Adzan Subuh baru saja berkumandang, kudengar suara gemercik air dari kamar mandi. Itu pasti Astrie, istriku, wanita solehah yang sudah kunikahi sejak dua tahun lalu. Sudah jadi kebiasaannya bangun lebih awal dariku, bahkan tak jarang saat tengah malam dia terjaga dari tidurnya untuk melaksanakan sholat sunnah tahajjud. Tak hanya cantik dan menawan, Astrie juga begitu taat beribadah. Sholat lima waktu tidak pernah dia tinggalkan, kecuali jika masa mentruasi menderanya. Aku begitu beruntung bisa dijodohkan dengannya.
Ya, kami tak sekalipun mengalami momen pacaran. Aku baru mengenal Astrie tiga bulan sebelum pernikahan kami dilangsungkan. Peran Ibuku begitu besar dalam perjodohan kami, kebetulan Ibu dari Astrie dan Ibuku adalah sahabat dekat, keduanya sering dipertemukan dalam acara kajian keagaaman. Awalnya aku menolak keras perjodohan ini, bagiku menikah adalah penjara baru buat hidupku nantinya.
Sebagai seorang manager area di sebuah perusahaan keuangan ternama, karierku terbilang moncer. Banyak proyek-proyek strategis yang kukerjakan dengan sangat sukses, alahasil pundi-pundi rupiah mengalir deras ke dompetku. Berbeda dengan Astrie yang tertutup dan tak begitu banyak memiliki teman, pergaulanku justru begitu luas. Sebagai lelaki muda dengan pekerjaan mapan tak sulit bagiku untuk menggaet berbagai macam jenis wanita. Aku masih ingin menikmati masa kejayaanku sebagai seorang pria, pernikahan adalah akhir dari segalanya, dan aku tak mau itu terjadi.
Namun apalah dayaku jika Ibuku sampai harus menitikkan air mata, memohon kepadaku agar segera melepas masa lajang. Sebagai anak satu-satunya di keluargaku tentu aku menghadapi dilema besar kala itu. Mementingkan egoku sebagai seorang pria dewasa atau memilih untuk menuruti perintah wanita yang melahirkanku. Meskipun dengan perasaan tak ikhlas pada akhirnya aku mengikuti kemauan Ibuku, dijodohkan dengan Astrie.
Bayangan buruk soal pernikahan seketika lenyap saat untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Astrie. Kecantikan wajahnya seolah membawaku pada dunia yang berbeda. Baru kali ini aku bertemu dengan wanita secantik dia. Astrie tak hanya cantik, postur tubuhnya tinggi semampai nyaris mencapai 170 sentimeter, meskipun sering mengenakan hijab dan pakaian panjang nan lebar tapi itu tidak cukup menyembunyikan ukuran payudara serta pantatnya yang semok bin bahenol. Detik itu juga aku merasakan seperti tertimpa durian runtuh.
“Jadi bagaimana Don? Kamu mau menikahi Astrie?” Tanya Ibuku waktu itu saat kembali pulang ke rumah.
“Menikah adalah kewajiban bagi laki-laki muslim yang sudah cukup umur Mi, Doni kan sudah cukup umur. Sudah punya pekerjaan mapan juga, jadi jawaban Doni adalah, iya. Doni siap jadi imam untuk Astrie.” Jawabku panjang lebar.
“Halah!! Kamu kira Umi nggak tau apa daritadi kamu sering nelen ludah sendiri waktu lihat Astrie? Sekarang sok-sok an bijak ngomong soal jadi imam segala. Dasar kamu itu Don…Don…” Sahut Ibuku sembari mencubit lenganku. Aku meringis kesakitan sembari tertawa keras.
“Tapi kamu harus inget ya Don, setelah menikah dengan Astrie kamu harus berubah total. Umi nggak mau denger kamu pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Jangan bikin Umi malu sama keluarga Astrie.” Mimik wajah Ibuku mendadak berubah jadi lebih serius saat itu. Aku menghela nafas panjang.
“Insyaallah Umi…Doain yang terbaik aja ya.”
“Bener ya Don, Umi pegang kata-katamu.”
“Siaaappp komandan!! Hahahahaha!”
Maka setelah pertemuan malam itu beberapa bulan kemudian acara ijab qabul pernikahanku dengan Astrie dilangsungkan. Banyak dari teman-teman pergaulanku tak menyangka jika aku akhirnya melepas masa lajang, bahkan lewat sebuah perjodohan. Maklum saja, aku memang dikenal paling bandel diantara mereka dan sering mengolok-olok beberapa teman yang sudah memiliki istri. Aku harus menelan ludahku sendiri pada akhirnya, tapi tak mengapa karena pada akhinya aku bisa bersanding dengan Astrie, wanita cantik yang membuatku merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Loh udah bangun Mas?” Astrie keluar dari kamar mandi, rambutnya sedikit basah karena terkena air wudhu.
“Iya sayang.” Balasku sembari bangun dari posisi tidur, membuka selimut dan menunjukkan tubuh telanjangku. Aku ingat semalam aku dan Astrie sempat melakukan hubungan suami istri.
“Jamaah sholat ya Mas, Astrie tunggu.”
“Sini dulu dong sayang.” Aku merentangkan kedua tanganku, memberi tanda pada Astrie untuk memelukku.
“Iiihhh Mas Doni! Aku udah wudhu loh.” Gerutunya.
“Kan kita udah muhrim sayang, jadi nggak apa-apa bersentuhan, nggak bikin wudhumu batal kok.” Kataku.
“Ah kamu mah kebiasaan kalo pagi-pagi gini.”
“Hehehehe, ayo dong sayang. Nih udah ada yang bangun lagi loh.” Kataku sambil melirik ke penisku yang mulai mengeras. Meskipun cemberut tapi Astrie berjalan mendekatiku, kemudian menyambut pelukanku.
“Dasar bayi gede!”
“Apanya yang gede?” Tanyaku dengan tatapan menggoda.
“Ini nih yang gede!” Astrie meremas batang penisku, membuatku melenguh panjang.
“Ouucchhh, kok nakal tangannya?” Kataku.
“Kamu nih yang nakal…”
Kami lalu saling berciuman, saling menguas lidah, bertukar liur. Jemariku merambat menyusuri pinggang Astrie, lalu beranjak naik hingga akhirnya berhenti di gundukan kenyal payudaranya yang berukuran besar.
“Aaachhhh…Masss…”
“Kenapa sayang?”
“Jangan kenceng-kenceng…Sakiitt…”
“Kalo gini masih sakit?”
“Aaauuww Maaass!” Astrie sedikit berteriak saat jemariku nakal menarik paksa putingnya.
Kulanjutkan ciumanku, Astrie mulai gelisah merespon sentuhan jemariku di payudaranya, salah satu titik rangsangan pada tubuhnya. Kurebahkan Astrie di ranjang, kugumuli istriku dengan begitu mesra, kuciumi bibirnya yang tipis, lehernya yang jenjang, namun saat kepalaku mengarah ke payudara Astrie mendorong tubuhku menjauh.
“Mas…Udah ya, kita sholat shubuh dulu.”
“Ah sayang, nanggung nih udah keras banget.” Kataku sambil menunjuk batang penisku yang sudah keras maksimal.
“Mas, udah jam 5 loh, keburu habis nanti shubuhnya.”
“Ah, kamu!” Gerutuku sembari meraih celana pendek dan langsung memakainya.
“Dosa kamu, nolak suami kayak gini!” Kataku lagi dengan nada tinggi sambil berjalan keluar kamar. Astrie hanya terdiam tak membalas kejengkelanku.
Untuk urusan ranjang, Astrie memang tak terlalu agresif dan cenderung pasif. Selama ini kami juga hanya melakukan hubungan badan dengan gaya konvensional, aku di atas sementara Astrie ada di bawah. Setiap kali aku meminta berganti gaya istriku selalu menolaknya dengan berbagai macam alasan. Bahkan selama usia pernikahan kami, Astrie tak pernah sekalipun memberikan serviz blowjob padaku.
Awalnya aku masih bisa menerimanya, tapi akhir-akhir ini aku jadi sering uring-uringan karena hal tersebut. Contoh nyatanya adalah kejadian pagi ini, di saat aku ingin bercinta dengannya, Astrie malah lebih memilih untuk menjalankan ibadah. Bukankah melayani suami juga termasuk dalam kategori ibadah bagi seorang istri? Diluar kecantikan, kesederhanaan, serta kealimannya, Astrie sama sekali tak memuaskanku untuk urusan seks.
27040Please respect copyright.PENANAFOD2GgJ5eS
***
“Mas Doni masih marah ya?” Tanya Astrie saat menyiapkan sarapan untukku.
“Hmmm…” Sahutku singkat sambil pura-pura sibuk melihat layar ponselku. Astrie meraih kursi dan duduk di sampingku.
“Maafin Astrie ya Mas, Astrie nggak bermaksud buat nolak ajakan Mas Doni tadi.”
“Hmmm, ya udah nggak apa-apa. Lain kali jangan diulangi lagi. Kamu lebih ngerti agama dibanding aku, harusnya kamu tau juga kewajiban istri.” Kataku seraya meletakkan ponsel di atas meja makan.
“Insyaallah Astrie akan selalu jadi istri yang taat untuk Mas Doni. Astrie janji nggak akan kayak tadi lagi.”
“Ya udah, aku berangkat kerja dulu kalo gitu. Kamu baik-baik di rumah, kabarin kalo ada apa-apa.”
“Loh, Mas Doni nggak makan dulu?” Astrie tampak kecewa.
“Nggak usah, nanti aja di kantor, udah minum kopi kok tadi.” Kataku sembari berdiri dari kursi.
“Hati-hati di jalan Mas.” Astrie meraih tangan kananku dan menciumnya. Aku bergegas berjalan keluar rumah dan masuk ke dalam mobil untuk selanjutnya berangkat kerja. Dari kaca spion mobil aku bisa meliha Astrie berdiri di depan pintu rumah, menungguku berlalu.
Jujur saja aku masih sedikit kesal dengan sikap Astrie yang tak pernah bisa menuruti kemaunku dalam hal urusan seks. Astrie terlalu kaku dan alim, berbeda denganku yang ingin ada banyak variasi dalam berhubungan seks. Aku bosan dengan “keluguan” Astrie, mungkin karena hal inilah sejak 6 bulan terakhir aku jadi dekat dengan Jenie, perempuan muda berusia 24 tahun, seorang janda cantik yang bekerja sebagai sekretaris pribadiku.
Berbeda dengan Astrie, Jenie selalu bisa memenuhi segala fantasi seksualku. Kapanpun dan dimanapun dia selalu bisa, bahkan tak jarang kami sering melakukannya di ruang kerjaku meskipun seringkali kami melakakunnya di kamar hotel saat istirahat makan siang atau selepas jam pulang kantor. Pada akhirnya aku mengingkari janjiku pada Ibuku untuk berubah ketika sudah jadi suami Astrie, aku kembali jadi sosok Doni yang dulu lagi, seorang playboy kelas kakap.
Hmmm, sepertinya aku harus segera bertemu Jenie sekarang untuk melupakan kekesalanku karena Astrie enggan memberiku jatah. Quicksex di apartemennya bisa jadi sesuatu yang memungkinkan saat ini. Aku merogoh kantong celanaku untuk mengambil ponselku, aku harus menghubungi Jenie agar perempuan itu bersiap menerima kedatanganku. Tapi dimana ponselku? Aku merogoh kantong celana sekali lagi, kiri dan kanan, tetap saja aku tak menemukan ponselku. Ah, aku baru ingat kalau tadi aku meletakkannya di atas meja makan dan lupa membawanya kembali saat pergi dari rumah.
Kutepikan mobilku untuk kemudian berbalik arah, kembali pulang ke rumah. Beruntung belum terlalu jauh, satu-satunya yang mungkin menghambatku nanti adalah kemacetan panjang di persimpangan dekat perumahan tempatku tinggal. Tapi tak mengapa, setidaknya setelah ini aku bisa melampiaskan segala hasratku pada tubuh sintal Jenie. Sekitar lima belas menit kemudian aku sudah memasuki kawasan perumahan mewah tempatku tinggal. Saat mendekati rumahku kulihat sebuah mobil terparkir tepat di depan pagar. Entah kenapa perasaanku jadi tidak nyaman seketika. Siapa orang yang bertamu di rumahku sepagi ini?
Kupakirkan mobilku di depan rumah tetanggaku. Aku bergegas berjalan menuju pintu pagar, sesaat kupandangi mobil sedan bercat hitam yang terparkir tepat di depan pagar rumahku. Aku sama sekali belum pernah mobil ini, jadi tidak mungkin jika orang yang sedang bertamu adalah milik orang yang aku kenal. Kubuka pintu pagas dengan perasaan campur aduk penuh ketegangan. Sesampainya di teras kulihat sepasang sepatu tergeletak di dekat pintu ruang utama, sepatu pantofel pria.
“Anjing! Siapa dia?!” Umpatku dalam hati.
Bergegas aku menuju pintu rumahku, saat gagang pintu kutarik ke bawah pintu terkunci dari dalam. Perasaanku makin gundah gulana, bagaimana mungkin Astrie menguncinya dari dalam saat menerima tamu seorang pria? Apa yang sedang disembunyikan oleh istriku yang alim itu? Berjuta pertanyaan seolah memenuhi isi kepalaku dengan berbagai macam praduga buruk. Aku berbalik badan dan bergegas berlari menuju mobil untuk mengambil kunci cadangan rumah yang selalu kuletakkan di laci dasboard. Tak butuh waktu lama, aku kembali ke rumah dengan sebuah kunci cadangan.
Kubuka perlahan hingga sebuah celah terbuka dan memungkinkan tubuhku masuk ke bagian dalam rumah. Melihat tingkahku saat ini layaknya seorang pencuri yang hendak menyatroni rumah orang asing. Bagaimana mungkin aku mengendap-endap masuk ke dalam rumahku sendiri? Gila! Aku melangkah pelan, kulihat di ruang tamu tergeletak sebuah tas berwarna hitam yang aku yakini itu adalah milik tamu misterius tersebut. Kakiku berjalan pelan menuju kamar tidurku, baru beberapa langkah sayup kudengar suara Astrie sedang melantunkan ayat-ayat suci Al Quran.
“Iqra' bismi rabbikalladzî khalaq….Emmmcchhh…Khalaqal-insâna min ‘alaq…Eeemmchhhh….Iqra' wa rabbukal-akram…Eeemmcchhhhh..”
Setiap satu ayat selesai, Astrie mengambil jeda namun suaranya seperti terhalang oleh sesuatu. Makin penasaran sedikit kupercepat langkah kakiku, melewati ruang makan kemudian melipir ke sebelah kiri. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat celah pintu kamar tidurku terbuka. Aku kembali mengendap-endap mendekati celah pintu. Suara lantunan ayat suci Al Quran makin jelas terdengar.
“Alladzî ‘allama bil-qalam, ‘allamal-insâna mâ lam ya‘lam…Eeemmchhhh…Kallâ innal-insâna layathghâ…Eeemmchhh..”
Betapa terkejutnya aku saat mengintip dari balik celah pintu kamar, kulihat Astrie tengah duduk di atas sajadah sambil mengenakan mukena dan memegang Al Quran. Di samping kirinya berdiri sosok pria muda yang sudah dalam keadaan telanjang bulat dan menjulurkan batang penisnya di dekat mulut istriku. Setiap satu ayat berhenti terlantun, Astrie dengan sukarela mengulum penis pria itu!
“Ar ra'âhustaghnâ, inna ilâ rabbikar-ruj‘â…Eeemmcchhhh…Eeemcchhhh…A ra'aitalladzî yan-hâ, ‘abdan idzâ shallâ…Eeemcchhhh…”
27040Please respect copyright.PENANAXbK88Vd3ej
BERSAMBUNG27040Please respect copyright.PENANAAwOaQXzjtF
27040Please respect copyright.PENANA00WRjtRe2r