Malam itu seperti angin panas yang tiba-tiba menyusup dalam hidupku. Segalanya tampak normal dari luar—aku bangun pagi, pergi bekerja, bertemu rekan-rekan, dan menyelesaikan tugas kantor seperti biasa. Tapi dalam diam, ada yang berubah. Bram, bosku yang dulu kulihat hanya sebagai sosok perfeksionis dan dingin, kini terlihat lebih... rumit. Di balik sikap galaknya, aku bisa merasakan ada sesuatu yang bersembunyi. Sebuah kelemahan yang membuatku berpikir dua kali tentang siapa dia sebenarnya.
Namun, di tengah pemahaman itu, aku tak bisa memungkiri bahwa aku merasa telah melangkah terlalu jauh dari batasan yang seharusnya kujaga. Rasa bersalah itu selalu membayangiku setiap kali aku teringat akan gelas minuman yang kutenggak malam itu, atau cara Bram menatapku seolah-olah dia ingin menelanku dalam dunianya yang kacau.
Hubunganku dengan Bram di kantor tidak banyak berubah secara langsung. Dia tetap seperti biasa—tegas, menuntut, dan kadang terlalu berambisi. Tapi aku tak bisa mengabaikan perubahan kecil yang mulai muncul. Tatapan-tatapannya yang lebih lama dari biasanya. Perhatian-perhatian kecil yang seolah-olah mencoba melangkahi batas profesionalitas. Mungkin aku hanya paranoid, pikirku, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin lama, semakin sulit untuk mengabaikan perasaan itu.
Suatu pagi, ketika aku baru saja tiba di kantor, Bram mendekat dengan senyum yang terlalu lebar untuk pagi hari yang sibuk. "Alisha, ada waktu sebentar? Aku ingin membahas proyek kemarin," katanya dengan nada santai, meskipun matanya tampak lebih tajam dari biasanya.
Aku mengangguk, mengikuti langkahnya menuju ruangannya. Sesampainya di sana, Bram menutup pintu, hal yang jarang dilakukannya ketika hanya membahas pekerjaan. Ruangan itu seketika terasa lebih kecil.
"Proyek kita kemarin berhasil besar," ucapnya, mengambil tempat di kursi kerjanya. "Tapi yang ingin aku bicarakan bukan itu."
Aku menatapnya bingung, berusaha menjaga ekspresi netral. "Lalu, apa yang ingin Anda bicarakan, Pak?"
Dia tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa seperti perangkap. "Kamu tahu, Alisha, aku sudah lama memperhatikan cara kerja kamu. Kamu profesional, berkomitmen, dan bisa diandalkan. Tapi..." dia berhenti sejenak, matanya tidak lepas dari wajahku. "Aku rasa kamu terlalu keras pada diri sendiri. Kamu harus belajar untuk sedikit rileks."
Kata-katanya mengingatkanku pada malam itu di kafe. Sebuah dejavu yang membuat hatiku berdebar tidak nyaman. "Maksud Anda?"
Bram bersandar di kursinya, tangannya bermain-main dengan pulpen. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kalau ada sesuatu yang mengganggu, kamu bisa bicara dengan aku. Jangan segan. Aku bisa jadi lebih dari sekadar bos untukmu."
Deg. Kata-katanya membuatku merasa seperti berada di tepi jurang. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa lebih terkepung. "aku menghargai perhatian Anda, Pak Bram," jawabku dengan hati-hati. "Tapi aku rasa aku sudah cukup nyaman dengan cara kerja aku sekarang."
Dia memiringkan kepalanya sedikit, senyumnya tidak hilang, tetapi ada kilatan di matanya yang membuatku semakin waspada. "Baiklah, tapi tawaran itu selalu terbuka."
Aku berusaha mengakhiri percakapan itu dengan cepat. "Kalau tidak ada yang lain, aku harus kembali ke meja kerja aku."
Bram hanya mengangguk, meski aku bisa merasakan pandangannya tetap mengikuti langkahku sampai pintu tertutup di belakangku.
***
Sejak hari itu, perhatian Bram semakin menjadi. Dia sering mencari-cari alasan untuk memanggilku ke ruangannya, meski sebenarnya tidak ada yang penting untuk dibahas. Kadang dia mengirim pesan singkat setelah jam kerja, menanyakan hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan keesokan harinya. Sesuatu di balik semua ini mulai terasa lebih nyata—sesuatu yang dulu hanya samar-samar dalam pikiranku kini semakin jelas.
Di kantor, aku mulai merasa diawasi. Setiap kali aku bertemu dengannya di lorong atau di ruang meeting, ada tatapan yang berbeda, sebuah perhatian yang terlalu personal. Aku berusaha keras untuk tetap profesional, menjaga jarak, tapi Bram seakan selalu menemukan celah untuk mendekat.
Suatu sore, saat jam kerja hampir berakhir, Bram muncul lagi di mejaku. "Alisha, bisa sebentar? Ada hal penting yang perlu dibicarakan."
Aku menoleh, sedikit enggan. "Sekarang, Pak?"
"Iya, sekarang," jawabnya tanpa menunggu. "Ini tentang klien besar kita yang baru."
Aku berdiri dan mengikuti langkahnya ke ruangannya lagi. Setelah pintu tertutup, dia tidak langsung bicara soal pekerjaan. Sebaliknya, dia duduk dengan santai di kursinya, menatapku dengan tatapan yang membuatku tidak nyaman. "Alisha, kamu sudah kerja keras akhir-akhir ini. Aku rasa kamu butuh istirahat."
Aku mencoba tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak, tapi aku baik-baik saja."
Dia menatapku lebih lama, lalu berkata dengan nada yang lebih pelan, "Aku nggak cuma bicara soal istirahat dari pekerjaan. Kamu butuh waktu untuk dirimu sendiri."
Aku menelan ludah. "Maksud Anda?"
"Aku tahu kamu orang yang bertanggung jawab. Tapi kamu harus belajar untuk menikmati hidup lebih banyak. Seperti malam itu di Kemang. Kamu tahu, sesekali melonggarkan aturan untuk diri sendiri itu nggak apa-apa."
Dadaku terasa sesak. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. "aku pikir lebih baik kita fokus pada pekerjaan, Pak," jawabku tegas, mencoba menutup celah yang terus dia buka.
Bram terdiam, menatapku dengan tatapan tajam. Kemudian dia tersenyum kecil, tapi senyumnya dingin. "Ya, kamu benar. Mungkin kita harus fokus pada pekerjaan."
Aku keluar dari ruangannya dengan perasaan tidak nyaman yang semakin membesar. Ada sesuatu yang tidak sehat dalam cara Bram mendekatiku, dan aku tahu ini tidak akan berakhir baik jika dibiarkan. Satu hal yang pasti, aku harus menjaga jarak sebelum semuanya menjadi lebih rumit.
Perasaan aneh yang menyelinap setiap kali aku berada di dekat Bram semakin sulit untuk diabaikan. Tatapan matanya yang terlalu lama menempel di tubuhku, sentuhan yang tampak tak disengaja namun terlalu sering terjadi, mulai membuatku merasa tidak nyaman. Tapi ada hal yang lebih mengganggu—diriku sendiri. Sisi diriku yang, entah bagaimana, mulai menikmati perhatian itu. Ini bukan hal yang pernah kubayangkan akan terjadi. Aku, Alisha, wanita yang selalu menjaga prinsip, tiba-tiba merasa ada bagian dalam diriku yang menantikan interaksi-interaksi tersebut.
Hari demi hari, situasi di kantor semakin aneh. Bram tidak lagi menyembunyikan tatapan-tatapannya. Setiap kali kami berbicara, aku bisa merasakan matanya menelusuri setiap sudut tubuhku dengan lambat. Seolah-olah diskusi tentang proyek baru atau klien hanya sekadar alasan untuk mendekatkan kami. Aku mencoba mengabaikannya, berusaha fokus pada pekerjaanku, tapi perasaan gelisah itu semakin kuat. Lebih dari itu, perasaan bersalah mulai menggerogoti hatiku.
"Alisha, kamu baik-baik aja?" tanya Desi, salah satu rekan kerja yang duduk di sebelahku suatu hari. Dia menatapku dengan sedikit cemas.
Aku tersentak dari lamunan. "Ya, aku baik-baik aja," jawabku cepat, meski senyumku terasa dipaksakan. Aku tahu Desi memperhatikanku lebih dari biasanya, tapi aku tidak bisa membagi kebingunganku dengan siapa pun. Tidak dengan Desi, tidak dengan Fahri, suamiku.
Suatu hari, Bram memanggilku ke ruangannya lagi. Kali ini suasananya berbeda. Aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang tidak bisa kuabaikan. Dia duduk di kursinya dengan santai, senyum tipis menghiasi bibirnya. "Alisha, bisa duduk sebentar?"
Aku mengangguk, berjalan ke dalam ruangannya. Ketika pintu tertutup, aku merasakan udara di ruangan itu berubah. Bram berdiri dan berjalan mendekat, jaraknya terlalu dekat untuk kenyamanan. "Aku cuma ingin bilang, aku senang punya kamu di tim ini. Kamu... istimewa," katanya pelan, suaranya rendah dan menggoda.
Aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat. "Terima kasih, Pak," jawabku dengan suara bergetar, berusaha menjaga profesionalitas. Namun, detik demi detik yang berlalu terasa seperti jerat yang semakin mengikat.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, tangannya meraih pinggangku dengan lembut namun penuh maksud. "Kamu tahu, Alisha," bisiknya, "aku selalu suka wanita yang kuat dan... penuh semangat seperti kamu."
Duniaku terasa berputar. Ada bagian diriku yang ingin mundur, ingin menolak, ingin berteriak bahwa ini salah. Tapi ada bagian lain, yang lebih gelap, yang diam-diam menikmati sentuhan itu, seolah-olah menantikan momen ini. Hatiku bergejolak di antara batas moral dan keinginan yang tak kumengerti.
"Pak Bram," suaraku nyaris teredam oleh napasku sendiri, "kita nggak bisa kayak gini."
Namun, dia hanya tersenyum, masih tidak melepaskan genggamannya. "Kamu bilang nggak bisa, tapi aku tahu kamu menikmati ini," ucapnya dengan nada yang lebih rendah. Tatapan matanya, tajam dan mendominasi, membuatku merasa semakin terjebak.
Aku harus pergi. Aku harus mengakhiri ini sekarang. Namun, kakiku tidak bergerak, seolah-olah terikat oleh perasaan yang bertentangan di dalam diriku. "aku harus keluar," bisikku, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melepaskan diri dari situasi ini.
Bram melepaskanku perlahan, senyumannya tidak pudar. "Baiklah," katanya dengan nada puas. "Tapi ingat, Alisha, kita punya banyak waktu ke depan."
Aku keluar dari ruangan itu dengan dada sesak. Perasaan bersalah mencengkeram hatiku, namun anehnya, ada sensasi yang tertinggal—sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup, meski dalam bentuk yang tidak kuharapkan.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2