Reza adalah pria mapan berusia 39 tahun yang hidup di tengah gemerlap dunia keluarga terpandang. Namanya dihormati di lingkaran bisnis, pernikahannya dengan Vina dipandang sempurna oleh semua orang, dan hidupnya tampak seperti buku dongeng yang tidak bercacat. Tapi di balik itu semua, hatinya terbelah dua—dan retak di sisi Laras.
Laras adalah gadis sederhana, jauh berbeda dari dunia Reza yang penuh formalitas. Usianya baru 28 tahun, sebelas tahun lebih muda darinya. Laras tidak pernah ingin mengganggu apa yang sudah lama dibangun oleh Reza. Ia menolak masuk ke dunia pria itu, dunia yang menurutnya terlalu besar, terlalu rumit, dan terlalu jauh dari jangkauannya.
Reza duduk di bangku taman yang sepi, hujan rintik-rintik menetes dari langit kelabu. Di hadapannya, Laras berdiri dengan tubuh gemetar, bukan karena dingin, tapi karena hati yang sudah terlalu penuh oleh luka yang ia tahan. Ia menatap Reza dengan mata merah, air mata mengalir di pipinya.
“Reza,” suaranya pecah, tapi ia mencoba tetap tegas. “Aku gak bisa terus kayak gini. Aku berhak punya cinta sendiri. Aku berhak untuk gak berdiri di bayang-bayang hubungan lain.”
Reza terdiam. Kata-kata Laras seperti pisau yang menancap dalam di dadanya.
“Kenapa kamu gak fokus aja sama keluargamu?” lanjut Laras, air mata semakin deras. “Kenapa kamu gak biarin aku menjalani hidup aku sendiri? Hidup yang seharusnya, yang pantas aku punya? Mau sampai kapan kamu seperti ini?”
Reza tidak bisa menjawab. Ia tahu Laras benar. Vina adalah istrinya—pilihannya dulu, wanita yang keluarganya anggap sebagai pasangan sempurna. Tapi di hadapan Laras, perasaan itu memudar. Bersama Laras, Reza menemukan dirinya yang selama ini hilang.
“Aku gak bisa biarin kamu sendiri, Laras,” suaranya lirih, hampir seperti bisikan. “Rasa aku ke kamu… terlalu besar.”
Laras menggeleng pelan, tapi Reza melanjutkan.
“Kalau aku bisa kembali ke masa lalu, aku bakal cari kamu,” ucap Reza, matanya penuh luka. “Aku bakal cari kamu sebelum semua ini terjadi, sebelum aku salah memilih jalan. Kalau ada kehidupan lain nanti, setelah kematian, aku bakal cari kamu di sana”
Laras terisak, tapi ia tidak mendekat. Ia tahu apa yang di ucapkan Reza itu tulus, tapi ia juga tahu bahwa hubungan mereka adalah hubungan yang salah. Ia hanya bisa melangkah mundur, sedikit demi sedikit, sebelum berbalik dan pergi meninggalkan Reza di tengah taman yang sepi.
Reza tidak mengejarnya. Ia hanya duduk di sana, membiarkan hujan membasahi dirinya, dan perlahan menutup matanya dengan sebuah doa.
“Kalau aku bisa kembali… aku tidak akan membuatnya pergi lagi.”
Reza membuka matanya perlahan. Hembusan angin dari jendela kamar membelai wajahnya, membawa aroma pagi yang terasa asing. Ia mengerutkan kening, menatap langit-langit kamar yang berbeda dari biasanya.
Ini bukan apartemennya. Tidak ada dinding putih bersih, tidak ada rak buku mahal, tidak ada foto pernikahannya dengan Vina yang biasanya menggantung di dinding. Sebaliknya, kamar ini kecil, dengan dinding berwarna pudar yang penuh dengan poster-poster lama.
Reza duduk di tepi ranjang, bingung. Ia menoleh ke meja kecil di sebelahnya dan melihat sebuah ponsel flip Nokia berwarna hitam. Tangannya otomatis meraih ponsel itu, membukanya, dan terdiam sejenak.
“Ini… apa?” gumamnya.
Ponsel itu menampilkan layar kecil dengan wallpaper standar dan menu sederhana khas tahun 2010. Reza menatapnya dengan bingung, hingga ia mendengar ketukan pintu dan suara ibunya yang sangat familiar.
“Reza, bangun, nak! Katanya kamu ada meeting, mama udah siapin sarapan tu, sarapan dulu sebelum pergi ya.”
Reza tersentak. Suara itu membawa ingatan yang begitu jauh—ibunya yang sudah meninggal lima tahun lalu. Ia melompat dari tempat tidur dan mendekati cermin kecil di sudut kamar. Yang ia lihat bukan pria berusia 39 tahun dengan rambut mulai memutih, tetapi seorang pria muda, wajahnya segar tanpa tanda-tanda usia yang menua.
Jantungnya berdegup kencang. Ia bergegas ke meja di sudut lain kamar, di mana kalender dinding menggantung. Matanya terpaku pada angka di kalender itu.
“2010…” bisiknya, suaranya tercekat.
Butuh beberapa saat bagi Reza untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Doanya tadi malam—permintaannya untuk kembali ke masa lalu—telah terkabul. Ia benar-benar berada di masa ketika semuanya belum terjadi, sebelum ia menikah dengan Vina, sebelum ia kehilangan Laras.
Laras.
Nama itu menggema di pikirannya, membuat dadanya sesak. Laras masih ada di sini, di masa ini. Ia masih kuliah, masih menjadi gadis yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Reza tahu ia tidak bisa menunggu. Ia harus menemukan Laras. Dengan langkah cepat, ia keluar dari kamar, mengabaikan sarapan yang dipanggilkan ibunya, dan langsung menuju kampus tempat Laras belajar.
Hari itu, Reza menghabiskan waktu berjam-jam mencari Laras. Ia berkeliling fakultas, bertanya pada beberapa mahasiswa, hingga akhirnya melihat sosok yang begitu ia rindukan. Laras duduk di taman kampus, membaca buku dengan tenang. Wajahnya polos, penuh semangat muda, belum ternodai oleh luka yang pernah mereka bagi di masa depan.
Reza tidak bisa menahan diri. Ia melangkah cepat ke arahnya, lalu tanpa sadar menarik Laras ke dalam pelukannya.
“Akhirnya…” bisiknya, suaranya pecah oleh emosi. “Akhirnya aku menemukan kamu…”
Laras terkejut. Ia meronta, mencoba melepaskan diri. “Hei! Siapa kamu? Lepas! Lepas aku!”
Namun, Reza tidak melepaskannya. Ia memeluk Laras lebih erat, hingga air mata yang tak tertahan mulai membasahi pundak gadis itu. Laras terdiam, tubuhnya menegang, tapi ia perlahan merasakan getaran di tubuh pria itu. Tangis yang tak bisa ia mengerti.
Laras hanya terpaku dan tidak lagi merespon apapun dari pelukan reza.
Reza akhirnya melepaskan pelukannya, meskipun tangannya masih menggenggam lengan Laras, seolah takut kehilangan lagi. Ia menatap Laras dengan mata sembab, senyum kecil terbentuk di bibirnya.
“Kamu, gak kenal aku,” ucapnya, suaranya berat. “Tapi aku kenal kamu, Laras. Dan aku janji… aku gak akan pernah membiarkan kamu pergi lagi.”
Laras menatapnya dengan bingung, rasa takut masih membayang. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya—sesuatu yang tidak ia mengerti—yang membuatnya tidak langsung pergi.
“Reza,” bisik pria itu, memperkenalkan dirinya. “Namaku Reza.”
Laras hanya terdiam, mencoba memahami situasi aneh yang tiba-tiba terjadi di hidupnya. Tapi Reza tahu, ini adalah awal dari perjuangannya untuk memperbaiki segalanya—sekalipun takdir mungkin menuntut harga yang sangat besar.
Reza kembali ke kamarnya dengan tubuh lelah, tetapi pikirannya masih penuh oleh Laras. Ia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana caranya mendekati gadis itu tanpa membuatnya ketakutan. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia bukan orang aneh atau penguntit, melainkan Reza—Reza dari masa depan, yang datang ke sini untuk memperbaiki segalanya?
Namun, ada satu ketakutan yang lebih besar menghantui pikirannya. Apa yang akan terjadi jika ia tertidur? Apakah ia akan bangun dan mendapati dirinya kembali ke masa depan, di mana Laras sudah tidak lagi ada dalam hidupnya?
Reza memutuskan untuk berjaga. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding kamar, mencoba melawan kantuk yang menyerang.
“Aku gak akan tidur,” gumamnya, meyakinkan dirinya sendiri. “Aku gak mau kehilangan kesempatan ini.”
Namun, tubuhnya tidak bisa bertahan lama. Rasa lelah perlahan menguasai dirinya, dan tanpa sadar, ia terlelap.
Ketika Reza membuka matanya lagi, ia merasa jantungnya mencelos. Ia mendapati dirinya masih di kamar kecil itu, dengan poster-poster yang sama di dinding dan ponsel lama di atas meja.
Ia menghela napas lega, senyum tipis terukir di wajahnya.
“Masih di sini…” bisiknya.
ns 15.158.61.45da2