, hanya sekadar melepas penat setelah hari yang panjang di kantor. Angin sejuk dari pendingin ruangan menyapu wajahnya begitu dia memasuki lobi mall. Syifa menikmati suasana ramai, namun hatinya terasa tenang berjalan di antara orang-orang yang lalu-lalang.
Dia berhenti sejenak di depan sebuah etalase, memperhatikan tas yang dipajang di toko. Namun, perhatiannya teralih ketika suara yang tidak asing menyapanya dari belakang.
“Syifa?”
Syifa menoleh dan terkejut melihat Frans berdiri di sana, tersenyum lebar. Seolah semesta sedang mempertemukan mereka kembali, untuk kesekian kalinya.
“Frans? Kok bisa ketemu lagi di sini?” Syifa tertawa kecil, tak bisa menutupi rasa senangnya bertemu Frans lagi. Seperti ada takdir yang bekerja di balik pertemuan mereka.
Frans mengangkat bahu sambil tertawa pelan. “Kayaknya kita sering banget ya ketemu nggak sengaja. Mungkin ini pertanda,” candanya sambil mengedipkan mata.
Syifa tertawa lebih keras, merasa nyaman dengan candaan Frans. "Pertanda apa nih?"
Frans tersenyum. “Pertanda kalau kita harus duduk ngobrol lebih lama lagi. Gimana kalau kita makan di kafe? Aku tahu satu tempat enak di sini.”
Syifa terdiam sejenak, merasakan hatinya berdebar. Ada sesuatu dalam ajakan itu yang terasa begitu ringan, namun penuh makna. Dia akhirnya mengangguk sambil tersenyum.
“Oke, aku mau.”
Mereka memilih sebuah kafe di sudut mall yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk pusat belanja. Suasana kafe itu hangat, dengan lampu-lampu temaram dan alunan musik lembut yang mengisi udara. Syifa dan Frans duduk berhadapan di meja kecil dekat jendela, dengan pemandangan luar mall yang mulai gelap.
“Tempatnya cozy banget ya,” kata Syifa sambil memandangi sekitar.
Frans mengangguk. “Iya, aku sering ke sini. Suka suasananya, tenang.”
Setelah memesan makanan, mereka mulai mengobrol santai. Awalnya, topik mereka ringan—tentang pekerjaan, hobi, hingga kesibukan sehari-hari. Namun, seiring dengan percakapan yang semakin dalam, Syifa mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa.
“Aku banyak dengar tentang kamu dari Maria, aku ikut prihatin.” Ucap Syifa dengan lembut, matanya menatap Frans dengan tulus. “Setelah semua yang terjadi, kamu masih sendiri, ya?”
Frans tersenyum, tapi ada kesedihan samar di balik senyum itu. “Iya, masih sendiri. Sejak istriku meninggal, aku nggak pernah benar-benar berpikir untuk memulai hubungan baru lagi.”
Syifa terdiam, merasa perasaannya bercampur antara simpati dan kekaguman. “Pasti nggak mudah ya, Frans... kehilangan seseorang yang sangat berarti.”
Frans menatap meja sejenak sebelum kembali menatap Syifa, matanya lembut. “Iya, awalnya berat banget. Tapi seiring waktu, aku belajar untuk menerima. Aku tahu hidup terus berjalan, dan aku harus kuat.”
Syifa mengangguk, merasakan getaran dalam setiap kata yang diucapkan Frans. “Kamu orang yang kuat, Frans. Aku bisa merasakannya.”
Frans tersenyum hangat. “Terima kasih, Syifa. Aku senang loh di suport wanita cantik kayak kamu. Aku jadi makin semangat menghadapi hidup.”
Syifa tersipu mendengar pujian itu, hatinya bergetar. “Hahahhaha emang aku beneran cantik ya?”
“Cantik banget malah.”
Obrolan mereka terus mengalir, semakin akrab dan intim. Ada rasa nyaman yang tumbuh di antara mereka—sesuatu yang sulit dijelaskan. Frans memiliki cara berbicara yang membuat Syifa merasa dihargai, didengar, dan dipahami. Sementara Frans, di balik tatapannya yang tenang, mulai merasakan kehangatan yang sudah lama hilang dalam hidupnya sejak kepergian istrinya.
Saat makanan tiba, mereka melanjutkan percakapan dengan tawa dan cerita. Frans bercerita tentang hobinya, pandangannya tentang kehidupan, dan harapan-harapan kecil yang masih ia simpan di hatinya. Syifa, yang awalnya hanya berniat untuk bersantai, kini merasa seperti sedang berada di dunia yang berbeda—dunia di mana perasaannya mulai terlibat lebih dalam.
Di tengah percakapan mereka, Frans tiba-tiba menatap Syifa dengan pandangan yang lebih serius.
“Syifa, kamu tahu nggak? Aku merasa pertemuan kita ini bukan kebetulan. Entah kenapa, aku selalu merasa ada sesuatu yang lebih setiap kali kita ketemu.”
Syifa tertegun mendengar itu. Jantungnya berdebar kencang. “Maksud kamu?”
Frans tersenyum lembut, matanya menatap Syifa dalam-dalam. “Aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa nyambung aja ama kamu. Seperti... ada sesuatu yang menggerakkan kita untuk terus bertemu.”
Syifa merasakan pipinya memanas, tapi dia juga merasa ada sesuatu yang sama di dalam dirinya. “Aku juga merasakan hal yang sama, Frans. Sejak kita ngobrol, aku selalu merasa nyaman dan... entah kenapa, aku merasa tenang di dekat kamu.”
Mereka terdiam sejenak, saling menatap dengan pandangan penuh makna. Di antara keheningan, ada percikan yang mulai muncul, sebuah kedekatan yang tak bisa disangkal.
Frans tersenyum pelan, lalu menghela napas. “Kita nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku senang bisa mengenal kamu, Syifa. Mungkin, kita memang berjodoh untuk saling menemukan.”
Syifa tersenyum tipis, hatinya berdesir lembut. “Aku juga senang bisa mengenal kamu, Frans.”
Malam itu, di kafe yang tenang, Syifa dan Frans tak hanya sekadar berbagi obrolan. Mereka berbagi hati—sedikit demi sedikit, seolah tanpa disadari, mereka mulai membuka diri untuk sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
Bersambung
ns 15.158.61.6da2