Herdy duduk sendirian di ruang kerjanya, hanya ditemani suara jarum jam yang berdetak pelan. Lampu di atas meja berkedip-kedip, memperkuat suasana kesunyian yang mengelilinginya. Tangannya terasa dingin saat ia menyentuh permukaan meja yang licin. Dalam diam, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa lelah yang entah sejak kapan mengendap di dadanya.
Pernikahannya dengan Ratna sudah berjalan hampir dua puluh tahun. Dulu, ketika mereka baru menikah, segala sesuatu terasa menyenangkan. Ada tawa, canda, dan percakapan panjang yang tak pernah habis dibahas. Namun, seiring berjalannya waktu, semua itu memudar. Kini, mereka lebih sering terdiam saat berada di satu ruangan. Ratna, dengan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga, tampak lebih sibuk mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga. Herdy pun merasa semakin jauh. Tak ada lagi obrolan hangat, apalagi kemesraan yang dulu membara.
"Herdy," ia bergumam, menyebut namanya sendiri dalam kesunyian. "Apa yang terjadi?"
Kegalauan itu tak kunjung pergi. Pikirannya berkecamuk, mengisi setiap sudut ruang kerjanya yang sepi. Tiba-tiba, ia teringat percakapan rekan-rekan kerjanya di kantor beberapa hari yang lalu. Mereka bercerita tentang sebuah aplikasi bernama Michat, aplikasi yang katanya bisa memberikan "hiburan" bagi mereka yang merasa kesepian. Herdy tak terlalu menghiraukannya waktu itu, tetapi malam ini, rasa penasaran mulai merayap dalam benaknya.
Ia meraih ponsel di atas meja, membuka Play Store, dan mengetik nama aplikasi itu. Michat. Dengan satu ketukan jari, aplikasi itu mulai diunduh. Herdy menggigit bibirnya, rasa bersalah muncul di antara detik-detik menunggu proses download selesai. Tapi, ada bagian lain dalam dirinya yang justru tertarik, merasakan percikan kecil dalam hatinya yang sudah lama padam.
"Apa salahnya mencoba?" batinnya, meskipun ia tahu betul jawaban dari pertanyaan itu.
Saat aplikasi itu berhasil terinstal, Herdy menarik napas panjang lagi. Jari-jarinya mulai menari di layar, mendaftarkan diri, dan tak butuh waktu lama, ia sudah menjelajahi dunia baru yang seolah menyembunyikan banyak hal di balik tabir digital. Nama-nama asing dengan foto profil yang menarik. Pesan-pesan singkat yang mengundang perhatian. Herdy merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya malam ini—sesuatu yang membuat detak jantungnya lebih cepat, sesuatu yang membuatnya merasa hidup kembali.
Namun, di tengah keasyikan itu, sebuah suara kecil di dalam dirinya tiba-tiba bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan, Herdy? Apa ini yang kau inginkan?"
Tetapi, malam itu, Herdy memilih untuk mengabaikan suara itu.
Herdy menatap layar ponselnya dengan mata yang sedikit menyipit. Nama “Evelyn” terpampang di sana, diikuti oleh sebuah siluet samar. Tidak ada wajah, hanya bayangan gelap yang terlihat misterius. Profilnya sederhana, tapi bagian yang paling mencolok adalah angka yang tertera: 3 juta longtime, 1 juta short time.
Herdy menelan ludah. Harga yang dipatok Evelyn jelas bukan main-main. Di balik tarif itu, pikirnya, pasti ada sesuatu yang berbeda, lebih berkualitas. Di tengah kebimbangannya, rasa penasaran memuncak. Tangannya sedikit bergetar saat ia mengetik pesan pertama.
“Hi, Evelyn. U available tonight?”
Pesan terkirim. Herdy duduk terpaku, memandangi layar ponselnya. Jantungnya berdetak kencang. Rasanya seperti menunggu sebuah keputusan penting, padahal ini hanyalah sebuah pesan.
Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar pelan. Balasan masuk.
“Ya, available. Mau yang short atau long?”
Kalimatnya singkat, tapi tegas. Herdy merasa detak jantungnya semakin cepat. Ia menatap pesan itu beberapa detik, mempertimbangkan jawabannya. Dalam kepalanya, suara logika berbisik, “Apa yang kau lakukan, Herdy? Ini salah.” Tapi entah kenapa, suaranya terdengar jauh. Seperti gema yang tak terlalu dihiraukannya.
Tangannya kembali bergerak di atas layar.
“Short aja dulu.”
Dia mengirimkan pesan itu tanpa berpikir panjang, seolah-olah menekan tombol itu adalah cara tercepat untuk menenangkan kegelisahannya. Pikirannya berkecamuk—antara rasa bersalah yang mulai muncul dan dorongan kuat untuk melarikan diri dari kenyataan.
Beberapa detik kemudian, balasan masuk lagi.
Pesan terkirim. Layar ponselnya meredup, tapi suasana hatinya semakin gelap. Ia mendesah, tenggelam dalam pikirannya yang berkecamuk. Apakah semua ini benar-benar akan membawanya pada kebahagiaan yang dia cari, atau justru ke dalam jurang yang lebih dalam?
Herdy duduk membungkuk di kursi kerjanya, ponsel di genggamannya terasa semakin berat. Kepalanya dipenuhi rasa was-was dan rasa penasaran yang bercampur aduk. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sebuah "pelarian," sekadar mencari hiburan untuk mengisi kehampaan yang selama ini ia rasakan. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang salah.
"Boleh kirim foto nggak?" tulis Herdy, mencoba bersikap santai meski tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol kirim.
Pesan itu seperti bom waktu di dalam kepalanya. Detik-detik terasa lambat seiring jantungnya yang berdetak makin cepat. Ada ketegangan yang sulit ia jelaskan. Sebagian dari dirinya berharap gadis itu tidak akan mengirimkan apa pun, tapi rasa penasaran yang menguasai pikirannya membuat ia menunggu dengan cemas.
Beberapa detik berlalu. Ponselnya bergetar pelan, notifikasi baru muncul.
Dengan napas yang tertahan, Herdy membuka pesan itu. Ia melihat foto mulai memuat di layar, perlahan muncul satu per satu pikselnya. Pada awalnya, siluet tubuh seorang gadis terlihat samar. Namun, saat gambar itu semakin jelas, matanya membelalak. Wajah gadis itu… ia mengenalnya dengan sangat baik. Jantungnya berdebar dengan keras. Nafasnya memburu saking kagetnya.
Astaga gadis itu adalah Farah. Anak kandung satu-satunya dari kehidupan rumah tangga Herdy dan Ratna istrinya selama 20 tahun. Ini kejutan yang sulit dia terima dengan akal sehatnya.
Bersambung
ns 15.158.61.6da2