Mutya duduk dengan hati sedikit berdebar saat pesawat mulai bergerak meninggalkan landasan. Perjalanan ini akan menjadi awal baru bagi Mutya. Dia akan kembali bersama dengan suaminya Hanafi. Suaminya yang sudah lima bulan ditugaskan menjadi kepala cabang perusahaan di Manado. Baru kali ini Mutya bisa menyusul karena dia merasa perlu mendampingi Hanan putra semata wayang mereka untuk menyelesaikan sekolah SDnya untuk kemudian lanjut masuk pesantren.
Selama lima bulan ini Mutya selalu merisaukan suaminya, memikirkan bagaimana suaminya di kota Manado, siapa yang menyiapkan makan, siapa yang mengatur pakaiannya dan lain-lain. Kini dia sudah akan tinggal bersama tentu suaminya akan sangat senang karena sudah ada yang akan mendampinginya menjalani kehidupan di kota Manado.
Mutya menatap jendela pesawat, melihat pemandangan Jakarta yang semakin mengecil. Tiba-tiba, suara lembut seorang pria membuyarkan lamunannya.
“Pemandangannya indah, ya?” Pria di sebelahnya tersenyum. Usianya sekitar empat puluhan, dengan rambut hitam sedikit beruban di pelipis, menambah kesan dewasa dan karisma pada wajahnya yang tampan.
“Oh, ya, benar sekali,” jawab Mutya, agak canggung. “Anda dari Manado?”
“Betul. Marcel, nama saya,” jawabnya sambil mengulurkan tangan. “Dan Anda?”
Mutya menerima uluran tangan itu dengan sopan. “Mutya.”
Marcel tersenyum lagi, matanya ramah. “Sedang liburan atau ada keperluan di Manado?”
“Saya mau menyusul suami saya. Dia baru dipindahkan ke Manado lima bulan lalu.”
“Oh, selamat, semoga betah di sana. Manado itu kota yang cantik, banyak yang bisa dilihat, terutama pemandangan alamnya.”
Mutya tersenyum tipis. “Ya, ini pertama kalinya saya ke sana. Semoga saya bisa menyesuaikan diri.”
Selama penerbangan, Marcel terus bercerita tentang Manado. Tentang pantainya yang menakjubkan, kuliner lautnya yang terkenal, serta keramahan warganya. Mutya menikmati pembicaraan itu, merasa terbantu untuk memahami kota yang akan menjadi rumah barunya.
3604Please respect copyright.PENANApLtyQOaM9y
Saat Mutya keluar dari area kedatangan bandara, perasaan kecewa tak bisa ia sembunyikan. Hanafi, suaminya, yang sudah lima bulan bekerja di Manado, tak bisa menjemputnya secara langsung karena mendadak harus menyelesaikan urusan kantor. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya tak lama setelah pesawat mendarat.
“Maaf banget, Sayang. Ada pekerjaan mendesak. Aku kirim sopir kantor buat jemput kamu. Hati-hati di jalan ya.” Mutya membaca pesan itu dengan helaan napas kecil. Ia berusaha memaklumi, meski tak bisa menepis sedikit rasa kesepian yang hinggap di hatinya.
Berdiri di tepi bandara, Mutya memegang ponselnya sambil terus berbalas pesan dengan Hanafi, menanyakan lebih detail tentang jemputan dan memastikan semuanya lancar. Kegugupan tentang kota yang baru pertama kali ia kunjungi mulai mengganggunya. Manado terasa asing, meski ia sudah mendengar banyak cerita tentang keindahan dan keramahan penduduknya dari suaminya.
Di sela-sela itu, Marcel, pria ramah yang duduk di sebelahnya di pesawat, masih berada tak jauh darinya. Ia sedang sibuk mengangkat tas kecilnya, bersiap-siap pergi.
“Kamu sudah ada jemputan?” Marcel bertanya dengan nada hangat, memperhatikan Mutya yang tampak sibuk dengan ponselnya.
Mutya tersenyum canggung. “Iya, ada. Suami saya kirim sopir kantor untuk jemput. Dia masih sibuk dengan pekerjaan.”
Marcel menatapnya sebentar, wajahnya menunjukkan perhatian. “Oke, kalau begitu. Semoga semuanya lancar ya, dan selamat datang di Manado,” katanya sambil tersenyum lembut.
Mutya merasa sedikit lega mendengar ucapannya. "Terima kasih, Marcel. Senang bertemu denganmu di perjalanan tadi."
Marcel mengangguk, kemudian melangkah pergi, meninggalkan Mutya yang kini berdiri sendirian. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegugupan yang masih menggelayuti hatinya. Meskipun ia tahu jemputan sudah diatur, perasaan asing di kota baru membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan terminal kedatangan. Seorang pria berperawakan tinggi turun dan berjalan mendekati Mutya, mengenakan seragam kantor yang rapi.
“Bu Mutya, ya?” tanya pria itu dengan sopan. “Saya Rahman, sopir dari kantor Pak Hanafi. Silakan, saya sudah siapkan mobil.”
Mutya tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Pak Rahman.” Ia segera masuk ke dalam mobil, merasa sedikit lebih tenang mengetahui bahwa ia akan segera bertemu dengan suaminya.
Di sepanjang perjalanan, Mutya tak henti-hentinya menatap ke luar jendela. Jalanan Manado yang ia lewati terasa asing namun juga mempesona. Di satu sisi, ia melihat gedung-gedung modern dan pusat perbelanjaan. Di sisi lain, ada pegunungan hijau yang tampak di kejauhan, memberikan nuansa alami yang menenangkan.
Namun, yang paling menyita perhatian Mutya adalah deretan gereja besar dengan menara tinggi yang menjulang di berbagai sudut kota. Suara kamunceng gereja yang terdengar samar dari kejauhan membuatnya teringat kembali akan lingkungan lamanya, di mana suara azan selalu mengisi udara setiap waktu shalat.
"Manado memang terkenal dengan keragamannya, Bu," ucap Rahman tiba-tiba, seakan bisa membaca pikiran Mutya. "Di sini, mayoritas penduduknya Kristen. Tapi, semua orang hidup rukun, kok. Ada banyak masjid juga di beberapa tempat."
Mutya mengangguk, berusaha menenangkan dirinya. "Saya sudah dengar dari suami, tapi tetap saja, melihatnya langsung rasanya sedikit berbeda," jawabnya dengan jujur.
Rahman tersenyum dari kaca spion. "Betul, Bu. Tapi, lama-lama pasti terbiasa. Kota ini punya keindahan tersendiri, dan saya yakin Ibu akan merasa nyaman di sini."
Mutya hanya bisa berharap begitu. Setelah beberapa menit, mobil mereka akhirnya berhenti di depan gedung kantor tempat Hanafi bekerja. Mutya menarik napas panjang sebelum turun dari mobil, hatinya campur aduk antara rindu dan rasa cemas akan adaptasinya di tempat baru ini.
Namun satu hal yang pasti, ini adalah awal dari babak baru dalam kehidupannya, dan ia harus siap menghadapi setiap tantangan yang datang.
Saat tiba di kantor, Mutya merasa sedikit lega melihat Hanafi berdiri di depan pintu masuk dengan senyuman hangat. Kebetulan pekerjaannya sudah selesai tepat waktu, sehingga ia bisa langsung menyambut kedatangan istrinya. Dengan cepat, Mutya turun dari mobil, tak bisa menahan senyum yang kini menghiasi wajahnya.
“Hanafi!” serunya sambil melangkah cepat menghampiri suaminya.
Hanafi membalas dengan senyum lebar, membuka tangannya untuk memeluk Mutya. “Akhirnya kamu di sini juga. Maaf ya, tadi nggak bisa jemput.”
Mutya balas memeluk suaminya erat. “Nggak apa-apa, aku ngerti. Yang penting sekarang kita bisa ketemu.”
Setelah beberapa saat melepas rindu, Hanafi mengajak Mutya untuk makan siang bersama di sebuah rumah makan khas Manado yang ia kenal baik. “Ayo, kita makan dulu sebelum ke rumah. Ada tempat makan favoritku di dekat sini, kamu pasti suka,” ajaknya sambil menggandeng tangan Mutya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah rumah makan yang terletak tak jauh dari kantor Hanafi. Tempatnya sederhana, tapi suasana hangat dan aroma masakan Manado yang kuat segera membuat perut Mutya menjadi keroncongan.
“Ini tempat favoritku. Makanan lautnya segar, bumbunya khas, kamu harus coba,” ujar Hanafi sambil memesan beberapa hidangan favoritnya.
Mutya tersenyum, merasa senang bisa menikmati waktu makan bersama suaminya. Mereka memesan ikan bakar rica, sayur bubur Manado, dan cakalang fufu, hidangan khas yang tak sabar ingin Mutya cicipi.
“Wah, kelihatannya enak banget,” ujar Mutya ketika makanan mulai dihidangkan.
“Saat di sini, kamu harus terbiasa dengan rasa pedas,” ujar Hanafi sambil tersenyum. “Tapi tenang saja, aku yakin kamu bisa menikmatinya.”
Mutya tertawa kecil. “Aku harus coba, kan? Apalagi kalau ini makanan favoritmu.”
Selama makan siang, mereka berbincang santai tentang kehidupan Hanafi di Manado selama lima bulan terakhir. Hanafi menceritakan bagaimana ia mulai terbiasa dengan budaya dan lingkungan baru di kota itu, dan bagaimana ia berharap Mutya juga akan cepat merasa nyaman.
Setelah makan siang yang memuaskan, mereka pun melanjutkan perjalanan menuju rumah dinas Hanafi yang terletak di daerah selatan kota Manado. Sepanjang perjalanan, Mutya terpesona dengan pemandangan kota yang indah—deretan rumah-rumah yang tertata rapi dengan latar belakang gunung dan laut yang memukau.
“Ini kompleks tempat tinggal kita, nggak terlalu ramai, tapi cukup nyaman,” ujar Hanafi saat mereka mereka memasuki kompleks pemukiman di mana rumah dinas suaminya terdapat.
Mutya menatap rumah-rumah di kompleks itu, sebuah kompleks perumahan yang terlihat asri. Semoga dia akan betah disini, batin Mutya dalam hati. Wanita berhijab itu merasa sudah mulai bisa menerima kota baru ini sebagai tempat tinggalnya yang baru.
Hari itu, Mutya merasa segala kegelisahannya perlahan sirna. Bersama Hanafi, ia yakin mereka bisa menjalani kehidupan baru di Manado dengan baik.
Saat mobil perlahan memasuki kompleks rumah dinas Hanafi, Mutya tak bisa menahan perasaan sedikit asing. Kompleks itu tampak cukup sepi. Hanafi memarkir mobil di depan rumah yang menjadi tempat tinggalnya selama lima bulan terakhir. Rumahnya terlihat rapi dan asri, namun sekelilingnya terasa begitu sunyi. Di sebelah kanan, sebuah rumah besar tampak kosong dengan jendela tertutup rapat.
“Rumah sebelah kosong, pemiliknya tinggal di Jakarta. Jadi memang jarang ada orang di sini,” jelas Hanafi ketika melihat Mutya memperhatikan rumah tersebut.
“Sebelah kiri ada apa?” tanya Mutya, matanya melirik bangunan besar di sisi lain rumah mereka.
“Itu gudang milik sebuah perusahaan, jarang dipakai. Jadi sebenarnya, kita di sini nggak punya tetangga dekat,” jawab Hanafi, tersenyum tipis.
Mutya mengangguk pelan, meresapi suasana sepi di sekitar. Di depan rumah mereka hanya ada lapangan luas yang tampak kosong, tanpa aktivitas berarti. Beberapa rumah lain yang terlihat dari jarak agak jauh tampak tertutup rapat, dengan sedikit tanda kehidupan. Suasana ini sangat berbeda dari lingkungan ramai yang Mutya tinggalkan di Jakarta.
“Bagaimana dengan rumah-rumah lain di sini? Apa mereka nggak pernah berinteraksi?” tanya Mutya penasaran.
“Penghuni di sini kebanyakan individualis. Mereka lebih suka urusan sendiri-sendiri. Ada beberapa keluarga di kompleks, tapi jarang yang bergaul,” jawab Hanafi sambil membuka pintu rumah.
Mutya terdiam sejenak. Ini benar-benar berbeda dari lingkungan sebelumnya, di mana tetangga saling mengenal dan sering berinteraksi. Ia tahu butuh waktu untuk menyesuaikan diri, terutama dengan suasana yang terasa agak sunyi dan kurang ramai ini.
Begitu masuk ke dalam rumah, Mutya merasa sedikit lebih tenang. Meskipun di luar terasa sepi, rumah itu sendiri cukup nyaman dan hangat. Perabotan yang sederhana namun tertata rapi membuatnya merasa lebih betah. Di ruang tamu, Hanafi sudah menyiapkan beberapa barang miliknya, termasuk beberapa buku dan dekorasi khas Manado yang menghiasi dinding.
“Kamu bisa mulai menata rumah ini sesuai selera kamu, ya. Aku belum sempat banyak merapikan, karena kerjaan cukup sibuk,” kata Hanafi sambil tersenyum lembut.
Mutya mengangguk sambil melepaskan tasnya. “Aku akan pelan-pelan menata. Yang penting, kita bersama lagi. Dan aku akan berusaha menyesuaikan diri di sini.”
Hanafi mendekat, merangkul bahu istrinya dengan penuh kasih. “Kita akan baik-baik saja. Ini mungkin tempat yang sepi, tapi kita bisa buat rumah ini menjadi tempat yang nyaman untuk kita.”
Mutya tersenyum. Meski kompleks ini terasa sunyi, ia tahu bahwa bersama Hanafi, mereka bisa menjadikan rumah ini sebagai tempat baru yang hangat, di mana mereka bisa membangun kehidupan yang baru di kota yang asing ini.
***
Setelah menikmati makan malam bersama dengan makanan yang dipesan secara online oleh Hanafi, malam perlahan menelan sisa cahaya di luar jendela rumah mereka. Mutya menatap Hanafi dengan tatapan yang dipenuhi kehangatan dan kerinduan, sesuatu yang sudah lama ia pendam. Ia mendekatinya dengan senyum lembut yang pernah membuat Hanafi jatuh cinta bertahun-tahun lalu. Lima bulan dia merajut kerinduan. Malam ini Mutya akan melepas rindu.
"Hanafi...," suaranya lirih, hampir seperti bisikan. "Aku kangen."
Tanpa menunggu jawaban, Mutya mendekapnya erat. Malam itu, ia tidak lagi menahan diri. Semua kerinduan yang tertahan setelah lima bulan berpisah ia lepaskan. Sentuhannya penuh gairah, seolah berusaha menggapai kembali cinta yang mungkin saja mulai berjarak. Ia begitu antusias, seolah ingin menebus waktu-waktu yang sempat hilang.
3604Please respect copyright.PENANAyvjBhuMcGG
Bersambung
ns 15.158.61.8da2