Memakai baju sekolah, pria itu berlari begitu kencang seolah tidak ada hari esok. Mukanya berseri – seri, selalu tersenyum seolah tidak pernah mengalami ujian berat dalam hidupnya. Pria itu punya senyuman yang tidak pernah luntur. Senyuman itu seperti teriknya sinar matahari sehingga seseorang yang kedinginan barangkali bisa hangat?
Pria itu adalah Mr. Smile. Satu – satunya individu yang selalu berpikir positif, ceria dan selalu jenaka.
Langkahnya beristirahat sejenak, Mr. Smile ke mampir ke sebuah toko buku.
“Mantap, dong!” Mr. Smile mengambil buku warna biru, pemandangan bawah laut yang indah mendiami covernya.
Dengan gelisah dan jalan di tempat, buku itu diserahkan Nona Kasir.
#Tiit
Buku itu diarahkan pada mulut mesin barcode.
“Hm… Spellbinding Coastline Part 3? Nggak buruk! Anda selalu mengikuti buku ini ya?” Nona Kasir itu tersenyum pada Mr. Smile sambil memasukan buku itu ke dalam bungkus plastik.
“Ya, aku selalu mendambakan melihat pemandangan pantai misterius dengan seseorang!” kaki Mr. Smile yang jalan di tempat akhirnya jalan juga. “Baik, terima kasih Mrs. Petunia!”
Mr. Smile pergi, dan Nona kasir melambaikan tangannya. Mr. Smile adalah pelanggan tetap di toko itu. Mr. Smile lantas kembali berlari.
#Gasp… gasp…!
Sekitar sepuluh menit, nafasnya mulai mengkhianati pria dengan senyuman itu, namun Mr. Smile tidak pernah mengkhianati minat larinya. Jadi… ia tetap berlari.
Hingga…
Gedung besar, rute paving abu – abu seolah dibeber khusus Mr. Smile diantara rerumputan pendek yang terawat. Di pojok kiri terdapat banyak mobil yang diparkir. Di pintu depan, Mr. Smile bertemu dengan kakek – kakek mengenakan kursi roda memakai syal.
Lantas, ia tetap berlari.
Memasuki lorong yang ramai, ia tetap lurus. Sampai pada sebuah lift yang terbuka…
Mr. Smile memencet tombol lima, sedangkan wanita berjas putih dengan statoskop yang menggelantungi lehernya, merasa tidak keberatan.
Karena melihat tanda ‘jangan berlari di lorong’ pada elevator, Mr. Smile selanjutnya pasti akan mematuhi aturan itu. Setelah pintu itu terbuka, ia segera menuju kamar yang paling pojok. Kali ini berjalan cepat, bukannya berlari.
#Ckrek, Ngeek~
Pintu bernomor 510 terbuka.
“Colatta!”
“Bright!”
Mr. Smile memeluk wanita yang berambut hitam lurus memakai bando putih. Roman mukanya berseri – seri, secerah bunga matahari. Mrs. Flower yang berbaring di tempat tidur sangat menunggu pangeran yang membangunkannya, Mr. Smile.
Mr. Smile segera mengulurkan kresek yang dibelinya dari Nona kasir tadi. Dan Mrs. Flower, tidak pernah menolak pemberian Mr. Smile walau yang paling tidak mengesankan. Meskipun hari ini Mr. Smile sangat pede dengan hadiah yang dibawanya.
“Spellbinding Coastline Part 3!” Mrs. Flower terkejut senang, seolah bunga yang kelopaknya terbuka lagi. “Wow, Bright! Aku bahkan nggak tahu kapan mereka akan mengeluarkan seri ini lagi!?” ucapnya heboh.
Mrs. Flower merangkul sesaat buku itu, seperti memeluk anak kucing dengan cintanya.
“Aku datang-dan… sedikit mencari di beberapa rak. Lalu… Uwala! Buku itu ada!” tambah Mr. Smile. “Kamu suka, Colatta?”
“Ini akan menjadi malam yang menarik!” Mrs. Flower dan Mr. Smile saling bahagia satu sama lain.
Mr. Smile menghela nafas sesaat. “Jadi… Colatta, mungkin ini repetitif, tapi… kenapa kamu sangat terobsesi dengan pantai?”
“Oke, aku nggak pernah keberatan bercerita, kok. Well, itu… karena aku pernah bermimpi…, Bright. Mimpi itu sangat indah! Sebuah pantai yang… sekitarnya ada batu kristal? Pasirnya pink, krem, dan lavender saling bercampuran! Bagaimana menyebutnya? Gradasi? Ngomong – ngomong, lautnya tenang… bila malam tampak seperti dinding langit! Aku yakin banyak sekali kehidupan unik di tempat itu! Dan.. dan…” Mrs. Flower tampak sangat bersemangat.
“Ada banyak sekali putri duyung, karena itu kamu ingin lihat satunya, kan?” tambah Mr. Smile seolah ia membaca pikiran Mrs. Flower dengan baik. Bukan karena Mr. Smile seorang esper, hanya saja barangkali kalimat repetitif Mrs. Flower selalu diterima kedua telingannya dipertemuan sebelumnya.
“Nah, nah, Bright memang cerah seperti namanya,”
“Dan Nerd, benar – benar cupu seperti penampilannya?” celoteh Mr. Smile pada dirinya sendiri.
Mereka berdua terbahak – bahak oleh itu.
Lantas…
Mr. Smile mengambil tempat duduk, dan ia duduk di sebelah Mrs. Flower. Mrs. Flower menaruh buku pemberian smile barusan di bawah selimutnya.
“Bright, silahkan ambil! Beberapa orang datang membawa banyak sekali makanan!”
Mr. Smile melihat meja di sebelah kiri Mrs. Flower penuh dengan banyak sekali barang kunjungan. Roti, susu, buah – buahan, serta banyak sekali cemilan. Semua makanan itu tampak memikat dan lezat, namun Mr. Smile harus menolak itu.
“Aku ini ngurangin kalori loh! Kalau kamu memberiku makan banyak, aku bisa saja jadi sapi!”
“Serius kamu berpikir gitu, Bright? *Pfft!* ” Mrs. Flower menahan tawanya. Bukannya mirip seperti sapi, Mr. Smile bahkan terlihat kurus seperti leher jerapah.
“Mooo~ mooo~” Mr. Smile menirukan sapi. Jelas, itu membuat tawa Mrs. Flower pecah.
Mr. Smile selalu peduli pada Mrs. Flower. Mereka sudah lama berdekatan yang membuatnya hatinya saling konek satu sama lain. Sudah sejak kecil hubungan itu terus terikat tanpa ada satupun yang bisa memutuskannya. Mr. Smile, tidak pernah sedikitpun mengecewakan Mrs. Flower. Dan Mrs. Flower, selalu menerima apapun kekurangan Mr. Smile.
“Jadi… Bright, bagaimana ujian? Kamu nggak papa, kan?” Mrs. Flower mengambil jeruk dan mengupasnya.
“Bisa kamu tebak?” Mr. Smile melipat tangannya sambil tersenyum dengan sombongnya. Mulutnya mengangkat ketika Mrs. Flower memasukan satu potong jeruk. Seolah raja yang arogan, Mr. Smile hidungnya memanjang seperti pinokio, dalam imajinasi Mrs. Flower.
“Oh ayolah, Bright. Jangan membuatku gugup seperti itu,” Mrs. Flower mengehela nafas.
Mrs. Flower memakan dan menyuapi jeruk itu pada Mr. Smile. Angin mulai masuk melalui jendela, meniup sekantong plastik air bening yang bertempat di tiang abu – abu aluminium beroda. Bahkan selangnya ikut bergerak.
Mr. Smile merangkul lagi Mrs. Flower. Mata Mr. Smile mengembun.
“Aku lolos tes kedokteran di Universitas Edinburgh, Colatta!”
Mrs. Flower berhenti sejenak. Lalu kini wajahnya dihujani air mata kebahagiaan. Seolah menerima hadiah yang paling mewah, meskipun tidak Mrs. Flower terima secara langsung fisik barangnya.
“Syukurlah, Bright, syukurlah! Aku ikut senang!”
Setelah lima belas menit berpelukan, memuaskan segala pelampiasan rasa syukur, Mr. Smile kembali duduk dengan perasaan sepenuhnya bahagia tanpa beban.
Mr. Smile mengepalkan tangannya. “Selangkah lagi, Colatta! Aku menjadi dokter, dan… dan…-“ Mr. Smile menggebu – gebu.
Melihat Mr. Smile yang menggebu – nggebu, Mrs. Flower meraih kepalan tangannya.
“Nggak usah buru – buru, Bright. Nikmati saja arusnya… dan semua akan lebih baik…” Mrs. Flower tersenyum tipis sambil melirik ke kanan.
#Plop
“Oh ya! Kamu besok ada upaca kelulusan SMA, kan? Aku akan ke sana!” Mrs. Flower kembali cerah, menepuk ringan.
“Be-benarkah? Tapi bagaimana dengan kondisimu?”
“Ohohoho, kamu meremehkan Nona Listenora si penjaga planet Lustenora?” Mrs. Flower memamerkan lengannya. Sebagai ganti otot, itu hanyalah lengan yang datar, putih halus, dan kenyal.
“Maksudnya, tangan jelimu itu?” ejek Mr. Smile sambil mencubit ringan otot Mrs. Flower yang memang kenyal seperti pudding atau jeli.
Meski faktanya begitu, tentu wanita juga merasa sebal dengan kata – kata yang tidak indah itu. Wanita sangat suka keindahan, benar? Meskipun kebohongan itu tidak perlu diungkapkan dengan jujur. Akibatnya, tangan yang dikatai Mr. Smile itu meraih pinggangnya.
“Nah, tangan jeli ini kadang bisa menyakitkan, loh!” Mrs. Flower sebal dan mencubit Mr. Smile.
“Ouuuch! Aduuuuh!” Mrs. Flower segera melepas cubitan itu, sedangkan Mr. Smile mengelus pinggangnya. “Apa kamu belajar teknik rahasia? Aduduh…” Mr. Smile menggosok - gosok pinggangnya yang kini meninggalkan bekas mirip sengatan lebah.
#Kliit! Kliit!
Alarm di atas meja yang berisi banyak makanan, berbunyi dan mengeluarkan lampu merah. Itu menandakan bahwa jadwal perawatan intensif yang memaksa pengunjung untuk keluar telah tiba. Secara halus, itu mengusir Mr. Smile.
“Po-pokoknya, aku akan bicara sama papa supaya bisa melihatmu nanti!” jelas Mrs. Flower tergesa – gesa. “Yang penting, besok kamu dandan yang cakep! Besok adalah hari wajah culunmu menjadi yang terbaik!” celoteh Mrs. Flower.
“Hey, hey, culun – culun begini kamu naksir, kan?” tambah Mr. Smile. “Kamu yakin besok?”
“Ini memang sangat mengejutkan tapi malam ini akan menjadi malam terindahku!” Mrs. Flower tersenyum dengan sangat tulus. “Tidurlah yang nyenyak dan mimpi yang indah, Bright!”
“O-oke… kalau kamu bilang begitu!”
Mr. Smile pergi dengan perasaan bahagia yang seolah mirip mimpi. Sampai – sampai ia menyapa beberapa pasien yang berpapasan dengannya.
Mr. Smile lebih dari siapapun di dunia ini yang menantikan hari esok.
Walaupun…
Hari esok belum tentu menantikan Mr. Smile.
***
Keramaian Dunfermline, Scotland, di malam yang tenang sangatlah teratur. Di gang kecil di mana polisi keamanan tidak melihat. Orang - orang berpakaian mantle atau jas yang yang dibalut syal karena dinginnnya musim gugur.
Tidak lebih dari sepuluh orang, muda – mudi bergerombol pada wanita yang duduk di kursi sederhana dengan meja dan bola kristalnya. Wanita itu memakai cadar dan tampak seperti suster dari sebuah gereja.
Kata wanita itu sepenuh jiwa, “MR SMILE DAN MRS FLOWERS! LAMBANG DI MANA TERIK DAN MENDUNG BERSEBELAHAN!”
”Aku percaya… ini yang terakhir. *Hah… (sighed)* terima kasih telah mengikutiku selama ini,” terbuka sernyuman sederhana di bibirnya.
#Krincing!
Beberapa koin penny mengisi kotak aluminium berwarna hitam. Seperti makanan yang mengenyangkan perut dan membuat senyuman puas di bibir mereka, cerita wanita berpakaian suster gereja itu mengenyangkan perut rohani dan membuat senyuman haru di wajah mereka.
Berangsur – angsur orang – orang pergi. Dari yang tidak lebih dari sepuluh, kini tinggal satu. Pria itu berkaca mata, pandangannya menunduk ke bawah.
#Hah… (sighed)
“Hey, tuan yang di sana, ceritanya sudah selesai… pulanglah, dan tidur tenang,” kata wanita berpakaian suster itu dengan ramah. Wanita itu menata barang bawaannya.
Pria itu hanya diam saja. Sepertinya pavingnya yang dia pijak masih jauh lebih menarik daripada memandang wanita gereja itu.
Wanita itu membuka kotak hitam sumber penghasilannya. “Tch! Dasar orang – orang pelit! Ini bahkan nggak bisa buat makan malam!” protes suster itu dengan nada tinggi dan kecewa, tipikal wanita kabaret kalau sedang mabuk dan marah.
Lantas…
“Nona… em…, ini…” Pria yang bermuka sedih itu mendekat, lalu memberinya seratus pounds.
“WOAHH!” dengan kegirangan, wanita itu menerima uang itu. “Nah, ini sih bisa menyelematkan hidup sampai tiga hari! HAHAHA, ANDA INI ORANG YANG BAIK!” ucap wanita itu lantang – lantang. Wanita itu sok akrab dan memukul ringan pundak pria berjas hitam bludru yang terlihat sedih.
“Anda… dengar cerita itu dari siapa, Nona?”
“Hm? Siapapun bisa mengarang cerita, kan?” Wanita itu menaruh semua barangnya pada tas kain coklat. Ia lalu membuka cadar dan kerudungnya. “Ngomong – ngomong, mau ngobrol dulu?”
.
.
Mereka berjalan keluar dari gang kecil, lalu menepi di mesin minuman. Wanita itu berambut pirang panjang sedikit bergelombang. Hidungnya mancung dengan mata yang tenggelam.
“Emmm…?” Pria itu bingung, sambil membawa satu kaleng ginger ale.
“Bir, tolong!”
#Ckling!
Bir keluar dari mesin minuman dan segera diambil.
“Terima kasih!” ceria wanita itu menerima traktiran sekaleng bir. “Bagaimana kalau itu ngobrol di sana?” Tunjuknya pada sebuah jembatan yang remang – remang dan sepi.
“O-oh… tentu…”
Mereka berjalan tanpa sepatah kata. Namun pria itu memikirkan hal lain. Apakah suster di gereja akhir – akhir ini kelayapan malam – malam minum bir? Mukanya seperti preman wanita dan agak tomboy , tapi memikat seperti seorang hostess dengan lipstik dan bedaknya yang cukup tebal, itulah pikirnya.
Sampai di tengah jembatan, yang paling redup dan tenang, mereka berhenti.
“O-oh…”
“Hm?” Wanita itu menyalakan rokok yang diambil dari sakunya dan disebulnya nikmat. “Fuuuh…! Hangat sekali malam ini…”
#Pccstt!
Suara bir yang baru saja dibuka penutup kalengnya, wanita itu sangat merasakan kesempurnaan malam hari.
“Bagaimana… dengan makan malam-yang kamu bilang tadi-Nona?” tanya pria itu sambil meneguk ginger ale.
Wanita itu tak menggubris. Sebagai gantinya malah bertanya balik.
“Nama…” tambahnya setelah menghisap dan menyebul asap rokoknya. “Helene.” Helene memandangi sungai dengan nyaman.
“Nerd…. Nerd Fulbright….” Pria berkacamata itu mengggaruk pipinya dengan telunjuk.
“HUAHAHAHAHA! Lucu sekali nama, tuan!” Helene lepas tertawa. “Maksudku, Nerd, HUAHAHAH seriusan?” ia terbahak – bahak.
Namun…
Pria itu tertawa kecil dipaksakan yang membuat Helene segera menghentikan tawanya itu. Helene berpikir candaannya itu gagal membuat pria itu tersenyum.
“Ah, maaf…! Tn. Bright, anda ini…?” Helene berpaling pada pria itu. Helene tampak menikmati rokoknya.
“Dokter… Dokter di Rumah Sakit SummerPit di sekitar Dunfermline,”
Helene melongo sesaat. Bahkan pria culun seperti Nerd Fulbright punya pekerjaan lebih baik darinya, pikirnya begitu. Sementara pria itu hendak menagih jawaban atas pertanyaannya.
“Wow! Pak Dokter, kyahahaha!” tambahnya. “Nggak butuh istri? Hanya dengan bir dan beberapa cemilan rumah anda bisa bersih dan setiap hari pasti menikmati hidangan enak, bagaimana!?” Helene tanpa malu menawarkan dirinya sendiri. Nadanya juga berganti genit.
Pria itu tertawa kecil, sambil menyeruput ginger alenya.
“O-oh~! A-aku juga bisa tahan lama di malam hari loh~!” Helene semakin tidak bermoral, meremas buah dadanya sendiri. “Lihat? Ini ukuran G cup! La-lagipula wajahku juga lumayan, kan~?”
Pria itu lalu berawajah datar, menggaruk kepalanya, kemudian tertawa tipis. Ekspresi itu membuat Helene ingin membunuh dirinya sendiri.
“Ihh! Malu banget!” Helene menutup mukanya.
“No-nona Helene…” Bright memegang pundaknya, ia memberanikan diri. “S-saya penasaran dengan cerita Nona Helene tadi! Ja-jadi…”
“O-oh?” Helene mendongak, lalu meraih wajah Fulbright. “Hm? Sebentar…” Kini wajah mereka berdekatan seolah hendak berciuman. Bright sedikit memerah pipinya, sedangkan Helene alisnya seperti timbangan berat sebelah.
Helene lantas mengotak – atik muka Bright. Ia mencoba membuat senyuman di bibir Bright. Bright tidak berdaya dan menurut saja apa yang dilakukan wanita itu.
“Ahhhh… pantesan!” Helene melepas tangannya. Ia lalu segera meneguk bir sampai habis. Bahkan rokok yang tinggal setengah langsung ditekuknya.
Pria itu terheran – heran tanpa berkata – kata. Helene kemudian menyilahkan Bright untuk bertanya. Helene kembali pada suara lembutnya.
“Nah, saya biasanya bisa tertawa lepas seperti itu… tapi, sudahlah,” tambahnya. “Saya hanya mau bertanya, dari mana cerita itu tadi?”
“Tuan…. Saya yakin bukan itu yang ingin anda tanyakan. Normalnya saya tidak memperkenalkan diri, tapi… sebagai Custodian saya juga punya pilihan,” Helene mulai memperkenalkan diri dengan benar dan sikap sopan. Ia membungkuk. “Nama saya, Helene Yespetor, Custodian di dunia paralel ini. Waktu memang singkat, tapi jawaban itu pasti bisa ditemukan di tempat yang berbeda,”
(Custodian? Lagipula… kenapa dia jadi begini?) pikir pria itu. Nerd Fulbright bingung dengan pergantian sikap yang tiba – tiba. Karena merasa takut terkena penipuan, Nerd Fulbright yang hendak pergi, namun…
“Saya tahu soal kekasih anda yang meninggal. Konstellar telah menuliskan buku tanpa keraguan dan tepat. Kami sebagai Custodian ditunjuk untuk mencari jiwa – jiwa murni yang terpilih atas ketidakpuasan takdir,”
Kata – kata itu cukup membuat pria itu terhenti dan menaruh pertimbangan. Ia berpaling pada wanita itu, Helene, roman mukanya memang cantik tapi dua bola matanya sedikit mistis. Pupil ungu yang menyala di tempat redup ini memang mengundang hal aneh. Terlebih, fakta bahwa Helene mengetahui soal masa lalunya.
Helene melanjutkan, said bahwa Nerd Fulbright barangkali bisa menemukan jawaban yang ia cari. Namun Nerd fulbright masih belum yakin.
“Fufufufu! Ini, Tn. Bright,” tambahnya menyerahkan sebuah kartu.
Sebuah kartu bertuliskan, The Sun.
“K-kartu tarot?” Bright membolak – balikkan kartu itu.
“Cukup disayangkan, sih… #Hah… (sighed)” Helene kemudian berbisik hal lain.
“Eh? Anda mengatakan sesuatu?” Nerd masih memandangai kartu itu.
“Simpan saja kartu itu seperti biasa. Bila itu bekerja, maka pasti akan ada sesuatu yang terjadi-“
Bright yang sesaat berpaling pada Helene, wanita itu bahkan sudah hilang. Bekas rokok, bau parfumnya bahkan kaleng bir yang diteguknya dengan riang…
Hilang dari sana. Semuanya seolah berakhir sejak itu. Namun…
Siapa sangka bahwa itu adalah mulanya.
***
ns 18.68.41.148da2