Tlah lama terbengkalai,
Jeda waktu yang terlewat tak mampu kuulang, tak bisa kubayar dengan banyak maaf, hanya mampu kuberi rasa terimakasih. Terimakasih telah setia dan sedia menanti tulisan berikutnya, yang masih saja acak, belum ada struktur dan arahnya.
Hari ini, seperti yang sudah-sudah atau yang pernah ada di cerita sebelumnya (sejujurnya aku masih saja belajar mengerti cara kerja penulisan karya di platform ini, maaf, dan terimakasih), aku tiba di rumah pukul 12 dini hari dengan kereta api, dari kota tempatku bekerja, merantau tepatnya, ke kota kelahiranku, tempatku menemu orangtua dan sanak saudara.
Sebut saja pria ini Tuan Raja, ayahku. Beliau tlah melemah kesehatannya, tlah kurang ingatannya, tlah kena cela pula saraf-saraf di kepalanya. Aku yang telah siap-siap berbaring untuk istirahatpun tiba-tiba dikagetkan, pandangan tajam, tangan yang gemetar, kaki menapak dipaksakan kuat, terkesan ingin menerkam. Ayahku, si pria yang di dini hari ini berdiri di ujung pintu kamar, menatapku penuh dendam, entah apa yang ada dipikiran.
Aku gadis biasa yang tak punya bakat bela diri atau mati hati. Menghadapi kondisi tadi, normalnya aku ketakutan dan secara otomatis lari menuju tempat yang mampu membantuku melindungi diri. Kamar terakhir, paling belakang bangunan rumah kami, kumasuki ruangan itu dengan agak terburu, padahal ayahku pun berjalan penuh perjuangan, namun itulah insting, perasaan ingin menyelamatkan diri. Kukunci pintu kamar yang kutuju tadi, dengan kayu kecil yang digeser sebagai penghalang. Salah seorang adikku di luar kamar sayup-sayup terdengar sedang menenangkan pria dengan tatapan tajam tadi, ayahku.
Terlintas sejenak, walau hanya sedetik pikiran itu hadir menggelitik, pergi jauh, tak disini. Padahal tiap libur kutempuh jarak jauh tanpa mengeluh, kubeli tiket berapapun itu demi pulang. Dimanapun tempat ku merantau, pulang bukanlah perkara yang masuk dalam hitung-hitungan untung rugi, lelah lengah, santai sibuk, syaratnya libur saja, dan akupun berkemas menuju rumah. Namun kenyataan ini, keadaan yang sedang kuhadapi ini, membuatku berpikir ulang, benarkah ini rumah yang kutuju?
Aku masih mengunci pintu. Air mata tak lagi mampu menjelma menjadi kaca-kaca. Mereka tumpah ruah, berlomba-lomba, tanpa suara, seperti biasa. Ada satu nama yang terus kututur dalam dada, namanya, seseorang yang kemarin pernah menyedia diri, waktu, dan wicaranya, untukku. Ada hal yang terjadi, tak mampu kurinci disini, yang pasti sesuatu yang membuatku dan dia tak lagi berkomunikasi. Aku merindu, masa menenun kisah, mengundang kasih, hingga melodi yang mulai bernyanyi di hati mengarah rasa yang lebih.
Kemudian kucoba diri tuk menahan, berhenti menyebut namanya setelah beberapa kali terucap di dada. Malu hatiku. Malu pada diri dan penciptaku. Kemudian kuganti dengan kata baru, 'kekasihku', yang kelak menjadi suami, entah disini atau disana nanti, yang pasti kan kuserah cinta utuh yang kujaga setelah pada-Nya dan kekasih-Nya, kumohon, segeralah datang, jemput keberadaanku yang sedang dan terus ketakutan, khawatir yang tersimpan sesak di hati dan pikiran. Aku takut. Aku cemas. Aku pun terasa rapuh. Ada hal yang paling aku takuti, jatuh pada pribadi yang memanfaatkan kerapuhan ini.
Mengingat pria ini, menyebut namanya, membuatku terus merasa bersalah pada sosok yang aku sendiri tak tahu siapa. Suamiku kelak. Dia. Yang aku takut meluka jika tahu apa yang kurasa dan kudamba pada keadaan rapuh begini. Aku manusia biasa, terbawa fakta dan rasa, menerima hadir seseorang yang terasa 'tulus'. Sayang tuan, kau datang hanya dengan pernyataan, bukan bermuara pada keinginan tuk mengikat hati menjadi pasangan halal, niat kearah sanapun aku tak tahu ada tiadanya. Dari apa yang kubaca dalam perbincangan tanpa pertemuan ini, akulah yang terpancing, dan sebelum kail tajam itu mampu melukai diri ini, aku harap Sang Pemilik Hati menguatkanku menjaga hati dan rasa ini.
Waktu tlah menunjuk setengah tiga dini hari. Semua anggota keluarga tlah nyenyak dalam tidur mereka, termasuk ayahku, pria hebat yang pernah menjadi pahlawan pertamaku, sekaligus pengingat sepanjang hidupku, setidaknya hingga saat ini, tentang betapa berapapun usia seorang pria, tetap saja ia mampu menjelma lemah bak kanak-kanak, didepan wanitanya. Pria ini pula yang memberiku contoh nyata, bahwa cinta saja tak cukup, konon lagi cinta tersebut buta logika, sebab hidupnya bersama wanita kesayangan panutan hidupku dan saudara-saudaraku, Ibu tercinta, penuh drama. Cinta saja, tak mampu membuatnya memperlakukan ibuku dengan anggun. Mungkin lain waktu kucoba cerita sudut pandang ini.
Dibalik semua pro dan kontra diriku sendiri, pria inilah ayahku, seorang yang telah melahirkan dan mengambil peran dalam membesarkan dan mengembangkan karakterku. Terimakasih, untukmu, pria yang sekarang matanya lebih tajam daripada tatapan dosen penguji yang penuh intimidasi. Ayah, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kuperoleh darimu dan Ibu, dengan penuh rasa kututur kata, betapa cinta dan doa ini tak henti meminta kesembuhan dan kembalinya Engkau dalam kesadaran, tak hilang alasan tuk menyongsong hari depan, demi kami, anak-anakmu, yang juga pertinggal dari kekasaih hati yang begitu kau rindui, Ibu kami.
Kelak, beberapa rasa, kata, cerita, hingga drama yang kita ukir kumohon ijin dari jiwa merujuk kedua orangtua, angan dan asa berharap manpu berbagi sedikit pada semesta. Semoga kelak, menjadi manfaat bagi siapa suka.
Salam kenangan, Nulisaja.
Dariku, yang berjuang dalam keremangan mata setengah sadar.
Di satu kota, tak bernama.
ns 15.158.61.6da2