Setelah beres membilas tubuhnya dan mengganti pakaian Aksa membuka pintu kamar mandi, dan pandangannya langsung tertuju pada Bu Maria yang berdiri di depannya. Aksa tercengang, tidak siap dengan pemandangan yang disajikan.
Maria mengenakan kaos oversize putih yang longgar, namun tidak cukup panjang untuk menutupi betisnya yang mulus. Pakaian itu terlihat sangat sederhana, tetapi justru menambah kesan sensual pada sosok wanita cantik itu. Maria sendiri tampaknya tidak menyadari efek yang ditimbulkan oleh pakaian yang dikenakannya itu. Dia tersenyum hangat.
“Aku pikir kamu kenapa-kenapa. Kok lama banget di dalem.”
“Eh Ma-Maaf Bu, saya tadi sekalian mandi.” Jawab Aksa gugup. Sekali lagi maytanya menatap bagian payudara Maria yang menyembul kencang dari balik kaos oversize.
“Ohhh, ya udah ayo kita minum teh dulu. Hujan masih deras banget, kamu pulang setelah reda aja ya?”
“Ba-Baik Bu.”
Maria berbalik badan dan berjalan menuju ruang tamu sementara Aksa mengekor di belakangnya. Aksa bisa melihat bagaimana lenggok gerak tubuh Maria yang makin menggoda. Dia meyakini jika bagian bawah tubuh wanita sintal itu hanya mengenakan hotpants ketat. Birahi Aksa yang tadi belum tuntas pelan namun pasti kembali datang.
“Ayo silahkan duduk.”
“Terima kasih Bu.” Aksa mengambil posisi duduk di samping Maria.
“Eh boleh nggak kalo jangan manggil aku pake Bu? Kesannya aku tua banget, hehehehe.” Celetuk Maria sembari menyerahkan secangkir teh hangat pada Aksa.
“Terus saya harus manggil apa?”
“Panggil Maria atau Mbak Maria aja.”
“Oh, baik kalo begitu Mbak.”
Maria menuangkan teh ke dalam cangkir lalu menyerahkannya pada Aksa. Pria itu menerimanya sebelum kemudian meneguk teh hangat tersebut. Maria meletakkan cangkir teh di meja kecil di depannya
"Jadi, kamu sudah lama tinggal di komplek perumahan ini, atau baru pindah juga?"
Aksa berusaha fokus pada pertanyaan Maria, tapi sesekali melirik ke arah Maria yang duduk santai dengan kaos oversize yang terlihat longgar namun tetap menonjolkan lekuk tubuhnya. "Eh, saya... saya sudah lama di sini, Mbak. Dari kecil memang tinggal di sini."
Maria tersenyum ramah, tidak menyadari lirikan Aksa. "Oh, begitu. Pantas saja tadi kelihatan hafal semua jalan pintas. Aku sendiri masih sering nyasar kalau ke daerah-daerah baru."
Aksa tersenyum kecil, mencoba mengalihkan pandangan ke luar jendela, melihat hujan yang masih deras. "Ah, itu karena sejak kecil saya tumbuh besar di sini Mbak.”
Maria mengangguk sambil menyilangkan kaki, kaos oversize-nya sedikit bergeser, memperlihatkan siluet tubuhnya lebih jelas. "Iya, benar. Kadang aku juga merasa kota ini berubah terlalu cepat. Tapi ya, mau bagaimana lagi, kita harus menyesuaikan."
Aksa berusaha menjaga nada bicara tetap santai, meski matanya sempat tertarik ke arah Maria sebelum buru-buru kembali menatap cangkir tehnya. "Betul, Mbak. Kadang saya juga rindu suasana kota ini waktu masih kecil. Lebih tenang, lebih sederhana."
Maria menatap Aksa dengan penuh perhatian, tidak menyadari kegugupan kecilnya, "Masih muda tapi sudah punya banyak pengalaman ya kamu. Aku yakin, kalau terus konsisten, kamu bisa jadi salah satu penggerak utama di yayasan. Sama seperti Ayahmu."
Aksa tersenyum canggung, merasa sedikit salah tingkah dengan pujian itu. "Ah, saya masih belajar, Mbak. Masih jauh kalau dibandingkan dengan senior-senior seperti Mbak Maria dan Pak Hendra."
Maria tertawa kecil, suaranya lembut. "Jangan panggil Aku senior, dong. Aku jadi merasa makin tua. Panggil saja Mbak Maria, seperti tadi."
Aksa mengangguk sambil tersenyum, tapi matanya kembali melirik sekilas ke arah Maria yang duduk santai dengan postur tubuh yang terlihat anggun meski dalam pakaian sederhana. "Baik, Mbak Maria."
Di sini Aksa baru menyadari jika dibalik kaos oversize yang dipakainya, Maria ternyata tak mengenakan BH! Puting Maria yang keras menyembul seolah berontak dari balik kaos yang berbahan katun itu. Aksa menghela napas pelan, mencoba menenangkan pikirannya sambil menatap ke luar jendela, mendengarkan suara hujan yang deras. Ia tahu, ia harus menjaga sikap dan pikirannya agar tetap normal, meski ada sesuatu tentang Maria yang sulit diabaikan.
Maria meletakkan cangkir tehnya, kemudian menatap Aksa dengan sedikit senyum jahil. "Bagaimana dengan kehidupan asmaramu? Kelihatannya tenang-tenang saja. Kapan menikah?"
Aksa sedikit salah tingkah. "Saat ini saya masih fokus pada karier Mbak."
"Jangan sampai seperti Aku" ujar Maria dengan nada sedikit getir. "Kehidupan rumah tangga itu butuh perhatian dan kedekatan."
Dia mulai bercerita tentang hubungannya dengan Hendra. "Suamiku lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Lihat saja tadi, dia memilih bermain catur dengan Pak Richard daripada mengantarku pulang."
Tatapan Bu Maria sedikit sendu. "Bertahun-tahun pernikahan, tapi kedekatan kami sudah mulai menipis. Suamiku lebih peduli pada kariernya, pada teman-teman bisnisnya."
Aksa mendengarkan dalam diam. Maria melanjutkan, "Kamu harus pintar memilih pasangan. Cari yang bisa membuat kamu nyaman, yang mau berbagi, bukan sekadar mendampingi."
Suara hujan di luar perlahan mereda, meninggalkan keheningan di ruang tamu. Maria tersenyum getir, seolah membuka lemAksan kisah rumah tangganya yang mulai retak.
"Jangan sampai seperti Aku," ulangnya lagi pada Aksa.
Petir menggelegar tiba-tiba, membelah keheningan ruang tamu. Cahaya putih menyambar di balik jendela, diikuti bunyi menggelegar yang memekakkan telinga. Maria spontan bereaksi. Tubuhnya refleks bergerak dan dengan cepat ia memeluk Aksa. Wanita itu gemetar ringan, wajahnya tersembunyi di bahu Aksa. Tubuh sintalnya menempel erat pada Aksa, membuat pemuda itu terkejut dan tidak bergerak.
"Maaf," bisik Maria lirih. "Aku tidak suka suara petir."
Aksa bisa merasakan detak jantung Maria yang berdetak cepat. Aroma parfum wanita itu tercium begitu dekat, membuat Aksa sedikit gugup. Pelukan Maria begitu erat dan intim. Petir kembali menggelegar. Maria semakin mengeratkan pelukannya pada Aksa, tubuhnya gemetar pelan. Aksa hanya bisa diam, tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya salin bertatapan mata, lalu sepersekian detik insting pejantan Aksa terpacu untuk mendekatkan bibirnya pada bibir sensual milik Maria.
“Aksa, jangan nakal kamu...” Maria berujar sambil menggeliat, berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Aksa.
“Mbak Maria yang memelukku lebih dulu kan?” Ujar Aksa tanpa melepas pelukannya pada tubuh Maria.
“Aksa Ihhhh...”
Kedua tangan Maria memegang tangan Aksa yang melingkari perutnya. Lagi-lagi Maria mencoba melepaskan pelukan pria itu. Semakin keras usaha Maria untuk melepaskan diri makin membakar adrenalin Aksa, rasa takut bercampur dengan birahi telah meracuni isi otak pria itu.
Aksa mengikuti lengan Maria dan tangan kanannya terlepas dari pelukan, sementara tangan kirinya masih memeluk. Di saat itu, bibirnya segera bergerak ke leher Maria yang terbuka. Tangan kanan Aksa yang sudah bebas mengelus pelan punggung Maria. Tak butuh waktu lama hingga bibir Aksa sudah hinggap di leher jenjang sang betina dan mulai mengecupinya perlahan. Tubuh Maria makin menggeliat tak karuan.
“Aksa!! Jangan kurang ajar kamu!!” Maria membentak sambil kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri guna mengusir bibir Aksa yang kini menempel di lehernya.
“Kalo Mbak Maria gerak terus, bisa-bisa aku kasih cupang di leher loh.” Ujar Aksa santai seolah tanpa beban, meskipun sedari tadi dadanya bergemuruh kencang.
“Kamu jangan main-main Aksa! Gimana kalo nanti suamiku tau?!” Maria mendesis namun gerakan tubuhnya terhenti.
“Makanya jangan dilawan Mbak, nikmati aja.” Balas Aksa dengan semburat senyum kemenangan terlihat di wajahnya.
Maria menghentikan gerakan kepalanya. Juga tangannya tak lagi memegang tangan kiri Aksa yang masih memeluk perutnya. Rupanya ancaman Aksa membuat nyali wanita cantik itu ciut. Aksa yang sudah berada di atas angin tak mau membuang kesempatan emas itu. Bibirnya segera bergerak liar di sekujur leher Maria yang jenjang. Tak hanya mengecupinya saja, Aksa tak lupa menggunakan lidahnya untuk menjelejahi tiap jengkal kulit mulus bagian leher sang betina.
“Ouuucchhh! Aksa! Sudah cukup!”
Tubuh Maria yang sintal menggeliat bak cacing kepanasana, sentuhan hangat cenderung panas dari bibir serta lidah Aksa di lehernya lambat laun membuat Maria melayang. Suaminya sudah begitu lama tak memberikan cumbuan nakal seperti ini. Aksa sama sekali tak mempedulikan rintihan Maria, justru suara seksi wanita itu makin membuat birahinya terbakar.
Tangan Aksa bergerak dari punggung menuju payudara Maria yang berukuran besar. Diremasnya gundukan kenyal daging surgawi yang hanya dilapisi kaos saja tanpa daleman itu sambil terus menjelajahi leher mulus Maria. Tak hanya dari luar saja, tangan Aksa bergerak liar masuk ke dalam kaos yang dikenakan oleh Maria. Alhasil dalam sepersekian detik pria jangkung itu bisa merasakan kelembutan serta kekenyalan payudara Maria lewat remasan tangannya.
“Aksa! Aaach! Kurang ajar kamu!”
Maria setengah berteriak sambil mencoba mengusir kedua tangan Aksa yang kini dengan nakal meremas-remas pucuk bukit kembar di dada. Namun Aksa sama sekali tidak megendurkan aksi cabulnya. Sambil terus mengecupi da menjilati leher Maria, tangannya bergerak makin intens memberi rangsangan pada dua buah gundukan gunung kembar milik sang betina. Bahkan sesekali Aksa memainkan kedua puting Maria secara bergantian, membuatnya lambat laun semakin mengeras.
“Aksa!!! Aku akan berteriak kalo kamu tidak berhenti sekarang juga!!" Pekik Maria memberi ancaman. Aksa terkesiap, pria lajang itu benar-benar menghentikan aksi cabulnya kali ini.
“Mbak Maria yakin mau berteriak sekarang?” Aksa memandang wajah Maria yang panik dan ketakutan. Wanita itu mengrenyitkan dahinya, seperti tak menyangka akan mendapat pertanyaan semacam itu.
“Mak-Maksudmu apa?”
“Kalo Mbak Maria berteriak dan mengundnag banyak orang ke sini, apa yang akan mereka pikirkan melihat kita berdua dalam keadaan seperti ini? Bagaimana pendapat Pak Hendra nanti kalo tau istrinya mengundang pria lain masuk ke dalam rumah saat tidak ada orang lain di sini?”
Maria terdiam, pikirannya makin kalut tanpa arah. Ucapan Aksa barusan seolah layaknya palu godam kenyataan yang tak bisa dia elak. Semuanya jadi runyam sekarang, Maria benar-benar sudah terpojok bak mangsa yang siap diterkam hidup-hidup oleh binatang buas.
“Aku mohon Aksa, jangan lakukan lagi. Aku sudah bersuami.” Maria masih berusaha untuk menghentikan aksi cabul Aksa, meskipun dia tau pria di hadapannya itu sudah tenggelam dalam birahi tak berkesudahan.
“Sudahlah Mbak, aku tau kamu juga menginginkan hal ini. Kita nikmati saja sebelum Pak Hendra pulang.” Desis Aksa sebelum kembali melanjutkan aksinya.
Tanpa komando Aksa kembali mendekat, kali ini dia memaksa Maria untuk melepas kaos oversize yang dikenakannya. Tentu awalnya Maria menolak keras, namun apa daya tenaganya tak sebanding dengan kekuatan Aksa yang sudah terbakar nafsu. Belum lagi ancaman demi ancaman keluar mulus begitu saja dari mulut pria muda itu, membuat Maria tak bisa lagi meneruskan perlawanannya. Hanya dengan sekali gerakan, Aksa berhasil melepas kaos itu hingga memperlihatkan payudara mulus berukuran besar menggantung sempurna di hadapannya.
“Wow!! Luar biasa!”
Aksa tak bisa lagi menyembunyikan kekagumannya pada bentuk dan ukuran payudara sang betina. Tak hanya besar, payudara Maria juga terlihat masih kencang untuk standar wanita seusianya. Daging kenyal berwarna putih itu terlihat sangat mulus, putingnya pun sudah mengeras, makin menambah daya sensualitas sekaligus memacu birahi Aksa ke titik tertinggi. Tau jadi sasaran mata jalang Aksa, Maria reflek menutupi payudaranya dengan kedua tangan, meskipun hal itu sama sekali tak berarti apa-apa karena payudaranya tak bisa tertutup secara sempurna.
“Kenapa harus ditutup segala?” Ujar Aksa sembari menyingkirkan kedua tangan Maria dari area dada.
“Aku janji akan membuat Mbak Maria keenakan hari ini.” Desis Aksa dengan tatapan mata penuh kecabulan.
1286Please respect copyright.PENANA345MRq6gIj
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION , KLIK LINK DI BIO PROFIL UNTUK MEMBACA VERSI LENGKAPNYA1286Please respect copyright.PENANAGmW73GRglE