Sesampainya di rumah, Reza duduk di kursi ruang tamu, matanya kosong menatap pemandangan luar jendela. Pikirannya kacau, bertarung antara harapan dan rasa takut yang terus menggerogoti. Dia merasa seperti berada di persimpangan yang tak jelas arah tujuannya.
Reza merasa terjebak dalam waktu yang tak terhingga. Sehari demi sehari, dia mengamati Laras tanpa bisa mendekat. Dia tahu, jika terus seperti ini, dia akan kehilangan kesempatan. Tetapi ada ketakutan yang menyelimuti dirinya—seandainya dia tetap berada di masa lalu lebih lama lagi, apakah itu berarti dia akan terjebak selamanya dalam lingkaran yang sama?
“Seberapa lama aku bisa seperti ini?” gumamnya pada dirinya sendiri, mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. “Apakah aku benar-benar bisa mengubah takdir kami? Atau akankah aku kembali ke masa depan, kembali ke kehidupan yang penuh penyesalan itu?”
Reza merasa kebingungannya semakin dalam. Setiap detik yang berlalu, rasa takut semakin besar. Jika dia tidak berhasil mengubah masa lalu, apakah dia akan terus terjebak di sini? Apakah dia hanya akan menjadi pengamat dalam hidup Laras, melihatnya dari jauh tanpa bisa berbuat apa-apa?
Di satu sisi, Reza merasa bahwa masa depan mereka masih bisa diperbaiki. Dengan segala pengetahuan yang dia bawa dari masa depan, dia percaya bahwa dia punya kesempatan untuk memberikan Laras kebahagiaan yang pantas dia dapatkan. Namun, di sisi lain, dia juga merasa cemas—tak tahu sampai kapan dia bisa bertahan di masa lalu ini tanpa benar-benar kehilangan segalanya.
“Aku harus membuat pilihan,” pikirnya. “Aku harus memutuskan apakah aku akan memperbaiki semuanya di sini, atau aku akan kembali ke masa depan dan hidup dengan penyesalan selamanya.”
Malam itu, Reza tak bisa tidur. Pikiran dan perasaan yang bertentangan terus mengisi ruang kepalanya. Dia merasa seolah-olah dia berdiri di ujung jurang, hanya ada satu langkah lagi yang bisa menentukan segalanya. Apakah dia akan memilih untuk tetap di masa lalu dan memperbaiki segalanya, atau kembali ke masa depan dengan membawa semua kekeliruan yang telah terjadi?
Setiap pilihan terasa penuh dengan ketidakpastian. Tetapi satu hal yang dia tahu pasti—dia tidak akan menyerah begitu saja. Karena entah berapa lama waktu yang dimilikinya di masa lalu, dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu.
Hari-hari yang dilalui Reza penuh dengan kebingungan dan keputusasaan. Setelah berhari-hari hanya mengamati Laras dari kejauhan tanpa adanya kemajuan, Reza merasa seolah-olah waktunya hampir habis. Dia tak bisa terus-menerus bersembunyi dalam bayang-bayang masa lalu. Sesuatu harus berubah, dan dia tahu, dia harus berani mencoba lagi.
Hari itu, dia memutuskan untuk mendekati Laras dengan cara yang berbeda. Lebih kalem, lebih tidak mencolok. Reza berjalan ke kafe tempat Laras bekerja, dan kali ini, dia sengaja memesan kopi yang telah menjadi kebiasaannya. Begitu sampai di depan kasir, dia melihat Laras sedang menyusun beberapa cangkir di belakang meja. Reza menyembunyikan keraguan di balik senyumnya, mencoba untuk tidak membuat Laras merasa tertekan.
Laras menatapnya dengan tatapan datar, seolah-olah dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Begitu Reza menerima kopinya dan berbalik untuk pergi, suara Laras menghentikannya.
“Kamu ngikutin aku?” suara Laras terdengar dingin, namun ada sedikit nada tajam yang meluncur begitu saja dari bibirnya.
Reza berhenti sejenak, merasakan sedikit kegugupan. Namun, dia segera tersenyum dan menjawab dengan tenang.
“Tidak, kok. Kebetulan saja kamu yang jadi barista di sini,” jawabnya, berusaha membuatnya terdengar seolah-olah itu semua hanya kebetulan belaka.
Laras hanya mengangkat bahu dan melanjutkan pekerjaannya, meskipun tidak berkata apa-apa lagi. Reza menghela napas pelan, merasa sedikit lega meskipun Laras tidak menunjukkan ekspresi tertarik sama sekali.
Reza mencoba untuk memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf. “Aku minta maaf soal kemarin, aku maksa banget untuk cerita yang… mungkin terdengar nggak masuk akal buat kamu.”
Laras hanya mengangguk tanpa menatapnya, seolah mengiyakan begitu saja. “Iya,” jawabnya datar, tanpa emosi.
Reza merasa perasaan yang semula membuncah kini mulai mendingin. Tapi dia tak menyerah. Dia tetap berharap, meskipun kecil kemungkinannya, bahwa Laras akan penasaran dan akhirnya membuka diri. Dia memandang Laras, yang tampak sibuk dengan pekerjaannya, dan teringat kembali akan masa-masa pertama kali mereka bertemu. Bagaimana dia berusaha keras untuk mendapatkan perhatian Laras yang saat itu sama sekali tak melihatnya. Tidak mudah untuk menarik perhatian Laras, dan Reza tahu sekarang bahwa tidak ada jalan pintas. Segalanya membutuhkan waktu.
Selama beberapa hari berturut-turut, Reza terus datang ke kafe tersebut. Setiap kali datang, dia membeli kopi yang sama, dan setiap kali, dia hanya berbicara basa-basi dengan Laras, mencoba untuk menunjukkan bahwa dia tidak berusaha mengganggu. Namun, Laras tetap tidak menanggapi dengan lebih dari sekadar kata-kata yang sangat minim. Bahkan, dia lebih sering mengalihkan pandangannya, seperti menghindar dari Reza.
Reza merasa lelah, tapi dia tak ingin berhenti. Sampai akhirnya, satu hari, dia memutuskan untuk absen. Dia tidak datang ke kafe tempat Laras bekerja, meskipun dia tetap mengamati dari jauh. Pagi itu, dia memilih untuk tetap di rumah, menatap layar ponselnya tanpa benar-benar melihatnya. Dia hanya duduk dan memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa membuat Laras memperhatikan dirinya tanpa harus terlihat memaksa.
Dari jauh, dia melihat Laras, yang tampaknya tidak terlalu memperhatikannya. Laras tetap sibuk dengan rutinitas hariannya, seolah-olah hidupnya tidak bergantung pada kehadiran Reza. Namun, ada perasaan aneh yang mulai menggerogoti hati Reza. Apakah dengan absen satu hari ini, dia telah kehilangan kesempatan?
Laras, yang tampaknya tidak terpengaruh dengan ketidakhadiran Reza, melanjutkan hidupnya. Namun, Reza tetap merasa cemas—apakah dia bisa benar-benar mengubah takdir mereka, atau apakah dia akan terus berada dalam ketidakpastian ini, berlarut-larut tanpa ada jawaban yang pasti?
Pagi itu, Reza kembali ke kafe tempat Laras bekerja dengan perasaan yang campur aduk. Dia tahu, dia harus hati-hati. Setelah beberapa hari mengamati dari jauh, hari ini adalah kesempatan untuk mendekati Laras lagi, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Dia harus memulai percakapan secara alami, tanpa terlalu memaksa. Tanpa ragu, Reza melangkah masuk ke dalam kafe dan menuju meja kasir, tempat Laras sedang berdiri dengan ekspresi biasa.
Saat Reza memesan kopi, Laras menatapnya sejenak, kemudian membuka mulut dengan pertanyaan yang membuat Reza terkejut.
“Tumben semalam nggak ada?” suara Laras terdengar netral, tapi ada nada penasaran di sana.
Kata-kata itu bagaikan lampu kuning yang menyala di kepala Reza. Itu adalah kesempatan yang dia tunggu-tunggu, tanda bahwa Laras mulai memperhatikan dirinya, bahkan hanya dengan sedikit perbedaan dalam rutinitas mereka. Reza merasa ada peluang untuk mendekati Laras, meskipun ia tahu masih harus berhati-hati.
Namun, dia menahan diri. Dia tahu, apapun yang dia lakukan saat ini harus dengan langkah yang hati-hati agar tidak membuat Laras merasa terganggu atau terpojok. Reza tersenyum kecil, berusaha untuk tidak terlihat terlalu bersemangat.
“Ada kerjaan yang padat kemarin, jadi agak terlambat. Hari ini baru sempat mampir,” jawab Reza santai, tanpa menambahkan apapun yang bisa memancing pembicaraan lebih lanjut.
Laras hanya mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa memberikan tanggapan lebih. Reza, yang semula berharap Laras akan lebih menanggapi, memutuskan untuk duduk dan menikmati kopinya, meski hatinya berdebar-debar. Tidak ada percakapan besar, hanya kata-kata singkat dan hambar, namun bagi Reza, itu adalah awal yang sangat berarti.
Sejak hari itu, percakapan singkat yang hampir tidak berpengaruh mulai terjadi. Laras sesekali berbicara padanya, meski hanya sekadar menanyakan bagaimana kopinya atau menyapa dengan kalimat ringan. Reza merasa seolah-olah dia mendapat kesempatan untuk lebih dekat, meskipun langkah-langkah kecil itu lebih seperti percakapan biasa antara dua orang asing.
Tapi bagi Reza, setiap kata yang keluar dari mulut Laras adalah sebuah hadiah. Dia merasa antusias setiap kali mereka bertemu, meskipun tidak banyak yang bisa dia katakan. Yang penting, Laras mulai membuka sedikit ruang untuknya. Setiap senyuman kecil dari Laras, setiap tatapan sekilas, membuat Reza merasa lebih dekat dengan tujuannya, meskipun jalan menuju itu masih panjang dan penuh tantangan.
Laras, meski tidak terlalu terbuka, mulai memperhatikannya. Tidak ada perasaan yang terangterangan muncul, tetapi Reza merasakan sedikit perubahan. Hati Reza semakin yakin bahwa dia berada di jalur yang benar, dan sedikit demi sedikit, percakapan kosong itu bisa menjadi sebuah kesempatan besar yang selama ini dia nantikan.
Namun, meskipun dia merasa antusias, Reza juga tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Dia harus sabar, harus lebih hati-hati, dan yang paling penting—dia tidak bisa terburu-buru. Setiap langkahnya harus penuh dengan pertimbangan, agar tidak kehilangan kesempatan yang sudah dia dapatkan dengan susah payah.
Hari itu, percakapan antara Reza dan Laras semakin intens, namun tetap ringan. Tidak ada topik berat, hanya godaan-godaan kecil yang membuat Reza semakin terpukau dengan senyuman Laras. Setiap kali Laras tersenyum, seakan dunia berhenti berputar, dan Reza merasa seolah-olah dia sedang memenangkan sesuatu yang besar. Setiap obrolan mereka terasa seperti permainan halus yang membiarkan Reza menikmati setiap detik kedekatan ini, meskipun dia tahu, pada akhirnya, ini adalah langkah-langkah kecil untuk mendapatkan kepercayaan Laras.
Seiring berjalannya waktu, Reza mulai menanyakan lebih banyak tentang kehidupan Laras. Dia penasaran apakah Laras menikmati pekerjaannya sebagai barista. “Senang nggak kerja di sini? Gimana rasanya?” tanya Reza pada suatu sore.
Laras mengangkat bahu, menyatakan bahwa pekerjaan itu sudah menjadi rutinitas baginya, namun tidak mengeluh. “Lumayanlah. Nggak terlalu buruk, tapi aku masih pengen banget nyelesain kuliah dulu,” jawab Laras, sambil mencuri pandang pada Reza.
Namun, seiring berjalannya waktu, Laras semakin merasa aneh dengan kehadiran Reza yang sering muncul tanpa alasan jelas. Reza memang memperhatikan setiap detail kehidupan Laras, membuatnya sedikit khawatir, namun hal itu lebih terlihat sebagai ketertarikan biasa. Tapi, meski begitu, ada sesuatu yang membuat Laras merasa bahwa ada yang lebih dari sekadar ketertarikan biasa.
Hingga suatu hari, saat mereka sedang berbincang seperti biasa, tiba-tiba Laras berhenti sejenak, menatap Reza dengan tatapan tajam. “Sebenarnya kamu ini siapa?” pertanyaan itu terlontar begitu saja, membuat Reza terkejut.
Reza sempat terdiam sejenak, mencerna pertanyaan itu, dan mencoba merespons dengan santai. “Ya aku Reza, emang siapa?” jawabnya sambil tersenyum ringan, berharap bisa meredakan ketegangan yang muncul.
Namun Laras tampak tidak puas dengan jawaban itu. “Bukan… Aku tetap merasa aneh sama kamu yang datang ke aku dengan hal-hal yang nggak bisa aku ngerti,” ujar Laras, suara sedikit bingung namun tegas.
Reza bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Laras seperti mulai merasa bahwa ada yang aneh, ada yang hilang dalam gambaran dirinya tentang Reza. Seperti ada kenangan yang tertinggal, tapi tak bisa ia ingat dengan jelas. “Kapan aku pernah ketemu sama kamu?” Laras bertanya lagi, tapi lebih seperti sebuah pertanyaan yang melayang di udara, tanpa harapan akan jawaban yang pasti.
Di dalam hati, Reza panik. Dia tahu ini adalah momen yang bisa mengubah segalanya. Reza merasa ada garis tipis antara mengungkapkan kebenaran dan menjaga semuanya tetap seperti ini. Haruskan dia memberitahukan Laras bahwa dia berasal dari masa depan? Atau, apakah dia harus tetap diam dan menjaga rahasia ini lebih lama lagi? Sebuah pilihan yang sangat berat.
Dengan segala hati-hati, Reza memilih untuk tidak menjawab dengan jujur tentang masa depannya. Dia tidak ingin membuat Laras semakin bingung atau merasa terganggu. “Aku cuma… penasaran. Aku ingin lebih dekat denganmu. Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu,” jawab Reza, mencoba terdengar lebih ringan, meskipun hatinya berdebar-debar.
Laras hanya terdiam mendengar penjelasan Reza, menilai kata-kata itu sebagai sebuah pernyataan biasa dari seorang pria yang tertarik pada wanita. Dia menganggap Reza hanya seorang pria biasa yang mencari perhatian dari seorang wanita, seperti yang sering terjadi dalam hidupnya.
Namun di dalam hati, Laras tetap merasa ada yang tak beres. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, tapi dia tidak bisa mengungkapkan rasa ganjil itu. Sebuah perasaan aneh yang datang dan pergi tanpa bisa ia jelaskan.
Reza, yang sekarang lebih sabar, menunggu dengan hati-hati, berharap bahwa waktu akan memberikan jawabannya. Namun, setiap detik yang berlalu, Reza semakin bingung. Apakah ini jalan yang benar? Akankah dia berhasil mendapatkan kepercayaan Laras, atau justru semakin menjauhkan dirinya dari wanita yang sudah mengisi hatinya begitu dalam?
ns 15.158.61.44da2