Wanita itu mengambil cangkirnya dan menyeruput sisa chocolate panas yang sudah mulai dingin. Ia duduk bersama seorang pria bule. Mata wanita itu menatap tajam si pria tampan sambil menyeruput minumannya. Tampak pelayan mengambil piring-piring sisa dinner dari meja mereka. Vania nama wanita itu dan pria yang duduk di seberangnya adalah Adrian. Mereka memang sedang meeting sedari sore di café di daerah Kemang setelah membicarakan perjanjian bisnis.
“So, kita sepakat menganggarkan budget 100 miliar untuk tahun ini?” Kata Adrian.
Adrian adalah pria tampan keturunan Belanda. Wajahnya terlihat kaku seperti kebanyakan orang Eropa, berambut cepak dan klimis tidak berkumis atau berjanggut, maklum sebagai eksekutif ia harus menjaga penampilan wajahnya agar selalu bersinar. Usia Adrian 45 tahun namun karena penampilannya mengikuti trend jaman now maka ia tidak terlihat tua.
Adrian tidak terlalu tinggi namun proposional dengan badannya yang cukup kekar karena rajin berolah raga. Adrian adalah salah satu eksekutif di perusahaan advertising ternama yang biasa menangani klien produk dari perusahaan besar.
“Ya mau gimana lagi.” Balas Vania sambil mengambil handphone yang tergeletak di meja.
Vania bertubuh tinggi semampai dengan rambut panjang lurus sepunggung. Tubuhnya langsing dan kulitnya kencang. Ia berasal dari keluarga keturunan Manado, Jerman dan China. Sebagai eksekutif di perusahaan keluarganya tentu saja ia menjaga sekali penampilannya dengan menyempatkan diri untuk melakukan perawatan tubuh. Usianya baru 32 tahun, namun kecerdasan dan kematangannya dalam mengelola perusahaan cukup mumpuni karena ajaran dari ayahnya.
Adrian melihat jendela café. Terlihat bias-bias basah lampu jalan. Tampak hujan kecil yang sedari pagi menyiram Jakarta yang belum menunjukkan tanda untuk berhenti walau jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Seakan hujan di bulan Januari sedang berpuas-puas menyirami tanah setelah kemarau panjang kemarin. Adrian kembali menengok klien nya yang sedang sibuk dengan ponsel. Vania tersenyum kecil.
“Susah cari grabcar kalo hujan begini.” Kata Vania.
“Dari tadi nggak dapet-dapet.” Lanjut wanita cantik itu seraya mendengus pelan.
“Sudah coba yang lain? Uber? Atau mungkin bluebird?” Timpal Adrian.
“Yeah, aku cuma pakai aplikasi grab doang.” Kata Vania. Adrian tertawa kecil.
“Kenapa nggak bawa mobil sendiri aja tadi?”
“Dengan lalu lintas segila ini? Ah tidak, terima kasih. Aku bisa gila kalau sampai terjebak macet berjam-jam.” Balas Vania, pandangan matanya masih terfokus pada layar ponsel.
“Oh ya, seingatku kamu dulu sempat punya sopir pribadi kan?” Tanya Adrian sekali lagi.
“Yup, tapi sudah satu bulan terakhir aku pindahin dia ke kantor.” Jawab Vania.
“Kenapa?”
“Aku tidak ingin dia jadi gila karena omelanku di dalam mobil. Hahahahaha!” Vania tertawa.
Adrian tertawa kecil. Ia mengambil cangkir kopinya sambil memperhatikan Vania yang sedang melihat layar handphone. Wajah Vania cukup cantik dengan hidungnya yang mancung dan make up tipis. Hubungan bisnis mereka sudah berjalan hampir 5 tahun, sejak Vania memegang kendali perusahaan ayahnya. Adrian ingat saat pertama kali ia melakukan pitching di perusahaan milik wanita cantik itu, Adrian sama sekali tidak menyangka kalau idenya diterima dengan antusias.
Bahkan kalau Vania membutuhkan konsep baru untuk iklan produk consumer goods terbarunya ia sering berkonsultasi dengan Adrian, kadang juga Vania sering curhat meminta saran sedikit mengenai masalah keluarga, maklum Adrian sudah pernah berkeluarga. Walaupun sering bertemu, hubungan mereka selama ini hanya sebatas rekan bisnis, tidak lebih, bahkan sejak Vania belum menikah.
“Sial! HP Gue lowbatt!” Vania menggerutu kesal sembari meletakkan ponselnya di atas meja.
“Gimana kalo aku anterin aja?” Tawar Adrian memberi solusi. Vania memainkan alisnya, seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Rumah kita kan berbeda arah?” Kata Vania.
“Kamu pulang ke BSD kan?” Tanya Adrian.
“Nggak, aku pulang ke Pakubuwono. Rumah di BSD terlalu besar untukku, lagipula aku sering tinggal sendirian.” Kata Vania.
“Ah iya, aku baru ingat kalo suamimu masih melaut.” Adrian mencecap minumannya sekali lagi.
Suami Vania seorang pelaut. Tepatnya kapten kapal pesiar dari perusahaan kapal milik keluarga wanita cantik itu. Vania bertemu suaminya 3 tahun lalu saat sedang berlibur di Karibia. Dan entah kenapa ia sangat suka dengan laki-laki dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan saat itu suaminya hanya bekerja sebagai crew kapal pesiar saja, namun daya tarik dan kebaikan pria itu membuat hati Vania runtuh.
Vania memang tidak menyukai pria dari keluarga yang selevel dengan dia, karena menurutnya mereka sombong dan angkuh, serta membosankan, maka tidak heran Vania hanya baru 2 kali pacaran secara resmi yaitu dengan mantannya waktu kuliah dan dengan pria yang jadi suaminya sekarang. Namun sampai saat ini mereka belum dikaruniai anak, selain Vania yang sibuk, suaminya juga jarang di rumah, hanya 6 bulan sekali kalau suaminya pulang mereka melakukan hubungan sex. Vania tampak berpikir menerima tawaran Adrian.
“Bener nggak apa-apa nih kalo Gue nebeng pulang?”
“Sure, no problem. Let’s go!” Kata Adrian dengan aksen barat yang kental.
“Lagipula aku juga butuh berkendara untuk menyegarkan pikiranku.” Lanjut Adrian sembari tersenyum tipis.
Adrian sendiri adalah seorang duda. Istrinya meninggal 2 tahun lalu karena kanker. Sekarang ia tinggal bersama Nafa, anak tunggalnya, gadis cantik berusia 19 tahun, hasil perkawinannya dengan mendiang sang istri.
“Aku ke kamar mandi sebentar ya.” Kata Vania sembari mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.
“Hei, biar aku yang bayar kali ini.” Ucap Adrian.
“No! Minggu lalu kamu udah melakukannya Adrian, sekarang giliranku.” Balas Vania.
“No problem, simpan saja untuk meeting minggu depan. Okey?” Adrian merogoh kantong belakang celananya untuk mengambil dompet.
“Okey deh, thanks ya.” Vania berdiri dari tempat duduknya.
“No problem.” Adrian segera memanggil pelayan restoran untuk membayar makan malam mereka
5221Please respect copyright.PENANARhMDNPhmCP
***
5221Please respect copyright.PENANAKAWj73vspX
Adrian mengemudikan mobilnya di tengah kemacetan ibukota. Sedangkan Vania sedari tadi tampak sibuk menelepon untuk memastikan asistennya menyelesaikan tugas dengan benar. Mobil sedan hitam itu berhenti di tengah kemacetan. Hujan deras membasahi kaca depan. Seorang pria memakai ponco warna kuning mengetok-ngetok kaca di kursi kemudi, sambil berucap sesuatu namun tidak jelas terdengar karena tertutup suara hujan dan musik jazz di dalam mobil. Adrian membuka sedikit jendelanya.
“Di depan banjir Mister! Putar balik aja!” Kata laki-laki itu ketika menyadari kalau yang ada di balik kemudi adalah pria dengan wajah blasteran indo.
“Oh ok, thanks!” Sahut Adrian sebelum kembali menutup kaca jendela mobilnya.
“Jadi sekarang kita terjebak di sini?” Vania mengalihkan pandangannya ke kaca depan sembari menggerutu kesal, beberapa mobil terhenti lajunya. Macet bukan main.
“Ya sepertinya kita tidak akan bisa mencapai rumahmu.” Balas Adrian.
“Ya Tuhan!! Kenapa jadi sial gini sih hari ini!” Vania kesal wajahnya tampak stress.
“Bagaimana kalau malam ini kamu menginap di rumahku saja? Ada kamar kosong kok.” Tawar Adrian memberi solusi.
“Memangnya jalan ke rumahmu nggak banjir?”
“I hope not.” Adrian tertawa kecil. Vania tampak berpikir.
“Duh gimana ya, besok pagi aku ada janji dengan seseorang.” Kata Vania.
“Tenang, aku akan mengantarmu, atau kamu juga bisa memesan grab dari rumahku. Nggak ada masalah.” Balas Adrian. Vania berfikir sedikit tapi tidak ada pilihan yang lebih baik.
“I don’t have any better option now. Ok, aku menginap di rumahmu malam ini.” Tukas Vania akhirnya.
Adrian berusaha keras untuk mencari jalan putar balik ke arah rumahnya. Butuh waktu hampir setengah jam baginya mengubah rute perjalanan. Lalu lintas masih begitu padat, jam pulang kerja ditambah banyak titik banjir menjadi kombinasi mematikan bagi pengendara. Vania tampak tertidur pulas di samping kursi kemudi, perjalanan yang harusnya tak lebih dari 30 menit kini menjadi hampir satu setengah jam. Jarum jam di dashboard mobil menunjukkan pukul 10 malam saat mobil Adrian memasuki halaman rumah berukuran besar. Ketika mobil berhenti di halaman parkir, seorang pria berbadan tegap berlari kecil menghampiri sembari membukakan pintu untuk Vania.
“Selamat malam Bu.” Kata pria berbadan tegap itu sambil memayungi Vania. Pria itu kemudian mengantar Vania ke teras kemudian kembali menjemput Adrian yang masih di dalam mobil.
“Ini Nando, dia yang mengurus rumahku.” Kata Adrian. Nando mengangguk ramah, sementara Vania masih terlihat dingin karena masih terpengaruh kantuknya sedari tadi.
“Do, ini Bu Vania, rekan bisnisku. Malam ini dia akan menginap di sini. Apapun yang dibutuhkan Bu Vania tolong dipenuhi ya.”
“Baik Pak.” Jawab Nando sigap. Pria berbadan tegap itu kemudian membukakan pintu rumah. Vania melangkah masuk mengikuti Adrian.
“Nafa sudah pulang?” Tanya Adrian saat sudah berada di dalam rumah.
“Belum Pak.” Kata Nando.
“Oh ok, biar nanti aku telepon dia.”
“Saya permisi ke belakang Pak.” Adrian mengangguk memberi ijin Nando.
Vania duduk di ruang tengah yang sekaligus ruang tamu. Sofa melingkar yang empuk dan nyaman mengisi ruangan itu. Sebuah TV layar datar berukuran 50 inchi turut memenuhi ruangan. Sebuah bar mini terletak di ujung ruangan tersebut. Di dinding-dindingnya tergantung beberapa foto Adrian dan keluarganya.
Di sudut kiri tampak sebuah meja bilyard di pojok dekat tangga menuju lantai dua, dan di sudut kanan langsung berhubungan dengan dapur. Di samping bar mini tampak sebuah jendela dan pintu besar. Dari jendela besar itu dapat terlihat taman belakang dan kolam renang. Adrian berdiri di depan pintu belakang sedang menelepon seseorang.
Vania menghampiri mini bar dan melihat koleksi minuman keras berbagai merk terkenal. Di atas meja bar tampak beberapa botol yang terisi setengah atau kurang, mungkin yang paling sering di konsumsi oleh si pemilik rumah.
“Suka wine?” Adrian menghampiri Vania sambil mematikan telepon genggamnya.
“Can I?” Kata Vania sambil menunjuk sebuah botol tequilla kegemarannya.
“Of course, anggap saja seperti rumah sendiri. Sebentar, aku ambilkan gelas dulu.” Adrian berjalan ke belakang bar. Mengambil dua gelas dan menghampiri Vania yang sudah menaruh botolnya di meja depan sofa.
“Anakmu mana?”
“Nafa menginap di apartemen temannya malam ini.” Kata Adrian sambil menuang tequila ke gelas mereka.
“Berapa usianya sekarang?”
“Hmmm, sembilanbelas tahun.” Kata Adrian sambil memberikan gelas kepada Vania.
“Untuk bisnis kita!” Mereka melakukan toast dan meminum sampai habis isi di dalam gelas.
“Gimana rasanya punya anak yang udah dewasa? Sulit ya?”
“Not really.” Kata Adrian sembari menuangkan tequilla ke gelas di tangan Vania.
“Nafa udah kuliah kan?”
“Begitulah, Nafa sangat menyukai kebudayaan Indonesia. Makanya sekarang dia kuliah di IKJ, jurusan tari tradisional.”
“Wow! Hebat betul anakmu.” Kata Vania sambil mengangkat gelasnya mengajak Adrian melakukan toast untuk kedua kalinya. Adrian menaruh gelasnya.
“Ok I’ll show your room.”
Adrian bangkit berdiri. Di ikuti Vania berjalan ke arah kamar yang pintunya terletak persis di depan tangga kayu dekat living room. Adrian membuka pintu kamar dan menyalakan lampu. Terlihat ruangan kamar yang besarnya kira-kira 26 meter persegi. Sebuah ranjang besar, sebuah meja kecil di sampingnya dengan lampu baca. Sebuah lemari pakaian dengan sebuah cermin besar tergantung di tembok. Dari pintu mereka masuk di sebelah kirinya terletak pintu kamar mandi.
“Nice, very clean.” Vania memuji kamar tamu yang dipersiapkan Adrian untuknya.
“Seperti kamar hotel bintang lima.” Celetuk Vania sembari tersenyum.
“Thanks, Nando yang mengurus semuanya.”
“Kamu pintar memilih pengurus rumah.” Vania memuji lagi.
“Kalo kamu ingin mandi, semuanya ada di sini.” Adrian membuka pintu kamar mandi. Terlihat handuk terlipat rapi dan juga sabun serta shampoo di meja wastafel.
“Kalo kamu butuh apa-apa panggil saja aku atau Nando ya.” Lanjut Adrian.
“Terima kasih Adrian, kamu baik banget.”
“Ok, selamat beristirahat kalau begitu. Selamat malam.”
“Selamat malam Adrian.”
Setelah Adrian keluar dari kamar, Vania meletakkan tasnya di atas ranjang, begitu pula dengan tubuhnya dia rebahkan di sana. Begitu nyaman, sejenak wanita cantik itu terpejam melepas penat sekaligus rasa lelah akibat kemacetan. Vania bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi, air hangat akan membuatnya lebih rileks, begitu pikirnya.
5221Please respect copyright.PENANAi3ebGNUg9a
BERSAMBUNG
Cerita "MENGINAP SEMALAM" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 18.68.41.179da2