Hanya butuh beberapa hari setelah pertemuan pertama mereka di kafe, Nadia dan Arka mulai sering bertemu. Proyek desain yang sedang Nadia kerjakan membutuhkan tambahan sentuhan artistik untuk mural di dinding restoran kliennya. Arka, dengan keahlian melukisnya, adalah pilihan yang tepat. Meski awalnya ragu untuk meminta bantuan, Nadia akhirnya menghubungi Arka dan memintanya bekerja sama.
Sore itu, mereka memutuskan untuk bertemu di studio Arka. Tempat itu jauh dari kesan mewah. Studio kecil di lantai dua sebuah ruko tua, dengan jendela besar yang menghadap ke jalanan ramai Jakarta. Dinding studionya penuh dengan lukisan berbagai ukuran. Ada yang menggambarkan pemandangan alam, wajah manusia, hingga abstraksi yang sulit dipahami.
"Tempat ini... sangat berbeda," komentar Nadia saat memasuki studio. "Tapi entah kenapa, terasa hidup."
Arka tersenyum kecil sambil menyiapkan kanvas di sudut ruangan. "Studio ini adalah rumah kedua saya. Tempat saya lari dari dunia luar."
Nadia berjalan mendekati salah satu lukisan di dinding. Sebuah gambar seorang anak kecil memegang layangan, berdiri di tengah badai yang mengamuk. Ekspresi wajah anak itu sulit dibaca—antara takut dan penuh harap.
"Kamu melukis ini?" tanyanya, suaranya pelan.
Arka mengangguk. Ia terlihat ragu sejenak sebelum menjawab, "Itu adik saya. Namanya Dio. Dia meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan."
Nadia menatap Arka, terkejut mendengar cerita itu. "Aku... maaf. Itu pasti berat buat kamu."
Arka tertawa kecil, tetapi tawanya pahit. "Ya. Saya yang waktu itu mengajaknya pergi bermain layangan. Saya nggak tahu kalau hari itu akan berakhir seperti itu."
Ada keheningan panjang di antara mereka. Arka melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Saya melukis ini untuk mengingat dia. Tapi juga sebagai cara saya meminta maaf. Setiap sapuan kuas adalah pengakuan dosa saya."
Mendengar itu, Nadia merasa hatinya mencubit. Ia tahu rasa bersalah yang terus menghantui, meski alasannya berbeda. Luka di hatinya sendiri masih segar. Hubungannya dengan Reza, mantan kekasihnya, berakhir dengan pengkhianatan yang menyakitkan. Nadia mencurahkan segalanya untuk hubungan itu—waktunya, mimpinya, bahkan kepercayaannya—hanya untuk menemukan bahwa Reza memiliki hubungan lain di belakangnya.
"Rasanya seperti hidup di bayang-bayang masa lalu, ya?" Nadia berkata, setengah kepada dirinya sendiri.
Arka menatapnya, seolah mencoba membaca makna di balik kata-kata itu. "Kamu juga punya sesuatu yang ingin kamu lupakan?"
Nadia tersenyum tipis. "Mungkin. Tapi sepertinya nggak semudah itu melupakan sesuatu yang sudah meninggalkan bekas."
Hari itu, di studio kecil yang penuh dengan aroma cat dan kanvas, mereka mulai membuka hati. Meskipun tidak banyak yang diucapkan, ada rasa saling memahami yang perlahan tumbuh di antara mereka.
ns 15.158.61.46da2