Satu bulan berlalu sejak Arka dan Nadia mulai bekerja bersama untuk proyek restoran. Selama itu, hubungan mereka berkembang dari sekadar rekan kerja menjadi teman yang saling berbagi cerita. Setiap kali mereka bertemu di kafe atau studio, percakapan mereka sering kali menyimpang dari desain dan mural, menyentuh topik kehidupan, mimpi, dan luka yang mereka sembunyikan dari dunia luar.
Hari itu, mereka bertemu di lokasi proyek. Restoran yang sedang direnovasi itu hampir selesai, dan mural Arka menjadi elemen utama yang menarik perhatian. Gambar pohon besar dengan cabang-cabangnya yang penuh warna menghiasi dinding utama, melambangkan kehidupan yang penuh cabang pilihan dan tantangan.
"Kamu benar-benar berbakat," kata Nadia sambil mengamati mural itu. "Kamu bisa mengubah dinding kosong menjadi sesuatu yang punya jiwa."
Arka menyeka keringat dari dahinya dan menatap hasil karyanya dengan bangga. "Terima kasih. Tapi jujur saja, ide ini datang dari percakapan kita waktu itu, tentang bagaimana hidup sering membawa kita ke persimpangan yang nggak kita duga."
Nadia tersenyum kecil, merasa tersentuh. "Aku nggak menyangka cerita kecil kita bisa jadi inspirasi sebesar ini."
Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, sebuah suara familiar memecah suasana.
"Nadia?"
Nadia berbalik, dan tubuhnya langsung tegang. Di depan pintu masuk, berdiri Reza—mantan kekasih yang telah menghancurkan hatinya. Dengan jas rapi dan senyum percaya diri, Reza melangkah mendekat.
"Aku nggak nyangka akan bertemu kamu di sini," kata Reza dengan nada ramah, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Nadia merasa dadanya sesak. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dingin.
Reza mengangkat alis, tampak sedikit terkejut dengan sikapnya. "Aku yang punya restoran ini. Aku yang mempekerjakan tim renovasi. Tapi aku nggak tahu kalau kamu bagian dari proyek ini."
Nadia terdiam, mencoba memproses informasi itu. Ia merasa dirinya telah terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia inginkan.
Arka, yang berdiri beberapa langkah di belakang Nadia, memperhatikan interaksi itu dengan saksama. Ia bisa merasakan ketegangan di udara, meski tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Jadi, kamu yang mengurus mural ini?" tanya Reza sambil melirik Arka.
Arka mengangguk singkat. "Ya. Saya hanya bagian kecil dari proyek ini. Nadia yang memimpin."
Reza tersenyum tipis, lalu menatap Nadia. "Kamu selalu punya bakat untuk membuat sesuatu menjadi indah. Aku senang kamu akhirnya bisa mengerjakan sesuatu yang besar seperti ini."
Nada suara Reza yang memuji justru membuat Nadia semakin muak. Ia mengingat semua janji manis yang pernah Reza ucapkan, semua harapan yang ia hancurkan tanpa penyesalan.
"Aku punya banyak pekerjaan. Kalau kamu nggak keberatan, aku harus kembali," ucap Nadia, mencoba mengakhiri percakapan.
Reza mengangguk, tetapi sebelum pergi, ia menambahkan, "Nadia, kita harus bicara. Banyak hal yang belum selesai antara kita."
Nadia tidak menjawab. Ia berbalik, menuju ke mural, dan pura-pura sibuk memeriksa detailnya.
Setelah Reza pergi, Arka mendekat. "Itu dia, ya?" tanyanya pelan.
Nadia menoleh, terkejut. "Kamu tahu?"
Arka mengangguk. "Kamu pernah menyebut namanya waktu kita ngobrol di studio. Cara kamu menatap dia tadi... aku bisa tahu dia adalah bagian dari masa lalu yang ingin kamu lupakan."
Nadia tertawa kecil, tetapi suaranya getir. "Dia bukan cuma bagian dari masa lalu. Dia adalah luka yang aku coba sembuhkan sampai sekarang."
Arka tidak berkata apa-apa. Sebagai seseorang yang juga hidup dengan bayang-bayang masa lalu, ia tahu bahwa kata-kata simpati sering kali tidak membantu. Sebagai gantinya, ia hanya berdiri di sana, memberikan kehadiran yang menenangkan.
Hari itu, Nadia menyadari bahwa hidupnya berada di persimpangan baru. Ia harus memilih: apakah ia akan menghadapi Reza dan akhirnya menutup bab itu, atau terus lari dan berharap waktu bisa menghapus rasa sakitnya. Namun, ada satu hal yang ia yakini—Arka adalah seseorang yang ia butuhkan di perjalanan ini, meskipun ia belum sepenuhnya memahami alasannya.
ns 15.158.61.51da2