Karena menjelang malam, lampu mati tadi membuat suasana gelap. Ibu penggalian menuju ruang genset. Setengah berlari menuju lokasi. Nyala lampu HP-nya membantu berjalan ruangan gudang.
Kami tidak berani meminta ayah untuk menghidupkan genset karena dia sedang marah. Lagi pula listrik di desa kami sering mati karena gardu listrik sering rusak sehingga kami terbiasa menyalakan genset di gudang.
Namun sampai sekarang aku agak trauma saat menginjakkan kaki di gudang. Kalau terjadi mati lampu, biasanya kalau tidak ada ayah, terkadang saya diminta menghidupkan genset di gudang.
Pernah pada jam 12 malam listrik di desaku padam. Aku diminta ibu untuk menghidupkan genset. Saya tidak tahu apakah itu menahanku saja atau bukan. Aku merasa rambutku ada yang mengelus-ngelus disertai bau sesajen yang tidak sedap saat aku memutar menghidupkan genset.
Sejak kejadian itu aku sering menolak jika diminta menghidupkan genset. Kalau kalian bertanya siapa orang yang paling takut hantu di dunia ini, maka jawabannya adalah aku.
DUAAAAAR
Suara petir disertai kilat putih terang tiba-tiba mengagetkan lamunanku. Aira dan Aida bahkan langsung menangis memeluk ibunya.
“Nay, minta tolong dirapatkan pintu depan ya,” pinta Bu Tiyas.
Aku tahu Bu Tiyas meminta aku karena dia memeluk anak-anaknya yang ketakutan. Lagi pula ia saat ini sedang hamil. Jadi terkadang aku membantu banyak Bu Tiyas.
Aku menggali menuju pintu. Jarak ruang tamu dengan pintu depan tidak begitu jauh. Kalau mau dihitung ada sekitar sepuluh meter. Namun kita tidak bisa melihat langsung pintu depan karena interior ruangan itu begitu unik sehingga ketika mau ke pintu depan harus melewati kelokan.
Aku berjalan menuju pintu depan dengan pikiran kalut tidak menentu. Pertama, karena masih mengingat kejadian tadi waktu ayah tidak menganggap aku memilikinya lagi. Kedua, waktu ayah mengatakan ada marabahaya yang akan datang. Ketiga, hujan yang tiba-tiba datang dan lampu yang tiba-tiba mati.
Ah, aku harus berpikir positif.
Mendekati pintu depan aku langsung dikagetkan oleh gerakan pintu yang langsung tertutup disertai suara petir dan angin ribut yang mengerikan.
DUAAAAAR
Aku balik arah mau kabur namun tiba-tiba wajah Bu Tiyas tiba-tiba pas dan tepat di depanku.
“ASTAGA IBU TIYAS!” teriakku kaget setengah mati.
Bu Tiyas hanya tersenyum datar. “Aku tahu kamu takut, makanya aku temani,” ucapnya datar sambil mengusap-ngusap lembut rambutku tapi menampilkan matanya seperti kosong.
Entah kenapa aku merasa usapan Bu Tiyas hampir mirip dengan usapan yang aku rasakan saat menghidupkan genset di gudang.
“Aman, Bu,” bantahku yang langsung membuka pintu untuk memeriksa cuaca dan suasana di luar sana.
Aku sedikit menyodorkan kepala, melihat keadaan di luar sana yang sudah gelap total, hujan deras, angin ribut, dan kilat petir yang menyambar-nyambar.
Aku yang ngeri melihat pemandangan yang biasanya tidak langsung mencabut kepalaku. Niat hati ingin menyampaikan keadaan di luar sana kepada Bu Tiyas.
Kosong.
“Bu Tiya mana?” Aku bertanya pada diri sendiri tepatnya, menatap sekitar, samping kanan-kiri. Kosong.
tidak tadi Bu Tiyas ada di sini. Tidak sampai lima detik aku menongolkan kepala dibalik himpitan pintu tiba-tiba Bu Tiyas sudah hilang.
Benar-benar mantap.
Maka aku yang sudah terlanjur merinding dengan semua kejadian ganjil malam ini langsung memaksa menutup pintu, mengunci, dan berlari menuju ruang tamu.
Setelah sampai di ruang tamu aku tidak lagi melihat Bu Tiyas. Kosong. Aira dan Andira juga tidak ada. sepi. Dan benar-benar tidak ada orang. Tidak ada suara.
Pikiranku kalut. Aku takut pada sepi dan gelap.
Menggunakan senter HP aku langsung membangunkan berlari menuju gudang. Aku tidak lagi menatap ke kanan-kiri. Apalagi ke atas. Kalau melihat di film-film horor biasanya ada sesuatu yang menggantung. Maka aku tidak berani melihat ke atas.
Aku fokus berlari menuju gudang di ruang belakang.
Dua menit kemudian aku sudah sampai di sana.
Ya Tuhan.
Cahaya pengirim HP ku menangkap sosok terbaring lemah tak berdaya. Ibuku ternyata terjatuh. Celana saja lampu di rumah ini tidak menyala-nyala dari tadi karena ibu belum sempat menghidupkan genset.
Aku langsung berolahraga membantu ibu yang jatuh terjerembab. Buku terjatuh di gudang dekat mesin genset. Melihat ibu yang terbaring telungkup di samping genset aku hampir berteriak.
“Ibu….” Aku yang panik langsung mendekat, menggoncang tubuh ibu.
Tidak ada respon.
Aku kembali menggoncang tubuh ibu, namun kali ini dengan gerakan yang agak kencang, sementara pikiranku mulai panik tak menentu.
“Ibu, ibu kenapa, Bu.” Aku yang bersamanya lagi.
Tiga detik kemudian ibu bergerak yang langsung menyarankan batuk. Tangannya dikipas-kipaskan di depan wajahnya. Hatiku lega. Paling tidak, tidak terjadi hal fatal pada ibuku. Maksudku, entah kenapa aku berpikir bagaimana kalau ibu mati.
“Ibu kenapa?” Aku membangunkan ibu.
Ibu tidak menjawab. Aku kembali bertanya padaku.
“Nayla center HP nya itu…” gerutu ibuku sambil menjitak kepalaku.
Astaga aku tidak sadar kalau dari tadi aku mengarahkan pusat HP ke wajah ibu. Dari saking paniknya sampai aku lupa dengan itu.
“Oh, maaf, Bu. Aku tidak sengaja,” jawabku langsung memindahkan cahaya center HP ku ke genset.
Astaga. Mendadak bulu kudukku bangun. Usai mengalihkan pusat cahaya dari wajah Ibu ke objek genset di samping ibu aku melihat ada sesuatu yang sedang duduk di atas sana. Dalam sekejap, dalam bentuk bayangan, yang lebih cepat dari kejapan mata tiba-tiba hilang menyisakan rasa takut.
Nafasku berat karena takut dan cemas.
“Ahhhh.” Aku hampir meloncat karena tepukan ibu yang tiba-tiba mengagetkan.
“Kamu kenapa sih, ayo bantu ibu bangun,” pinta ibuku. Aku langsung membantu ibu. Ibu mengambil HP nya yang tadi terjatuh, berjalan menuju area tombol genset.
Dalam hitungan detik rumahku benderang. Lampu-lampu menyala. Mataku silau dengan pencahayaan yang kontras dari gelap menjadi terang. Meja, kursi, lemari, dan mainanku waktu kecil terlihat di sekitar. Aku sudah tidak takut lagi.
Aku menuntun ibu keluar dari Gudang, menutup pintu gudang, lalu kembali membimbing ibu berjalan menuju ruang tamu.
“Dek Tiyas mana?” tanya mama. Kami sudah sampai di ruang tamu.
“Sepertinya di dalam ruangan, Bu.” Aku membantu mendudukkan ibu. Setelah itu mengangkat mengambil udara, lalu menyodorkan ke ibu.
“Terimakasih,” jawab ibu mengambil air yang aku sodorkan, bersiap meminumnya.
Tepat saat gelas air itu ibu dekatkan ke mulut, tiba-tiba suara petir yang membahana mengagetkan kami. Ibu yang kaget reflek menjatuhkan gelas. Bersamaan dengan bunyi sambaran petir di luar sana lampu di rumahku kembali mati.
Bagaimana mungkin genset rumahku mati?
Gelap. Sunyi. Hening. Menyisakan suara pecahan gelas kaca dan angin ribut di luar sana yang bertalu-talu.
Aku memeluk ibu. Takut karena aroma busuk yang tiba-tiba menyeregap hidung membuat bulu kudukku merinding.
Diantara semua harapanku di malam itu, aku hanya berharap segera siang. Karena di siang hari aku tidak pernah takut.[]
Semoga ceritanya menghibur ya.
ns 15.158.61.11da2