Malam itu, seorang remaja menangis di depan sebuah makam. Remaja itu, Daniel Peterson, tengah menangis sambil memeluk nisan ayahnya yang baru saja dikebumikan petang tadi.
00.00
Daniel mengerjapkan matanya kala sadar bahwa hari telah gelap. Ia mengusap air matanya kasar lalu bergegas pulang. Di tengah perjalanan, Daniel melihat banyak patung menyerupai manusia. Bahkan bulan dengan anehnya seakan memancarkan aura ungu. Namun Daniel yang masih diselimuti kesedihan tidak ambil pusing. Ia hanya ingin pulang ke rumah, tidur di kasurnya yang empuk dan berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi di siang bolong.
Suasana gang rumahnya sunyi dan temaram, khas tengah malam. Tapi ia mendapati sesuatu yang janggal; lampu rumahnya masih menyala. Ini tidak biasanya, karena keluarga Peterson memiiki aturan untuk mematikan lampu ruang tamu sebelum tengah malam. Tapi lagi-lagi Daniel tidak ambil pusing, mungkin ibu dan adiknya tertidur karena kelelahan menangis, sehingga lupa mematikan lampu.
"Aku pu-" kalimatnya terputus. Ia membeku di tempat. Melihat dua patung menyerupai ibu dan adikmu sepulang dari makam ayahmu adalah hal terburuk yang bahkan aku yakin tidak sempat terpikirkan oleh siapapun, namun itulah kenyataan yang kini dihadapi Daniel.195Please respect copyright.PENANAdOgztKOIVP
Ia langsung berlari masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya kala mendapati mata adiknya yang sempat melirik ke arahnya. Bersandar di pintu, Daniel melemaskan badannya. Pakaiannya basah karena keringat dingin yang terus mengucur. Napasnya tersengal, matanya kembali berair. Ia benar-benar tidak menduga semua ini akan terjadi. Menggelengkan kepalanya, ia mengusap kasar airmata di sudut matanya.
'Sudah cukup menangisnya, Ayah tidak akan senang melihatku seperti ini,' batinnya menguatkan diri.
Kamarnya remang-remang, hanya diterangi berkas cahaya keunguan dari luar. Menghela napas, Daniel menyalakan lampu dan berjalan untuk menutup tirai jendela kamar yang masih terbuka.
"Astaga, sebenarnya apa yang terjadi malam ini.." gumamnya lirih kala menyadari betapa ngerinya malam ini. Jemarinya menggenggam erat tirai kamar, matanya terpaku pada bulan yang semakin bersinar terang.
"Hei,"
Daniel tersentak. Suara itu berasal dari belakang. Daniel memejamkan matanya erat, apalagi yang akan dihadapinya kali ini? Vampir? Jangan bercanda. Daniel harap itu adalah adiknya, walau ia menyadari suara itu sangat asing di telinga.
Membalik tubuhnya, Daniel tersentak lagi. Ia mendapati seorang anak kecil duduk di atas meja belajarnya. Anak itu terlihat begitu pucat, pakaiannya yang putih ternodai bercak hitam kemerahan dengan syal merah melilit lehernya.
"A-apa yang kamu lakukan di kamarku?" tanya Daniel was-was.
"Oh, itu," bocah itu turun dari meja belajar dan mendekati Daniel yang mematung di depan jendela. Ia berhenti tepat selangkah di depan Daniel. "Aku hanya mampir dan ingin mengucapkan selamat datang padamu," jawabnya.
Matanya melihat ke luar jendela. "Apa kamu tahu apa yang terjadi di luar sana?"
Daniel hanya menggeleng. Ia tak sanggup bahkan hanya untuk menggerakkan mulutnya.
Tiba-tiba anak itu tersenyum lebar, dan memeluk Daniel sembari berkata,
"Selamat datang di jam kematian!"
ns 15.158.61.20da2