
Sinar matahari sore menerobos masuk melalui jendela-jendela tinggi bergaya Eropa klasik di kediaman keluarga Richard Wijaya. Ruang keluarga yang luas itu tampak begitu megah dengan langit-langit tinggi berornamen dan lampu kristal yang berkilauan. Sofa mewah berwarna krem dengan bantal-bantal sutra yang senada tertata rapi di atas karpet Persia bermotif rumit.
Di ruangan itu, lima orang sedang duduk melingkar sambil menikmati Earl Grey Tea dari cangkir porselen antik bermotif bunga. Sandra Wijaya, sang nyonya rumah yang anggun dalam balutan dress hijau zamrud, duduk di sofa utama bersama suaminya, Richard Wijaya yang mengenakan kemeja putih lengan panjang rapi. Di hadapan mereka, Aksa Damian, pria 25 tahun dengan rambut tersisir rapi dan setelan casual premium duduk dengan sikap tak acuh sambil sesekali melirik jam tangan mewahnya. Sementara di kedua sisi, ada sepasang suami istri Hendra Abiyokso dan Maria Lovita yang juga merupakan anggota aktif yayasan.
"Jadi untuk bakti sosial minggu depan, saya sudah survey ke daerah Kampung Mekar," Aksa membacakan laporan yang disiapkan sejak semalam dengan nada datar, jelas terlihat bahwa ia melakukannya hanya sebagai formalitas. "Ada sekitar 50 kepala keluarga yang sangat membutuhkan bantuan kita."
Sandra, yang mengenal baik Bramantyo Damian, ayah Aksa yang merupakan pengusaha sukses dan donatur tetap yayasan mencoba mencairkan suasana. "Semoga kita bisa membantu meringankan beban mereka. Saya sudah bicarakan dengan beberapa rekan pengusaha, mereka siap mendukung kegiatan ini."
"Kita bisa sediakan sembako, pakaian layak pakai, dan mungkin beberapa keperluan sekolah untuk anak-anak mereka," tambah Hendra sambil menyesap tehnya, sementara Aksa diam-diam mengetik pesan di ponselnya.
Sementara mereka berdiskusi, aroma roti yang baru dipanggang menguar dari dapur mewah di sebelah ruang keluarga. Seorang pelayan dengan seragam rapi datang membawa nampan berisi pastry-pastry kecil yang masih hangat. Aksa mengambil satu dan mengunyahnya pelan, pikirannya melayang ke acara yang sebenarnya ingin ia hadiri malam ini pembukaan klub malam baru di pusat kota.
"Oh ya, selain bantuan material, bagaimana kalau kita juga mengadakan pemeriksaan kesehatan gratis?" usul Maria, membuat Aksa menghela napas pelan, tanda bahwa pertemuan ini akan berlangsung lebih lama dari yang ia harapkan.
Richard yang sedari tadi lebih banyak mendengarkan akhirnya angkat bicara, "Ide bagus. Saya juga akan koordinasi dengan tim dari rekanan dari Rumah Sakit Umum untuk membantu pelaksanaan teknisnya nanti."
Langit sore mulai berubah jingga, menciptakan bayangan-bayangan panjang di lantai marmer yang mengkilap. Diskusi terus berlanjut dengan hangat, meski Aksa lebih banyak diam dan hanya sesekali mengangguk, mengikuti pesan ayahnya untuk mulai terlibat dalam kegiatan sosial sebagai persiapan meneruskan bisnis keluarga. Baginya, ini hanyalah salah satu kewajiban yang harus ia jalani sebagai pewaris tunggal kerajaan bisnis Bramantyo Damian.
Sore nyaris menyising saat pertemuan ini berakhir. Pintu ruang tamu rumah mewah itu terbuka, udara lembab dari sore yang mendung merembes masuk. Aksa sudah bersiap meninggalkan kediaman keluarga Wijaya, tas jinjingnya tersandang di bahu, kunci motor sport miliknya sudah di tangan. Dia baru saja bersalaman dengan sang tuan rumah, pikiran sudah melayang ingin segera pulang. Namun langkahnya terhenti ketika suara berat Hendra memotong.
“Bro, Gue bisa minta tolong nggak?" ucap Hendra dengan nada yang tak memberi ruang untuk penolakan.
“Ya Pak? Ada apa ya?” Aksa mencoba bersikap ramah mengingat usia Hendra jauh lebih tua darinya.
“Jadi begini, Pak Richard masih mau revans catur nih. Nggak enak Gue kalo langsung pulang. Tau sendiri lah gimana Pak Richarad orangnya, nggak bisa ditolak kalo soal main catur.” Cerocos Hendra panjang lebar. Aksa masih menyimak ucapan pria yang baru setahun terakhir pindah ke komplek perumahan mewah ini.
“Bisa nggak kalo Maria pulang nebeng lo?”
Aksa sempat terkejut. "Maaf, Pak. Tapi Saya hari ini bawa motor. Emangnya Bu Maria nyaman kalo naik motor?" jawabnya mencoba mengelak.
Pak Hendra tersenyum tipis, tatapannya tajam. "Bisa kok Bro, gampang itu!”
Maria yang berdiri di samping Hendra tersenyum lembut, seolah mendukung permintaan suaminya. Aksa tahu, dia tidak bisa menolak. Apalagi Maria adalah istri dari rekan bisnis ayahnya.
"Ya sudah kalo gitu Pak. Saya antar Bu Maria pulang." jawab Aksa akhirnya, menerima nasib.
“Thanks Bro! Mah, ati-ati di jalan ya.” Sahut Hendra sebelum mengecup kening istrinya dan berjalan masuk kembali ke dalam ruangan. Aksa melirik jam tangannya, menghela napas panjang. Hari ini sepertinya tidak akan berjalan sesuai rencananya.
"Siap berangkat, Bu?" tanya Aksa pada Maria.
Maria mengangguk, mengamit tas kecilnya. "Terima kasih ya Aksa, maaf kalo merepotkan." Maria memandang punggung suaminya menjauh seolah menganggap catur lebih penting dibanding istrinya. Maria sudah maklum dengan sikap Hendra yang seperti itu.
“Ah santai kok Bu.” Jawab Aksa sambil tersenyum tipis.
Mereka pun bergegas keluar, meninggalkan dua pria tua yang sudah asyik dengan permainan catur mereka, sementara langit di luar masih mendung. Begitu sampai di halaman, Maria berdiri canggung di samping motor sport Ducati Panigale V4 milik Aksa. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah dibonceng naik motor, apalagi motor sport yang terlihat begitu tinggi dan sporty ini. Rok pendek selutut yang dikenakannya hari ini sama sekali tidak memudahkan situasi.
"Bagaimana caranya naik?" tanyanya dengan nada gugup.
Aksa tersenyum tipis, sedikit geli melihat Bu Maria yang tampak kebingungan. "Tenang saja, Bu. Saya bantu," jawabnya.
Dengan sabar, Aksa menjelaskan posisi duduk yang benar. "Ibu bisa meletakkan kaki di footstep, pegang jok di belakang saya, dan duduk agak ke belakang."
Bu Maria tampak ragu. Rok pendeknya membuatnya khawatir akan kesulitan bergerak. Dia mencoba mengatur roknya, berusaha menutupi sebanyak mungkin bagian pahanya.
Maria memang sudah menginjak usia 38 tahun, namun penampilannya masih sangat terpelihara. Tubuh sintalnya tetap proporsional, hasil dari rutinitas fitness dan perhatian khusus pada pola makan. Kulitnya masih mulus, dengan sedikit garis halus yang justru menambah kesan dewasa dan sophisticated.
Rambut hitam legamnya yang sedikit bergelombang dia atur dengan rapi, menambah kesan elegan. Rias wajahnya natural namun tepat, menyembunyikan jejak usia dengan makeup yang profesional. Matanya yang tajam dan berbinar masih mampu memikat siapa pun yang memandang. Perpaduan kecantikan Polandia-Sunda tergambar jelas di wajah wanita itu.
Dengan balutan rok mini dan kaos ketat, lekuk tubuh wanita sintal itu terlihat sangat menggoda. Apalagi bentuk payudaranya yang cenderung bulat kencang ditambah kesemokan pantat di bagian bawah jadi kombinasi menggiurkan untuk setiap mata lelaki yang memandang.
Aksa sempat terpana sejenak, namun cepat-cepat mengalihkan pandangan. Wanita di depannya ini memang masih sangat menarik untuk ukuran seorang wanita yang usianya jauh lebih tua darinya. Saat berjalan, gerakan Bu Maria begitu luwes dengan gerak pinggul aduhai. Dia bergerak dengan percaya diri, menunjukkan bahwa usia sama sekali bukan penghalang untuk tetap tampil memesona.
"Tidak apa-apa, Bu. Santai saja," Aksa mencoba menenangkan.
Dengan gerakan perlahan dan sedikit canggung, Bu Maria akhirnya berhasil naik ke boncengan motor. Dia memegang pegangan di jok dengan erat, tubuhnya tegang, mencoba menjaga keseimbangan.
Aksa menyalakan mesin motor. Suara mesin Ducati yang garang membelah sunyi sore itu. Bu Maria refleks mencengkeram jaket Aksa, matanya terpejam, berharap perjalanan cepat selesai.
"Siap, Bu?" tanya Aksa. Bu Maria hanya mengangguk kaku, inilah pengalaman pertama berada di atas boncengan motor sport.
“Peluk aja tubuh Saya nggak apa-apa kok Bu. Biar nggak jatuh.” Kata Aksa memperingatkan.
Ragu dan canggung, tangan Maria awalnya hanya mencengkram bagian saku jaket kulit yang dikenakan oleh Aksa, kini bergerak dan berubah melingkari tubuh kekar Aksa dari belakang. Aksa tersenyum di balik helm full face yang dikenakannya, dada Maria yang berukuran besar terasa menekan pelan punggungnya. Setidaknya ini adalah bayaram setimpal dari menuruti permintaan Hendra, begitu pikirnya. Motor pun melaju meninggalkan halaman rumah mewah milik Richard.
Namun baru beberapa ratus meter motor melaju melewati jalanan komplek perumahan, tiba-tiba langit pecah. Hujan deras turun dengan tanpa ampun, seperti ember raksasa yang dibalik. Tetes-tetes air besar jatuh menghajar tubuh Aksa dan Maria bertubi-tubi. Aksa refleks memperlambat laju motor, visibility jalan mendadak menurun.
"Astaga! Hujan deras nih!" teriak Maria tertahan, roknya sudah basah kuyup dan menempel di kulitnya.
"Pegangan lebih kenceng Bu, saya mau ngebut biar cepet sampai rumah." ucap Aksa dengan suara tegas.
Motor melaju kencang, roda belakang sesekali tergelincir di genangan air. Maria mencengkeram erat punggung Aksa, tubuhnya gemetar antara takut dan kedinginan. Beberapa kali Aksa harus memperlambat laju motor menghindari genangan air yang cukup dalam. Jalanan licin membuat perjalanan semakin menantang. Keberanian dan kemampuan mengemudi Aksa diuji habis-habisan. Akhirnya, setelah perjalanan yang menegangkan, mereka tiba di rumah Maria. Motor Ducati berhenti tepat di depan pagar rumah. Keduanya basah kuyup, seolah baru saja dilempar ke dalam kolam.
"Kita sampai, Bu," ucap Aksa, nafasnya tersengal.
Maria turun dengan gemetar, tubuhnya basah kuyup. Make-up luntur, rambut acak-acakan. Dia menatap Aksa dengan campuran rasa syukur dan tidak percaya.
"Terima kasih, Aksa," ucapnya dengan suara bergetar.
Aksa terpaku, matanya tidak sengaja terfokus pada tubuh Maria yang basah kuyup. Pakaian yang dikenakannya, yang sebelumnya terlihat elegan, kini menempel di kulit, menonjolkan lekuk tubuh Maria yang masih terawat dengan baik. Dari balik kaos ketat itu, tonjolan payudara besar milik Maria yang terlindungi BH berwarna hitam bisa terlihat dengan sangat jelas. Namun, lamunan jorok Aksa terhenti ketika Maria memanggil namanya beberapa kali.
"Aksa? Aksa? Masuk dulu yuk, kamu bisa ganti baju di dalam."
Aksa tersadar dan segera mengalihkan pandangannya. "Oh, tidak perlu, Bu. Saya langsung pulang saja." Maria menggelengkan kepala.
"Ayolah, kamu basah kuyup kayak gini kok. Masuk dulu, setidaknya kamu bisa ganti baju kering. Nanti kamu masuk angin loh.”
Aksa seperti tak punya pilihan lain, lagipula dengan menerima ajakan Maria, maka dia bisa berlama-lama menikmati keindahan lekuk tubuh wanita sintal itu. Jiwa muda Aksa bersorak saat dia memakirkan motor di halaman yang cukup luas, tapi tak seluas halaman rumah milik Richard ataupun rumahnya.
Aksa kemudian melangkah masuk, sebelumnya dia melepas jaket kulit yang basah dan meninggalkannya di atas motor. Rumah Maria tampak sepi, hanya suara derai hujan di luar yang memenuhi ruangan. Dia mengamati interior rumah yang rapi dan mewah, dengan sentuhan desain modern nan elegan.
"Anak-anak sedang ada kunjungan studi ke Jogja." ujar Maria sambil berjalan menuju sebuah kamar di dekat tangga "Mereka pergi sejak kemarin, mungkin dua hari lagi baru pulang."
Aksa mengangguk, tak lama Maria kembali lagi dengan membawa handuk dan pakaian kering. Suasana rumah terasa sunyi.
"Bi Inah juga sedang izin pulang kampung," lanjut Bu Maria. "Suaminya sedang sakit, dia minta izin beberapa hari. Jadi ya, selama beberapa hari ini aku dan Mas Hendra aja yang tinggal di rumah.”
"Oh," balas Aksa singkat.
“Ini handuk dan pakaian gantinya. Kamu bisa ganti di kamar mandi dekat dapur ya.” Maria menunjuk sebuah lorong panjang di bagian belakang ruang tamu.
“Ba-baik Bu. Terima kasih.” Aksa sedikit tergugup saat menerima handuk dan pakaian kering.
Pandangan matanya kembali tanpa sadar menyasar bagian dada Maria yang begitu besar nan menggiurkan. Suara hujan masih menderu di luar, menciptakan atmosfer yang intim dan sepi di rumah mewah itu. Aksa berjalan perlahan di lorong rumah Maria. Dinding lorong dipenuhi foto-foto keluarga yang tertata rapi. Dia sesekali melirik, mengamati deretan foto yang memperlihatkan perjalanan hidup keluarga ini.
Di sisi kiri, terpajang foto keluarga dengan latar belakang pemandangan alam yang indah. Maria tampak lebih muda, tersenyum di samping suaminya. Dua anak remaja yang tampan dan cantik berdiri di depan mereka. Foto-foto lain menunjukkan momen-momen keluarga, liburan, perayaan ulang tahun, dan momen-momen spesial lainnya.
Lukisan-lukisan mahal menghiasi dinding, sebagian terlihat seperti karya seniman lokal dengan nuansa tradisional. Aksa memperhatikan detail interior rumah yang menunjukkan status sosial keluarga ini, mewah namun tidak berlebihan.
Beberapa piala prestasi anak-anak terpajang di rak kaca, menandakan mereka adalah anak-anak yang berprestasi. Aksa tersenyum tipis, mengapresiasi pencapaian keluarga ini dari balik punggungnya. Lorong sempit itu membawanya menuju kamar mandi tamu.
Di dalam kamar mandi, Aksa mulai melucuti pakaiannya satu persatu hingga telanjang bulat. Tubuhnya sempat mengigil karena terpaan air hujan sebelumnya. Namun entah darimana datangnya pikiran itu datang, tiba-tiba bayangan tubuh sintal Maria berarak liar di pikiran pria itu.
Tangan Aksa menjulur ke bawah, mencengkram batang penisnya yang menggeliat akibat respon suhu udara dingin. Cengkraman tangannya berubah menjadi gerakan maju mundur, mengocok serta mengurut daging kenyal yang makin lama semakin membengkak dan mengeras.
Aksa membiarkan guyuran air dari shower mengalir. Air hangat itu menciptakan kabut tipis yang menyelimuti kamar, memberikan rasa nyaman seolah-olah ia sedang berada di dalam pelukan lembut.
Aksa menutup matanya sejenak, merasakan setiap tetes air hangat menggelontorkan sisa dingin hujan yang menerpa tubuhnya. Ia membiarkan aliran air menyapu bersih seluruh tubuhnya, namun bayangan kemolekan tubuh Maria makin merajai isi pikirannya. Air yang mengalir membentuk aliran kecil di atas ubin, menciptakan irama lembut yang menyatu dengan suara desiran.
Sambil bergerak perlahan, Aksa mengambil sabun dan mulai menggosokkan ke kulitnya. Aroma segar dari sabun itu semakin menambah rasa tenang, membuatnya merasa seolah-olah semua masalah di dunia ini bisa sirna. Tangannya kembali mencengkram batang penisnya, melumuri dengna sabun lalu mengocoknya.
“Ooocchhhh…” Aksa mengerang, pikirannya memutar ulang momen dimana dia bisa melihat lekuk indah tubuh basah Maria.
“Eeemmcchhhhh…” Aksa membayangkan bagaimana jika dia bisa meremasi payudara Maria yang berukuran besar itu.
Gerakan tangan Aksa makin cepat, pikirannya dipenuhi fantasi-fantasi cabul tentang kemolekan tubuh Maria. Wanita yang usianya jauh darinya, wanita yang tak lain adalah istri dari rekan bisnis Ayahnya! Lenguhan Aksa terdengar parau seiring gerakan tangannya yang mengocok batang penis dengan kecepatan tinggi.
Setelah hampir sepuluh menit berlalu Aksa merasakan ujung kenikmatan birahi sudah berada di kepala penisnya. Beberapa kali batangnya berkedut, tanda jika ejakulasi akan segera tiba. Aksa makin berkonsentrasi membayangkan Maria, namun tiba-tiba konsentrasinya buyar saat pintu kamar mandi terketuk dari luar.
TOK!
TOK!
TOK!
“Aksa?! Kamu nggak apa-apa kan? Kenapa lama sekali??”
“I-Iya Bu! Sebentar lagi selesai kok.” Jawab Aksa gugup.
Tak ada jawaban dari luar lagi, Aksa bernafas lega. Namun birahinya yang sudah diujung tanduk terpaksa harus pupus begitu saja. Pria berbadan kekar itu kemudian menyalakan shower, air hangat menerpa tubuhnya, suara gemercik air yang menghantam permukaan lantai terdengar lirih. Aksa memejamkan matanya, mengemasi sisa-sisa-sisa birahi yang tak tuntas baru saja.
1403Please respect copyright.PENANABurm5i6Y45
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION , KLIK LINK DI BIO PROFIL UNTUK MEMBACA VERSI LENGKAPNYA1403Please respect copyright.PENANAVywBq2wNIS