Pecahan kaca yang berserakan di lantai membuat kami tidak berani bergerak. Hujan di luar sana semakin deras diiringi angin ribut. Kilatan petir yang sesekali menyambar-nyambar menampilkan area sekitar. Aku bisa melihat betapa mengerikannya hujan malam ini di balik jendela.
Pohon-pohon yang bergerak ditiup angin, suara petir, suara hujan, dan suara angin adalah paduan suara yang mengerikan. Namun keadaan di dalam rumah ini jauh lebih mengerikan daripada keadaan di luar sana.
Dari kejauhan, aku melihat sosok hitam besar yang perlahan mendekat.
Degggg…
Jantungku langsung berdegup kencang. Telingaku seperti membesar. Aku diubah menjadi ibu.
“ASTAGAAAA…” melihat ibu yang wajahnya putih pucat di tengah kegelapan. Matanya menatap ruang kosong.
“Ibuuuu, Ibu kenapa?”
Aku menggoncang-goncang tubuh ibu. Tidak ada tanggapan. Tidak ada gerakan dari ibu.
Aku langsung berbalik menuju sosok hitam gelap itu.
Ya Tuhan, sosok itu semakin mendekati gerakan yang amat lamban. Seperti berjalan di satu sisi, dan juga seperti terbang di sisi lain. Selintas aku melihat dua matanya yang merah mengerikan. Seperti ada pijar api di balik matanya.
Aku langsung memeluk ibu. Mengguncang tubuhnya. Kupeluk ibuku sambil menangis.
“Ibuuu, aku takut, Bu,” rengekku menangis.
Namun lagi-lagi tidak ada respon dari ibu. Wajahnya yang pucat pasi terlihat bersinar di balik gelapnya ruang tamu ini. Mata yang selalu teduh kini terlihat kaku dan gerah menatap kosong.
Aku menangis. Perasaanku bercampur aduk. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa kakiku sedikit pedih. Aku tidak berani menyentuh area kakiku. Aku takut kalau aku akan menyentuh kaki tiba-tiba ada yang narik.
Aku memeluk ibu sambil menangis. Di balik rambut ibuku, aku mengintip sosok hitam itu. Tolong. Sosok itu kini semakin dekat. Bentuknya sudah mulai terlihat. Oh tidak. Tolong hentikan semua malam yang sial ini. Wajah sosok itu benar-benar hancur lebur. Tidak berbentuk wajah. Menyisakan mulut penuh darah dengan taring buas yang menakutkan.
Aku semakin menangis, mempererat pelukanku pada ibu yang mematung. Sementara pedih di kakiku semakin sakit. Teramat sakit. Karena tidak kuat menahan sakit aku terpaksa memberanikan diri mengusap kakiku.
Ya Tuhan…
Aku merasakan ada cairan di kakiku. Aku menariknya lalu mendekatkan ke hidungku. Ada bau darah.
Ini darah siapa?
Pikiranku kalut tak menentu. Sementara kakiku teramat sakit. Semakin terasa pedih. Tiba-tiba suasana tiba-tiba hening. Suara hujan di luar sana sudah berhenti. Kilat petir seperti padam, tidak terlihat lagi kilatnya. Angin ribut yang tadi menubruk pepohonan dan mengangkut sampah-sampah juga sudah berhenti.
Apa yang tadi terjadi di luar sana sekarang dipindahkan dan terjadi di ruangan ini. Mendadak ruangan lampu ruang tamu berkedip-kedip menakutkan. Kertas-kertas dan tisu-tisu beterbangan. Disanalah aku baru tahu kalau darah tadi berasal dari kakiku yang terluka karena menginjak pecahan gelas.
“Ibu, bangun, Bu.” Aku memeluk ibu dengan perasaan takut yang tiada terkira. Dengan memanfaatkan kedipan lampu aku bisa melihat wajah ibu. Wajah ibu benar-benar pucat pasi seperti mayat duduk.
Matanya melorot seperti kosong. Seperti tidak ada nyawa di dalam tubuh itu. Aku panik sekaligus takut. Tapi aku dapat merasakankah hirup hembus napas ibuku.
Tiba-tiba sosok itu semakin dekat. Dekat. Dan semakin dekat. Sosok itu seperti berputar mengelilingi aku dan ibu.
Sosok itu terus memutari kami sambil mendekat dengan perlahan. Gerakan memutarnya sekarang mulai berubah dari lambat menjadi agak cepat, cepat, dan berputar sangat cepat seperti terbang dengan kecepatan kilat.
Mendadak kepalaku pusing. Pusing, dan semakin pusing. Aku langsung memejamkan mata sambil memeluk ibu.
Aku seperti mendengar ada suara gangguan di telingaku. Ada suara nyanyian, ada suara orang berteriak-teriak minta tolong, ada suara bayi, ada suara orang tertawa, ada suara berkata, ada suara orang membaca ayat-ayat suci, yang terakhir aku mendengar suara aliran air yang lembut nan pelan. Suara gemericik air yang hening dan tenang lalu diikuti seruling yang mengalun merdu nan membuai.
Aku masih terpejam, tidak berani membuka mata.
***
“Tidak, lepasin ibu, Nay. Ibu sesak.”
Kata-kata itu menyadarkan aku dari suara-suara aneh tadi. Aku memberanikan diri membuka mata. Terang-benderang. Memberanikan menatap sekeliling, terang dan jelas. Kertas-kertas tampak berserakan. Pecahan kaca dan darah dari kakiku yang terluka.
Lanjut menatap keluar jendela. Teduh. Hujannya sudah berhenti. Anginnya juga sudah tidak ribut lagi. Petirnya sudah istirahat tidak berontak lagi. Dan bau amis dan busuk itu sudah tidak terendus lagi di hidungku.
“Nay, lepasin ibu ah, sesak Nay,” gerutu ibu memukul-mukul bahuku.
ASTAGA…
Aku baru sadar kalau tadi kedua lenganku terlalu erat memeluk tubuh dan leher ibu. Aku langsung melepas lelah.
“Maaf, Bu. Aku tidak sengaja,” jawabku nengir. Merasa bersalah.
“Maaf, maaf, ibu hampir mati tercekik tanganmu,” sanggah ibu sambil memperbaiki baju dan rambut yang acak-acakan.
Aku hanya tertawa dan nengir. Aku paling suka melihat ekspresi ibuku kalau sedang sebel . Kalau ibu sedeng sebel atau marah, wajahnya tidak terlihat garang atau sangar ala emak-emak, tapi justru makin imut dan lucu.
Aku mengikuti apa yang ibu lakukan. Bergegas memperbaiki rambut dan bajuku yang acak-acakan karena angin ribut dan kejadian aneh di dalam rumah ini.
“Astagfirullah, Tidak. Kakimu kenapa berdarah?” teriak ibuku kaget melihat kakiku yang berdarah.
Ibu langsung berlutut, memegang kakiku, membersihkan dan membuang beberapa pecahan kaca yang menempel di kakiku. Aku juga baru menyadari kalau luka di kakiku lumayan parah. Aku melihat ada banyak pecahan gelas yang menghujam kakiku. Dan darah segar dari tadi terus menetes tanpa henti.
“Kamu kok bisa mencapai pecahan gelas itu?” tanya ibu mencabut pecahan kaca di telapak kakiku. Dan mencoba menahan darah yang mengalir dari kakiku.
“Mana aku tau, Bu. Kan lampunya mati,” jawabku enteng.
“Sakit gak?” tanya ibu lagi mencabut pecahan gelas terakhir yang menusuk kakiku.
“Ah ibu, udah tau lukanya, ya pasti sakit lah, Bu,” jawabku meringis.
“Makanya udah tau mati lampu, ya harus hati-hati,” jawab ibu sewot.
“Ya sudah, tunggu disini, ibu ambilin obat luka sama perban dulu.” Ibu langsung mengambil peralatan medis sederhana.
“Eh ibu mau kemana? Jangan tinggalin Nayla di sini, Nayla takut, Bu.” Aku mencoba menahannya. Sisa-sisa rasa takut masih ada di hati dan pikiranku.
“Ibu ambil obat dulu, Nayla. Lihat loh kakimu berdarah. Kalau tidak segera diobatin nanti malah berbahaya.” Ibu memberi penjelasan. Berdiri lalu tanpa mendengarkan lautan-lautan ketakutanku langsung melangkah menuju ruangan untuk mengambil obat.
Aku melihat tubuh ibu hilang ditelan kelokan. Maka bersamaan dengan itu aku langsung mendengar suara ketukan di pintu depan. Bulu kudukku langsung berdiri merinding. Ingin sekali rasanya aku berlari menuju ibu tapi aku penasaran.
Aku melihat ke arah belakang. Kosong. Ibu juga belum datang. Karena penasaran aku mencoba bangkit. Berjalan tertatih ke pintu depan sambil menahan pedih menyisakan bekas kaki merah di lantai. Beruntungnya lampu tidak mati, dalam suasana terang saya mencoba memberanikan diri untuk membuka pintu.
Meski jalanku agak lamban dengan meninggalkan bekas darah di lantai akhirnya aku sampai di pintu depan. Menarik nafas pelan lalu mendorong perlahan. Menyentuh gagang pintu. Bersiap membuka. Dan Astaga…
Aku langsung terjatuh melihat sosok di depanku…[]162Please respect copyright.PENANAMWSWqjLNAU
Semoga ceritanya menghibur ya.
ns 15.158.61.11da2