Ah... Daratan Seattle. What a lovely place!
Tapi, aku berbohong...
Aku tahu, mungkin saat ini senyumku terlihat menyeramkan bagi beberapa orang yang melihat. Yeah, tentu saja. Berada di udara selama lebih dari dua puluh jam tentu saja akan membuat siapapun lelah dan tampil menyeramkan. Kantung mataku pasti akan sangat tampak saat ini. Sialan! Dan juga, aku tidak suka Seattle. Dalam artian sebenarnya!
Aku harus mengeluarkan kacamata hitam yang tidak terlalu besar, bergaya aviator yang kuambil secara paksa dari Bill, sahabat sekaligus mantan kekasihku. Dia dengan sukarela memberikan kacamatanya, karena dia memiliki banyak sekali cadangan kacamata bergaya aviator. Yeah, tentu saja. Karena dia seorang pilot.
Aku menunggu tas dan koperku, dan mengambil mereka dengan tatapan berbinar seolah mereka adalah bayi-bayiku yang manis dan lucu.
Sebelumnya aku tinggal di daratan benua lain bersama dengan ibuku, dan kini aku harus pindah menetap di Seattle menemani ayahku karena Lizzie, ibuku, baru saja menikah dengan pria yang usianya hanya selisih empat tahun dariku. Hebat!
Irisku melirik sekilas customs declare yang tadi diberikan oleh pramugari dan sudah kuisi dengan data-data yang valid. Customs declare di bandara Seattle isinya kurang lebih sama dengan yang ada di bandara-bandara lainnya, hanya menanyakan barang-barang apa yang kita bawa. Apakah kita membawa uang dalam jumlah besar, ataukah di dalam koper terdapat barang-barang yang perlu ditolak, ditahan, atau dikarantina karena berbahaya. Formulirnya berupa pernyataan lalu kotak yang perlu dicentang 'ya' atau 'tidak'.
Dan aku tanpa kesulitan berhasil menjawab semuanya, tanpa keraguan sedikit pun. Tentu saja. Aku tidak membawa uang banyak, karena saat ini aku resmi menjadi pengangguran dan uangku hanya cukup untuk membeli pretzel selama lima belas hari kedepan. Dan barang-barang bawaanku pun juga tidak banyak. Hanya sebatas kamera polaroid, dompet koin, pakaian dalam, titipan surat dari Liz untuk ayahku, Ronan. Selebihnya? Tidak ada yang menarik. Hanya sebatas novel-novel yang akan kubaca setelah aku sampai di rumah baruku.
Salah seorang petugas customs menghentikan langkahku dan menyapa dengan ramah. Dia seorang wanita yang usianya mungkin hanya terpaut lima tahun dariku, memiliki rambut berwarna hitam, dan kedua irisnya berwarna biru terang.
"Selamat pagi..."
"Dinihari," aku mengoreksi ucapannya dan dia tertawa pelan.
"Selamat dinihari," dia mengulang ucapanku dan tersenyum geli. "Bepergian dari?"
Aku membalas pertanyaannya dengan senyuman lebih dulu. "Eropa..."
"Aa... Eropa, ya?!" Dia kembali mengulang. Retoris. "Apa kau membawa banyak barang?"
"Tidak."
"Kami akan melalukan pengecekan," dia kembali tersenyum ramah dan aku hanya mengangguk.
Kemudian wanita yang belum sempat memperkenalkan dirinya sendiri itu menuntunku menuju sudut ruangan, dan berdeham membuat beberapa petugas customs pria memutar tubuh mereka dengan gerakan lambat.
Demi Dewa!
Seorang petugas pria memakai rompi berwarna biru gelap bertuliskan customs berwajah sangat tampan menaikkan satu alisnya. "Ya? Ada apa?"
Petuga wanita di sebelahku kembali berdeham dan tersenyum canggung. Aku berani bersumpah, bahwa dia adalah tipe wanita yang akan melakukan apapun untuk pria-pria seperti yang ada di hadapannya saat ini. Cheesy!
"Oh, Nona ini baru saja mendarat dari dataran Eropa. Kurasa kau ingin memeriksa barang-barang bawaannya."
Petugas pria tampan itu tersenyum lalu mengangguk. Dia memberi gesture agar aku mengikutinya, dan tanpa ragu aku menyeret koper berjalan di belakangnya.
Ia mengambil sarung tangan hitam dari saku rompi yang dikenakan, lalu memakai sarung tangan tersebut---sepertinya terbuat dari kain, bukan karet, karena aku tidak mendengar suara karet yang saling beradu dengan kulit---mengerti maksudku? Membayangkan hal itu membuat wajahku terasa panas dan memerah.
"Baru saja mendarat?" Ia bertanya sebagai basa-basi. Aku mengangguk saat ia memintaku menyerahkan koper milikku dan mengizinkanku untuk tetap mengalungkan tas selempang kecil di salah satu bahu.
"Yep..."
"Apa ada barang-barang khas daerah lamamu yang kau bawa?"
Aku menggeleng cepat. "Tidak. Tapi kurasa jika surat cinta yang dititipkan oleh Ibuku untuk Ayahku termasuk souvenir khas Eropa, kau boleh menahannya."
Dia tertawa renyah dan aku bersumpah, suara tawanya terdengar sangat seksi di kedua telingaku. Dia mulai membuka koper dan melakukan pengecekan pada isi dalam koperku. Wajahku kembali memerah saat dengan tidak sengaja dia menyentuh pakaian dalamku lebih dari satu kali.
Pemeriksaan berlangsung selama beberapa menit sebelum akhirnya ia yakin kalau aku tidak membawa barang berbahaya yang bisa ia sita. Ia menutup kembali koperku dan menyerahkannya.
"Kau clear. Selamat berlibur, err..."
"Oh, Kate. Kate Wright..." Entah untuk alasan apa aku memberitahunya namaku. Ia tersenyum, mengangguk, lalu mengucapkan ulang namaku.
"Well, Kate, aku suka model dan warna-warna yang kau pilih pada pakaian dalammu."
Demi Dewaaaa! Ia mengucapkannya tepat setelah aku berbalik! Dan aku masih bisa mendengar suara kekehannya sebelum aku benar-benar setengah berlari, meninggalkan dia dengan wajah nyaris berasap karena malu.
ns 15.158.61.54da2