Sejak pertemuannya dengan Reza, hidup Nadia terasa lebih ringan. Ia merasa telah menutup bab itu sepenuhnya. Meski hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia kini lebih fokus pada pekerjaannya dan, secara tak sadar, pada persahabatannya dengan Arka yang semakin mendalam.
Di hari peresmian restoran, suasana penuh antusiasme. Mural Arka menjadi sorotan utama, dan banyak tamu memuji karya itu sebagai "jiwa" dari tempat tersebut. Nadia, yang selama ini bekerja keras memastikan semua berjalan lancar, terlihat bersinar malam itu. Ia memakai gaun biru muda yang sederhana namun anggun, membuat Arka tak bisa mengalihkan pandangannya.
"Kamu luar biasa malam ini," kata Arka ketika mereka bertemu di dekat mural.
Nadia tersenyum. "Terima kasih. Tapi ini juga karena kamu. Kalau mural ini nggak ada, mungkin restoran ini nggak akan seistimewa ini."
Mereka tertawa kecil, tetapi momen itu terputus ketika seseorang tiba-tiba mendekati mereka. Itu Reza, dengan ekspresi serius di wajahnya.
"Nadia, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya.
Nadia menghela napas, merasa tak percaya Reza kembali muncul di saat yang tidak tepat. "Reza, aku pikir kita sudah selesai."
"Tolong, ini penting," katanya dengan nada memohon.
Arka, yang merasa situasinya canggung, memutuskan untuk memberi mereka ruang. Namun, sebelum ia melangkah pergi, Reza menatapnya tajam. "Tunggu dulu," katanya. "Kamu pasti Arka, kan? Pelukis mural ini?"
Arka mengangguk pelan. "Iya, benar."
Reza tersenyum samar, tetapi ada ketegangan di matanya. "Terima kasih sudah membantu Nadia. Tapi aku rasa ini saatnya aku dan dia menyelesaikan urusan kami."
Nadia segera menyela, merasa kesal dengan sikap Reza. "Reza, cukup! Kamu nggak punya hak untuk mengatur siapa yang ada di hidupku sekarang."
Reza menatap Nadia, wajahnya berubah muram. "Kamu benar-benar sudah melupakan aku, ya? Bahkan setelah semua yang kita lalui?"
Nadia tidak menjawab. Matanya menatap tajam ke arah Reza, penuh tekad.
Namun, sebelum percakapan itu berakhir, sebuah suara keras dari dekat pintu masuk membuat semua orang terdiam. Beberapa pria berseragam polisi masuk ke dalam restoran, diikuti oleh seorang pria berjas rapi yang tampak seperti petugas hukum.
"Maaf mengganggu acara ini," kata pria itu dengan suara lantang. "Kami mencari Tuan Reza. Kami memiliki surat perintah penangkapan atas dugaan penipuan dan penggelapan dana."
Seluruh ruangan membeku. Semua mata tertuju pada Reza, yang wajahnya berubah pucat pasi.
"Ini pasti salah paham," kata Reza gugup, melangkah mundur.
Namun, petugas tidak memberi waktu baginya untuk beralasan. Mereka segera memborgol tangannya dan membacakan hak-haknya di depan semua orang.
Nadia menatap adegan itu dengan campuran keterkejutan dan rasa lega. Meski ia tidak pernah berharap hal buruk terjadi pada Reza, ia merasa ini adalah karma yang akhirnya datang untuknya.
Setelah Reza dibawa pergi, suasana restoran berubah canggung. Banyak tamu mulai berbisik-bisik, dan Nadia merasa semua mata tertuju padanya. Namun, sebelum ia tenggelam dalam rasa malu, Arka datang dan berdiri di sampingnya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Arka pelan.
Nadia mengangguk, meski matanya berkaca-kaca. "Aku nggak tahu harus merasa apa sekarang. Tapi aku rasa... aku lega."
Arka menatapnya dengan penuh pengertian. "Kamu berhak merasa seperti itu. Dia bagian dari masa lalu. Dan masa lalu itu akhirnya selesai."
---
Beberapa minggu kemudian, setelah drama malam itu berlalu, Nadia dan Arka bertemu lagi di kafe favorit mereka. Mereka berbicara tentang banyak hal—kehidupan, mimpi, dan rencana masa depan. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu.
"Aku harus jujur sama kamu," kata Arka tiba-tiba, menghentikan pembicaraan ringan mereka.
Nadia menatapnya, sedikit terkejut. "Kenapa tiba-tiba serius?"
Arka menghela napas, lalu menatap matanya dalam-dalam. "Selama ini, aku selalu berpikir aku hanya akan jadi teman buat kamu. Tapi semakin lama aku kenal kamu, semakin aku sadar... aku ingin jadi lebih dari itu."
Nadia terdiam, merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
"Aku tahu kamu masih menyembuhkan dirimu dari luka masa lalu. Dan aku nggak mau memaksakan apa-apa," lanjut Arka. "Tapi aku ingin kamu tahu, aku ada di sini. Kalau kamu siap, aku akan selalu menunggumu."
Mata Nadia mulai basah, tetapi senyum lembut muncul di wajahnya. Ia merasa hati yang selama ini ia tutup rapat mulai membuka diri lagi.
"Aku nggak tahu apakah aku sudah benar-benar siap," katanya pelan. "Tapi aku ingin mencoba. Dengan kamu."
Arka tersenyum, dan untuk pertama kalinya, Nadia merasa dirinya benar-benar lepas dari bayang-bayang masa lalu. Bersama Arka, ia merasa menemukan bab baru yang penuh harapan dan cinta.
Epilog
Beberapa bulan kemudian, mural lain muncul di sudut kota, dibuat oleh Arka. Gambar itu menggambarkan dua pohon yang saling berdekatan, cabang-cabangnya terjalin satu sama lain, melambangkan perjalanan dua hati yang akhirnya bertemu di persimpangan takdir. Di bawah pohon itu, ada tulisan kecil: "Ketika dua dunia bertemu, cinta akan selalu menemukan jalannya."