"Renita" suara ibu terdengar dari arah belakang, sayup-sayup diantaranya suara kicauan burung gereja bernyanyi-nyanyi kecil.
Mata wanita tua itu tampak agak sayup, pelan berjalan menuju meja makan dimana kulihat aku sedang duduk disana. Wajahku kaku tak membalas sedikitpun senyum yang ibu berikan padaku. Bahkan ketika ia menaruh gelas berisi jus dihadapanku, aku langsung meneguknya tanpa mengatakan sepatah katapun. Tapi wajah wanita itu tak berubah sedikitpun, ia masih tersenyum menyaksikan bagaimana putrinya yang telah dewasa itu sibuk bekerja didepan laptopnya.
"ugh, kacau" gerutuku lalu terdengar tiba-tiba
"ada apa?" wajah ibu berubah panik mendengarku
Aku membuang napas berat, satu lagi hari yang sulit bagiku. Aku menutup kasar laptopku hingga berbunyi. "aahrg, dasar bodoh" keluhku, sebelum akhirnya beranjak masuk kedalam kamar.
"tidak berguna" kutukku
"pikirkanlah dengan tenang-" kata-kata ibu tak selesai karena aku lebih dulu masuk dan menutup pintu kamarku rapat.
Semua kusaksikan dengan jelas, seingatku aku tidak mendengar apa-apa lagi182Please respect copyright.PENANAEE5FOowLhF
karena memasang earphone begitu masuk kedalam kamar.
Pelan-pelan ia melangkah mendekat pintu kamarku, mengetuknya dua kali dan tak mendapat jawaban.
Pintuku terkunci.
"renita, sayang, tidak apa-apa jika kau membuat kesalahan, mari kita perbaiki bersama, jangan terlalu kesal pada dirimu sendiri" seru ibuku didekat pintu dengan suara bergetar berharap putrinya mendengar
"renita" panggilnya kemudian
Aku menyentuh keningku yang rasanya sangat sakit sekarang, bagaimana bisa aku mengabaikan ibuku seperti itu.
Tak lama setelahnya, seluruh suasana disekitarku berubah drastis. Aku seketika panik karenanya, tidak menyangka jika waktu bergerak begitu cepat hanya dalam hitungan detik. aku berbalik melihat wajah pria yang selalu menemaniku, ia tetap tenang seolah ini adalah hal yang biasa.
Malam tiba-tiba datang, kulihat ibuku masih terjaga menunggu diruang tamu. Matanya sayup menahan kantuk, tapi meski berat ia tetap terlihat pantang untuk meninggalkan tempat duduknya.
Aku melirik jam, pukul setengah satu pagi. Sudah larut. Ketika aku berjalan mendekat padanya kudengar lirih ia menggumamkan sesuatu. Doa-doa ia panjatkan dengan disela-selanya namaku ia sebutkan. Ketika aku sadar itu adalah malam ketika kami bertengkar.
Rasanya begitu menyakitkan, sekali lagi sesuatu yang terlupakan itu terpampang jelas didepan hidungku.
"kau berulang tahun?" tanya pria itu padaku
Aku menoleh ketempatnya berdiri, disamping meja makan.
Keningku saling bertautan, heran.
"tidak" jawabku, lalu pria itu melihat kearah tempat sampah kemudian menujukkan ku sesuatu didalamnya.
Aku bergerak mendekat. Benar. Aku baru ingat jika itu adalah malam aku berulang tahun. Terlihat jelas kue yang mungkin dibuat oleh ibuku terbuang begitu saja kedalam tempat sampah.
"oh Tuhan, bagaimana bisa aku tidak mengingatnya" kejutku tak bisa menahan kesakitan dihatiku. Aku kembali menangis, sekali lagi remuk rasanya, semua penyesalan berkumpul. Aku benar-benar melewatkannya. Dan dengan angkuhnya aku membuang wajah pada ibu saat itu, tanpa memikirkan apa yang telah ia lakukan untukku.
Selama ini aku hanya terpaku pada setiap kesalahan yang terus menerus kulakukan tanpa memikirkan sedikitpun bagaimana kebahagiaanku bisa berasal.
"renita, kita harus pergi sekarang" seru pria itu menyentuh lembut bahuku, sekali lagi mengingatkanku.
Aku mendongak menatapnya dengan mata basah.
"apa itu artinya aku sudah mati?" tanyaku padanya
Pria itu berdiri tegap, lalu tersenyum
"apa aku boleh kesesuatu tempat sebelum benar-benar pergi?" pintaku serak memohon
***
Aku melangkah agak ragu, kulihat wajah pria itu dibelakangku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.
Ia hanya mengangguk pasti dengan senyumnya. Dengan penuh usaha aku ikut tersenyum, lalu mengusap ujung mataku yang berair.
Aku duduk tepat disebelah diriku yang duduk dikursi pengemudi. Menunduk lemas tanpa suara pada setir yang tebal.182Please respect copyright.PENANACa50AepbR0
Untuk beberapa saat aku tak bersuara bahkan diriku yang asli pun tak kunjung mengangkat kepalanya.
Aku diam agak lama, menunggu kesiapan hatiku
"untuk renita" lirihku akhirnya
"tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja" kataku sedikit tersedak dengan air mata yang tiba-tiba mnegalir lebih dulu bahkan sebelum kataku selesai. Tanganku gemetaran mengusap pipiku yang sudah basah. Bibirpun sama gemetarnya.
"jika kau masih bisa hidup, tolong jaga dirimu lebih baik lagi, kau tidak perlu merasa menderita atas kesalahan yang tidak benar-benar berasal darimu.... jangan kesal terlalu lama, semua orang juga melakukannya..." aku berhenti sebentar menahan dadaku yang terasa sesak.
"ingatlah semua orang pernah melakukan kesalahan... tidak apa-apa jika tidak menjadi sempurna, semua tidaklah harus sempurna"
"hiduplah dengan tenang, dengan bahagia, dengan memikirkan orang-orang182Please respect copyright.PENANA10Qb4MlEmt
yang masih ada disekitarmu, yang masih menyayangimu"
"cintai dirimu sendiri, tapi kamu juga butuh cinta dari orang lain saat kamu lupa bagaimana mencintai dirimu"
Aku kembali menangis, bibirku kembali gemetar berusaha beradu antara ingin menangis atau melanjutkan kata-kataku.
"renita"
" ...... "
"tolong hiduplah,.... pulang dan hiduplah...."
Aku menutup wajahku yang penuh dengan air mata, seketika benar-benar menyesali semuanya, menyesali malam-malam yang kulewati dengan kutukan dan sumpah serapah pada hidup dan diriku.
Aku akan berakhir menyedihkan, dan itu benar-benar terjadi. Lebih menyedihkan dari dugaanku.
***
Aku kembali mendekat ketempat pria itu menungguku.Wajahnya tetap menenangkan seperti awal aku melihatnya.
Meski menangis begitu lama pelan-pelan aku bisa menerima semuanya. Ikhlas.182Please respect copyright.PENANAPOLIboRs0t
Kupikir aku benar-benar harus memiliki hati yang besar untuk menerima semuanya.
"apa kita bisa pergi sekarang?" tanya pria itu sekali lagi, seolah hanya itu saja yang ia katakan.
"ah" aku membuka mulutku sebentar tapi ragu untuk memulai
Pria itu diam menungguku selesai
"kau bilang ini seperti mimpi kan?" tanyaku memastikan
Pria itu mengangguk pelan
"uhm, boleh kita kembali ketempat sebelumnya?" pintaku tak jelas padanya.
Spontan pria itu menatapku bingung.
"tempat sebelumnya?"182Please respect copyright.PENANANvkcnp0Bnz
***
Pria tua bangka itu kembali terlihat begitu ia keluar ruangan dan melewati mejaku, dengan wajahnya yang dingin.
"boleh aku membunuhnya sekarang?" tanyaku pada pria disampingku, ia mengernyit heran, mungkin tak menyangka aku mengatakan hal itu.
Tapi beberapa saat kemudian pria itu tersenyum
"bukankah kubilang ini hanya mimpi?"
Aku hampir tertawa mendengarnya, "itu bagus" singkatku lalu bergegas mendekati tubuh tua bangka itu tepat sebelum ia memasuki lift.182Please respect copyright.PENANAmtomfYcL3N
Menarik sebuah vas bunga yang kulihat terpajang di sudut ruangan dan tanpa pikir panjang meleparkannya tepat diatas kepalanya.
"ugh" erangku tak elakkan
Puas
Tubuh besarnya terjungkal masuk kedalam lift, tersungkur seperti sampah. Pria tua bangka itu terkejut penuh kesakitan lalu menoleh kearahku. Heran bagaimana182Please respect copyright.PENANAUWTBd2C5SK
aku bisa melakukannya. Mulutnya bahkan nyaris tak bisa mengatup lagi.
"ah, terima kasih karena ini hanya mimpi, setan" makiku sebelum akhirnya pintu lift tertutup kembali
Aku tertawa cukup keras setelahnya, mungkin dengan begini aku bisa mati dengan tenang.
"ayo lakukan sekali lagi" pintaku
***
Aku berlari menyusuri koridor gedung apartemen dengan cepat begitu pintu lift telah terbuka, lalu tanpa pikir lagi masuk kedalam sebuah pintu apartemen.
"Renitaa!! Apa yang membuatmu begitu lama??!" teriak wanita itu terdengar begitu182Please respect copyright.PENANA5D6LtpHYDU
jelas. Aku menyeringai puas menatap wajah merahnya karena marah, terlebih lagi saat ia mendapatiku dengan tangan kosong.
"apa yang kau lakukan?" ketusnya padaku, aku melirik putri kecilnya yang sudah bangkit dari duduknya, menatap sama herannya kearahku.
"menurutmu?"
"dimana baju yang kuminta?!" tanyanya lagi dengan nada tinggi
"untuk apa?" tanyaku berbalik lalu bergerak meraih tas belanja milik wanita itu dan menghaburkan keluar seluruh pakaian putrinya itu. Spontan, mata wanita itu nyaris loncat keluar.
"ah, bukankah semua itu ada disini?" kataku padanya lalu membuang asal tas belanjaan tersebut. "kau tidak perlu repot-repot mencari ku lagi setelah ini" sinisku padanya sebelum akhirnya beranjak pergi.
Aku berlari keluar apartemen setelahnya, rasanya sangat puas, sekaligus lega. Harusnya aku seperti itu sejak dulu.
"aku terlalu sibuk menyiksa diri dengan menyimpan semua rasa sakit yang orang lain berikan padaku" kataku pada pria yang tetap setia menemaniku.
"jika aku bisa hidup aku tidak akan melakukannya lagi" sambungku
Pria disampingku spontan menoleh, menatap detail aku yang mulai mengerti diri dan keadaanku.
"kau berjanji?" tanyanya dengan suara rendah
"hm?"
"berjanjilah jika kau tidak akan melakukannya lagi, jika kau bisa hidup"
"eh?" heranku tak begitu paham, sampai akhirnya pria itu kembali tersenyum seperti khasnya.
"kalau begitu sudah saatnya kau harus terbangun"
***
"aaaahhhh" tarikan napas panjangku terdengar begitu jelas ditengah suara aneh yang muncul dari segala arah.
Mataku perih seketika, buram tak terlihat apa-apa. Begitu beberapa kali aku mengerjap barulah kulihat dengan jelas langit-langit diatas kepalaku. Tubuhku tidak benar-benar bisa bergerak sepenuhnya. Seperti lumpuh sesaat, tapi tak berlangsung lama. Aku mulai mendengar dengan jelas suara-suara yang dihasilkan monitor kecil didekatku, suara roda meja dorong, suara langkah kaki beberapa orang, lalu suara ibu.
"Ya Allah" gumamnya samar begitu melihat aku berhasil membuka mata, meski tak sepenuhnya dapat bergerak. Wajah ibu nampak sangat bahagia, ia berlari keluar182Please respect copyright.PENANA20BoWwfIDv
ruangan dan terdengar seperti memanggil seseorang, mungkin perawat, mungkin juga dokter.
Tak lama setelahnya, seseorang kembali mendekat. Bergegas memeriksa setiap detail yang ada pada tubuhku.
"Renita?" panggilnya lembut, aku melirik menatap wajah dokter tersebut, lalu ia membalas tatapanku dengan tersenyum.
"dia sudah sadar" katanya disusul ibu yang tak henti-hentinya mengucap rasa syukur. Penuh kebahagiaan. Perawat ikut berbahagia melihatku, mendekat dan memberiku selamat.
"ini sebuah keajaiban setelah ia tak sadarkan diri selama 49 hari lamanya" seru dokter didekatku.
"renita, semoga kau segera pulih yah" katanya lagi tersenyum
Aku berkedip sebagai jawaban, lalu jariku bergerak-gerak untuk memanggil ibuku mendekat.
Ia merespon cepat, lalu mendekat.
"syukurlah, kau akhirnya sadar" gumamnya padaku dengan mata yang sudah basah karena haru
"ibu" kataku pelan
"hm?" ibu menunduk untuk mendengarku
"aku bertemu ayah dalam mimpiku, dia yang menemaniku"
Ibu terkejut melihatku, tak menyangka, lalu kembali mengusap air matanya yang mengalir membasahi pipinya.
"syukurlah kau bertemu dengannya" katanya ditengah tangis
"syukurlah"
END
ns 18.68.41.175da2