Namun, Hanafi? Sementara Mutya menghangatkan dirinya dengan cinta, Hanafi hanya membalas sekadarnya, dengan gerakan yang terasa hampa. Bukan karena Mutya tidak menarik lagi—di usia 34 tahun, Mutya masihlah sosok yang mempesona, dengan senyum manis dan tatapan mata yang selalu membuat orang di sekitarnya nyaman. Tetapi kini, hati Hanafi telah berpindah, tenggelam dalam pesona lain. Ia, lelaki yang baru berusia setahun lebih tua dari Mutya, telah tersesat dalam sensasi memiliki gadis muda yang begitu berbeda—seorang mahasiswi cantik yang memberinya rasa segar, adrenalin yang memberi dia gairah baru.
Bagi Mutya, malam itu adalah tentang keintiman yang telah lama dirindukan. Bagi Hanafi, malam itu hanya kewajiban yang harus ia jalani.
Mutya terus mengejar kenimatan dengan bergerak erotis menunggangi tubuh suaminya yang terlentang tanpa gairah.
‘Ouwhhhhh…ouwhhhhh ouwhhhhhhhhhhh!”
Mutya meraih orgasmenya saat Hanafi juga telah orgasme.
"Sayang... apa kau baik-baik saja?" Mutya bertanya lirih saat melihat tatapan kosong di wajah suaminya saat percintaan mereka telah selesai.
Hanafi tersenyum tipis, senyum yang hanya menyentuh bibir, tanpa jejak kehangatan di matanya. "Aku baik-baik saja," jawabnya singkat, mencoba menghindari tatapan penuh cinta yang Mutya layangkan.
Mutya tidak menyadari, tidak sepenuhnya memahami bahwa cinta yang ia coba bangkitkan sudah jauh melayang, berpindah pada seseorang yang bahkan belum mengerti makna cinta seutuhnya. Malam itu terasa seperti dia mencintai dalam diam, sementara suaminya... hanya berusaha menjalankan perannya tanpa hati.
Di dalam diam, Mutya mungkin merasa ada yang berbeda, tapi ia menolak memikirkannya. "Mungkin dia hanya lelah," pikirnya. Namun jauh di dalam hatinya, Mutya tahu, cinta yang dulu begitu menggekamura kini terasa hambar. Dan sayangnya, hanya dia yang berjuang untuk menghidupkannya kembali.
3294Please respect copyright.PENANA8IsjL5uQWj
***
Meski Hanafi sedang tergila-gila dengan gadis Manado yang cantik bukan berarti dia tidak perduli sama sekali dengan istrinya. Hanafi berusaha membantu Mutya beradaptasi dengan memperkenalkannya kepada teman-teman kantornya, termasuk istri-istri mereka. Setiap kesempatan yang ada, Hanafi mengajak Mutya ikut dalam acara makan siang bersama atau pertemuan sosial kecil yang dihadiri oleh rekan kerjanya. Dengan begitu, Mutya tak hanya mengenal lingkungan baru, tapi juga mulai berinteraksi dengan orang-orang di sekitar.
Setelah beberapa hari, Mutya mulai akrab dengan Dewi, istri salah satu pegawai di kantor Hanafi. Umur Mutya dan Dewi masih sepantaran membuat mereka mudah dekat. Dewi adalah sosok yang ramah dan penuh perhatian, sehingga Mutya merasa nyaman berada di dekatnya. Dewi sering bercerita tentang kehidupannya di Manado,
“Kalau kamu punya waktu luang, kamu harus datang ke rumahku. Kita bisa ngobrol lebih banyak di sana, dan aku bisa kenalin kamu ke tetangga-tetangga yang ramah. Kamu pasti suka,” ajak Dewi suatu sore, saat mereka bertemu di salah satu acara kantor.
Mutya menyambut ajakan itu dengan antusias. Ia sudah lama ingin melihat lebih banyak tentang kota Manado, dan Dewi ternyata tinggal di perkampungan Muslim. Saat Mutya kesana dia merasa sangat senang melihat suasana yang serupa dengan lingkungannya di Jakarta.
Daerah itu jauh lebih ramai dibandingkan dengan kawasan tempat tinggalnya yang sepi. Di sepanjang jalan, ia melihat banyak orang lalu lalang, aktivitas pasar kecil, dan suara azan yang berkumandang dari masjid-masjid yang berada di setiap sudut jalan.
“Kamu lihat, kan? Di kampung sini lebih banyak Muslim. Warganya ramah-ramah dan komunitasnya kuat,” ujar Dewi sambil tersenyum. “Aku tinggal di sini sejak suami aku ditugaskan, dan aku nggak pernah merasa kesepian.”
Ketika mereka tiba di rumah Dewi, Mutya langsung disambut dengan kehangatan oleh keluarga dan tetangga Dewi yang benar-benar ramah. Rumah Dewi berada di perkampungan yang padat, tapi terasa hidup dan penuh kebersamaan. Warga sekitar terlihat saling menyapa dan saling mengenal dengan baik, berbeda dengan lingkungan rumah dinas Mutya yang cenderung individualis.
“Ini tempat yang nyaman sekali,” kata Mutya sambil tersenyum, merasa betah dengan suasana hangat yang menyelimuti lingkungan perkampungan itu.
“Ya, aku bersyukur tinggal di sini. Meski padat, tapi kita merasa seperti satu keluarga besar,” jawab Dewi. “Kalau kamu butuh apa-apa, jangan ragu untuk datang ke sini. Aku dan warga di sini pasti dengan senang hati membantumu.”
Sepanjang hari, Dewi mengajak Mutya berkeliling perkampungan, mengenalkan Mutya pada para tetangganya yang ramah dan terbuka. Mereka sempat singgah di beberapa rumah tetangga, mencicipi kue-kue khas yang dibuat oleh ibu-ibu di sana, dan berbincang dengan beberapa warga yang memiliki anak sebaya dengan Hanan, putra Mutya.
Kunjungan ke rumah Dewi itu membuat Mutya merasa lebih tenang dan nyaman. Ia mulai menemukan tempat di mana ia merasa cocok dengan orang-orang di sekitarnya, meskipun tinggal jauh dari kampung halamannya. Pertemanan dengan Dewi dan kehangatan yang ia temukan di perkampungan Muslim itu memberinya rasa keterikatan baru dengan kota Manado.
Sepulang dari rumah Dewi, Mutya merasa lebih ringan. Ia menyadari bahwa meskipun lingkungan tempat tinggalnya di selatan kota terasa sepi, ia bisa membangun hubungan dengan orang-orang yang membuatnya merasa lebih diterima. Bersama Hanafi, dan dengan dukungan Dewi serta orang-orang yang ia temui, Mutya mulai merasa bahwa Manado bisa menjadi rumah baru yang nyaman untuknya.
Meskipun Mutya telah tinggal bersama Hanafi di Manado, hubungan gelap antara Hanafi dan Sherly, seorang mahasiswi, tetap berlanjut. Hanafi tak mampu mengakhiri hubungan yang telah berkembang dalam beberapa bulan terakhir, meskipun ia tahu betapa berbahayanya jika ketahuan oleh Mutya.
Sherly, yang jauh lebih muda, awalnya bertemu Hanafi saat ia mengerjakan proyek kampus yang melibatkan perusahaan tempat Hanafi bekerja. Pertemuan demi pertemuan terjadi, hingga hubungan mereka mulai tumbuh dari sekadar pertemanan menjadi sesuatu yang lebih pribadi. Sherly terpesona oleh kedewasaan dan perhatian yang ditunjukkan Hanafi, sementara Hanafi merasa segar dengan kehadiran seorang wanita muda yang berbeda dari kehidupan rutinnya.
Meskipun Hanafi tahu hubungannya dengan Sherly salah, ia tak mampu menolaknya. Setiap kali berada bersama Sherly, ia merasa hidupnya lebih berwarna, bebas dari tanggung jawab dan tekanan pernikahannya. Mereka sering bertemu secara diam-diam, biasanya di tempat-tempat yang jauh dari perhatian publik. Sherly sendiri menyadari bahwa hubungan mereka tak akan bertahan selamanya, namun perasaan cinta yang ia miliki untuk Hanafi membuatnya sulit mundur.
Sementara itu, Mutya tak pernah mencurigai apa pun. Ia sibuk menyesuaikan diri dengan kehidupannya di Manado, mendekatkan diri dengan Dewi dan aktif dalam pengajian dengan komunitas Muslim di sana. Hanafi tetap berusaha tampil sebagai suami yang penuh perhatian, memastikan Mutya merasa nyaman di lingkungan baru mereka. Namun, setiap kali Mutya menyambut Hanafi pulang dengan senyuman, ia dihantui oleh rasa bersalah yang semakin membesar.
Di ruang kerja kantornya, Hanafi duduk termenung di meja kerjanya, menatap kosong layar laptopnya karena pikirannya mengembara ke arah lain, terjebak dalam bayangan Sherly. Ada dorongan rasa bersalah yang berusaha muncul setiap kali ia mengingat senyuman lembut Mutya saat menyambutnya pulang. Namun, rasa bersalah itu hilang ditelan kerinduan akan kebebasan yang ia rasakan setiap bersama Sherly.
Ponsel di meja bergetar, memecah lamunannya. Nama Sherly muncul di layar. Hatinya berdebar, meski ia tahu, semestinya ia tidak membalas pesan itu. Tapi, jari-jarinya sudah bergerak.
"Aku kangen..." tulis Sherly.
Hanafi menarik napas dalam, menatap pesan itu sejenak sebelum akhirnya membalas.3294Please respect copyright.PENANAT7LL7056vs
"Kita ketemu di tempat biasa nanti sore."
3294Please respect copyright.PENANAqRoAz9yTcq
Di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, Hanafi duduk berhadapan dengan Sherly. Keduanya diam, menikmati keheningan yang terasa akrab namun penuh beban. Sherly memainkan sedotan di gelasnya, matanya sesekali melirik ke arah Hanafi, mencari sesuatu—jawaban, mungkin kepastian.
"Sampai kapan kita kayak gini?" Suara Sherly pelan, hampir berbisik, namun cukup membuat hati Hanafi tertegun. "Aku nggak mau terus-terusan sembunyi."
Hanafi menatapnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi hanya menemukan kebingungan dan kelelahan di dalam dirinya. "Aku belum bisa ninggalin Mutya," akhirnya ia berkata, suara serak dan penuh dilema.
Sherly menatap ke luar jendela, seolah mencari jawaban di langit yang mendung. "Tapi aku cinta sama kamu," suaranya bergetar, tak bisa menutupi rasa kecewanya. "Aku nggak peduli kamu udah punya Mutya, aku cuma pengen kita bahagia."
Hanafi mendesah. Di sisi lain, Sherly membangkitkan kembali semangat mudanya, memberinya rasa kebebasan yang sudah lama hilang. Tapi Mutya... Mutya adalah istrinya, wanita yang selama ini berdiri di sisinya tanpa ragu, tanpa curiga.
Hanafi dan Sherly kembali bercinta dengan penuh gairah. Hanafi memang sangat ketagihan dengan tubuh Sherly gadis Minahasa yang putih mulus itu. Terutama itil Sherly bagian dari tubuh Sherly yang membuat Hanafi ketagihan. Dia tidak pernah melewatkan memainkan itil itu dengan jemari dan lidahnya.
“Ouwhhhhhh… owuhhhhhhhhhhhh… owuhhhhhh!”
Rintihan Sherly saat lidah Hanafi menjilat memek dan itilnya. Setelah mengalami orgasme pertamanya tubuh Sherly diposisikan menungging. Dengan buas Hanafi menghujamkan kontolnya ke memek Sherly.
Bleshhhhh
Kontol Hanafi melesak masuk dan mulai mengaduk-aduk memek Sherly. Kalung salib Sherly bergoyang akibat gerakan erotis Sherly yang sedang digenjot oleh Hanafi.
“Uhhhhhhhhhh… uhhhhhhhhhhhhh… uhhhhhhhhh.. ouwhhhhhh.”
Pkamuk pkamuk pkamuk bunyi benturan selangkangan Hanafi dan memek Sherly. Sesekali Hanafi menampar pantat bahenol Sherly.
Plak..plak plak
“Ouhhhhhhhhhh… yah terus… arghhhhh!”
Sherly kembali orgasme dalam posisi nungging. Kemudian dia terlentang dan dihajar oleh Hanafi lagi dengan kecepatan tinggi. Hingga payudaranya terguncang-guncang hebat akibat genjotan Hanafi.
Bersambung
ns 15.158.61.6da2